• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etnobotani Jelutung (Dyera Costulata (Miq.) Hook F) Pada Masyarakat Suku Anak Dalam Di Hutan Pt Restorasi Ekosistem Indonesia (Pt Reki), Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Etnobotani Jelutung (Dyera Costulata (Miq.) Hook F) Pada Masyarakat Suku Anak Dalam Di Hutan Pt Restorasi Ekosistem Indonesia (Pt Reki), Jambi"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

ETNOBOTANI JELUTUNG (

Dyera costulata

(Miq). Hook F) PADA

MASYARAKAT

SUKU ANAK DALAM

DI HUTAN PT RESTORASI

EKOSISTEM INDONESIA (PT REKI), JAMBI

RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Etnobotani Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di Hutan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2016

(4)

RINGKASAN

RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI. Etnobotani Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di Hutan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi. Dibimbing oleh ERVIZAL AM. ZUHUD dan ISKANDAR ZULKARNAIN SIREGAR.

Jelutung (Dyera costulata) merupakan native spesies yang berasal dari Sumatera dan Kalimantan. Jelutung memiliki banyak kegunaan, kegunaan utama dari jelutung adalah getahnya sebagai bahan baku industri. Suku Anak Dalam pernah memanfaatkan jelutung di PT-REKI. Populasi jelutung di habitat alaminya telah mengalami penurunan serta pasar jelutung sudah tidak menjanjikan lagi. Usaha-usaha yang dilakukan masih belum banyak didokumentasikan termasuk aspek etnobotani, kondisi populasi serta tempat tumbuh yang sesuai. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk (1) mengidentifikasi etnobotani jelutung (Dyera costulata) oleh Suku Anak Dalam (SAD), Jambi yang meliputi nilai budaya, pemanfaatan atau penggunaan, budidaya, dan pengelolaan jelutung (2) menduga potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan ekologi jelutung meliputi kondisi tanah, suhu dan kelembaban, sebaran spasial jelutung dan asosiasi interspesifik jelutung, dan keanekaragaman tumbuhan disekitarnya.

Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015 di hutan PT REKI, Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Metode pengumpulan data yaitu dilakukan dengan wawancara kepada masyarakat SAD dan analisis vegetasi pada plot pengamatan seluas 2 ha. Analisis data mengenai etnobotani jelutung dilakukan secara deskriptif. Analsis data vegetasi dilakukan dengan menggunakan kerapatan relatif, Indeks Shanon-Wiener, Indeks Margaleff, Indeks Evenness, Indeks Morisita, dan Indeks Jaccard.

Hasil penelitian menunjukaan bahwa, saat ini masyarakat SAD di hutan PT REKI tidak lagi menyadap jelutung dikarenakan pasar jelutung yang tidak ada dan tidak menjanjikan lagi. Jelutung (Dyera costulata) memiliki kegunaan sebagai obat bisul dan sakit gigi, bahan baku papan, dan getahnya sebagai komoditi ekonomi. Masyarakat SAD memiliki pengetahuan dan keterampilan mengenai ekologi, pemanfaatan, pengolahan, hingga pemasaran jelutung.

Kondisi tegakan jelutung di alam dalam kategori kondisi tidak baik. Hal ini dikarenakan kurva spesies tidak menunjukkan kurva J terbalik. Anakan jelutung jumlahnya sedikit sehingga mengancam keberadaan populasi. Jelutung dapat tumbuh pada suhu 23oC -28oC dan kondisi tanahyang termasuk dalam kategori pH sangat rendah dan miskin hara.Kekayaan spesiestingkat pohon lebih tinggi dari tiap tingkat pertumbuhan lainnya.Berdasarkan perhitungan Indeks Morisita sebaran spasial tumbuhan jelutung adalah merata. Jelutung berasosiasi dengan Antidesma cuspidatum dengan indeks asosiasi Jaccard sebesar 0.2308.

Berdasarkan informasi etnobotani dan ekologi, diusulkan strategi konservasi jelutung yang dapat dilakukan adalah konservasi bersama masyarakat SAD, agroforestri jelutung, dan perbaikan pemasaran getah jelutung. Dengan begitu jelutung (Dyera costulata) dapat di konservasi dan berkontribusi bagi lingkungan (ekologi), sosial, dan ekonomi masyarakat SAD yang berkelanjutan.

(5)

SUMMARY

RAHILA JUNIKA TANJUNGSARI. Ethnobotany of Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook F) on Suku Anak Dalam at forest PT REKI, Jambi. Supervised by ERVIZAL AM. ZUHUD and ISKANDAR ZULKARNAIN SIREGAR.

Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook. F) is a native species from Sumatra and Borneo and it has various benefit. Suku Anak Dalam is one of the traditional community that was utilized jelutung in forest PT REKI. The main use of jelutung is the latex as industrial raw materials. Jelutung population in natural habitat has decreased and the latex is no longer available in market. Jelutung conservation effort were ethnobotany aspect, and population and habitat characteristic not yet documented. The objectives of this research were (1) identify ethnobotany jelutung (Dyera costulata) by Suku Anak Dalam (SAD), contains cultural value, utilization or use, cultivation and management jelutung (2) estimate the potential population jelutung (Dyera costulata) and ecology jelutung include ground conditions , temperature and humidity, spatial distribution jelutung, interspecific associations jelutung, plant diversity around jelutung habitat.

The study was conducted in May-June 2015 at forest PT REKI, Batanghari district, Jambi. Data were collected by interview and vegetation analysis using sample plot of 2 ha. Data analysis of ethnobotany used deskriptive analysis. Vegetation data analysis used relative density, Shanon-Wiener index, Margaleff index, Evenness index, Morisita index, and Jaccard index.

Results in ethnobotany aspect showed that nowadays, SAD community is not tapping for commercial purpose due to latex markets in Jambi dropped. SAD people used jelutung’s timber as raw materials for furniture. Mostly SAD people used latex to treat abscess, toothache, and as economic commodity. SAD community have traditional knowledge and skill about ecology, utilization, management, and processing of jelutung.

Jelutung stand condition in forest PT REKI indicate unpleasant condition, because it was not following J-curve. No many seedling jelutung in forest, so the population are threatened. Jelutung can grow in temperature condition 23oC -28oC and soil condition that are low pH and poor of nutrient. Species richness tree level was higher than the growth rate of the other. Based on Morisita index, spatial distribution of jelutung is uniform. Jelutung associating with Antidesma cuspidatumand Jaccard index of0.2308.

Based on study about ethnobotany and ecology of jelutung, formulated conservation strategies of jelutung were conservation with SAD community, agroforestry of jelutung and improve regulation jelutung markets in Jambi. Jelutung of the study could be used to local conservation and management for sustainable used.So that, jelutung can be conserved and contibute for environment, social and economic of SAD community.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

ETNOBOTANI JELUTUNG (

Dyera costulata

(Miq). Hook F) PADA

MASYARAKAT

SUKU ANAK DALAM

DI HUTAN PT RESTORASI

EKOSISTEM INDONESIA (PT REKI), JAMBI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yangdilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2015 ini ialah Etnobotani Jelutung (Dyera costulata (Miq.) Hook F) pada Masyarakat Suku Anak Dalam di Hutan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Jambi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM. Zuhud MS dan Bapak Prof Dr Ir Iskandar Z. Siregar M.For.Sc selaku pembimbing dan telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada CRC 990, M. Adlan Ali, S.Hut, M. Ahda Agung Arifian, S.Hut, Bang Gatot Mandarsih, Pak Uda Sakirman, Staff dan seluruh karyawan PT REKI, ayah, ibu, dan keluarga, sahabat perjuangan Fasttrack 47, dan sahabat KVT 2013 atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya.

Semoga penelitian ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Alur Pikir Penelitian 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Jelutung (Dyera costulata) 4

Sosio - budaya Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 6

3 METODE 10

Lokasi dan Waktu Penelitian 10

Alat dan Bahan 10

Jenis Data yang Dikumpulkan 10

Metode Pengumpulan Data 11

Analisis Data 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Etnobotani Jelutung oleh Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) 17

Potensi Populasi Jelutung di Hutan PT REKI 26

Pengetahuan Mengenai Ekologi Jelutung 28

Upaya Konservasi dan Pengembangan Jelutung di Hutan PT REKI 35

5 SIMPULAN DAN SARAN 39

Simpulan 39

Saran 40

DAFTAR PUSTAKA 41

LAMPIRAN 47

(12)

DAFTAR TABEL

1 Wilayah penyebaran Batin Sembilan 8

2 Jenis data yang dikumpulkan 11

3 Tabel kontingensi asosiasi antar spesies 16

4 Demografi masyarakat SAD di PT REKI tahun 2013 17 5 Ciri morfologi jelutung berdasarkan pengetahuan masyarakat SAD 18

6 Sifat tanah tempat tumbuh jelutung 28

7 Unsur hara mikro tanah pada tempat tumbuh jelutung 29 8 Kerapatan tertinggi tumbuhan tiap tingkat pertumbuhan 31

9 Perhitungan indeks Morisita 33

10 Asosiasi jelutung dengan spesies tumbuhan dominan 35

11 Nilai Index Prioritas Konservasi Lokal 35

DAFTAR GAMBAR

1 Alur pikir penelitian 3

2 a. Daun b. Bunga c. Penampang dalam bunga d. Buah 4 3 Peta sebaran jelutung (Dyera spp.) di Asia Tenggara 5 4 Ekspor getah jelutung ke Amerika Serikat tahun 1924 – 1961 6

5 Silsilah asal-usul Batin Sembilan 7

6 Peta Lokasi Penelitian 10

7 Bentuk dan ukuran plot analisis vegetasi 12

8 Persentase pemanfaatan jelutung 19

9 (a) Eurycoma longifolia (b) Scaphium macropodum (c) Dialium indum

(d) Aquilaria microcarpa 21

10 Pola sadapan jelutung 23

11 Diagram alir pengolahan getah jelutung tahu 24

12 Proses pemasakan getah jelutung press 24

13 Alur perdagangan getah jelutung 25

14 Potensi jelutung 26

15 Sebaran kelas diameter pohon jelutung 27

16 Data suhu, kelembaban, dan curah hujan Provinsi Jambi 2014-2015 30

17 Indeks kekayaan spesies 32

18 Indeks keanekaragaman 32

19 Indeks kemerataan spesies 33

20 Sebaran titik jelutung 34

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Tabulasi INP tingkat semai 47

2 Tabulasi INP tingkat pancang 49

3 Tabulasi INP tingkat tiang 50

4 Tabulasi INP tingkat pohon 52

5 Daftar tumbuhan pangan yang dimanfaatkan 54

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Jelutung (Dyera costulata) termasuk famili Apocynaceae yang merupakan tumbuhan spesies lokal yang tersebar secara alami di Sumatera dan Kalimantan. Jelutung merupakan spesies pohon yang memiliki banyak kegunaan. Jelutung menghasilkan getah (latex) yang digunakan sebagai bahan baku permen karet, isolator kabel (Sofiyuddin et al. 2012) dan bahan campuran softdrink. Kayu jelutung memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Sofiyuddin et al. 2012). Kayu jelutung dimanfaat sebagai bahan baku kayu lapis, pembuatan kertas, industri pensil, peti kemas, moulding, papan tulis, perabot rumah dan lain sebagainya (Arlanda et al. 2004). Selain itu, ekstrak daun jelutung mengandung antioksidan (Subhadhirasakul et al. 2003), sebagai analgesik dan mengandung bahan kimia potensial quercetin sebagai hypoallergenic, anticancer, antiosteoporosis, antiinflammatory, antispasmodic, dan antihepatotoxyc (Reanmongkol et al. 2002). Jelutung darat (Dyera costulata) dapat berperan sebagai penghambat alergi (Kouji et al. 1992). Akar dari jelutung darat (Dyera costulata) merupakan bagian utama tumbuhan yang dapat mengabsorbsi tembaga (Cu) yang mengkontaminasi tanah (Majid et al. 2012).

Suku Anak Dalam (SAD) merupakan masyarakat lokal yang sampai saat ini masih hidup di hutan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI), Provinsi Jambi. Masyarakat SAD telah lama memanfaatkan jelutung terutama getahnya yang bernilai ekonomi. Getah jelutung sejak tahun 1905 tercatat telah menjadi barang komoditi dunia dan telah diimpor ke Amerika Serikat (Holt 1938 diacu dalam Williams 1963). Menurut Williams (1963) Kalimantan dan Sumatera merupakan wilayah penting dari produksi getah jelutung. Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi yang pernah mensuplai getah jelutung untuk perdagangan dunia. Getah jelutung dari Provinsi Jambi di Impor ke Singapura dan Amerika Serikat (Sofiyudin et al. 2012). Pasokan getah dari Provinsi Jambi ini diperoleh, salah satunya dari masyarakat SAD yang tersebar di wilayah Jambi. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat lokal dalam skala kecil dapat berperan dalam perdagangan getah dunia.

Permasalahan yang terjadi saat ini adalah, produksi getah jelutung di Jambi terhenti sejak tahun 2008 (Tata et al. 2015a ; Sofiyudidin et al. 2012). Pasar terbuka jelutung yang sudah tidak ada lagi menyebabkan masyarakat SAD tidak memanfaatkan jelutung lagi. Hal tersebut dapat menyebabkan nilai manfaat dari jelutung menurun dalam pandangan masyarakat dan terputusnya pengetahuan lokal yang diturunkan ke generasi berikutnya. Selain itu, permasalahan lainnya adalah tegakan jelutung di hutan sudah sulit ditemukan karena adanya perubahan fungsi lahan menjadi hutan tanaman industri, kebun sawit, dan kebun karet. Menurut Sofiyudin dan Janudianto (2013) eksploitasi hutan menyebabkan pohon jelutung hanya tersisa di hutan lindung.

(16)

2

kondisi populasi serta tempat tumbuh yang sesuai. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengidentifikasi etnobotani jelutung (Dyera costulata) oleh Suku Anak Dalam (SAD), Jambi yang meliputi nilai budaya, pemanfaatan atau penggunaan, budidaya, dan pengelolaan jelutung (Dyera costulata), menghitung potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan karakteristik habitatnya dan merumuskan strategi konservasi di PT REKI.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi etnobotani jelutung (Dyera costulata) oleh Suku Anak Dalam (SAD), Jambi yang meliputi nilai budaya, pemanfaatan atau penggunaan, budidaya, dan pengelolaan jelutung (Dyera costulata).

2. Menduga potensi populasi jelutung (Dyera costulata) dan ekologi jelutung meliputi kondisi tanah, suhu dan kelembaban, sebaran spasial jelutung dan asosiasi interspesifik jelutung, dan keanekaragaman tumbuhan disekitarnya.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah menyediakan data dan informasi yang dapat berguna terkait potensi dan cara pemanfaatan jelutung (Dyera costulata) serta nilai guna dan manfaat keanekaragaman spesies tumbuhan di habitat Jelutung berdasarkan pengetahuan dan kearifan tradisional masyarakat Suku Anak Dalam. Data dan informasi ini dapat menjadi dasar dan bahan pertimbangan dalam konservasi dan manajemen PT REKI yang berbasis partisipasi masyarakat lokal melalui pengembangan pelestarian dan pemanfaatan jelutung (Dyera costulata) dan keanekaragaman spesies tumbuhan lokal yang bernilai guna ekonomi bagi masyarakat Suku Anak Dalam.

Alur Pikir Penelitian

Keberhasilan konservasi sumberdaya alam tidak terlepas dari keterlibatan masyarakat yang berinteraksi dengan sumberdaya alam. Masyarakat lokal yang telah lama hidup dan berinteraksi dengan alam memiliki pengetahuan dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat dalam upaya konservasi baik untuk dilakukan dalam rangka mendorong berhasilnya upaya konservasi.

Konsep Tri Stimulus Amar Konservasi merupakan konsep mengenai pendorong utama sikap dan aksi konservasi dari pelaku konservasi. Stimulus yang dimaksud adalah sebagai pendorong kuat kepada sikap dan perilaku masyarakat untuk terwujudnya aksi konservasi secara kongkrit di lapangan (Amzu 2007). Uraian ketiga stimulus tersebut yaitu:

1. Stimulus alamiah. Nilai kebenaran yang berasal dari alam, hal-hal yang diperlukann untuk keberlanjutan sumberdaya alam sesuai dengan bioekologinya.

2. Stimulus manfaat. Manfaat bagi manusia seperti, manfaat obat, manfaat ekonomi, manfaat biologis/ekologis dan lainnya.

(17)

3 Aspek ekologi merupakan kajian penting dalam konservasi spesies. Disamping itu, masyarakat juga termasuk komponen yang berinteraksi dengan lingkungan, khususunya masyarakat yang di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat lokal di manapun memiliki pengetahuan mengenai lingkungannya. Menurut Marten (1986) secara garis besar kearifan tradisional terdiri dari dua kategori yaitu pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi yang terdapat pada cerita rakyat atau upacara ritual budaya dan yang kedua adalah pengetahuan berdasarkan pengalaman empiris yang dialami masyarakat. Informasi yang dikumpulkan oleh individu dapat menjadi pengetahuan yang dimiliki oleh anggota kelompok lainnya seiring berjalannya waktu. Pola yang lebih besar yaitu pengetahuan sosial bersama dapat menyediakan kerangka kontekstual dimana pengamatan empiris individu dapat diartikan dan diterjemahkan ke dalam pengetahuan (Marten 1986). Pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat SAD Bathin Sembilan akan dijadikan pendekatan untuk konservasi jelutung. Alur pikir penelitian tersebut disajikan pada Gambar 1:

(18)

4

2

TINJAUAN PUSTAKA

Jelutung (Dyera costulata)

Menurut Burkill (1935) jelutung memiliki berbagai nama lokal. Di Semenanjung Malaya dan Kalimantan jelutung disebut juga jelutong atau jeluntong. Di Borneo juga jelutung biasa disebut pantung. Di Sumatera disebut dengan labuwai dan melabuwai. Jelutung darat (Dyera costulata) disebut juga jelutong daun lebar, jelutong pipit, dan jelutong daun merah. Getah dari jelutung biasa disebut getah jelutung atau getah susu. Taksonomi dari kedua spesies tersebut adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Apocynales Family : Apocynaceae Genus : Dyera

Spesies : Dyera costulata

Menurut Boer dan Ella (2001) perbedaan Dyera costulata dan Dyera polyphylla yaitu pohon Dyera costulata memiliki tinggi sampai 65 m, tinggi bebas cabang kurang lebih mencapai 30 m, diameter pohon dapat mencapai 250 cm, kulit batang kehitaman, daun berbentuk bulat panjang sampai obovate atau menyempit. Sedangkan, pohon Dyera polyphylla dapat mencapai tinggi sampai 35 m, bentuk batang lurus, diameter mencapai 95 cm, kulit batang keputih-putihan, daun berbentuk spatulate-elliptical, akar lutut pneumatophore (Middleton dan Edinburgh 2007).

Sumber: Flora Malesiana, Ser. I, Vol. 18 (2007)

Gambar 2 a. Daun b. Bunga c. Penampang dalam bunga d. Buah

(19)

5 Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi (Arlanda et al. 2004). Penyebaran jelutung di dunia yang terbatas ini menjadikan Indonesia berpotensi tinggi untuk menjadi produsen getah jelutung untuk seluruh dunia. Di Sumatera sentra produksi getah jelutung tersebar di Jambi, Riau, dan Palembang, sedangkan di Kalimantan di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Menurut Williams (1963) Kalimantan dan Sumatera merupakan wilayah penting dari produksi getah jelutung. Dahulu, sebelum industri karet (Hevea brasilliensis) marak, jelutung merupakan sumber karet dari perdagangan dunia, jelutung yang diekspor dari Indonesia dijual dengan nama “Dead Borneo” atau

“Pontianak (Burkill 1935; Williams 1963).

Keterangan: = Dyera costulata = Dyera lowii syn Dyera polyphylla

Sumber: Williams (1963)

Gambar 3 Peta sebaran jelutung (Dyera spp.) di Asia Tenggara

Getah jelutung sejak tahun 1920-an digunakan untuk bahan baku permen karet dan tahun 1940-an, getah jelutung telah menggantikan posisi lateks yang digunakan untuk permen karet yang berasal dari pohon Achras sapota yang berasal dari Amerika Tengah. Berkembangnya industri permen karet berpengaruh signifikan terhadap produksi untuk memenuhi permintaan getah jelutung (Sofiyudin dan Janudianto 2013).

(20)

6

penghasil getah lain, khususnya di Amerika Tropis (Williams 1963). Ekspor getah jelutung dari tahun 1924-1961 ke Amerika Serikat disajikan pada Gambar 4.

Sumber: Burkill (1935); Williams (1963)

Gambar 4 Ekspor getah jelutung ke Amerika Serikat tahun 1924 – 1961 Jelutung yang berasal dari wilayah Malaya memiliki reputasi baik di pasaran dan telah memegang harga tertinggi daripada produksi dari negara lain, terutama Borneo dan Sarawak (Burkill 1935). Ekspor getah jelutung dari Indonesia rata-rata sekitar 3600 ton tiap tahunnya selama periode 1988-1993, tetapi ekspor tahunan berfluktuasi secara tajam antara 1200-6500 ton (Boer dan Ella 2001). Provinsi Jambi memiliki sejarah pasar jelutung di Indonesia. Berdasarkan data BPS Jambi yang dikutip dalam Tata et al. (2015a) menunjukkan bahwa produksi getah jelutung pada tahun 1985 hingga tahun 2007. Tahun 1989 dan tahun 1999 produksi getah jelutung di Provinsi Jambi menunjukkan angka yang paling besar sepanjang 19 tahun. Menurut Sofiyudin dan Janudianto (2013) produksi getah jelutung di Jambi mengalami penurunan sejak dua dekade terakhir. Produksi jelutung dari hutan alam berhenti pada tahun 2007, sedangkan penyadap dilaporkan berhenti menyadap getah jelutung dari hutan sejak tahun 2006 setelah peraturan nasional mengenai pajak untuk pemungutan hasil hutan bukan kayu dikeluarkan (Tata et al. 2015a).

Sosio - budaya Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD)

Masyarakat adat Batin Sembilan yang oleh pemerintah dinamakan Suku Anak Dalam, masyarakat sendiri menamakan komunitas ini dengan sebutan kubu.

Ada juga yang menyebut mereka dengan sebutan ‘orang rimbo’. Suku Anak Dalam atau Batin Sembilan adalah masyarakat asli marginal yang berada di Provinsi Jambi yang menyebar di beberapa kabupaten yaitu Batanghari, Muaro Jambi dan Sarolangun. Menurut sejarah, masyarakat Batin Sembilan merupakan keturunan raja kerajaan Pagaruyung. Sejarah masyarakat Suku Anak

Sejarahnya raja dari kerajaan Pagaruyung memerintahkan putranya Pangeran Bagas Gayur untuk bersemedi untuk keselamatan dan kejayaan kerajaan Pagaruyung. Selama semedinya Pangeran Bagas Gayur bertemu dengan seorang wanita yang diberi nama Puteri Berdarah Putih. Pangeran Bagas Gayur memohon kepada raja untuk menikahi Puteri Berdarah Putih. Raja menikahkan Pangeran Bagas Gayur dengan Puteri Berdarah Putih. Pangeran tidak memenuhi

0

1924 1925 1926 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1957 1958 1959 1960 1961

(21)

7 kewajibannya untuk bersemedi, raja pun mengusir Pangeran Bagas Gayur. Setelah keluar dari istana, Pangeran Bagas Gayur dan Puteri Berdarah Putih mengubah nama mereka menjadi Serompak dan Siceren. Dari penikahannya Serompak dan Siceren memiliki seorang anak perempuan yang diberi nama Bayan Lais. Bayan Lais kemudian menikah dengan saudagar dari Kerajaan Mataram Hindu yaitu Meruhum Sungsang Romo. Bayan Lais dan Meruhun Sungsang Romo memiliki anak Pangeran Nagosari yang memiliki anak bernama Raden Ontar.

Menurut legenda Pangeran Nagosari atau Sikulup mencari ayahnya Meruhun Sungsang Romo dan dibekali dua telur angsa oleh ibunya Bayan Lais. Sejarahnya angsa tersebut bertelur. Bersamaan dengan bertelurnya angsa tersebut, terdapat meriam, keris, dan gong. Meriam tersebut bernama Setimbang Jambi, keris bernama Keris Seginjai, gong bernama Gung Gung Larangan dan tempat terjadinya peristiwa tersebut dinamakan Angso Duo.

Raden Ontar yang merupakan anak dari Pangeran Nagosari memiliki anak bejumlah sembilan yaitu Singo Jabo, Singo Pati, Singo Inu, Singo Besak, Singo Laut, Singo Delango, Singo Melango, Singo Anom. Kesembilan anak Raden Ontar ini mewarisi dan memiliki kekuasaan anak sungai yang disebut Batin. Sungai tersebut diantaranya, Sungai Jangga, Sungai Semusir, Sungai Bahar, Sungai Bulian, Sungai Telisak, Sungai Singoan, Sungai Jebak, Sungai Sekamis dan Burung Hantu. Sehingga nama Batin Sembilan memiliki arti sembilan anak sungai. Zaman Kerajaan Melayu pada saat masa-masa penjajahan Belanda masyarakat ini melarikan diri kedalam hutan karena tidak mau dijajah. Sehingga masyarakat Suku Anak Dalam hingga sekarang berdiam di dalam hutan dengan memegang aturan-aturan adat. Berikut silsilah keturunan masyarakat Batin Sembilan. Silsilah Suku Bathin Sembilan menurut Sukmareni (2015) disajikan pada Gambar 5:

Gambar 5 Silsilah asal-usul Batin Sembilan (Sukmareni 2015)

Singo

(Bagas Gayur dari Pagarurung) Siceren

(Putri Pinang Masak/ Puteri Berdarah Putih dari Sarolangun)

Putri Bayan Lais Meruhun Sungsang Romo

Putri Bungsu

Raden Ontar Sri Gemayar dari Air Hitam

(22)

8

Wilayah kekuasaan sembilan anak sungai tersebut merupakan wilayah sebaran masyarakat Batin Sembilan atau masyarakat Suku Anak Dalam di Jambi. Sukmareni (2015) menyatakan sebuah ungkapan terkait batas-batas wilayah Suku Anak Dalam atau Batin Sembilan. Ungkapan tersebut sebagai berikut:

“Mulai dari muaro batin semak ilir batang sampe ke Olak Gedong melako intan, menuju ulu Panerokan, Melintas di Kesung Batu menitih pematang beliung patah sampai ke batas Palembang menuju batin bahar. Melintas ke lubuk udang tergantung menuju ke bakal petas menitih pematang tulung batin sikamis turun sampai batin pemusiran. Melintas meuju batin jangga turun lalu ke batin jebak laju ke ilir batang melintas ulu sungai ringin menuju batas rambahan ilir tibo ke muaro batin semak. Batin singoan seberang batang batin singoan darisungai rambutan lalu ke jalan babat menuju bukit bucu melintas pematang ulu sungai rengas sampai ke batu tetedeng ilir menuju ulu sangkilan sampai ke sungai meranti ilir sampai batin singoan.”

Ungkapan diatas memaparkan mengenai aliran anak sungai yang menjadi wilayah kekuasaan Batin Sembilan di masa lalu. Wilayah tersebut secara administratif saat ini menyebar di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Sarolangun (Tabel 1).

Tabel 1 Wilayah penyebaran Batin Sembilan

Nama Batin Desa Kabupaten

Jebak Jebak, Tanjung Maruo Batanghari

Jangga Jangga Baru, Terentang Baru, Butang Baru, Meranti Baru

Bahar Pelempang, Nyogan, Bungku, Tanjung Lebar, Sungai Landai Rantau Harapan, Marga, Bukit Subur, talang Bukit, Tri Jaya, Berkah Jaya, Markanding, Tanjung Harapan, Pompa Air

Muaro Jambi, Batanghari

Bulian Singkawang, Batin, Sungkai, Petajin, Kilangan, Bajubang, Sridadi, Muara Bulian

Batanghari

Telisak Lamban Sigatal, Sepintun Sarolangun

Sekamis Lubuk Napal Sarolangun

Pemusiran Pemusiran Sarolangun

Burung

Hantu Muara Ketalo

Sarolangun

Singoan Muara Singoan Batanghari

Sumber: Sukmareni (2015)

(23)

9 Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Masyarakat SAD tidak mudah pindah kelompok atau pemimpin mereka yaitu, Tumenggung, hal tersebut dikarenakan terdapat hukum adat yang mengatur apabila akan berpindah atau berganti kelompok. Kecenderungan masyarakat SAD yaitu pihak laki-laki akan mengikuti kelompok dari istrinya apabila terjadi perkawinan antar kelompok. karena ada hukum adat yang mengatur bagaimana aturan berganti kelompok. Susunan organisasi sosial pada masyarakat SAD yaitu:

1. Tumenggung

Pemilihan pemimpin masyarakat SAD berdasarkan pengajuan Tumenggung sebelumnya dan telah disetujui oleh masyarakat adat. Apabila sebagian besar telah menyetujui, maka orang tersebut dapat menjabat sebagai pemimpin dan disahkan melalui upacara dalam pertemuan adat. Jabatan Tumenggung masih dibatasi oleh jabatan lainnya. Seperti jabatan Tengganas yang dapat membatalkan keputusan Tumenggung. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat SAD mengenal demokrasi yang sehat.

Menurut Rahman (2013) kelompok SAD berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi yang lain yang ditanami tanaman setahun, misalnya ubi-ubian. Peristiwa perpindahan masyarakat SAD ini disebut mengelana (nomad). Gerakan pindah tersebut lumrah bagi masyarakat SAD ketika ada anggota keluarga yang meninggal. Perpindahan yang disebabkan karena kematian salah satu anggota keluarga tersebut disebut dengan melangun. Perpindahan tersebut tidak hanya dilakukan oleh anggota keluarga saja tetapi juga warga sekampung. Kedua bentuk melangun dan mengelana bagi masyarakat SAD umumnya masih berada dalam wilayah hukum adat mereka. Batas wilayah tersebut mencakup sembilan lembah dan sungai dalam kabupaten Batanghari dan sekitarnya (Rahman 2013).

Interaksi SAD dengan lingkungan lokal yaitu interaksi dengan hutan dan sungai. Menurut Rahman (2013) bagi masyarakat SAD hutan merupakan sumber penghasilan dalam bentuk uang, energi sebagai alat membuat huma dan makanan. Dalam bentuk uang SAD memungut hasil hutan untuk diperjualbelikan. Dalam bentuk energi, SAD membakar hutan untuk ladang atau huma. Dalam bentuk makanan, hasil hutan dapat berbentuk protein, karbohidrat, dan bermacam-macam mineral yang berasal dari buah-buahan dan daun-daunan.

(24)

10

3

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) Jambi yaitu di Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Kawasan ini merupakan kawasan hutan sekunder areal restorasi ekosistem. Secara geografis areal PT REKI wilayah

Jambi berada diantara 103° 7’ 55” -103° 27’ 39” Bujur Timur dan 2° 2’ 16” – 2°

21’ 14” Lintang Selatan.Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Juni 2015. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 6:

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya: 1. Peta wilayah PT REKI Jambi

2. Peralatan inventarisasi sumberdaya hutan yaitu, tally sheet, meteran gulung fiberglass 50 m, meteran jahit Butterfly ukuran 150 cm, kompas, GPS Garmin 62x, thermometer, alat tulis, kamera.

3. Peralatan dan bahan pembuatan herbarium yaitu, kertas koran, alkohol 70%, kantong plastik, dan label.

4. Perlengkapan wawancara yaitu tape recorder Sony, panduan wawancara, dan alat tulis.

Jenis Data yang Dikumpulkan

(25)

11 tujuan penelitian. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan

No Jenis Data Variabel Cara Pengumpulan

Data Sumber Data

Etnobotani jelutung oleh Suku Anak Dalam (SAD)

Data etnobotani jelutung oleh masyarakat Suku Anak Dalam dikumpulkan dengan cara sebagai berikut:

(26)

12

b. Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui cara pemanenan getah jelutung oleh masyarakat SAD dilapangan. Observasi lapang dilakukan dengan cara mengikuti dan mengamati masyarakat SAD dalam pemanenan getah jelutung. Potensi dan ekologi jelutung (Dyera costulata)

Data mengenai potensi populasi dan bioekologi jelutung dilakukan dengan analisis vegetasi, pengukuran komponen fisik lingkungan seperti suhu, kelembaban, dan kondisi tempat tumbuh. Selanjutnya dilakukan pembuatan herbarium untuk mengidentifikasi spesimen tumbuhan.

Analisis vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan dengan membuat petak tunggal berukuran 2 ha. Menurut Kusuma (2007) luas plot contoh optimal untuk pengukuran keanekaragaman tumbuhan adalah untuk tingkat pancang 1 600 m2 dan untuk tingkat pohon sebesar 12 800 m2.Terdapat 50 plot dalam satu petak tunggal

dengan ukuran masing-masing 20 m2. Ukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan tingkat pohon, ukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5 m untuk pancang dan 2 m x 2 m untuk semai (Soerianegara dan Indrawan 2002). Peletakan petak ukur dilakukan secara purposive sampling, yaitu petak ukur diletakkan di lokasi ditemukannya jenis jelutung (Dyera costulata). Data yang dicatat yaitu potensi jelutung (jumlah, jenis, diameter, tinggi) dan seluruh tumbuhan yang berada dalam petak tersebut meliputi jenis, jumlah, tinggi dan diameter untuk tingkat tiang dan pohon. Bentuk petak ukur disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7 Bentuk dan ukuran plot analisis vegetasi Pembuatan herbarium

Pembuatan herbarium dilakukan untuk menidentifikasi spesies tumbuhan yang belum teridentifikasi di lapangan. Bagian tumbuhan yang d

Pembuatan herbarium dilakukan pada spesies tumbuhan yang belum teridentifikasi di lokasi penelitian. Pengumpulan spesimen dilakukan dengan mengambil bagian-bagian tumbuhan yang dapat dijadikan kunci identifikasi, seperti daun, ranting, bunga, dan buah. Menurut Onrizal (2009) langkah-langkah pembuatan herbarium adalah:

a. Pengambilan spesimen herbarium. Bagian tumbuhan uang diambil adalah ranting lengkap dengan daunnya, bunga dan buah (jika ada).

10 0 m

(27)

13 b. Contoh spesimen herbarium tersebut dipotong dengan panjang disesuaikan

dengan ukuran tumbuhan, dengan menggunakan gunting.

c. Spesimen herbarium kemudian dimasukkan ke dalam kertas koran dan diberi label. Label berisi keterangan mengenai nomor koleksi, nama lokal, lokasi pengumpulan spesimen dan nama pengumpul/kolektor.

d. Spesimen herbarium diletakan di atas koran dan disemprot dengan alkohol 70%, lalu disusun didalam plastik dan di siram kembali menggunakan alkohol 70% sampai basah. Setelah itu tutup dengan rapat plastik dengan isolasi. e. Setelah dilakukan perlakuan di lapangan, dilakukan pengeringan. Seluruh

spesimen dari lapangan dikeluarkan dari plastik dan kertas koran. 5-10 spesimen diapit dalam sasak ukuran 50 x 35 cm, untuk buah-buahan besar dipisah, dimasukkan kantong, dan diberi label. Pengovenan dilakukan dengan suhu ± 65oC, ± selama 4 hari.

f. Selanjutnya pelabelan yang berisi keterangan tumbuhan untuk keperluan identifikasi lebih lanjut.

Faktor abiotik habitat jelutung

Faktor abiotik yang diukur dari habitat jelutung (Dyera costulata.) adalah faktor iklim, tanah, ketingggian dan kemiringan tempat. Faktor kondisi iklim yaitu kondisi suhu diukur dengan menggunakan thermometer drywet serta mengukur kelembapan pada plot pengamatan. Pengambilan data kondisi fisik dan kimia tanah yaitu dengan cara mengambil sampel tanah pada plot pengamatan. Sampel tanah diuji di Laboratorium Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Data ketinggian atau kemiringan tempat dilakukan dengan menggunakan GPS.

Analisis Data

Etnobotani jelutung (Dyera costulata)

Pemanfaatan jelutung dianalisis secara deskriptif dengan menjabarkan bentuk atau kearifan lokal lainnya dalam pemanfaatan jelutung baik keperluan pangan, obat dan lain sebagainya. Data juga dianalisis mengunakan Index Prioritas Konservasi Lokal (IPKL) yang dimodifikasi dari Oliveira et al. (2007) Albuquerque et al. (2009) berdasarkan kriteria Use Diversity (UD), Local Use (LU), Relative Density (RD), dan Nilai masing-masing parameter adalah 10 sehingga nilai maksimal IPKL adalah 30. IPKL menggunakan persamaan berikut:

IPKL= US + LU + RD Potensi dan Bioekologi Jelutung (Dyera costulata) a. Struktur dan Komposisi Vegetasi

Menurut Soerianegara dan Indrawan (2002) formula matematika yang dapat digunakan dalam perhitungan analisis vegetasi, termasuk tumbuhan bawah adalah sebagai berikut:

(28)

14

b. Pola Sebaran Spasial Jelutung (Dyera costulata)

Penentuan pola sebaran spasial tumbuhan jelutung (Dyera costulata) diukur melalui Indeks Morisita. Rumus ini digunakan untuk menentukan pola penyebaran spesies tumbuhan yang meliputi penyebaran merata (uniform), mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus Morisita menurut Morisita (1959) adalah sebagai berikut:

Iδ=n ∑xi2-∑xi (∑xi)2-∑xi

Keterangan:

Iδ = Derajat penyebaran Morisita n = Jumlah petak ukur

∑ xi2 = Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu komunitas

∑x� = Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas.

Selanjutnya dilakukan uji Chi-square, dengan rumus: a. Derajat Keseragaman

Mu=X2 .975∑x-n+ ∑xi

i-1

Keterangan:

X20.975 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 97.5%

∑xi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i n = Jumlah petak ukur

b. Derajat Pengelompokan

Mc=� . 5-n+∑xi ∑xi-1

Keterangan:

X20.025= Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2.5%

∑xi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i n = Jumlah petak ukur Standar derajat Morisita

Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut: 1. Bila Iδ≥Mc> 1.0, maka dihitung:

Ip=0.5+0.5(Iδ-Mcn-Mc )

2. Bila Mc>Iδ ≥ 1.0, maka dihitung:

Ip=0.5 (Mc-1 ) Iδ-1

3. Bila 1.0> Iδ>Mu, maka dihitung:

(29)

15 4. Bila 1.0> Mu>Iδ, maka dihitung:

Ip = -0.5 + 0.5 (Mu - 1 )Iδ - 1

Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran spesies tersebut adalah sebagai berikut:

Ip = 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran acak (random)

Ip > 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped) Ip < 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform).

c. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan 1. Kekayaan Spesies

Kekayaan spesies tumbuhan diukur dengan menggunakan Indeks Margaleff. Menurut Kusuma (2007), Indeks Margaleff merupakan ukuran keanekaragaman yang lebih responsive dan sensitive terhadap perubahan jumlah spesies. Indeks Margaleff menggunakan persamaan sebagai berikut:

D= � −

ln Keterangan:

D = Indeks Kekayaan Margaleff S = Jumlah Spesies

N = Jumlah individu 2. Keanekaragaman Spesies

Keanekaragaman spesies tumbuhan dapat dihitung dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Menurut Magurran (1988) penghitungan indeks ini dengan rumus:

H'= ∑ p ni = Jumlah individu spesies

N = Jumlah individu seluruh spesies S = Jumlah spesies

3. Kemerataan Spesies

Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (Evenness). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan rumus:

E=H'/ ln S

Keterangan :

(30)

16

S = Jumlah spesies

E = Indeks kemerataan spesies (Evenness) d. Asosiasi Spesies

Asosiasi spesies dapat dapat didefinisikan sebagai tingkat ketergantungan suatu spesies terhadap spesies lainnya dalam melangsungkan kehidupannya atau tingkat seringnya dua spesies atau lebih menggunakan sumberdaya yang sama. Asosiasi antar dua spesies dilihat dari present dan absent spesies pada plot pengamatan dengan menggunakan tabel kontingensi berikut:

Tabel 3 Tabel kontingensi asosiasi antar spesies

Spesies X Dyera costulata Jumlah

Ada Tidak ada

Ada A b a+b

Tidak Ada C d c+d

Jumlah a+c b+d N

Frekuensi harapan (Ei) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

� = + + � = + +

� = + + � = + +

Asosiasi pohon jelutung (Dyera costulata) dengan spesies lainnya diukur melaluli perhitungan uji hipotesis chi-square sebagai berikut:

Hipotesis pada uji chi-square

H0 : Tidak terdapat asosiasi antar dua spesies H1 : Terdapat asosiasi antardua spesies

� = ∑ � − ����

Keterangan:

Oi = Frekuensi data hasil Observasi Ei = Frekuensi harapan

Kriteria uji statistic chi-square

Jika � hitung ≤ � . 5 maka terima H0

Jika � hitung >� . 5 maka tolak H0

Tingkat asosiasi dari dua spesies diukur dengan menggunakan Indeks Jaccard (Ludwig dan Reynold 1988) dengan rumus sebagai berikut:

=

(31)

17

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Etnobotani Jelutung oleh Masyarakat Suku Anak Dalam (SAD)

Karakteristik masyarakat SAD di Hutan PT REKI

Kawasan hutan PT REKI merupakan kawasan IUPHHK-RE. Kawasan ini wilayah Provinsi Jambi. Lokasi areal tersebut saat ini termasuk dalam wilayah Kebupaten Sarolangun dan Kabupaten Batanghari. Berdasarkan jumlah luas kawasan hutan yang dimohon adalah ± 49 185 ha sebagian besar arealnya merupakan eks-areal HPH PT Asialog yakni seluas ± 40 705 ha dan sisanya seluas ± 8 480 ha adalah eks-areal HPH PT Inhutani V.

Masyarakat SAD yang tinggal di kawasan hutan PT REKI telah tinggal sejak kawasan masih dikelola oleh HPH PT Asialog sekitar tahun 1969. Data mengenai etnobotani jelutung SAD diperoleh dari 15 responden masyarakat SAD yang berpengalaman menyadap jelutung. Responden yang diwawancarai seluruhnya berjenis kelamin laki-laki dengan selang umur 25 – 75 tahun. Pekerjaan reponden bervariasi, tetapi pekerjaan dominan adalah petani dan pekerja di perusahaan sawit PT Asiatic yang berdekatan dengan kawasan PT REKI. Demografi masyarakat SAD pada tahun 2013 di kawasan PT REKI terdiri dari 90 KK dengan 378 jiwa. Masyarakat SAD yang berpengalaman menyadap jelutung memiliki pengetahuan tradisional dalam mengelola dan memanfaatkan jelutung. Demografi masyarakat adat Suku Anak Dalam di Kawasan PT REKI disajikan pada Tabel 4:

Tabel 4 Demografi masyarakat SAD di PT REKI tahun 2013

Sumber: Dokumen PT REKI (2013)

Pola hidup Suku Anak Dalam selalu berpindah-pindah di dalam hutan sehingga tidak dapat diketahui pasti jumlah dan lokasi pemukimannya. Masyarakat Anak Dalam adalah masyarakat yang berpindah-pindah ke berbagai lokasi untuk berkebun atau berladang, berburu satwa, meramu obat-obatan,

Nama Kelompok/Pemukiman Populasi

Rumah Tangga Orang Rata-Rata

(32)

18

berkebun atau berladang yang dilakukan dengan sistem perladangan berpindah dengan siklus tertentu (Setyowati 2003).

Menurut PT REKI (2012) diduga suku Anak Dalam ini hidup di hulu-hulu sungai Meranti, Kapas, dan Lalan, karena daerah ini cukup terisolasi dan kondisi hutannya relatif masih cukup terjaga dengan baik. Ditemukan tujuh titik lokasi Suku Anak Dalam di dalam areal restorasi ekosistem yaitu di Kelompok hutan Hulu Sungai Kandang di bagian Utara dan Timur laut sebanyak 3 titik dan di bagian Barat lokasi yakni di kelompok hutan hulu Sungai Lalan dan di Kelompok hutan Sungai Badak sebanyak 4 titik. Bahasa dan adat istiadat yang digunakan warga desa-desa sekitar areal lokasi restorasi ekosistem adalah adat istiadat melayu Jambi, sedangkan agama yang mereka anut sebagian besar adalah agama Islam.

Pengetahuan mengenai morfologi jelutung

Masyarakat SAD memiliki pengetahuan mengenai morfologi jelutung. Karakteristik luar yang nampak dari pohon jelutung dapat digunakan untuk mengenali pohon jelutung di hutan. Berdasarkan wawancara terhadap masyarakat SAD pohon jelutung memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

Tabel 5 Ciri morfologi jelutung berdasarkan pengetahuan masyarakat SAD

Bagian Bentuk Ukuran Warna Bau khas Rasa

Keterangan: - : tidak tahu/tidak teridentifikasi

(33)

19 jelutung rawa relatif sama, tetapi tekstur jelutung rawa lebih encer karena mengandung banyak air. Masyarakat SAD tidak memilih-milih jenis jelutung mana yang sering disadap, masyarakat menyamakan kedua jenis jelutung yaitu jelutung rawa dan jelutung darat dalam hal pemilihan pohon yang akan disadap.

Masyarakat SAD di PT REKI memiliki pengetahuan untuk mengenali pohon jelutung di alam dan dapat membedakan dua jenis jelutung berdasarkan morfologi pohon jelutung. Mengenali karakteristik morfologi jelutung dialam bermanfaat bagi masyarakat untuk membedakan pohon yang memiliki getah yang banyak. Tata et al. (2015a) juga mengungkapkan bahwa penyadap jelutung dapat mengenali pohon jelutung yang menghasilkan getah melimpah berdasarkan morfologi kulit batang dan tunas muda. Karakteristik tersebut yaitu tunas muda yang berwarna merah dan kulit batang tipis yang kehitam-hitaman dan lunak sampai agak kasar.

Pengetahuan mengenai pemanfaatan jelutung

Masyarakat SAD di PT REKI memanfaatkan jelutung secara subsisten dan komersial. Pemanfaatan subsisten yang dilakukan oleh masyarakat SAD adalah untuk obat dan pemanfaatan kayu, tetapi pemanfaatan tersebut persentasenya lebih rendah apabila dibandingkan dengan pemanfaatan jelutung secara komersial. Dahulu, jelutung dimanfaatkan getahnya untuk menjadi komoditi yang bernilai ekonomi. Persentase pemanfaatan jelutung oleh masyarakat SAD disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8 Persentase pemanfaatan jelutung

Kayu jelutung dapat digunakan sebagai bahan baku perkakas dan perabotan rumah biasanya digunakan untuk salon (speaker), meja, lemari. Kayu jelutung tidak dapat digunakan sebagai konstruksi rumah karena kayu yang cepat lapuk. Kayu jelutung bisa dimanfaatkan sebagai papan tetapi kayu jelutung tidak cukup bagus untuk papan rumah karena lunak dan mudah dimakan oleh kumbang yang melubangi kayu. Menurut Williams (1963) kayu jelutung tidak cocok digunakan untuk tujuan konstruksi, karena kayu jelutung tidak kuat, daya tahan yang rendah, rentan terhadap serangan kumbang penggerek dan khususnya rentan terhadap rayap jika kontak dengan tanah.

Beberapa responden menyebutkan bahwa jelutung bisa dijadikan sebagai obat. Getah jelutung dapat digunakan sebagai obat sakit gigi dan bisul. Getah langsung dioleskan ke bisul yang sakit. Hal tersebut sama dengan kelompok masyarakat SAD di Taman Nasional Bukit Duabelas yang menjelaskan bahwa getah jelutung dapat mengobati bisul dengan cara dioleskan langsung pada bisul (Andhika 2015). Daun jelutung juga dapat digunakan sebagai obat. Ekstrak daun jelutung mengandung antioksidan (Subhadhirasakul et al. 2003), sebagai

(34)

20

analgesik dan mengandung bahan kimia potensial quercetin sebagai hypoallergenic, anticancer, antiosteoporosis, antiinflammatory, antispasmodic, dan antihepatotoxyc (Reanmongkol et al. 2002).

Saat ini, seluruh responden sudah tidak lagi menyadap jelutung untuk kebutuhan komersial. Alasan tidak menjual lagi getah jelutung karena pasarnya yang tidak ada lagi. Hal tersebut disebabkan karena tidak ada yang membeli getah jelutung. Selain itu, harga jelutung yang murah dan berfluktuatif menjadikan masyarakat tidak lagi menyadap jelutung, Padahal biaya opersional penjualan jelutung cukup besar. Penyebab lainnya adalah adanya komoditi lain yang menggantikan jelutung sebagai komoditi utama seperti rotan. Masyarakat SAD juga memiliki pekerjaan lain seperti bekerja di perkebunan kelapa sawit sehingga tidak menyadap lagi jelutung. Masyarakat juga sangat jarang memanfaatkan jelutung sebagai obat dan untuk kebutuhan perkakas. Sehingga pemanfaatan jelutung oleh masyarakat SAD di PT REKI sangat rendah.

Stimulus manfaat dari jelutung sudah tidak dirasakan lagi oleh masyarakat SAD, menyebakan terjadinya perubahan pandangan masyarakat terhadap jelutung. Padahal masyarakat SAD merupakan masyarakat tradisional yang dari skala kecil yang berperan dalam perdagangan getah dunia. Masyarakat SAD sejak dahulu menilai jelutung dari sisi ekonomi. Sehingga apabila nilai ekonominya hilang maka nilai manfaat jelutung bagi masyarakat telah menurun.

Pengetahuan pemanfaatan hasil hutan lain

Masyarakat SAD juga memanfaatkan hasil hutan lainnya seperti tumbuhan obat dan tumbuhan pangan. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh tumbuhan obat yang biasa digunakan oleh masyarakat SAD sebanyak 55 spesies tumbuhan. Disamping itu, tumbuhan pangan yang dimanfaatkan oleh masyarakat SAD adalah sebanyak 40 spesies. Spesies tumbuhan obat yang bisa digunakan oleh masyarakat SAD adalah pasak bumi (Eurycoma longifolia) yang digunakan untuk mengobati demam kuro (malaria). Kandungan kimia dari pasak bumi yaitu zat-zat eurikomlakton, laurikolakton A, B, dihidroeurikomalakton, eurikomanon, eurikomanol, benzowi-non, sterol, saponin dan asam lemak sterol ester (Adriyanti et al. 2014). Selain pasak bumi, tumbuhan lainnya yang berasal dari hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat SAD adalah kulit kayu dari pohon berumbung (Calophyllum pulcherrimum) yang bermanfaat untuk mengobati demam, buah dari pohon merpayang (Scaphium macropodum) untuk mengobati panas dalam. Penelitian Somboonpanyakul et. al (2006) terhadap kandungan kimia terhadap buah Scaphium scaphigerum, menunjukkan bahwa buah Scaphium scaphigerum yang diekstrak berisi karbohidrat (62%) tinggi, monosakarida konstituen utama yaitu arabinosa, galaktosa dan rhamnose dengan asam uronic, glukosa dan xilosa.

(35)

21 pokok masyarakat SAD biasanya adalah padi dan umbi-umbian yang ditanam di kebun campuran yang mereka buat di dekat rumahnya.

Kawasan PT REKI juga memiliki hasil hutan bukan kayu yang potensial dan belum dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu gaharu (Aquilaria microcarpa). Disisi lain masyarakat telah memanfaatkan jernang (Daemonorops Sp.) karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Masyarakat menjual jernang dalam keadaan basah maupun dalam keadaan yang telah dioleh dalam bentuk serbuk. Harga jernang yang telah diolah menurut masyarakat dapat mencapai Rp 1 000 000,-.

Gambar 9 (a) Eurycoma longifolia (b) Scaphium macropodum (c) Dialium indum (d) Aquilaria microcarpa

Pengetahuan mengenai penyadapan getah jelutung

Mayarakat SAD menyadap jelutung di dalam hutan yang dilakukan di pagi hari, sekitar jam 6.00-10.00. Sama halnya dengan kegiatan menyadap jelutung di wilayah Tanjung Jabung yaitu, dimulai pada pukul 06.00 (Tata et al. 2015a). Kegiatan menyadap getah jelutung harus dilakukan di pagi hari, karena getah jelutung akan keluar sedikit jika kegiatan menyadap dilakukan siang hari. Menyadap jelutung dilakukan secara individu dan dilakukan dengan memulai menyadap dari pohon yang paling ujung atau jauh, kemudian kembali ke awal jalur rintis. Sehingga, biasanya masyarakat membuat pondok dalam hutan dan bermalam di pondok tersebut saat kegiatan menyadap jelutung berlangsung, karena jarak ke lokasi penyadapan dapat mencapai 3 km dari pondok yang di hutan.

Menyadap jelutung dapat dilakukan setiap hari, tetapi dalam rentang waktu satu minggu kegiatan menyadap tidak dilakukan selama satu hari untuk

(a) (b)

(36)

22

memulihkan kondisi pohon dan agar getah jelutung mudah keluar. Selama masa istirahat tersebut merupakan waktu untuk memulihkan kulit batang jelutung (Tata et al. 2015a), tetapi menurut Williams (1963) dalam beberapa kejadian, kematian jelutung masih saja bisa terjadi. Hal tersebut dikarenakan kayu jelutung dapat dengan mudah diserang hama penggerek batang dan jamur yang dapat meyebabkan produksi getah jelutung berangsur menurun.

Setiap orang SAD memiliki wilayah masing-masing untuk menyadap jelutung yang tidak bertumpang tindih dengan wilayah orang SAD lainnya. Kepemilikan pohon jelutung tidak secara individu, melainkan bersifat komunal. Walaupun tidak terdapat aturan adat yang mengikat, masyarakat SAD memiliki kearifan dalam kegiatan menyadap jelutung. Hak klaim pohon jelutung yang akan disadap yaitu berdasarkan penemuan pertama pohon jelutung. Kemudian masyarakat membuat jalur-jalur rintisan untuk menemukan individu pohon jelutung lainnya yang akan disadap. Jumlah pohon yang akan disadap tergantung pada kelimpahan jelutung yang terdapat pada jalur rintisan. Masyarakat SAD dalam sehari bisa menyadap 20-40 pohon jelutung. Williams (1963) bahkan menyebutkan bahwa penyadap jelutung dapat menyadap pohon jelutung setiap harinya sekitar 50 pohon. Cara-cara penentuan lokasi dan pemilihan pohon jelutung yang dilakukan oleh masyarakat SAD di PT REKI sama dengan kegiatan menyadap jelutung di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi. Menurut Tata et al. (2015a) penyadap tradisional di Tanjung Jabung Barat memiliki aturan terhadap kepemilikan pohon jelutung. Setiap penyadap memiliki hak klaim secara individu dalam pembuatan jalur rintis dan jumlah pohon dalam jalur rintis yang akan disadap. Jumlah jalur yang menjadi jalur rintisan jelutung antara 10-16 jalur atau antara 10-40 jalur. Jumlah tersebut berdasarkan pada kepadatan pohon jelutung di hutan dan jumlah penyadap dalam kelompok.

Alat yang digunakan pisau sadap khusus jelutung, lebih besar dari pisau sadap karet. Menurut masyarakat SAD, dahulu alat yang digunakan untuk menyadap jelutung adalah menggunakan parang atau golok. Menurut Williams (1963) alat yang digunakan untuk menyadap jelutung adalah dengan

menggunakan “parang”, yaitu pisau besar dan panjang.

Teknik menyadap jelutung yang dilakukan oleh masyarakat yaitu, pada bagian belakang alur sadapan tidak boleh saling bertemu atau terputus. Hal tersebut dikarenakan, jika pada bagian belakang terputus atau saling bertemu dapat menyebabkan pohon jelutung mati. Setiap pohon jelutung dibuat 2-5 alur atau plat sadapan. Getah ditampung di jirigen berukuran 20 liter atau plastik, dulu tempat menampung getah menggunakan bambu atau menggunakan daun nipah. Cara mengangkut getah dipikul dengan menggunakan tali yang disebut dengan galas.

(37)

23 pohon maka akan semakin banyak getah yang dihasilkan. Hasil uji Pearson Correlation terdapat hubungan antara diameter pohon jelutung dengan hasil getah (P=0.05, sig=0.026).

Masyarakat SAD tidak memperhatikan metode dan arah sadap ketika menyadap jelutung untuk menghasilkan getah yang banyak. Masyarakat hanya menyadap pohon jelutung dengan metode pola V saja yang diperoleh secara turun temurun. Padahal menurut (Waluyo et al. 2012) perbedaan metode sadap berpengaruh sangat nyata terhadap produksi getah, sedangkan arah sayatan (ke atas dan bawah) dan interaksi antara metode sadap dengan arah sayatan tidak mempengaruhi produksi getah. Tasman (1999) diacu dalam Bastoni (2014) juga menjelaskan bahwa penyadapan getah jelutung yang terbaik dilakukan pada pohon dengan diameter di atas 25 cm, periode sadap 2 hari, dan sudut bidang sadap 45o, mengahsilkan rata-rata getah sebesar 1.37ton/ha/tahun dengan penurunan riap diameter pohon jelutung akibat sadapan rata-rata sebesar 0.34 cm/tahun.

Gambar 10 Pola sadapan jelutung Pengetahuan proses pengolahan getah jelutung

Masyarakat SAD melakukan proses pengolahan getah setelah getah hasil sadapan dikumpulkan. Setelah getah terkumpul, getah dimasak (dikentalkan) di pondok sebelum di jual. Masyarakat SAD mengenal dua jenis getah jelutung yang sudah diolah atau dimasak, yaitu jelutung tahu dan jelutung balam. Kedua jenis getah jelutung ini dibedakan berdasarkan cara memasak atau proses pengentalan getah dan bentuk akhir dari proses pengentalan getah. Disebut jelutung tahu karena bentuk jelutung hasil olahan berbentuk balok seperti tahu.

(38)

24

Gambar 11 Diagram alir pengolahan getah jelutung tahu

Sama halnya dengan yang diungkapakan Tata et al. (2015a), bahwa getah jelutung sebelum dijual diproses terlebih dahulu yaitu, pengentalan (coagulation), pemasakan (boiling), dan penekanan (pressing). Satu liter getah ditambahkan 5 gram asetic acid untuk menggumpalkan getah. Getah digumpalkan dan dibentuk menjadi kubik sampai satu malam, kemudian dicampur dengan air panas untuk meningkatkan proses pembekuan. Setelah itu, balok-balok getah ditekan menggunakan botol atau pipa silindris untuk membuang air dalam balok getah. Kemudian getah siap dijual kepada tengkulak.

Getah jelutung balam atau getah masak press dimasak di atas tungku api. Getah yang sudah terkumpul dimasukkan kedalam panci kemudian di campur cuka, air dari kulit batang pohon tampoi (Baccaurea macrocarpa), dan sedikit air. Getah diaduk hingga rata dan mengental. Setelah getah mengental, getah diangkat dari panci kemudian diinjak-injak sebanyak 3 kali agar getah menjadi padat dan getah dibentuk seperti oval. Getah jelutung balam ini memiliki tekstur yang keras dan berwarna kemerahan karena dicampur dengan kulit batang pohon tampoi (Baccaurea macrocarpa). Getah jelutung balam apabila dibanting tidak akan pecah. Getah jelutung sebanyak 20 liter apabila dimasak menjadi jelutung akan menghasilkan 30 kg getah olahan, sedangkan jelutung pres atau balam menyusut menjadi 10 kg atau 6 kg. Kualitas dan kuantitas produk bergantung pada spesies jelutung, umur pohon, variasi musim, kondisi cuaca saat menyadap, dan ketelitiaan saat pengentalan getah. (Williams 1963). Proses pemasakan jelutung press atau balam disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12 Proses pemasakan getah jelutung press

Setelah getah jelutung dimasak, getah jelutung tahu maupun jelutung pres/balam disimpan di dalam sungai. Getah ditambatkan menggunakan tali atau rotan pada samping sungai. Getah jelutung tahu apabila mengandung banyak

(39)

25 kadar air getah akan tenggelam di dasar sungai, sedangkan getah yang mengandung sedikit kandungan air akan melayang di sungai. Penyimpanan ini dilakukan sebelum getah jelutung dijual.

Pengetahuan mengenai perdagangan getah jelutung

Perdagangan getah jelutung meliputi tingkat desa sampai tingkat provinsi. Getah jelutung yang dikumpulkan dari hutan kemudian melalui proses pengolahan dan penyimpanan terlebih dahulu sebelum dijual. Setelah getah diolah dan disimpan, getah. mengumpulkan getah jelutung pada tingkat desa di kawasan PT REKI yaitu Desa Bungku untuk diangkut bersamaan dalam satu kendaraan untuk dijual. Hal ini bertujuan agar biaya transportasi tidak terlalu tinggi bagi masing-masing penyadap. Getah kemudian dijual ke pengepul (tokeh) di beberapa daerah di Provinsi Jambi. Alur perdagangan getah jelutung disajikan pada Gambar 13.

Peran masyarakat SAD dalam perdagangan getah jelutung berhenti sampai penjualan getah pada pengepul. Dari tingkat provinsi inilah getah di impor ke negara-negara lain. Getah jelutung diekspor kebeberapa tujuan negara, yaitu Singapuram Prancis, dan Jepang (Harun 2015). Negara terpenting bagi ekspor getah jelutung adalah Singapura, yang mengolah getah jelutung yang berkadar air rendah dan menjadi balok-balok berukuran tertentu untuk diekspor kembali ke Eropa dan Amerika Serikat.

Gambar 13 Alur perdagangan getah jelutung

Penjualan getah jelutung dulu yang dilakukan oleh masyarakat SAD masih bergantung pada keberadaan tokeh atau pengepul. Masyarakat tidak dapat menjual getah jika tidak ada pengepul. Bahkan apabila tokeh meninggal dunia masyarakat SAD tidak mencari alternatif lain untuk menjual getah. Ketergantungan masyarakat terhadap pengepul menyebabkan harga tawar ditentukan oleh pengepul. Masyarakat sulit menentukan harga tawar yang lebih tinggi sehingga keuntungan yang didapatkan akan rendah. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan kapasitas masyarakat terhadap pengolahan getah jelutung agar menghasilkan getah jelutung yang berkualitas tinggi, sehingga dalam proses tawar menawar masyarakat dapat menawar dengan harga yang tinggi. Pendampingan masyarakat terhadap kegiatan jual beli kepada masyarakat harus dilakukan, sehingga masyarakat tidak dibohongi dengan monopoli harga getah dipasaran. Permasalahan utama mengenai jelutung saat ini terletak pada pasar jelutung di Jambi yang sudah tidak beroperasi lagi. Penyadap jelutung enggan melakukan penyadapan getah jelutung dikarenakan pasar jelutung yang tidak ada lagi. Masyarakat SAD lebih memilih mencari rotan, jernang, dan hasil hutan lainnya.

Masyarakat SAD tidak lagi meyadap jelutung sejak tahun 2010-2011. Sehingga menyebabkan produksi getah jelutung di Jambi semakin menurun hingga pada akhirnya produksi getah jelutung di Jambi terhenti sejak tahun 2008 (Tata et al. 2015a ; Sofiyudidin et al. 2012). Di Provinsi Kalimantan Tengah pun

(40)

26

yang masih terdapat kegiatan jual beli getah jelutung, menurut Harun (2015) kondisi pengelolaan getah jelutung belum dilaksanakan secara optimal yang diindikasikan dengan margin pemasaran yang belum efisien dan keuntungan di tingkat petani yang masih rendah.

Budaya dan kepercayaan terkait jelutung

Masyarakat SAD melakukan upaya konservasi secara pasif yaitu dengan cara tidak menebang pohon jelutung. Pohon jelutung yang masih produktif atau tidak produktif lagi, tidak akan ditebang oleh masyarakat. Apalagi apabila jelutung dihinggapi sialang, maka pohon jelutung mutlak tidak boleh ditebang, apabila ditebang akan melanggar adat dan harus membayar denda. Dendanya berupa denda kain, yaitu kain putih dan kain hitam sepanjang pohon yang ditebang serta uang. Pohon sialang yaitu pohon yang dihinggapi oleh madu, kepemilikannya berdasarkan orang yang pertama kali menemukannya, sementara rotan dan jernang kepemilikannya adalah komunal yaitu milik bersama. Masyarakat Batin Sembilan juga mengetahui sebaran dan masa panen Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) serta cara berburu satwa yang masih dijumpai di Hutan Harapan (Silalahi tahun tidak diketahui).

Tidak ada aturan adat mengenai pembagian lahan untuk menyadap jelutung. Setiap masyarakat SAD boleh menyadap jelutung dimana pun yang belum disadap oleh orang lain. Nilai budaya masyarakat SAD terhadap jelutung memang tidak terlalu nyata. Masyarakat menilai jelutung dari manfaat ekonominya. Setelah pasar jelutung tidak ada lagi, masyarakat tidak lagi berinteraksi secara intensif dengan jelutung, tetapi nilai-nilai budaya walaupun kecil harus tetap dipertahankan.

Potensi Populasi Jelutung di Hutan PT REKI

(41)

27 Berdasarkan Gambar 14 dapat terlihat bahwa potensi jelutung di kawasan hutan dataran rendah PT REKI untuk tingkat semai adalah 4 individu.ha-1, tingkat pancang adalah 4.5 individu.ha-1, tingkat tiang adalah 1 individu.ha-1, dan tingkat pohon adalah 2 individu.ha-1. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa potensi populasi jelutung di PT REKI tidak normal. Hal tersebut dikarenakan kurva

populasi tidak membentuk huruf “J”. Kurva populasi berbentuk huruf “J”

menggambarkan bahwa populasi dalam keadaan stabil, karena semai lebih banyak dan menurun setiap tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Semai yang banyak daripada tingkat pertumbuhan lainnya dapat menjamin keberlangsungan regenerasi tumbuhan apabila tidak ada gangguan dari luar. Menurut Tata et al. (2015) di Jambi menunjukkan pengurangan tegakan jelutung, tetapi masih terdapat regenerasi dan kesempatan untuk pemulihan kembali kondisi tegakan.

Hasil eksplorasi terhadap pohon jeltung ditemukan 92 pohon dengan sebaran kelas diameter yang berbeda-beda. Selang diameter pohon jelutung yang ditemukan adalah 20 cm -164.8 cm. Kelas diameter pohon jelutung paling banyak adalah kelas diameter 40 cm – 60 cm sebanyak 26 individu (Gambar 15). Diameter pohon yang ditemukan di Tanjung Jabung Barat jelutung paling besar yang ditemukan adalah sebesar 46.5 cm sedangkan diameter jelutung terbesar yang ditemukan di daerah Tanjung Jabung Timur adalah sebesar 61.2 cm (Tata et al. 2015). Apabila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Tata et al. (2015) menunjukkan kondisi pohon jelutung yang berada di kawasan PT REKI masih tergolong baik. Pohon-pohon jelutung yang memiliki diameter yang besar dan dalam kondisi yang baik dapat dijadikan pohon induk. Sebaran kelas diameter pohon jelutung disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15 Sebaran kelas diameter pohon jelutung

Sebaran diameter jelutung di PT REKI masih mengalami penurunan jumlah setiap peningkatan diameter. Potensi pohon produktif yang dapat disadap cukup banyak. Pohon jelutung yang siap sadap adalah pohon jelutung yang memiliki diameter >15 cm. Pohon jelutung yang memiliki diameter yang besar yaitu >80 cm umumnya memiliki kulit kayu sudah rusak karena sadapan yang tidak benar sehingga getah yang dihasilkan kurang optimal. Penelitian Tata et al. (2015a) yang dilakukan di Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur menunjukan sebaran frekuensi diameter jelutung pada tiga tegakan alam menunjukan bahwa jelutung dalam kondisi terancam, karena jumlah pohon jelutung lebih sedikit dari yang diduga. Hal tersebut dikarenakan tingginya eksploitasi kayu dari hutan.

24 26

20-40 40-60 60-80 80-100 100-120 120-140 160-170

(42)

28

Turunnya populasi jelutung di alam khususnya di PT REKI merupakan tanda bahwa jelutung harus tetap di konservasi. Penurunan populasi dapat disebabkan karena perambahan hutan dari luar dan kebakaran hutan yang masih terjadi di PT REKI. Masyarakat SAD tidak mengeksploitasi pohon jelutung karena pemanfaatan jelutung saat ini sangat rendah. Walaupun masyarakat SAD sudah tidak intensif lagi memanfaatkan jelutung, populasi jelutung harus tetap dipertahankan dari kepunahan mengingat jelutung memiliki banyak manfaat. Bisa saja suatu hari nanti jelutung menjadi komoditas ekonomi dunia yang bernilai ekonomi tinggi seperti pada waktu yang lalu. Sehingga masyarakat SAD dapat merasakan kembali manfaat ekonomi dari jelutung.

Pengetahuan Mengenai Ekologi Jelutung

Tanah

Jelutung dapat tumbuh dimana saja tidak terpengaruh topografi dan jenis tanah yang spesifik, sehingga masyarakat SAD dapat menemukan jelutung dimana saja, kecuali pohon jelutung rawa yang dapat ditemui di daerah rawa atau payau. Tekstur tanah tempat tumbuh jelutung biasanya agak berpasir. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil uji laboratorium terhadap tekstur tanah. Tekstur tanah tempat tumbuh jelutung didominasi oleh pasir dibandingkan dengan debu dan liatnya. Pada pengukuran ke-1 dan ke-2 tekstur tanah tempat tumbuh jelutung kandungan pasir lebih tinggi daripada kandungan debu dan liat, tetapi pada pengukuruan ke-3 tekstur tempat tumbuh jelutung kandungan liat lebih tinggi dibandingkan kandungan pasir dan debu (Tabel 6). Hal tersebut dikarenakan pengukuran ke-3 sampel tanah yang diambil di lokasi yang dekat dengan sungai, sehingga kadar liatnya lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan pasir dan debu. Hal tersebut sama dengan yang diungkapkan (Arlanda et. al 2014) yang menyatakan bahwa tekstur tanah tempat tumbuh jelutung biasanya agak berpasir.

Tabel 6 Sifat tanah tempat tumbuh jelutung Sifat tanah/No

Gambar

Gambar 1  Alur pikir penelitian Manfaat:
Gambar 3  Peta sebaran jelutung (Dyera spp.) di Asia Tenggara
Gambar 5  Silsilah asal-usul Batin Sembilan (Sukmareni 2015)
Tabel 1  Wilayah penyebaran Batin Sembilan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika semula seorang calon sarjana dapat mengatakan bahwa kepustakaan tentang sesuatu yang akan ditulisnya sebagai tesis itu belum ada, karena tidak bisa diketemukan di

Golongan masyarakat terekslusi yang dimaksud adalah mereka yang merupakan warga DKI Jakarta namun memiliki kesulitan mengakses layanan informasi ke perpustakaan

Dengan jumlah guru yang cukup banyak di institusi pendidikan maka sulit untuk proses penilaian dan mengajukan kandidat guru berprestasi pada sistem dengan manual dan

Dalam hal penerapan sanksi pidana berupa kurungan badan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh Kapal Ikan Asing (KIA) di Wilayah Pengelolaan Perikanan

X/1 Sikap Keberagamaan Penerapan Disajikan wacana tentang kondisi masyarakat yang plural, peserta didik dapat memberikan contoh sikap keagamaan yang tepat dalam kondisi

Pada mata kuliah yang diajarkan di perkuliahan teori, dalam hal ini SKI, Fisika, Mekatronika, dan juga Otomasi Industri, apakah mahasiswa sudah pernah diajarkan mengenai

Pada bagian sistem pendaratan otomatis banyak metode yang digunakan dalam membuat pesawat dapat mendarat secara otomatis.Salah satunya adalah dengan menggunakan citra dari

Rasa cemas dapat diukur menggunakan Modified Dental Anxiety Scale (MDAS) , merupakan kuisioner yang dimodifikasi berdasarkan Corah’s Dental Anxiety Scale. Kuisioner