• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kematian Maternal

Pada International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems, Tenth Revision, 1992 (ICD-10), WHO mendefinisikan kematian maternal adalah kematian seorang wanita saat masa hamil atau dalam 42 hari setelah terminasi kehamilan, terlepas dari durasi dan lokasi kehamilan, dari setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperburuk oleh kehamilan atau pengelolaannya, tetapi bukan dari sebab-sebab kebetulan atau insidental (WHO, 2007).

Tabel 2.1. Definisi alternatif kematian maternal pada ICD-10

Pregnancy-related death

Kematian seorang wanita selama kehamilan atau 42 hari setelah terminasi kehamilan, tanpa mempedulikan penyebab kematiannya.

Late maternal death Kematian seorang wanita karena penyebab langsung atau tidak langsung yang lebih dari 42 hari, namun kurang dari setahun setelah terminasi kehamilan.

Sumber: WHO, UNICEF, UNFPA and The World Bank

2.1.2. Klasifikasi

Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung. Kematian ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa nifas, dan segala intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Kematian ibu tidak langsung adalah merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular (Prawirohardjo, 2008).

Klasifikasi kematian ibu ada tiga, yaitu kematian ibu langsung, kematian ibu tidak langsung, dan kematian nonmaternal. Kematian ibu langsung mencakup

kematian ibu akibat penyulit obstetri pada kehamilan, persalinan, atau masa nifas, dan akibat dari intervensi, kelalaian, kesalahan terapi, atau rangkaian kejadian yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut. Contohnya adalah kematian ibu akibat perdarahan karena ruptur uteri. Kematian ibu tidak langsung mencakup kematian ibu yang tidak secara langsung disebabkan oleh kausa obstetri, melainkan akibat penyakit yang sudah ada sebelumnya, atau suatu penyakit yang timbul saat hamil, melahirkan, atau masa nifas, tetapi diperberat oleh adaptasi fisiologis ibu terhadap kehamilannya. Contohnya adalah kematian ibu akibat penyulit stenosis mitral. Kematian nonmaternal adalah kematian ibu yang terjadi akibat kecelakaan atau kausa insidental yang tidak berkaitan dengan kehamilan. Contohnya adalah kematian akibat kecelakaan lalu lintas (Cunningham, 2005).

2.1.3. Ukuran Kematian Maternal

Jumlah kematian maternal pada dasarnya ditentukan oleh dua faktor, yaitu: risiko kematian yang berhubungan dengan kehamilan atau persalinan itu sendiri, dan jumlah kehamilan atau persalinan yang dialami oleh wanita usia reproduktif (WHO, 2007).

Tabel 2.2. Ukuran statistik kematian maternal

Maternal Mortality Ratio Jumlah kematian ibu selama satu periode per 100.000 kelahiran hidup selama periode yang sama.

Maternal Mortality Rate Jumlah kematian ibu dalam satu periode per 100.000 wanita usia reproduksi selama periode yang sama.

Adult Lifetime Risk of Maternal Mortality

Kemungkinan kematian karena penyebab maternal selama usia reproduksi seorang wanita.

Sumber: WHO, UNICEF, UNFPA and The World Bank

a. Pendekatan Pengkuran Kematian Maternal

Kesulitan untuk mengukur kematian maternal secara akurat masih ditemui, meskipun menggunakan definisi standard. Untuk mendapatkan angka yang akurat, maka dilakukan beberapa pendekatan pengukuran, yaitu: Civil registration

systems, household surveys, sisterhood methods, reproductive-age mortality studies (RAMOS), verbal autopsies, dan censuses (WHO, 2007).

1) Civil registration systems (Catatan Sipil)

Pendekatan ini melubatkan catatan kelahiran dan kematian. Idealnya, statistik kematian ibu diperoleh dari data catatan sipil. Namun, penyebab dari semua kematian diidentifikasi berdasarkan sertifikat medis standar, dengan tidak adanya penemuan kasus, kematian ibu mungkin terlewatkan atau terjadi kesalahan klasifikasi (WHO, 2007).

2) Household surveys (Survei Rumah Tangga)

Jika data dari catatan sipil tidak tersedia, maka survei rumah tangga menyediakan alternatif. Keterbatasan dari survei ini adalah:

1. Mengidentifikasi kematian yang berhubungan dengan kehamilan, bukan kematian maternal

2. Memakan biaya besar karena untuk mendapatkan estimasi statistik yang reliabel, dibutuhkan ukuran sampel yang besar

3. bahkan dengan ukuran sampel yang besar, perkiraan masih diperoleh confidence interval yang lebar, sehingga sulit untuk memantau perubahan dari waktu ke waktu.

3) Sisterhood methods

Metode Sisterhood memperoleh informasi dengan mewawancarai wali sampel responden tentang kelangsungan hidup saudara perempuan dewasa mereka untuk menentukan jumlah saudara perempuan yang sudah menikah, berapa banyak yang hidup, berapa banyak yang meninggal, dan berapa banyak yang meninggal selama masa kehamilan, persalinan, atau dalam waktu enam minggu kehamilan (WHO, 2007).

4) Reproductive-age mortality studies (RAMOS)

Pendekatan ini meliputi identifikasi dan investigasi penyebab semua kematian wanita usia reproduktif pada suatu area populasi dengan menggunakan sumber data yang beragam. Data tersebut diperoleh dari wawancara anggota keluarga,

registrasi vital, rekam medik, surat pemakaman, pelayanan persalinan tradisional, dan memenuhi beberapa kriteria tertentu (WHO, 2007).

5) Verbal autopsies (Otopsi Verbal)

Pendekatan ini menentukan penyebab kematian melalui wawancara dengan anggota keluarga atau anggota masyarakat, jika sertifikasi medis yang memuat penyebab kematian tidak tersedia. Catatan kelahiran dan kematian yang dikumpulkan secara berkala, termasuk populasi kecil (biasanya di kabupaten), berada di bawah sistem pengawasan demografis yang dikelola oleh lembaga penelitian di negara berkembang (WHO, 2007).

6) Censuses (Sensus)

Sensus nasional dengan penambahan sejumlah pertanyaan yang bisa menghasilkan perkiraan kematian ibu. Pendekatan ini juga mengeliminasi sampling errors, karena semua wanita dimasukkan menjadi sampel sehingga memungkinkan analisis trend. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi kematian di rumah tangga dalam relatif singkat, dalam kurun waktu 1-2 tahun, sehingga didapatkan estimasi kematian maternal terbaru, tetapi dilakukan dengan interval 10 tahun, sehingga membatasi pencatatan kematian maternal. Pelatihan pencacah sangat penting karena kegiatan sensus mengumpulkan informasi tentang berbagai topik lain yang tidak berhubungan dengan kematian ibu. Hasil harus disesuaikan dengan karakteristik seperti kelengkapan statistik kematian dan kelahiran, dan struktur populasi agar didapatkan estimasi yang reliabel (WHO, 2007).

Indonesia belum memiliki sistem statistik secara langsung untuk mengumpulkan informasi terkait AKI. Perkiraan usia spesifik yang bersifat langsung terkait kematian ibu didapat dari laporan dari sanak saudara ibu yang masih hidup yang dikumpulkan dari laporan SDKI secara serial (BAPPENAS, 2010).

2.1.4. Status Kematian Maternal

Meningkatkan kesehatan ibu merupakan salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs). Di bawah MDGs, negara-negara berkomitmen untuk menurunkan angka kematian ibu hingga tiga per empat dalam kurun waktu 1990-2015. Sejak tahun 1990, kematian ibu di seluruh dunia telah turun 47%. Berdasarkan data Maternal Mortality 2005 yang dikeluarkan oleh WHO, UNICEF, UNFPA and The World Bank (2007), diestimasi terjadi 536.000 kematian maternal di dunia setiap tahunnya. Antara tahun 1990 dan 2010, rasio kematian ibu sedunia menurun hanya 3,1% per tahun. Ini jauh dari penurunan tahunan 5,5% yang dibutuhkan untuk mencapai MDGs (WHO, 2012).

AKI menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, namun perlu kerja keras dan perhatian khusus untuk mencapai target MDG sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (BAPPENAS, 2010). Dengan kata lain, kematian ibu masih tinggi. Sekitar 800 wanita di seluruh dunia setiap hari meninggal karena kehamilan atau persalinan. Pada tahun 2010, 287.000 wanita meninggal selama dan setelah kehamilan dan persalinan. Hampir semua kematian terjadi di negara berkembang, dan sebagian besar dapat dicegah. Tingginya jumlah kematian ibu di beberapa wilayah di dunia mencerminkan ketidakadilan dalam akses terhadap pelayanan kesehatan, dan menyoroti kesenjangan antara kaya dan miskin. Hampir semua kematian ibu (99%) terjadi di negara berkembang. Lebih dari separuh kematian ini terjadi di sub-Sahara Afrika dan sepertiga terjadi di Asia Selatan (WHO, 2012).

Rasio kematian ibu di negara berkembang adalah 240 per 100.000 kelahiran, sedangkan di negara maju 16 per 100.000 kelahiran. Ada perbedaan besar dalam suatu negara, antara masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah, serta perbedaan antara orang yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan (WHO, 2012).

Di negara berkembang jumlah rata-rata wanita hamil lebih banyak daripada di negara maju, dan lifetime risk karena kehamilan yang juga lebih tinggi. Risiko kematian ibu tertinggi adalah remaja perempuan di bawah 15 tahun,

1 dalam 3.800 di negara maju, dibandingkan 1 dalam 150 di negara berkembang. Komplikasi pada kehamilan dan persalinan merupakan penyebab utama kematian di kalangan remaja perempuan (WHO, 2012).

2.1.5. Penyebab Kematian Maternal

Menurut Mochtar (1998), penyebab kematian maternal dapat dikelompokkan menjadi:

a. Sebab Obstetri Langsung

Sebab obstetri langsung adalah kematian ibu karena akibat langsung dari penyakit penyulit pada kehamilan, persalinan, dan nifas; misalnya karena infeksi, eklampsi, perdarahan, emboli air ketuban, trauma anastesi, trauma operasi, dan sebagainya.

b. Sebab Obstetri Tidak Langsung

Sebab obstetri tidak langsung adalah kematian ibu akibat penyakit yang timbul selama kehamilan, persalinan, dan nifas. Misalnya anemia, penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, hepatitis infeksiosa, penyakit ginjal, dan sebagainya. Termasuk juga penyakit yang sudah ada dan bertambah berat selama kehamilan.

c. Sebab Bukan Obstetri

Sebab bukan obstetri adalah kematian ibu hamil, bersalin, dan nifas akibat kejadian-kejadian yang tidak ada hubungannya dengan proses reproduksi dan penanganannya. Misalnya karena kecelakaan, kebakaran, tenggelam, bunuh diri, dan sebagainya.

d. Sebab Tidak Jelas

Sebab tidak jelas adalah kematian ibu yang tidak dapat digolongkan pada salah satu yang tersebut di atas. Dari penyebab-penyebab di atas, dapat pula dibagi dalam dua golongan, yaitu:

1) Kematian yang dapat dicegah disebut juga preventable maternal death atau avoidable factors, adalah kematian ibu yang seharusnya dapat dicegah jika penderita mendapat pertolongan atau datang pada saat yang

tepat sehingga dapat ditolong secara profesional dengan fasilitas dan sarana yang cukup.

2) Kematian yang tidak dapat dicegah atau unpreventable maternal death, adalah kematian ibu yang tidak dapat dihindari walaupun telah dilakukan segala daya upaya yang baik.

Penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan, eklampsia atau tekanan darah tinggi saat kehamilan, infeksi, partus lama, komplikasi aborsi (Prawirohardjo, 2008).

2.1.6. Faktor Yang Mempengaruhi Kematian Maternal

Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu adalah sebagi berikut (Mochtar, 1998).

• Faktor Umum

Perkawinan, kehamilan, dan persalinan di luar kurun waktu reproduksi yang sehat, terutama pada usia muda. Risiko kematian pada kelompok umur di bawah 20 tahun dan pada kelompok di atas 35 tahun adalah tiga kali lebih tinggi dari kelompok umur reproduksi sehat, yaitu 20-34 tahun. • Faktor Paritas

Ibu dengan riwayat hamil dan bersalin lebih dari enam kali (grandemultipara) berisiko delapan kali lebih tinggi mengalami kematian. • Faktor Perawatan Antenatal

Kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kandungannya masih rendah. Hal ini menyebabkan faktor risiko yang sebenarnya dapat dicegah menjadi meningkat atau memperburuk keadaan ibu.

• Faktor Penolong

Sekitar 70-80% persalinan masih ditolong oleh dukun beranak. Setelah persalinan terlantar dan tidak dapat maju dengan disertai komplikasi kemudian dikirim ke fasilitas kebidanan yang memadai.

• Faktor Sarana dan Fasilitas

Sarana dan fasilitas rumah sakit, penyediaan darah dan obat-obatan yang murah masih ada yang belum terjangkau oleh masyarakat.

• Faktor Sistem Rujukan

Agar pelayanan kebidanan mudah dicapai, pemerintah telah menetapkan seorang ahli kebidanan di setiap ibu kota kabupaten, namun belum sempurna.

• Faktor Lainnya

Yaitu faktor sosial ekonomi, kepercayaan, budaya. Pendidikan, ketidaktahuan, dan sebagainya.

Faktor-faktor berpengaruh terhadap akses Yankes ibu dan reproduksi adalah sebagai berikut:

o Geografi

o Ekonomi keluarga

o Health seeking care behaviour o SDM kesehatan

o Ketersediaan obat & alat kesehatan o Kebijakan Pemda

Terjadinya kematian ibu terkait dengan faktor penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh perdarahan, eklampsia, dan infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang terkait dengan faktor akses, sosial budaya, pendidikan, dan ekonomi. Kasus 3 Terlambat meliputi:

Terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil keputusan Terlambat dirujuk

Berdasarkan Riskesdas 2010, masih cukup banyak ibu hamil dengan faktor risiko 4 Terlalu, yaitu:

• Terlalu tua hamil (hamil di atas usia 35 tahun) sebanyak 27%

• Terlalu muda untuk hamil (hamil di bawah usia 20 tahun) sebanyak 2,6% • Terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4) sebanyak 11,8%

• Terlalu dekat (jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun)

Hasil Riskesdas juga menunjukkan bahwa cakupan program kesehatan ibu dan reproduksi umumnya rendah pada ibu-ibu di pedesaan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah. Secara umum, posisi perempuan juga masih relatif kurang menguntungkan sebagai pengambil keputusan dalam mencari pertolongan untuk dirinya sendiri dan anaknya. Ada budaya dan kepercayaan di daerah tertentu yang tidak mendukung kesehatan ibu dan anak. Rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi keluarga berpengaruh terhadap masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu, yang pada akhirnya terkait dengan kematian ibu dan bayi (Kemkes, 2011).

2.1.7. Identifikasi Kematian Maternal

Identifikasi kematian ibu adalah langkah awal proses surveilans. Ibu mungkin meninggal di rumah, perjalanan, dan fasilitas kesehatan. Mereka meninggal sebelum, selama, dan sesudah persalinan, bahkan di awal kehamilan (abortus dan kehamilan ektopik). Untuk mendapatkan gambaran yang sebenarnya tentang penyebab kematian maternal, diperlukan kisah lengkap wanita yang meninggal (Hanum, 2008).

Tabel 2.3. Metode identifikasi dan pengkajian kematian maternal

Titik awal pengkajian

Frekuensi pengumpulan data

Berkelanjutan/rutin Waktu tertentu/khusus Otoritas pemerintah Identifkasi

Registrasi vital (pasif-bukan pencarian kasus secara aktif)

Identifikasi

Pencarian aktif kasus-studi khusus menggunakan jalur statistik vital RAMOS sensus

Kajian

Penyidikan rahasia kematian maternal

Kajian

Penyidikan rahasia kematian maternal Masyarakat Identifikasi Sistem surveilans demografi/populasi (jangka panjang) Identifikasi

Survei rumah tangga menggunakan estimasi langsung survei sisterhood RAMOS

Kajian

Otopsi verbal

Kajian

Otopsi verbal Fasilitas kesehatan Identifikasi

Pelaporan petugas kesehatan kajian rekam medik rumah sakit

Identifikasi

Pelaporan petugas kesehatan kajian rekam medik rumah sakit

Kajian

Kajian kasus di tingat fasilitas Audit klinik terhadap kriteria atau standard yang telah disepakati

Kajian

Kajian kasus di tingat fasilitas Audit klinik terhadap kriteria atau standard yang telah disepakati

Sumber: dikutip dari Hanum (2008)

2.1.8. Kebijakan Penurunan Kematian Maternal

Berbagai upaya global untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi baru lahir telah dimulai sejak Konferensi Internasional tentang kematian ibu di Nairobi, Kenya pada tahun 1987 yang melahirkan Safemotherhood Initiative. Pada tahun 1990 , diselenggarakan World Summit for Children di New York, USA yang diantaranya menghasilkan kesepakatan untuk menurunkan angka kematian

ibu menjadi separuhnya pada tahun 2000. Pada International Conference on Population and Development (ICPD) 1994 di Kairo, Mesir dihasilkan kesepakatan mengenai hak reproduksi. Pada tahun 1999, dicanangkan suatu strategi Making Pregnancy Safer (MPS) sebagai bagian dari program Safemotherhood (Zulfayanti, 2012).

Pesan-pesan kunci MPS adalah setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat, setiap perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran (Pusianawati, 2012).

Visi dari MPS adalah semua perempuan di Indonesia dapat menjalani kehamilan dan persalinan dengan aman dan bayi dilahirkan hidup dan sehat. Dan misi MPS adalah menurunkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir melalui pemantapan sistem kesehatan untuk menjamin akses terhadap intervensi yang cost effective berdasarkan bukti ilmiah yang berkualitas; memberdayakan perempuan, keluarga dan masyarakat; mempromosikan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang lestari sebagai suatu prioritas dalam program pembangunan nasional. Adapun tujuan MPS adalah menurunkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia (Pusianawati, 2012).

Di Indonesia juga telah dibuat berbagai program kesehatan reproduksi yang diadaptasi dari berbagai kebijakan internasional. Pendidikan dan Penelitian Bidan di Desa (1990-1996) dan Akselerasi Penurunan AKI (1996), dijalankan sebagai kebijakan Menteri Kesehatan untuk mempercepat pengurangan AKI, untuk melatih dan menyebarkan sejumlah bidan desa untuk memberikan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) berbasis desa. Tujuannya adalah meningkatkan akses perempuan terhadap petugas yang terampil. Gerakan Sayang Ibu (1996) bertujuan memobilisasi masyarakat dan pelayanan kesehatan untuk mengatasi tiga keterlambatan dalam keadaan darurat obstetri dan neonatal (terlambat membuat keputusan, terlambat merujuk, terlambat mendapat penanganan di fasilitas kesehatan). Gerakan ini meningkatkan akses ibu hamil untuk mendapatkan perawatan, dan rujukan dari obstetri dan neonatal. Sejak tahun

2000, pemerintah juga telah menggulirkan Paket Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE) dan Paket Kesehatan Reproduksi Komprehensif (PKRK) dengan dua tambahan program, yaitu Kesehatan Pascamenopause dan Onkologi Reproduksi. PKRE sendiri terdiri dari empat program, yaitu:

1. Kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir (KIBBL) 2. Keluarga Berencana (KB)

3. Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) 4. Pencegahan Penyakit Menular Seksual

Strategi operasional yang dilakukan Kementerian Kesehatan dalam penurunan angka kematian ibu adalah sebagai berikut (Kemkes, 2011).

1. Pengguatan puskesmas dan jaringannya

2. Penguatan manajemen program dan sistem rujukannya

3. Meningkatkan peran serta masyarakat kerjasama dan kemitraan 4. Kegiatan akselerasi/inovasi

5. Jaminan persalinan

6. Bantuan Operasional Kesehatan (BOK)

Secara umum, upaya-upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan karena masalah kesehatan reproduksi sangat kompleks. Tidak hanya berasal dari masalah kesehatannya saja, tetapi merupakan gabungan masalah sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, pendidikan, pemerintahan, dan faktor lainnya (Zulfayanti, 2012).

2.1.9. Upaya Pencapaian MDGs di Indonesia

Di Indonesia, pelaksanaan dan pelaporan pencapaian MDGs dikoordinasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Beberapa upaya dilakukan oleh pemerintah dalam percepatan pencapaian MDGs diantaranya dengan penyusunan Peta Jalan Percepatan Pencapaian MDGs di seluruh Indonesia. Pemerintah provinsi menyiapkan Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian MDGs. Upaya lainnya yaitu dengan menguatkan mekanisme

perluasan inisiatif Corporate Social Responsibility (CSR) dan meningkatkan kerja sama terkait konversi utang dengan negara-negara kreditor. Namun, masih diperlukan upaya keras untuk mencapai target menurunkan angka kematian ibu dari 390 pada tahun 1991 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015 (Zulfayanti, 2012).

Peningkatan akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas untuk ibu dan anak., terutama selama dan segera setelah melahirkan merupakan hal yang mendesak untuk segera dipenuhi. Untuk itu pemerintah menggulirkan beberapa kebijakan yang mendukung upaya ini, seperti program Jaminan untuk Persalinan (JAMPERSAL). Dengan program ini diharapkan pertolongan persalinan seluruhnya dapat ditangani di fasilitas kesehatan oleh tenaga terlatih (Zulfayanti, 2012).

Pemerintah juga perlu meningkatkan sistem pemantauan untuk mencapai tujuan MDG kelima. Peningkatan sistem pendataan terutama aspek manajemen dan aliran informasi, terutama data dasar infrastruktur kesehatan, serta koordinasi antara instansi terkait dengan masyarakat juga perlu ditingkatkan untuk menghindari data yang tumpang tindih dan kegiatan yang tidak tepat sasaran, sehingga peningkatan kesehatan ibu dapat dicapai dengan efektif dan efisien (Zulfayanti, 2012).

Dalam rangka percepatan penurunan AKI guna mencapai target MDGs tahun 2015, Direktorat Bina Kesehatan Ibu telah merumuskan skenario percepatan penurunan AKI sebagai berikut (Kemkes, 2011):

• Target MDG 5 akan tercapai apabila 50% kematian ibu per provinsi dapat dicegah/dikurangi.

• Kunjungan antenatal pertama (K1) sedapat mungkin dilakukan pada trimester pertama, guna mendorong peningkatan cakupan kunjungan antenatal empat kali (K4).

• Bidan Di Desa sedapat mungkin tinggal di desa, guna memberikan kontribusi positif untuk pertolongan persalinan serta pencegahan dan penanganan komplikasi maternal.

• Persalinan harus ditolong tenaga kesehatan dan sedapat mungkin dilakukan di fasilitas kesehatan.

• Pelayanan KB harus ditingkatkan guna mengurangi faktor risiko 4 Terlalu. • Pemberdayaan keluarga dam masyarakat dalam kesehatan reproduksi

responsif gender harus ditingkatkan untuk meningkatkan health care seeking behaviour.

Dokumen terkait