Secara lengkap proses steroidogenesis di dalam tubuh ikan menurut Nagahama (1987); Yaron (1995); Vanston et al (1996) digambarkan sebagai berikut: proses steroidogenesis dimulai dengan pemecahan kolesterol menjadi pregnenolon dengan bantuan vitamin K (Gambar 3). Pregnenolon dengan aktivitas dari enzim
3ß-hidroxysteroid dehidrogenasi (3ß-HSD) diubah menjadi progesteron. Kemudian progesteron ini oleh enzim hidroxylase diubah menjadi hidroxyprogesteron. Selama proses vitelogenesis berlangsung,
17a-55 hidroxyprogesteron diubah menjadi androstenedion. Proses ini dibantu oleh C17 -C20 lyase. Androstenedion kemudian diubah menjadi testosteron. Sintesis testosteron ini dibantu oleh enzim 17ß-hydroxysteroid dehidrogenase (17ß-HSD). Proses perubahan kolesterol menjadi testosteron terjadi didalam lapisan teka pada folikel oosit. Selanjutnya testosteron yang dihasilkan didalam lapisan teka ini masuk kedalam lapisan granulosa. Di dalam lapisan granulosa testosteron diubah menjadi estradiol-17ß, dengan demikian selama proses vitelogenesis terjadi konsentrasi estradiol-17ß di dalam tubuh ikan tinggi. Sintesis estradiol-17ß ini
dibantu oleh enzim aromatase. Pada waktu terjadi pematangan oosit, 17a-hydroxyprogesteron yang dihasilkan oleh lapisan teka menyebar kedalam
lapisan granulosa pada folikel oosit. Di dalam lapisan ini,17a- hydroxyprogesteron diubah menjadi 17a,20ß-dihydroxy-4-pregnen-3-one (17a,20ß-diOHProg). Proses ini dibantu oleh enzim 20ß-hydroxysteroid dehydrogenase (20ß-HSD).
Kolesterol Vitamin K Pregnenolon 3ß-HSD Progesteron 17a-hidroxylase 17a-hidroxyprogesteron C17-C20 lyase Androstnendion Testosteron Estradio 17ß
Gambar 3. Diagram steroidogenesis
Purdom (1993) menjelaskan bahwa siklus seksual ikan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan (temperatur dan cahaya) dan hormonal. Hal ini secara praktis menguntungkan karena situasi/lingkungan dapat merangsang reproduksi. Reproduksi dapat dirangsang oleh rangsangan lingkungan seperti suhu dan fotoperiodisme dengan pengaruh hormon secara langsung (De Vlaming,1972; Donaldson dan Hunter,1983 dalam Purdom,1993).
56 GnRH
Umpan balik Umpan balik positif negatif Gonadotropin
Gambar 4. Bagan proses perkembangan oosit (Nagahama et al,1995).
Gambar 4 menjelaskan bahwa proses perkembangan gonad ikan membutuhkan hormon gonadotropin yang dilepas oleh kelenjar pituitari yang kemudian terbawa oleh aliran darah dan masuk ke gonad. Gonadotropin kemudian masuk ke sel teka menstimulir terbentuknya testosteron yang kemudian testosteron ini masuk ke sel granulosa dan dirubah oleh enzim aromatase menjadi estradiol-17ß, kemudian masuk ke hati melalui aliran darah dan merangsang hati untuk mensintesis vitelogenin yang akan dialirkan lewat darah menuju gonad untuk diserap oleh oosit, sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai dengan perkembangan diameter telur (Sumantri 2006).
Per- kem- bang-an oosit Gonad Sel teka Testosteron Otak hipotalamus Gonad Gonad P450 Aromatase Pituitary Sel teka Testosteron Sel granulosa Estradiol-17ß
57 Perkembangan telur atau penyerapan vitelogenin ini berhenti ketika oosit mencapai ukuran maksimal. Epler (1981) menyatakan bahwa aksi hormon gonadotropin maupun steroid menyebabkan posisi inti yang semula berada di tengah mulai bergeser menuju ke tepi dekat mikrofil dan sesaat sebelum ovulasi inti tadi melebur. Bila kondisi GTH (Gonadothropin) II cukup maka akan merangsang sekresi 17a- hidroksiprogesteron yang bersama hidroksi steroid dehidrogenase membentuk 17 a,20 ß- hidroksi pregnen yang akan masuk ke dalam sel telur untuk mendorong Maturation Promoting Factor (MPF) yang mendorong inti ke tepi dan inti mengalami Geminal Vesicle Break Down (GVBD), kemudian folikel pecah dan sel telur siap untuk diovulasikan.
Menurut Nayak dan Singh (1992), konsentrasi hormon- hormon steroid seks (estradiol-17ß dan estron) selama siklus reproduksi tahunan ikan lele betina
(Clarias batracus) rendah selama fase previtelogenesis, meningkat secara cepat pada fase vitelogenesis dan mencapai puncak pada fase akhir vitelogenesis. Begitu juga dengan konsentrasi testosteron yang meningkat pada fase akhir vitelogensis.
Oogenesis adalah proses transformasi oogonia yang tersebar dalam ovary menjadi oosit. Oogonia menjadi oogonia primer melalui pembelah meiosis yang bertahan pada fase diplotein. Kemudian mengalami pertumbuhan hingga terbentuk previtelogenesis dan vitelogenesis. Previtelogenesis adalah bertambahnya ukuran oosit tanpa disertai dengan penambahan materi kuning telur. Pada tahap ini terbentuk dua lapisan sel dan membentuk folikel, yaitu sel granulose dan sel teka. Vitelogenesis adalah proses penimbunan atau akumulasi kuning telur yang menyebabkan oosit pada fase pertumbuhan kedua. Vitelogenesis dibagi menjadi dua, yaitu vitelogenesis endogen dan vitelogenesis eksogen.
Oosit yang telah tumbuh penuh memiliki satu nukleus GV(germinal vesicle) yang terletak ditengah oosit. Fenomena yang pertama kali dilihat berkenaan dengan pematangan oosit akhir adalah pergerakkan GV ke kutub anima, kemudian membran itu pecah dan terjadi GVBD (Germinal Vesicle Break Down).
Tingkat kematangan gonad ikan secara umum menurut Woynarovich dan Horvath (1990) adalah sebagai berikut :
58 Tingkat 1 : muda ukuran gonad kecil.
Tingkat 2 : tahap istirahat, ukuran gonad belum dapat dibedakan dengan mata biasa.
Tingkat 3 : proses pemasakan, proses pertumbuhan berat gonad sangat cepat, telur dapat dibedakan dengan mata.
Tingkat 4 : masak, gonad mencapai berat maksimum tetapi telur belum mau keluar jika ditekan di daerah perut.
Tingkat 5 : tahap reproduksi, telur akan keluar jika perut ditekan. Dari awal pemijahan berat gonad turun drastis.
Tingkat 6 : kondisi salin, telur telah dikeluarkan, lubang genital berwarna kemerah- merahan, gonad telah mengempis dan berisi telur dalam jumlah yang sangat sedikit.
Tingkat istirahat : produk seksual telah dikeluarkan, lubang genital tidak berwarna merah lagi dan ukuran oosit masih sangat kecil.
Tahap perkembangan telur menurut Woynarovich dan Horvath (1990): Tahap 1 : sel-sel telur (oogonia) berukuran sangat kecil (8-12 mikron). Sel–sel ini
diperbanyak melalui proses mitosis.
Tahap 2 : sel-sel telur tumbuh mencapai ukuran 12-20 mikron, mulai terbentuk folikel, akhirnya terbentuk 2 lapisan sel.
Tahap 3 : pada tahap ini sel tumbuh mencapai ukuran 40-200 mikron
Tahap 4 : tahap ini, akumulasi kuning telur dimulai (Vitelogenesis). Telur tumbuh mencapai ukuran 200-350 mikron.
Tahap 5 : telur mencapai ukuran 350-500 mikron. Tahap 6 : telur mencapai ukuran 500-900 mikron.
Tahap 7 : proses vitelogenesis lengkap mulai terbentuk mikrofil dan ukuran telur pada tahap ini adalah 900-1000 mikron.
59 Oogonia Growing Resting Yolk Mature
Oosyte Oocyte formation
10.00 1.00 0.10 0.01 Tahap perkembangan oosit
Gambar 5. Grafik diameter oosit dalam perkembangannya menurut Purdom (1993).
Gambar 5 menjelaskan oogonia merupakan stadia awal perkembangan telur dengan diameter 0.01 mikron. Perkembangan oogonia terjadi cepat pada saat mengalami pertumbuhan yaitu pembelahan sel secara meiosis hingga mencapai ukuran 1.00 mikron. Pertumbuhan ini terjadi karena oogonia aktif melakukan pembela han kemudian istirahat dan berhenti pada fase diplotein atau profase II. Pada saat itu terjadi akumulasi kuning telur hingga ukurannya bertambah lagi mencapai 10 mikron disertai dengan pergerakkan inti ke tepi. Pada saat inti telah mengalami GVBD maka telur telah matang dan siap dibuahi.
Menurut Purdom (1993) oogonia merupakan sel kecil yang belum terdiferensiasi yang memiliki nukleus besar dan sitoplasma yang sangat kecil. Oosit primer merupakan perkembangan lebih lanjut dari oogonia, pada fase ini terjadi perkembangan sitoplasma dengan cepat. Terdapat 2 kejadian dalam telur pada saat oosit primer matang, yaitu peningkatan ukuran dan modifikasi susunan kromosom atau meiotic cell division. Ukuran telur meningkat dari beberapa mikrometer hingga centimeter pada beberapa spesies tertentu, namun pada umumnya selang maksimum dari ukuran telur adalah 1-2 mm. Peningkatan Diameter
60 ukuran diameter telur ini disebabkan karena penyerapan glicolipoprotein dalam jumlah besar yang disebut Vitelogenesis. Glicolipoprotein dibuat di liver dibawah kontrol hormon steroid yang terdapat pada ovarian folikel. Glicolipoprotein ini juga berperan dalam perkembangan telur. Pada keadaan ini telur dalam tahap oosit sekunder dan dapat terlihat dengan ukuran beraneka macam/ beragam. Ukuran telur ikan sangat penting untuk diketahui dalam budidaya karena telur yang besar akan menghasilkan larva yang besar dan ini berpengaruh terhadap waktu pemberian pakan alaminya (Purdom,1993).
2.4. Fekunditas
FCE
Maximum Efective Ratio
Ratio Pakan
Gambar 6. Grafik hubungan antara FCE (Feed Convertion Efficiency) dengan
Feeding Rate (FR) (Purdom,1993)
Salah satu faktor yang mempengaruhi produksi telur adalah makanan. Pada gambar 6 dijelaskan bahwa pada saat ikan berada dalam lingkungan dengan kondisi pakan yang rendah maka ikan akan kehilangan berat badan dan menyebabkan Food Conversion Eficiency (FCE) menjadi tinggi, tingginya FCE ini disebabkan karena energi makanan yang diperoleh tidak langsung disimpan oleh tubuh dalam bentuk daging melainkan digunakan terlebih dahulu untuk kegiatan perawatan sel-sel tubuh yang rusak dan aktivitas metabolismenya atau
maintenence. FCE adalah perband ingan jumlah pakan yang diberikan dengan bobot tubuh yang dihasilkan. Dalam kondisi seperti itu pakan hanya digunakan sebesar 0.1 % untuk berat badannya, itu juga bergantung pada temperatur dan
61 ukuran ikan. Pada musim kemarau suhu perairan menjadi tinggi, aktivitas metabolisme ikan juga ikut tinggi, penyerapan makanan oleh tubuh ikan juga semakin tinggi dan penambahan bobot ikan menjadi lebih cepat jika ketersediaan makanan mencukupi, tetapi apabila ketersediaan makanan tidak mencukupi maka akan berakibat pada kekurangan energi, karena jumlah energi untuk metabolisme tidak sebanding dengan jumlah energi yang masuk. Dalam kondisi itu pakan yang diberikan, hanya digunakan untuk metabolisme sehari-sehari (Maintenance), tidak ada kelebihan energi yang disimpan menjadi daging atau untuk kematangan gonad, maka diperlukan suatu suplement atau makanan tambahan yang digunakan untuk memenuhi kekurangan energi yang berasal dari pakan akibat tingginya metabolisme (Purdom,1993).
Penambahan suplemen dalam pakan yang diberikan tidak langsung dapat menyebabkan FCE hingga batas optimum. Beberapa digunakan untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya hingga benar-benar tercukupi. Apabila kondisi ketersediaan makanan dalam tubuh berlebih, maka kelebihan itu akan disimpan dalam bentuk daging atau lemak untuk energi cadangan, atau dialokasikan untuk aktivitas reproduksi, keadaan ini menyebabkan FCE mencapai titik optimum. Setelah mencapai titik optimum FCE akan kembali turun bergantung pada pengaruh lingkungan dan genetik induk seperti tampak pada Gambar 6 (Purdom, 1993). Kondisi ini menjelaskan mengapa pada awal-awal musim kemarau produksi telur menjadi berkurang.
Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan dalam satu siklus reproduksi. Fekunditas terdiri dari fekunditas mutlak, fekunditas relatif dan fekunditas nisbi. Faktor yang mempengaruhi fekunditas adalah umur induk,makanan dan lingkungan.
2.5. Pembuahan
Pembuahan adalah bersatunya oosit (telur) dengan sperma membentuk
zigot (Fujaya,2004) dimana terjadi pencampuran materi genetik antara keduanya (John et al,1991). Pembuahan ini terjadi melalui pencampuran inti sel telur dan sel
62 pembuahan diluar tubuh (eksternal). Telur yang tidak dibuahi akan mati dan akan berubah morfologinya menjadi berwarna putih dan keruh (Sumantadinata,1981).
Telur yang belum dibuahi, bagian luarnya dilapisi oleh selaput yang dinamakan selaput korion. Dibawah korion ada selaput vitellin, selaput yang mengelilingi plasma telur disebut selaput plasma. Ketiga selaput ini menempel satu sama lain dan tidak ada ruang diantaranya. Bagian telur yang mengandung sitoplasma berkumpul pada bagian atas telur disebut kutub anima dan bagian bawahnya yang mengandung kuning telur disebut kutub vegetatif (Affandi dan Tang,2002).
Telur ikan setelah keluar dari tubuh induk bersifat melekat dan tidak melekat. Telur yang melekat memiliki lapisan pelekat pada dinding cangkangnya dan aktif ketika kontak dengan air. Sifat pelekat telur dibagi menjadi dua macam, yaitu melekat pada obyek atau substrat dan melekat pada sesama telur sehingga tampak seperti membentuk koloni. Telur yang melekat kuat pada substrat mudah menjadi rusak atau koyak ketika diangkat. Kekuatan melekat tersebut semakin melemah seiring dengan perkembangan telur hingga menetas (Effendi, 2004).
Menurut Balinsky (1970) telur maupun spermatozoa yang dikeluarkan oleh masing- masing tetua akan menghasilkan zat kimia yang berguna dalam proses pembuahan yaitu fertilizine atau gamone. Fertilizine merangsang spermatozoa untuk berenang mencapai telur. Fertilizine dikeluarkan oleh telur pada saat-saat terakhir ketika telur dilepaskan dan siap untuk dibuahi (Sumantadinata,1981). Pembuahan diawali dengan masuknya sel spermatozoa melalui lubang mikrofil pada sel telur. Kepala spermatozoa menembus lubang mikrofil dan ekornya tertinggal pada lubang sehingga dengan keadaan yang demikian menghambat masuknya sperma lain kedalam sel telur (Fujaya,2004). Cara lain yang digunakan sel telur untuk mencegah sperma lain masuk adalah terjadinya reaksi kortikal sehingga mikrofil menjadi lebih sempit dan spermatozoa yang bertumbuk pada saluran mikrofil terdorong keluar. Reaksi korteks juga membersihkan korion dari spermatozoa yang melekat, karena akan mengganggu pernapasan zigot yang sedang berkembang (Fujaya,2004).
Ketika telur dilepas kedalam air dan dibuahi, alveoli korteks yang ada dibawah korion pecah dan melepaskan material koloid mucoprotein kedalam
63 ruang perivitellin yang terletak antara membran telur dan korion. Air tersedot akibat pembengkakan dari mucoprotein ini. Korion mula- mula menjadi kaku dan licin kemudian mengeras dan mikrofil tertutup. Sitoplasma menebal pada kutub telur berinti dan ini merupakan merupakan titik dimana embrio berkembang. Pengerasan korion akan mencegah terjadinya pembuahan polisperma. Dengan adanya ruang perivitellin yang mengeras maka telur dapat bergerak selama dalam perkembangannya (Affandi dan Tang,2002). Pengerasan korion mempunyai fungsi lain, yaitu untuk melindungi embrio yang masih sangat sensitif pada saat awal (Sumantadinata,1981).
2.6. Penetasan
Menetas merupakan saat terakhir masa pengeraman sebagai hasil beberapa proses sehingga embrio keluar dari cangkangnya (Effendi,1997). Penetasan dipengaruhi oleh aktivitas embrio di dalam cangkang dan pembentukkan
corionase. Embro sering mengubah posisinya karena kekurangan ruang dalam cangkang atau karena embrio telah lebih panjang dari lingkungannya di dalam cangkang. Kelenjar endodermal di daerah pharynk embrio mengeluarkan enzim disebut corionase yang berfungsi untuk mereduksi korion menjadi lembek. Nilai pH dan suhu memegang peranan penting dalam proses ini. Nilai pH yang berperan 7,9-9,6 dan suhu 14-20oC merupakan kondisi yang optimum dalam penetasan telur (Effendi,1997).
64 III. METODOLOGI