• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KEKUATAN SURAT PERDAMAIAN DIBAWAH

C. Kemerdekaan Pers Dalam KUHP

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi KUHP tentang pencemaran nama baik yang diajukan dua wartawan yakni Risang Wijaya dan Bersihar Lubis. Keduanya dinyatakan bersalah karena melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik orang lain dan dijatuhi hukuman penjara 9 bulan dan 1 bulan.

Peran pers dalam sebuah negara sangat signifikan. Melalui pemberitaannya, media memberi pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat, termasuk bagi para pengambil kebijakan ekonomi dan politik. Tak mengherankan jika pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Di Indonesia, perkembangan pers cukup pesat setelah era reformasi. Jumlah media, baik cetak maupun elektornik, tumbuh pesat. Apalagi setelah pemerintah membuka kran kebebasan pers dengan mencabut ketentuan tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Namun, suasana kebebasan itu juga mengundang sejumlah kritik. Karena itulah, beberapa pihak menilai pers Indonesia telah kebablasan dan perlu kontrol melalui penghukuman, baik pidana ataupun perdata. Karena itu, pemidanaan itu harus dimasukkan dalam R KUHP yang saat ini disiapkan pemerintah. Komunitas pers menilai R RUHP tersebut over kriminalisiasi dan tidak menghormati kebebasan sipil dan politik warga negara R KUHP ini juga diindikasikan mengancam kemerdekaa pers karena akan ada 61 ketentuan pidana yang berpotensi mengirimkan jurnalis ke penjara.94

93

Ibid.

94

Siaran Pers Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam penyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Kemerdekaan Pers Dalam Rancangan KUHP" yang diselenggarakan pada: Hari/Tanggal: Rabe, 17 Januari 2007 di Hotel Acacia, Ruang Bougenvile, J1.

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Kemerdekaan Pers telah dijamin dalam Pasal 28 F Perubahan II UUD 1945 dan juga berbagai peraturan perundang-undangan lainnya antara lain Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, dan juga Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik.

Di negara demokratis, pers berfungsi sebagai media penyampai informasi bagi publik, menjadi wahana pendidikan dan hiburan bagi masyarakat, dan melakukan fungsi kontrol terhadap jalannya kekuasaan negara. Agar dapat menjalankan fungsinya secara optimal, pers membutuhkan ruang kebebasan yang memadai.

Kemerdekaan pers merupakan sate unsur di dalam peradaban manusia yang maju, bermanfaat tinggi dan yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan, dan jika kemerdekaan pers itu tidak ada, maka martabat manusia jadi hilang. Selain itu Pers tidak hanya bagian dari instrumen demokrasi tetapi sekaligus juga sebagai penjaga demokrasi.

Agar tetap bekeja secara etis dan profesional, pers tentu membutuhkan kontrol internal yang dilakukan melalui kode etik profesi dan pengawasan dari organsiasi profesi. Selain itu kontrol eksternal juga dilakukan melalui Dewar Pers, Lembaga pemantau media (media watch), dan pengawasan oleh publik. Dalam menjalankan peran jumalistiknya secara profesional, pers ikut menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan ini berarti bahwa kemedekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur penting dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis dan

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

berkeadilan.95

Dalam KUHP, pasal-pasal pidana bagi pers (biasa disebut delik pers) hanya ada 37. sedangkan dalam KUHP terdapat 61 pasal yang berpotensi membahayakan kebebasan pers dan mengancam profesi jurnalis. Potensi ini bukan sekedar dugaan, karena dengan menggunakan KUHP yang berlaku sekarang, jurnalis juga sering dikriminalisasikan dikarenakan karya jurnalistiknya. Problem pemidanaan terhadap karya jurnalistik di Indonesia masih menjadi ancaman yang series bagi jurnalis dan media. Meski terdapat beberapa perkembangan yang positif dalam berbagai kasus pers, seperti dalam kasus Tempo (Bambang Harymurti), namun perkembangan ini masih terlampau prematur untuk dikatakan bahwa proses pemidanaan pers akan berhenti.

Komunikasi pers menolak upaya kriminalisasi atau pemidanaan terhadap pers jika itu terkait masalah pemberitaan pers. Namun ancaman penggunaan KUHP temyata tidak berkurang di zaman reformasi. Saat ini komunitas pers menilai KUHP ini lebih buruk dibandingkan KUHP yang ada selama ini.

96

Saya minta kehati-hatian hakim yang mengadili pers ataupun pelaku pers, jangan sampai tangan-tangan hakim ini berlumuran memasung kemerdekaan Komunitas pers secara konsisten menolak apabila karya jurnalistik dapat dengan mudah dipidanakan, namun selama ini sering disalah artikan bahwa komunitas pers meminta keistimewaan di depan hukum.

Penggunaan Hukum Pidana, seperti yang terjadi selama ini, untuk menilai sebuah karya jurnalistik tidak tepat karena sangat terkait dengan etika profesi yang melandasi pembuatan karya jurnalistik. Disamping itu Undang-Undang Pers juga telah memuat mekanisme yang berupaya melindungi kepentingan individu dan masyarakat akibat teriadinya pemberitaan yang salah.

95

Ibid.

96

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

pers yang akan mematikan demokrasi dan tidak lain akan memasung kemerdekaan hakim, itu sendiri. Pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi, tetapi sekaligus menjaga demokrasi itu sendiri. Dan hakim sangat memerlukan demokrasi, sebab hanya demokrasi yang dapat menjamin kebebasan hakim dan Umu&Umi kekuasaan kehakiman.97

Risang Bima Wijaya, Mantan Pemimpin Umum dan Wartawan harian Radar Yogya, telah dijatuhi vonis oleh Mahkamah Agung dalam putusanya bernomor 1374 Pernyataan Ketua Mahkamah Agung ini hares dicermati secara baik, bahwa ada hubungan erat antara negara hukum, kemandirian Berta kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kemerdekaan pers. Dengan kata lain kemandirian serta kemerdekaan kekuasaan kehakiman dapat terjaga apabila kemerdekaan pers terjamin.

Pernyataan ini sungguh bukan merupakan lips service saja dari seorang Ketua Mahkamah Agung, tetapi sungguh diwujudkan dalam putusan menyangkut kasus Bambang Harymurti yang secara tegas menyatakan bahwa kebebasan pers merupakan conditio sine qua non bagiterwujudnya demokrasi dan Negara berdasar atas hukum, maka tindakan hukum yang diambil terhadap pers yang menyimpang tidak boleti membahayakan sendi-sendi demokrasi dan negara berdasarkan hukum.

Karena itu tindakan penghukuman dalam bentuk pemidanaan tidak mengandung upaya penguatan pers bebas dan malah membahayakan pers bebas oleh karena itu tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Pers harus didahulukan daripada ketentuan hukum yang lain.

97

Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung (MA) RI, pernah mewanti-wanti aparat hukum dan pengadilan Indonesia pada 14 September 2004. di Kutip di Harian Media Indonesia 15 September 2004, halaman 5

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

K/Pid/2005, pada 13 Januari 2006 yang menolak permohonan kasasi dan Risang Bima Wijaya dan sekaligus menguatkan putusan PT Yogyakarta dengan nomor 21/Pid/2005/PTY yang menghukum Risang dengan pidana penjara selama 6 bulan karena terbukti Melakukan tindak pidana "Menista dengan tulisan, secara berlanjut" sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Putusan yang diterima oleh Risang pada 3 Mei 2007, saat menghadiri Perayaan hari Kermerdekaan Pers Internasonal di Jakarta, sungguh mengejutkan masyarakat pers Indonesia.

Hal ini karena pemberitaan mengenai kasus pelecehan seksual oleh Dr. H. Soemadi M. Wonohito (Direktur Utama Harian Kedaulatan Rakyat) terhadap karyawannya yang dilakukan oleh Harian Radar Yogya dianggap bersalah oleh Mahkamah Agung. Putusan ini tentu mengejutkan, karma hanya berselang tiga hari setelah putusan atas Risang diucapkan, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan dengan nomor 1608 K/Pid./2005 dalam kasus Bambang Harymurti (Majalah Tempo) yang membebaskan Bambang Haryamurti dari dakwaan. Dalam dua putusan menyangkut pers ini Mahkamah Agung telah menunjukkan inkonsistensi-nya dalam penerapan unsur melawan hukum yang terdapat dalam KUHP.98

Meski Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hukum yang menjamin kemrdekaan Pers. Namur ancaman terhadap kemerdekaan pers tidak Berta merta lenyap. Ancaman tersebut bisa berasal dari pemerintahan yang korup maupun dari masyarakat yang tak paham peran pers. Yang juga harus dicermati, beragam ancaman itu justru dilakukan melalui mekanisme hukum yang sah, seperti lewat proses

98

Suparlan, Kontroversi Kasus Pelecehan Seks Bos Kedaulatan Rakyat, Jogyakarta, Harian Opini, Terbitan edisi 5 Mei 2007, halaman 1

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

legislasi di DPR dengan pembuatan undang-undang yang mengancam kebebasan pers dan melalui pengadilan dengan putusan hukum yang termasuk kebebasan Pers. Di sisi lain, mekanisme non hukum dan upaya pembungkaman Pers lewat kekerasan terus terjadi.

Tuntutan dan gugatan hukum terhadap jurnalis dan media pada umumnya dilakukan dengan menggunakan ketentuan tentang pencemaran nama baik, baik menggunakan KUHPidana ataupun KUHPerdata.

Dalam sejarahnya, aturan tentang pencemaran nama baik dipakai untuk melindungi kekuasaan dari kritik atau kontrol masyarakat. Ketentuan tersebut selanjutnya dipakai untuk mengatur fitnah atau pencemaran nama baik yang melibatkan individu.

Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia penerapan dan penggunaan ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam KUHP mempunyai potensi yang tinggi untuk digunakan secara berlebihan dan ini malah akan menghambat demokrasi, kebebasan berekspresi, kemerdekaan pers, dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik. Penggunaan ketentuan pencemaran nama baik terutama berkaitan dengan pekerjaan jurnalistik akan menimbulkan bahaya ketidakpastian hukum karena berpotensi tinggi akan mempidanakan jumalis karena pencemaran nama baik. Ketentuan pencemamn nama baik dalam KUHP bisa sangat tidak objektif karena tergantung tafsir yang sepihak dan bisa jadi tidak berdasar.

Dalam kasus pidana yang melibatkan pers tentu saja tidak bisa serta merta pengadilan menggunakan unsur melawan hukum yang terdapat dalam KUHP.

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

Karena pekerjaan seorang wartawan dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Oleh karena itu, kalaupun ada penggunaan instrumen hokum pidana maka unsur melawan hukum yang terdapat dalam KUHP harus dihubungkan dengan Undang-Undang Pers. Menarik untuk melihat bagaimana Mahkamah Agung dalam kasus Bambang Harymurti, meletakkan fondasi tentang unsur melawan hukum dalam kasus pers, Menurut Mahkamah Agung unsur melawan hukum tidak terpenuhi manakala, Pemberitaan telah berimbang (Cover Both Side), Pemberitaan telah berdasarkan atas asas keputusan, ketelitian, dan kehati-hatian, Pemberitaan telah memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik dan Kode Etik Jumalistik dan Pemberitaan tersebut telah dibantah melalui hak jawab. Dalam kasus pencemaran nama baik yang menimpa Risang, terlihat jelas bagaimana Pengadilan telah mengabaikan Undang-undang Pers sebagai pengaturan yang mengatur Tentang perlindungan terhadap kemerdekaan pers dan mengatur bagaimana pers beroperasi untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Dalam kasus yang menimpa Risang ini, Mahkamah Agung dan pengadilan dibawahnya setidaknya telah melupakan tiga faktor penting supaya element of crime dari suatu tindak pidana pencemaran nama baik telah terjadi, diantaranya adalah tidak pernah ada sidang Majelis Etik yang menyatakan bahwa pemberitaan yang ditulis oleh Risang di Harian Radar Yogya telah melanggar etika profesi.99

Ketiga faktor ini penting dilalui terlebih dahulu untuk apakah ada malpraktek yang dilakukan wartawan. Berita yang merupakan hasil malpraktek antara lain bercirikan: Tidak untuk kepentingan umum, tetapi misalnya untuk kepentingan Soemadi M. Wonohito juga tidak pernah menggunakan mekanisme hak jawab, karena jika hak jawab tidak pernah digunakan maka pemberitaan yang dilakukan oleh pers mengandung kebenaran atau paling tidak mempunyai nilai estimasi karena sudah dianggap memenuhi batas minimal investigasi reporting yaitu mencari, menemukan, dan menyelidiki sumber berita, sehingga paling tidak sudah terpenuhi pemberitaan yang konfirmatif. Mekanisme penyelesaian sengketa yang disediakan oleh UU Pers juga tidak pernah ditempuh oleh Soemadi M. Wonohito.

99

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus

pemerasan; Hasil fabrikasi; itikad buruk (Brintensi malice), misalnya untuk melampiaskan dendam kepada seseorang atau instansi tertentu.

Selain itu Mahkamah Agung juga telah mengabaikan konsep pemidanaan yang dikenal dalam Undang-Undang Pers, Undang-undang Pers menyatakan dalam Pasal 18 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) bahwa pidana yang dapat dikenakan sepanjang mengenai pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah adalah pidana denda yang dijatuhkan pada perusahaan pers dan bukan individu yang melaksanakan kerja jurnalistik tersebut. Konsep ini diperkenalkan justru untuk menggantikan konsep pemidanaan yang dikenal dalam KUHP dan tentunya lebih bersahabat dengan pekerjaan jurnalistik. 100

Karena penilaian tentang ada tidaknya pelanggaran etika dan juga ada tidaknya dugaan adanya itikat buruk dalam pemberitaan hanya dapat dinilai melalui organisasi profesi jurnalis dan/atau Dewan Pers. Wajar jika kemudian Mahkamah Agung dalam kasus Bambang Harymurti berpendapat bahwa penggunaan hak jawab, kewajiban hak jawab. dan hak koreksi sebagai prosedur yang harus dilalui sebelum pers diminta pertanggungjawaban hokum dalam hal terjadi adanya dugaan perbuatan melanggar hokum, Dan ditambahkan lagi bahwa instrumen hak jawab merupaka-n keseimbangan antara kemandirian pers bebas dan upaya perlindungan kepentingan individu dari pemberitaan pers yang keliru.

Dalam hal pelanggaran asas praduga tidak bersalah yang dihubungkan dengan ketentuan pencemaran nama baik yang terdapat dalam KUH tentu harus dilihat dari kacamata adalah pelanggaran terhadap etika profesi.

Dari titik ini pengadilan tentu tidak bisa dan atau tidak dapat atau setidak- tidaknya tidak tepat digunakan sebagai forum untuk menilai ada-tidaknya pelanggaran etika yang telah dilakukan, karena itu penting untuk menempuh semua mekanisme penyelesaian sengketa yang telah disediakan oleh Undang-undang Pers, untuk mendapat penilaian adalah berita yang ditulis di Harian Radar Yogyakarta berindikasi berita malpraktek.

101 100 Ibid. 101 Ibid

Fransiska Delima Silitonga : Analisis Kekuatan Surat Perjanjian Perdamaian Dibawah Tangan Dalam Kasus Penyelesaian Sengketa Pers Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, 2009.

Dokumen terkait