• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan berpikir kritis dan self efficacy siswa pada pembelajaran tematik integratif sebelum dan sesudah dilakukan pembelajaran model guided

Kelas Kontrol

A. Kemampuan berpikir kritis dan self efficacy siswa pada pembelajaran tematik integratif sebelum dan sesudah dilakukan pembelajaran model guided

discovery

1. Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Berpikir kritis pada siswa dikelas eksperimen dan kelas kontrol terdapat perbedaan. Hal tersebut dapat telihat pada paparan data di atas bahwasanya berpikir kritis pada kelas eksperimen terlihat adanya peningkatan dari sebelum menggunakan model pembelajaran guided discovery dan setelah mengunakan model pembelajaran guided discovery. Hal tersebut terlihat dari peserta didik yang memiliki tingkat berpikir kritis tingkat tinggi berdasarkan dari hasil tes ada 20% dan setelah penggunaan model pembelajaran guided discovery meningkat menjadi 80%. Pada kelas kontrol yang berpikir tingkat tinggi dengan rata-rata sebesar 16,6%, sedangkan setelah proses pembelajaran terdapat peningkatan sebesar 70%, sehingga berpikir kritis di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol.

Adapun demikian penalaran peserta didik seperti kemampuan mengidentifikasi, memecahkan permsalahan dalam proses pembelajaran mengunakan model pembelajaran guided discovery lebih kritis di kelas eksperimen. Pada kelas kontrol kemampuan mengidentifikasi, memecahkan permsalahan peserta didik cenderung kurang dan biasa saja. Hal itu disebabkan proses pembelajaran tematik hanya mengacu pada LKS dan buku siswa dengan

menggunakan metode ceramah sehingga membuat kemampuan peserta didik dalam bernalar, berpikir kritis kurang terasah. Hal itu sejalan dengan Ennis yeng menyatakan bahwasanya berpikir kritis merupakan pengambilan keputusan secara logis.90 Pendapat lain yakni Jufri mengatakan bahwa dalam berpikir kritis pada anak akan melewati beberapa tahapan meliputi merumuskan masalah, memberikan pendapat, melakukan indiksi dan evaluasi sampai pada pengambilan keputusan dalam melakukan tindakan.91 Tahapan-tahapan tersebut sama halnya dengan pendapat Polya bahwa proses berpikir kritis meliputi pemahaman, perencanaan, penalaran sempai pada pengambilan keputusan.

Berdasarkan hal itu maka dapat dikatakan dalam berpikir kritis merupakan suatu yang kompleks yang mana peserta didik tidak hanya dituntut memahami konsep namun dapat mengindentifikasi dan mengeksplorasi masalah dalam mencari solusi untuk memecahkan permasalahan. Hal demikian terlihat di kelas eksperimen, dimana peserta didik memiliki kecakapan kemampuan dalam mengidentifikasi, dan mengeksplor dalam pemecahan permasalahan yang diberikan oleh guru melalui model pembelajaran guided discovery dalam proses pembelajaran tematik. Hal serupa belum terlihat di kelas kontrol yang disebabkan proses pembelajaran cnderung berfokus pada LKS dan buku siswa sehingga kemampuan daya pikir dan nalar peserta didik kurang terasah.

90

Ennis, R.H, Critical Thingking, (New Jeresy: Printice-Hall Inc, 1996), hlm 15.

91

Mohammad Faizal Amir. Proses berpikir kritis siswa sekolah dasar dalam memecahkan masalah berbentuk soal cerita matematika berdasarkan gaya belajar. Jurnal Math Educator Nusantara Vol. 01 No. 12, November 2015.

2. Self Efficacy Siswa

Self efficacy siswa dikelas eksperimen dan kelas kontrol terdapat

perbedaan. Hal tersebut dapat telihat pada paparan data di atas yakni self

efficacy siswa pada kelas eskperimen terdapat 2 siswa pada kategori tinggi, 9

siswa pada kategori sedang, dan kategori kurang terdapat 19 siswa. Pada kelas kontrol terdapat 0 siswa pada kategori tinggi, 6 siswa pada ketegori sedang dan 23 siswa pada ketgori kurang. Self efficacy siswa sesudah perlakuan terdapat peningkatan pada indikator pencapaian tingkat kesulitan (Level), kekuatan (Strength), dan Penguasaan (Generality) sebesar 76,36%. Sedangkan self

efficacy siswa tanpa perlakuan terdapat peningkatan pada indikator pencapaian

tingkat kesulitan (Level), kekuatan (Strength), dan Penguasaan (Generality) sebesar 35,8%. Hal tersebut bila dibandingkan pada kelas eksperimen peningkatan self efficacy siswa jelas terlihat perbedaan yang signifikan.

Adapun demikian dapat dilihat dari optimis mengahadapi kesulitan tugas, kegigihan dalam belajar dan penguasaan berbagai materi dalam proses pembelajaran mengunakan model pembelajaran guided discovery. Pada kelas kontrol optimis mengahadapi kesulitan tugas, kegigihan dalam belajar dan penguasaan berbagai materi peserta didik cenderung kurang dan biasa saja, hal itu disebabkan proses pembelajaran tematik hanya mengacu pada LKS dan buku siswa dengan menggunakan metode ceramah sehingga membuat peserta didik mengalami kejenuhan.

Berdasarkan paparan di atas menujukkan dengan jelas adanya perkembangan dan peningkatan dalam proses pembelajaran tematik di kelas

eksperimen pada self efficacy siswa dibandingkan di kelas kontrol. Hal ini sejalan dengan Bandura menyatakan bahwasanyan self efficacy siswa merupakan keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Bandura juga menyampaikan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan, hasil yang dimaksud disini diartikan sebagai hasil belajar siswa.92 Hal tersebut juga diperkuat dengan penelitian Era Puspita, Sri Hastuti, dan Pentatito Gunowibowo, bahwasanya peningkatan self efficacy siswa yang mengikuti

guided discovery learning lebih tinggi dari pada pembelajaran konvensional.93

Berdasarkan paparan data dan pendapat oleh beberapa ahli, bahwasanya Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Alwisol mengungkapkan bahwa orang yang efikasi dirinya tinggi percaya bahwa dia dapat mengerjakan sesuai dengan tuntutan situasi dan harapan hasilnya sesuai dengan kemampuan diri, orang itu akan bekerja keras dan bertahan mengerjakan tugas sampai selesai.94 Dalam konteks pendidikan dan belajar, efikasi diri perlu dimiliki setiap siswa agar mereka yakin dengan kemampuan yang dimiliki sehingga sesulit apapun materi maupun soal ulangan yang dihadapi, mereka yakin bisa menyelesaikannya.

92 M.N. Ghufron dan Rini R.S, Teori-teori Psikologi…, hlm. 75-76.

93

Era Puspita, Sri Hastuti, Pentatito Gunowibowo, “ Efektivitas Guided Discovery Learning

Ditinjau dari Kemampuan Pepresentasi Matematis dan Self efficacy”, Jurnal Pendidikan Matematika

Unila, Vol. 5, No. 7, 2017

94

Selain itu efikasi diri mendorong siswa untuk lebih mematangkan diri sebagai bentuk persiapan menghadapi tantangan. Efikasi diri siswa dalam menguasai akademik mempengaruhi aspirasi, tujuan, dan hasil belajar siswa. Bandura percaya bahwa self efficacy adalah faktor penting yang memengaruhi prestasi murid. Hal demikian terdapat di kelas eksperimen yang terlihat optimis dalam menghadapi kesulitan tugas, kegigihan dalam belajar dan penguasaan berbagai materi dalam proses pembelajaran tematik yang berlangsung di dalam kelas. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwasanya di kelas eksperimen peserta didik memiliki self efficacy yang baik dalam proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran guided discovery.

B. Proses kegiatan belajar menggunakan model pembelajaran guided discovery