• Tidak ada hasil yang ditemukan

= ∑ [ nN lni nN ]i s �= Keterangan :

H’ = Indeks keragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu spesies

N = Jumlah individu seluruh spesies S = Jumlah spesies

3. Kemerataan Spesies

Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (Evenness). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan rumus:

E=H'/ ln S

Keterangan :

16

S = Jumlah spesies

E = Indeks kemerataan spesies (Evenness) d. Asosiasi Spesies

Asosiasi spesies dapat dapat didefinisikan sebagai tingkat ketergantungan suatu spesies terhadap spesies lainnya dalam melangsungkan kehidupannya atau tingkat seringnya dua spesies atau lebih menggunakan sumberdaya yang sama. Asosiasi antar dua spesies dilihat dari present dan absent spesies pada plot pengamatan dengan menggunakan tabel kontingensi berikut:

Tabel 3 Tabel kontingensi asosiasi antar spesies

Spesies X Dyera costulata Jumlah

Ada Tidak ada

Ada A b a+b

Tidak Ada C d c+d

Jumlah a+c b+d N

Frekuensi harapan (Ei) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

� = + + � = + +

� = + + = + +

Asosiasi pohon jelutung (Dyera costulata) dengan spesies lainnya diukur melaluli perhitungan uji hipotesis chi-square sebagai berikut:

Hipotesis pada uji chi-square

H0 : Tidak terdapat asosiasi antar dua spesies H1 : Terdapat asosiasi antardua spesies

� = ∑ � − ����

Keterangan:

Oi = Frekuensi data hasil Observasi Ei = Frekuensi harapan

Kriteria uji statistic chi-square

Jika � hitung ≤ � . 5 maka terima H0

Jika � hitung >� . 5 maka tolak H0

Tingkat asosiasi dari dua spesies diukur dengan menggunakan Indeks Jaccard (Ludwig dan Reynold 1988) dengan rumus sebagai berikut:

=

17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Etnobotani Jelutung oleh Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Karakteristik masyarakat SAD di Hutan PT REKI

Kawasan hutan PT REKI merupakan kawasan IUPHHK-RE. Kawasan ini merupakan kawasan hutan alam sekunder dataran rendah eks-areal HPH PT Asialog dan eks-areal HPH PT Inhutani V. Kawasan ini ditetapkan melalui Menteri Kehutanan Nomor : 327/Menhut-II/2010 tanggal 25 Mei 2010 bahwa kepada PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) diberikan hak untuk mengelola areal IUPHHK-RE pada areal seluas 46 385 ha yang berlokasi di wilayah Provinsi Jambi. Lokasi areal tersebut saat ini termasuk dalam wilayah Kebupaten Sarolangun dan Kabupaten Batanghari. Berdasarkan jumlah luas kawasan hutan yang dimohon adalah ± 49 185 ha sebagian besar arealnya merupakan eks-areal HPH PT Asialog yakni seluas ± 40 705 ha dan sisanya seluas ± 8 480 ha adalah eks-areal HPH PT Inhutani V.

Masyarakat SAD yang tinggal di kawasan hutan PT REKI telah tinggal sejak kawasan masih dikelola oleh HPH PT Asialog sekitar tahun 1969. Data mengenai etnobotani jelutung SAD diperoleh dari 15 responden masyarakat SAD yang berpengalaman menyadap jelutung. Responden yang diwawancarai seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dengan selang umur 25 – 75 tahun. Pekerjaan reponden bervariasi, tetapi pekerjaan dominan adalah petani dan pekerja di perusahaan sawit PT Asiatic yang berdekatan dengan kawasan PT REKI. Demografi masyarakat SAD pada tahun 2013 di kawasan PT REKI terdiri dari 90 KK dengan 378 jiwa. Masyarakat SAD yang berpengalaman menyadap jelutung memiliki pengetahuan tradisional dalam mengelola dan memanfaatkan jelutung. Demografi masyarakat adat Suku Anak Dalam di Kawasan PT REKI disajikan pada Tabel 4:

Tabel 4 Demografi masyarakat SAD di PT REKI tahun 2013

Sumber: Dokumen PT REKI (2013)

Pola hidup Suku Anak Dalam selalu berpindah-pindah di dalam hutan sehingga tidak dapat diketahui pasti jumlah dan lokasi pemukimannya. Masyarakat Anak Dalam adalah masyarakat yang berpindah-pindah ke berbagai lokasi untuk berkebun atau berladang, berburu satwa, meramu obat-obatan,

Nama Kelompok/Pemukiman Populasi

Rumah Tangga Orang Rata-Rata

Alif 6 27 4.5

Amir 20 76 3.8

Basri 5 21 3.5

Gelinding 1 5 5

Mitrazone 20 95 4.7

Simpang Macan Dalam 21 79 3.7

Simpang Macan Luar 13 54 4.1

Tanding 4 21 5.2

18

berkebun atau berladang yang dilakukan dengan sistem perladangan berpindah dengan siklus tertentu (Setyowati 2003).

Menurut PT REKI (2012) diduga suku Anak Dalam ini hidup di hulu-hulu sungai Meranti, Kapas, dan Lalan, karena daerah ini cukup terisolasi dan kondisi hutannya relatif masih cukup terjaga dengan baik. Ditemukan tujuh titik lokasi Suku Anak Dalam di dalam areal restorasi ekosistem yaitu di Kelompok hutan Hulu Sungai Kandang di bagian Utara dan Timur laut sebanyak 3 titik dan di bagian Barat lokasi yakni di kelompok hutan hulu Sungai Lalan dan di Kelompok hutan Sungai Badak sebanyak 4 titik. Bahasa dan adat istiadat yang digunakan warga desa-desa sekitar areal lokasi restorasi ekosistem adalah adat istiadat melayu Jambi, sedangkan agama yang mereka anut sebagian besar adalah agama Islam.

Pengetahuan mengenai morfologi jelutung

Masyarakat SAD memiliki pengetahuan mengenai morfologi jelutung. Karakteristik luar yang nampak dari pohon jelutung dapat digunakan untuk mengenali pohon jelutung di hutan. Berdasarkan wawancara terhadap masyarakat SAD pohon jelutung memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Tabel 5 Ciri morfologi jelutung berdasarkan pengetahuan masyarakat SAD

Bagian Bentuk Ukuran Warna Bau khas Rasa

Batang Silindris, bervariasi lurus atau bengkok Besar (diameter dapat mencapai 300 cm) Kelabu kehitaman

Tidak ada Tidak ada

Daun Panjang dan lebar, ujung daun

melebar

Hijau Tidak ada Tidak ada

Bunga - Kecil Putih Tidak ada Tidak ada

Buah Lonjong Besar Hijau,

coklat apabila sudah matang - - Akar - - - - -

Getah Cair - Putih Tidak ada Tidak ada

Keterangan: - : tidak tahu/tidak teridentifikasi

Masyarakat SAD mengenal dua jenis jelutung yaitu jelutung rawa atau jelutung payau dan jelutung darat atau jelutung kapur. Dua jenis jelutung dapat dibedakan secara mudah dari bentuk daunnya. Jelutung darat memiliki daun lebih lebar, daun lebih tipis dan ujung daun meruncing. Selain perbedaan dari bagian daun, masyarakat SAD membedakan jelutung dari batangnya. Jelutung rawa memiliki batang hitam, daun halus, kulit kayu keras sedangkan jelutung darat batangnya memiliki bercak putih dan kulit kayu lembut/lunak serta tumbuh di daerah rawa atau payau. Jumlah getah yang dihasilkan oleh jelutung darat dan

19 jelutung rawa relatif sama, tetapi tekstur jelutung rawa lebih encer karena mengandung banyak air. Masyarakat SAD tidak memilih-milih jenis jelutung mana yang sering disadap, masyarakat menyamakan kedua jenis jelutung yaitu jelutung rawa dan jelutung darat dalam hal pemilihan pohon yang akan disadap.

Masyarakat SAD di PT REKI memiliki pengetahuan untuk mengenali pohon jelutung di alam dan dapat membedakan dua jenis jelutung berdasarkan morfologi pohon jelutung. Mengenali karakteristik morfologi jelutung dialam bermanfaat bagi masyarakat untuk membedakan pohon yang memiliki getah yang banyak. Tata et al. (2015a) juga mengungkapkan bahwa penyadap jelutung dapat mengenali pohon jelutung yang menghasilkan getah melimpah berdasarkan morfologi kulit batang dan tunas muda. Karakteristik tersebut yaitu tunas muda yang berwarna merah dan kulit batang tipis yang kehitam-hitaman dan lunak sampai agak kasar.

Pengetahuan mengenai pemanfaatan jelutung

Masyarakat SAD di PT REKI memanfaatkan jelutung secara subsisten dan komersial. Pemanfaatan subsisten yang dilakukan oleh masyarakat SAD adalah untuk obat dan pemanfaatan kayu, tetapi pemanfaatan tersebut persentasenya lebih rendah apabila dibandingkan dengan pemanfaatan jelutung secara komersial. Dahulu, jelutung dimanfaatkan getahnya untuk menjadi komoditi yang bernilai ekonomi. Persentase pemanfaatan jelutung oleh masyarakat SAD disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Persentase pemanfaatan jelutung

Kayu jelutung dapat digunakan sebagai bahan baku perkakas dan perabotan rumah biasanya digunakan untuk salon (speaker), meja, lemari. Kayu jelutung tidak dapat digunakan sebagai konstruksi rumah karena kayu yang cepat lapuk. Kayu jelutung bisa dimanfaatkan sebagai papan tetapi kayu jelutung tidak cukup bagus untuk papan rumah karena lunak dan mudah dimakan oleh kumbang yang melubangi kayu. Menurut Williams (1963) kayu jelutung tidak cocok digunakan untuk tujuan konstruksi, karena kayu jelutung tidak kuat, daya tahan yang rendah, rentan terhadap serangan kumbang penggerek dan khususnya rentan terhadap rayap jika kontak dengan tanah.

Beberapa responden menyebutkan bahwa jelutung bisa dijadikan sebagai obat. Getah jelutung dapat digunakan sebagai obat sakit gigi dan bisul. Getah langsung dioleskan ke bisul yang sakit. Hal tersebut sama dengan kelompok masyarakat SAD di Taman Nasional Bukit Duabelas yang menjelaskan bahwa getah jelutung dapat mengobati bisul dengan cara dioleskan langsung pada bisul (Andhika 2015). Daun jelutung juga dapat digunakan sebagai obat. Ekstrak daun jelutung mengandung antioksidan (Subhadhirasakul et al. 2003), sebagai

0 20 40 60 80 100 Obat Perkakas/papan Komoditas ekonomi Daun Getah Kayu

20

analgesik dan mengandung bahan kimia potensial quercetin sebagai hypoallergenic, anticancer, antiosteoporosis, antiinflammatory, antispasmodic, dan antihepatotoxyc (Reanmongkol et al. 2002).

Saat ini, seluruh responden sudah tidak lagi menyadap jelutung untuk kebutuhan komersial. Alasan tidak menjual lagi getah jelutung karena pasarnya yang tidak ada lagi. Hal tersebut disebabkan karena tidak ada yang membeli getah jelutung. Selain itu, harga jelutung yang murah dan berfluktuatif menjadikan masyarakat tidak lagi menyadap jelutung, Padahal biaya opersional penjualan jelutung cukup besar. Penyebab lainnya adalah adanya komoditi lain yang menggantikan jelutung sebagai komoditi utama seperti rotan. Masyarakat SAD juga memiliki pekerjaan lain seperti bekerja di perkebunan kelapa sawit sehingga tidak menyadap lagi jelutung. Masyarakat juga sangat jarang memanfaatkan jelutung sebagai obat dan untuk kebutuhan perkakas. Sehingga pemanfaatan jelutung oleh masyarakat SAD di PT REKI sangat rendah.

Stimulus manfaat dari jelutung sudah tidak dirasakan lagi oleh masyarakat SAD, menyebakan terjadinya perubahan pandangan masyarakat terhadap jelutung. Padahal masyarakat SAD merupakan masyarakat tradisional yang dari skala kecil yang berperan dalam perdagangan getah dunia. Masyarakat SAD sejak dahulu menilai jelutung dari sisi ekonomi. Sehingga apabila nilai ekonominya hilang maka nilai manfaat jelutung bagi masyarakat telah menurun.

Pengetahuan pemanfaatan hasil hutan lain

Masyarakat SAD juga memanfaatkan hasil hutan lainnya seperti tumbuhan obat dan tumbuhan pangan. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh tumbuhan obat yang biasa digunakan oleh masyarakat SAD sebanyak 55 spesies tumbuhan. Disamping itu, tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat SAD adalah sebanyak 40 spesies. Spesies tumbuhan obat yang bisa digunakan oleh masyarakat SAD adalah pasak bumi (Eurycoma longifolia) yang digunakan untuk mengobati demam kuro (malaria). Kandungan kimia dari pasak bumi yaitu zat-zat eurikomlakton, laurikolakton A, B, dihidroeurikomalakton, eurikomanon, eurikomanol, benzowi-non, sterol, saponin dan asam lemak sterol ester (Adriyanti et al. 2014). Selain pasak bumi, tumbuhan lainnya yang berasal dari hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat SAD adalah kulit kayu dari pohon berumbung (Calophyllum pulcherrimum) yang bermanfaat untuk mengobati demam, buah dari pohon merpayang (Scaphium macropodum) untuk mengobati panas dalam. Penelitian Somboonpanyakul et. al (2006) terhadap kandungan kimia terhadap buah Scaphium scaphigerum, menunjukkan bahwa buah Scaphium scaphigerum yang diekstrak berisi karbohidrat (62%) tinggi, monosakarida konstituen utama yaitu arabinosa, galaktosa dan rhamnose dengan asam uronic, glukosa dan xilosa.

Tumbuhan pangan yang banyak diambil dari hutan adalah jenis buah-buahan seperti buah tampoi (Baccaurea macrocarpa). Buah tampoi ini mirip dengan buah menteng. Masyarakat SAD mengkonsumsi buah tampoi sebagai makanan pelengkap. Buah tampoi atau tampui atau di Kalimantan disebut buah kapul dimanfaatkan juga oleh masyarakat. Menurut Akhmadi dan Sumarmiyati (2015) termasuk dalam buah indigenous, dianggap sebagai buah pinggiran dan manfaat nutrisi di dalamnya dianggap kurang penting. Selain tampoi, buah lain yang dimanfaatkan oleh masyarakat SAD adalah durian hutan (Durio griffithii), cempedak (Artocarpus integer), keranji (Dialium indum) dan lain-lain. Makanan

21 pokok masyarakat SAD biasanya adalah padi dan umbi-umbian yang ditanam di kebun campuran yang mereka buat di dekat rumahnya.

Kawasan PT REKI juga memiliki hasil hutan bukan kayu yang potensial dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu gaharu (Aquilaria microcarpa). Disisi lain masyarakat telah memanfaatkan jernang (Daemonorops Sp.) karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Masyarakat menjual jernang dalam keadaan basah maupun dalam keadaan yang telah dioleh dalam bentuk serbuk. Harga jernang yang telah diolah menurut masyarakat dapat mencapai Rp 1 000 000,-.

Gambar 9 (a) Eurycoma longifolia (b) Scaphium macropodum (c) Dialium indum (d) Aquilaria microcarpa

Pengetahuan mengenai penyadapan getah jelutung

Mayarakat SAD menyadap jelutung di dalam hutan yang dilakukan di pagi hari, sekitar jam 6.00-10.00. Sama halnya dengan kegiatan menyadap jelutung di wilayah Tanjung Jabung yaitu, dimulai pada pukul 06.00 (Tata et al. 2015a). Kegiatan menyadap getah jelutung harus dilakukan di pagi hari, karena getah jelutung akan keluar sedikit jika kegiatan menyadap dilakukan siang hari. Menyadap jelutung dilakukan secara individu dan dilakukan dengan memulai menyadap dari pohon yang paling ujung atau jauh, kemudian kembali ke awal jalur rintis. Sehingga, biasanya masyarakat membuat pondok dalam hutan dan bermalam di pondok tersebut saat kegiatan menyadap jelutung berlangsung, karena jarak ke lokasi penyadapan dapat mencapai 3 km dari pondok yang di hutan.

Menyadap jelutung dapat dilakukan setiap hari, tetapi dalam rentang waktu satu minggu kegiatan menyadap tidak dilakukan selama satu hari untuk

(a) (b)

22

memulihkan kondisi pohon dan agar getah jelutung mudah keluar. Selama masa istirahat tersebut merupakan waktu untuk memulihkan kulit batang jelutung (Tata et al. 2015a), tetapi menurut Williams (1963) dalam beberapa kejadian, kematian jelutung masih saja bisa terjadi. Hal tersebut dikarenakan kayu jelutung dapat dengan mudah diserang hama penggerek batang dan jamur yang dapat meyebabkan produksi getah jelutung berangsur menurun.

Setiap orang SAD memiliki wilayah masing-masing untuk menyadap jelutung yang tidak bertumpang tindih dengan wilayah orang SAD lainnya. Kepemilikan pohon jelutung tidak secara individu, melainkan bersifat komunal. Walaupun tidak terdapat aturan adat yang mengikat, masyarakat SAD memiliki kearifan dalam kegiatan menyadap jelutung. Hak klaim pohon jelutung yang akan disadap yaitu berdasarkan penemuan pertama pohon jelutung. Kemudian masyarakat membuat jalur-jalur rintisan untuk menemukan individu pohon jelutung lainnya yang akan disadap. Jumlah pohon yang akan disadap tergantung pada kelimpahan jelutung yang terdapat pada jalur rintisan. Masyarakat SAD dalam sehari bisa menyadap 20-40 pohon jelutung. Williams (1963) bahkan menyebutkan bahwa penyadap jelutung dapat menyadap pohon jelutung setiap harinya sekitar 50 pohon. Cara-cara penentuan lokasi dan pemilihan pohon jelutung yang dilakukan oleh masyarakat SAD di PT REKI sama dengan kegiatan menyadap jelutung di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Menurut Tata et al. (2015a) penyadap tradisional di Tanjung Jabung Barat memiliki aturan terhadap kepemilikan pohon jelutung. Setiap penyadap memiliki hak klaim secara individu dalam pembuatan jalur rintis dan jumlah pohon dalam jalur rintis yang akan disadap. Jumlah jalur yang menjadi jalur rintisan jelutung antara 10-16 jalur atau antara 10-40 jalur. Jumlah tersebut berdasarkan pada kepadatan pohon jelutung di hutan dan jumlah penyadap dalam kelompok.

Alat yang digunakan pisau sadap khusus jelutung, lebih besar dari pisau sadap karet. Menurut masyarakat SAD, dahulu alat yang digunakan untuk menyadap jelutung adalah menggunakan parang atau golok. Menurut Williams (1963) alat yang digunakan untuk menyadap jelutung adalah dengan

menggunakan “parang”, yaitu pisau besar dan panjang.

Teknik menyadap jelutung yang dilakukan oleh masyarakat yaitu, pada bagian belakang alur sadapan tidak boleh saling bertemu atau terputus. Hal tersebut dikarenakan, jika pada bagian belakang terputus atau saling bertemu dapat menyebabkan pohon jelutung mati. Setiap pohon jelutung dibuat 2-5 alur atau plat sadapan. Getah ditampung di jirigen berukuran 20 liter atau plastik, dulu tempat menampung getah menggunakan bambu atau menggunakan daun nipah. Cara mengangkut getah dipikul dengan menggunakan tali yang disebut dengan galas.

Hasil getah jelutung bervariasi, tergantung dari ukuran pohon dan cara menyadap jelutung. Masyarakat SAD menyadap pohon jelutung secara tradisional dengan menggunakan pisau jelutung membentuk pola sadapan seperti huruf V (Gambar 10). Sama halnya dengan yang dilaporkan oleh Bastoni (2014) dan Williams (1963), teknik penyadapan getah tradisional dengan cara membuat sayatan pada kulit batang pohon yang membentuk huruf V pada ketinggian 4 kaki dengan besar sudut 45°. Satu pohon jelutung bisa menghasilkan 1 kg dengan produktivitas getah 20-30 kg/ hari dari 20-30 pohon jelutung dengan membuat 2-5 alur sadapan pada setiap pohon. Menurut masyarakat semakin besar diameter

23 pohon maka akan semakin banyak getah yang dihasilkan. Hasil uji Pearson Correlation terdapat hubungan antara diameter pohon jelutung dengan hasil getah (P=0.05, sig=0.026).

Masyarakat SAD tidak memperhatikan metode dan arah sadap ketika menyadap jelutung untuk menghasilkan getah yang banyak. Masyarakat hanya menyadap pohon jelutung dengan metode pola V saja yang diperoleh secara turun temurun. Padahal menurut (Waluyo et al. 2012) perbedaan metode sadap berpengaruh sangat nyata terhadap produksi getah, sedangkan arah sayatan (ke atas dan bawah) dan interaksi antara metode sadap dengan arah sayatan tidak mempengaruhi produksi getah. Tasman (1999) diacu dalam Bastoni (2014) juga menjelaskan bahwa penyadapan getah jelutung yang terbaik dilakukan pada pohon dengan diameter di atas 25 cm, periode sadap 2 hari, dan sudut bidang sadap 45o, mengahsilkan rata-rata getah sebesar 1.37ton/ha/tahun dengan penurunan riap diameter pohon jelutung akibat sadapan rata-rata sebesar 0.34 cm/tahun.

Gambar 10 Pola sadapan jelutung Pengetahuan proses pengolahan getah jelutung

Masyarakat SAD melakukan proses pengolahan getah setelah getah hasil sadapan dikumpulkan. Setelah getah terkumpul, getah dimasak (dikentalkan) di pondok sebelum di jual. Masyarakat SAD mengenal dua jenis getah jelutung yang sudah diolah atau dimasak, yaitu jelutung tahu dan jelutung balam. Kedua jenis getah jelutung ini dibedakan berdasarkan cara memasak atau proses pengentalan getah dan bentuk akhir dari proses pengentalan getah. Disebut jelutung tahu karena bentuk jelutung hasil olahan berbentuk balok seperti tahu.

Proses pemasakan jelutung tahu dilakukan dengan cara menuangkan getah hasil sadapan pada papan kayu berbentuk segiempat. Setelah getah dituangkan kedalam papan, getah dicampur dengan cuka (asam asetat) getah yang berfungsi untuk mengentalkan getah. Satu dirijen getah jelutung dicampur dengan satu loki cuka. Setelah dicampur dengan cuka, getah kemudian diaduk hingga getah menjadi kental. Kemudian getah yang telah kental disiram dengan air panas kemudian digilas dengan menggunakan botol agar permukaan getah padat dan rata. Getah yang dihasilkan berbentuk balok dengan tekstur yang lunak dan mudah rusak (Gambar 11).

24

Gambar 11 Diagram alir pengolahan getah jelutung tahu

Sama halnya dengan yang diungkapakan Tata et al. (2015a), bahwa getah jelutung sebelum dijual diproses terlebih dahulu yaitu, pengentalan (coagulation), pemasakan (boiling), dan penekanan (pressing). Satu liter getah ditambahkan 5 gram asetic acid untuk menggumpalkan getah. Getah digumpalkan dan dibentuk menjadi kubik sampai satu malam, kemudian dicampur dengan air panas untuk meningkatkan proses pembekuan. Setelah itu, balok-balok getah ditekan menggunakan botol atau pipa silindris untuk membuang air dalam balok getah. Kemudian getah siap dijual kepada tengkulak.

Getah jelutung balam atau getah masak press dimasak di atas tungku api. Getah yang sudah terkumpul dimasukkan kedalam panci kemudian di campur cuka, air dari kulit batang pohon tampoi (Baccaurea macrocarpa), dan sedikit air. Getah diaduk hingga rata dan mengental. Setelah getah mengental, getah diangkat dari panci kemudian diinjak-injak sebanyak 3 kali agar getah menjadi padat dan getah dibentuk seperti oval. Getah jelutung balam ini memiliki tekstur yang keras dan berwarna kemerahan karena dicampur dengan kulit batang pohon tampoi (Baccaurea macrocarpa). Getah jelutung balam apabila dibanting tidak akan pecah. Getah jelutung sebanyak 20 liter apabila dimasak menjadi jelutung akan menghasilkan 30 kg getah olahan, sedangkan jelutung pres atau balam menyusut menjadi 10 kg atau 6 kg. Kualitas dan kuantitas produk bergantung pada spesies jelutung, umur pohon, variasi musim, kondisi cuaca saat menyadap, dan ketelitiaan saat pengentalan getah. (Williams 1963). Proses pemasakan jelutung press atau balam disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Proses pemasakan getah jelutung press

Setelah getah jelutung dimasak, getah jelutung tahu maupun jelutung pres/balam disimpan di dalam sungai. Getah ditambatkan menggunakan tali atau rotan pada samping sungai. Getah jelutung tahu apabila mengandung banyak

Pencetakan di papan segi empat Pencampuran getah dan acetic acid Pengadukan Pengentalan Pemasakan Penekanan

Pencampuran getah dengan kulit batang Baccaurea

macrocarpa Pemasakan di atas tungku api Pencampuran getah dan asetic acid Pengadukan Pengentalan Penekanan Getah dibentuk

25 kadar air getah akan tenggelam di dasar sungai, sedangkan getah yang mengandung sedikit kandungan air akan melayang di sungai. Penyimpanan ini dilakukan sebelum getah jelutung dijual.

Pengetahuan mengenai perdagangan getah jelutung

Perdagangan getah jelutung meliputi tingkat desa sampai tingkat provinsi. Getah jelutung yang dikumpulkan dari hutan kemudian melalui proses pengolahan dan penyimpanan terlebih dahulu sebelum dijual. Setelah getah diolah dan disimpan, getah. mengumpulkan getah jelutung pada tingkat desa di kawasan PT REKI yaitu Desa Bungku untuk diangkut bersamaan dalam satu kendaraan untuk dijual. Hal ini bertujuan agar biaya transportasi tidak terlalu tinggi bagi masing-masing penyadap. Getah kemudian dijual ke pengepul (tokeh) di beberapa daerah di Provinsi Jambi. Alur perdagangan getah jelutung disajikan pada Gambar 13.

Peran masyarakat SAD dalam perdagangan getah jelutung berhenti sampai penjualan getah pada pengepul. Dari tingkat provinsi inilah getah di impor ke negara-negara lain. Getah jelutung diekspor kebeberapa tujuan negara, yaitu Singapuram Prancis, dan Jepang (Harun 2015). Negara terpenting bagi ekspor getah jelutung adalah Singapura, yang mengolah getah jelutung yang berkadar air rendah dan menjadi balok-balok berukuran tertentu untuk diekspor kembali ke Eropa dan Amerika Serikat.

Gambar 13 Alur perdagangan getah jelutung

Penjualan getah jelutung dulu yang dilakukan oleh masyarakat SAD masih

Dokumen terkait