• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. KEBIJAKAN PENGURANGAN KEMISKINAN BERBASIS AGROEKOSISTEM BERBASIS AGROEKOSISTEM

7.1. Kemiskinan dan Agroekosistem

Temuan pertama hasil penelitian ini yang dibahas adalah tentang apakah

insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia berasosiasi dengan

faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Hasil analisis uji proporsi

insiden kemiskinan antar agroekosistem memperlihatkan perbedaan yang

sangat signifikan. Dengan demikian, terbukti bahwa insiden, kedalaman dan

keparahan kemiskinan yang terjadi di Indonesia berasosiasi kuat dengan

agroekosistem.

Berdasarkan hasil analisis tipologi kemiskinan, penelitian ini menunjukkan

bahwa diantara enam agroekosistem yang dianalisis, hutan memiliki insiden,

kedalaman dan keparahan kemiskinan tertinggi. Insiden kemiskinan di hutan

sebesar 18.3 persen diikuti oleh lahan campuran sebesar 14.4 persen sementara

insiden nasional sebesar 13.1 persen. Sedangkan agroekosistem lainnya berada

di bawah angka insiden nasional. yakni dataran tinggi (11.6 persen), lahan basah

(12.7 persen) dan lahan kering (12.7) serta pesisir/pantai (12.9 persen).

Hutan menunjukkan kedalaman kemiskinan dengan indeks 3.4; lebih tinggi

daripada indeks kedalaman nasional (2.3). Pada lahan campuran dan

pantai/pesisir (2.4), sementara di lahan kering, dataran tinggi dan lahan basah

berturut-turut 2.3; 2.0 dan 1.9. Indeks kedalaman kemiskinan ini mengindikasikan

bahwa besarnya kesenjangan rata-rata pengeluaran di hutan jauh di bawah

indeks kebutuhan minimum atau garis kemiskinan. Hutan berkontribusi paling

besar terhadap kesenjangan nasional dibandingkan dengan di agroekosistem

lainnya. Keparahan kemiskinan tertinggi juga terjadi di hutan dengan indeks 1.0

di bawah angka nasional; terendah di lahan basah dan di dataran tinggi

masing-masing 0.5. Tabel 48 memperlihatkan tipologi kemiskinan dan kerentanan secara

rinci.

Tabel 48 . Tipologi Kemiskinan dan Kerentanan

Agroekosistem Tipologi Kemiskinan Nasi-onal Lahan Basah Lahan Kering Lahan Cam- puran Dataran Tinggi Hutan Pantai Pesisir Insiden Kemiskinan (P0) GK (100%) 13.1 12,7 12,7 14,4 11,6 18,3 12.9 Skenario GK*110% 18.9 19.3 18.0 20.9 16.9 25.5 18.3 Skenario GK*120% 25.0 26.7 23.7 27.9 22.6 33.2 24.6 Kedalaman Kemiskinan (P1) GK (100%) Skenario GK*110% Skenario GK*120% 2.3 3.6 5.1 1,9 3.2 4.8 2,3 3.5 4.9 2,4 3.8 5.5 2,0 3.1 4.5 3,4 5.1 7.1 2.4 3.6 5.1 Keparahan Kemiskinan (P2) GK (100%) Skenario GK*110% Skenario GK*120% 0.7 1.1 1.6 0,5 0.8 1.3 0,7 1.1 1.6 0,5 1.1 1.6 0,5 0.9 1.3 1,0 1.5 2.3 0.7 1.1 1.6 Elastisitas GK*110 % P0 P1 P2 GK*120 % P0 P1 P2 4.35 5.65 5.7 4.54 6.09 6.43 5.20 6.84 6.00 5.51 7.63 8.00 4.17 5.22 5.71 4.33 5.65 6.43 4.51 5.83 12.00 4.69 6.46 11.00 4.57 5.50 8.00 4.74 6.25 8.00 3.93 5.00 5.00 4.07 5.44 6.50 4.19 5.00 5.71 4.53 5.63 6.43 Sifat Kemiskinan

Miskin (Tidak Kronis) Miskin Kronis 10.9 2.2 10.2 2.5 10.4 2.3 12.1 2.3 9.8 1.7 14.5 3.8 10.11 2.77

Sumber : Hasil Perhitungan

Pada agroekosistem dataran tinggi, jumlah rumahtingga miskin atau

proporsi/insiden kemiskinan tinggi namun kedalaman dan keparahannya lebih

rendah daripada yang lainnya. Kerentanan terhadap kemiskinan berasosiasi kuat

dengan ekonomi agroekosistem. Rumahtangga miskin di lahan basah lebih

rentan terhadap perubahan misalnya perubahan harga barang dan jasa yang

termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Ternyata, rumahtangga di kawasan

hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem

lainnya.

Hutan sebagai agroekosistem yang tertinggi insiden kemiskinannya

merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Sebagaimana diungkap di atas,

bahwa kawasan hutan pada hakekatnya bukan kawasan miskin karena

komoditas yang ada di agroekosistem ini adalah komoditas yang bernilai

ekonomi tinggi. Tetapi masyarakat di hutan tidak mempunyai peluang yang nyata

untuk mendapatkan kayu-kayu di hutan sebagai sumber matapencariannya.

Selain bekerja sebagai buruh pada perusahaan perkayuan, sebagian melakukan

ladang berpindah, dan mereka kurang mempunyai alternatif usaha lain. Sebagai

masyarakat lokal yang hidup di lingkungan organik hutan, mereka relatif tidak

mempunyai hak-hak lokal untuk mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber

kehidupannya.

Kawasan hutan dapat dibedakan menjadi dua bagian yakni hutan

konservasi yang dikelola oleh negara dan hutan produksi yang pada umumnya

dikelola oleh perusahaan yang ditunjuk. Dengan demikian, masyarakat miskin di

agroekosistem hutan kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses

apalagi kontrol terhadap sumberdaya hutan ketika membutuhkannya karena

seperti peraturan dikelompokkan sebagai infrastruktur sosial, membatasi akses

mereka terhadap sumber kehidupan yakni hutan.

Pada kenyataannya, sesuai dengan temuan penelitian bahwa infrastruktur

sosial merupakan determinan kemiskinan di wilayah ini. Hal ini sesuai dengan

penelitian Justianto (2005) bahwa kemiskinan di kawasan hutan konservasi relatif

lebih tinggi dibanding di kawasan produksi dimana masyarakat dapat menjadi

buruh di perusahaan perkayuan sebagai sumber matapencariannya. Selanjutnya,

dikatakan bahwa penduduk di hutan tidak banyak menikmati hasil dari

kehutanan, karena besaran multiplier sektor kehutanan terhadap pendapatan

rumahtangga relatif lebih kecil daripada sektor lainnya.

Fenomena kemiskinan di hutan ini dapat dikatakan merupakan anomali

dari faktor resource endowment atau dengan kelimpahruahan potensi yang

diduga dapat menyediakan sumber kehidupan bagi masyarakat dengan ekonomi

berbasis sumberdaya alam namun penduduknya miskin. Selain itu, faktor value

sumberdaya manusia dan modal fisik yang terbatas, keterisolasian dan

kurangnya akses terhadap pelayanan umum dan infrastruktur menyebabkan

akses terhadap peluang-peluang ekonomi lainnya relatif kecil. Karena itu, faktor

human capital dan physical capital serta infrastruktur termasuk infrastruktur sosial merupakan masalah kemiskinan di hutan dengan ke’khas’an sumberdaya alam

yang relatif ”tertutup” pengelolaannya bagi masyarakat. Sehubungan dengan hal

ini, intervensi pemerintah berupa aspek legal yang menjamin keterlibatan

masyarakat dalam usaha pengelolaan hutan yang memihak pada penduduk

miskin sangat diperlukan.

Temuan penelitian tentang tingginya indeks keparahan di agroekosistem

hutan yang menggambarkan tingkat kesenjangan/ketidak-merataan antara

dengan temuan penelitian tentang penciri kemiskinan di kawasan ini, maka

variabel infrastruktur fisik dan sosial merupakan determinan yang sangat

berpengaruh pada keparahan kemiskinan di kawasan ini.

Faktor kelembagaan seperti peraturan atau aspek legalitas tidak dapat

dijadikan variabel penciri yang diteliti karena keterbatasan data. Namun,

berdasarkan kerangka pemikiran dapat ditelusuri alur pendapatan ataupun

pengeluaran yang menjadi determinan kemiskinan berdasarkan akses terhadap

peluang-peluang ekonomi, ketersediaan sumberdaya alam dan penguasaan

sumberdaya ekonomi yang terdiri dari determinan rumahtangga dan infrastruktur

fisik dan sosial.

Seperti yang telah diungkap di atas, bahwa masyarakat miskin di

agroekosistem hutan kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses

apalagi kontrol terhadap sumberdaya hutan sebagai sumber kehidupannya. Hal

ini ditunjukkan pula bahwa kemiskinan terbesar terjadi di hutan konservasi

dimana masyarakat tidak mempunyai akses dan kontrol terhadap sumberdaya

hutan, berbeda dengan masyarakat yang hidup di hutan produksi dimana mereka

masih mempunyai kesempatan meraih peluang ekonomi, misalnya sebagai

buruh pabrik pengolahan kayu atau pemegang hak pengusahaan hutan untuk

memperoleh pendapatannya. Jadi, besarnya perbedaan untuk meraih peluang

ekonomi yang terjadi di kawasan hutan menjadi sebab keparahan kemiskinan di

agroekosistem hutan.

Dengan demikian, maka variabel infrastruktur fisik dan sosial menjadi

elemen penting terjadinya keparahan di hutan ini yang mengakibatkan mereka

terpinggirkan, kurang kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan serta tidak

terjangkau oleh manfaat pembangunan. Hal ini sejalan yang diungkap oleh

fact of belonging to a discriminated ethnic or social group signifies being excluded from the access to resources (e.g., land)….. barred from the access to resources (e.g., education, work, income, land), but because they are refused the rights of self-determination and physical integrity”.

Kemiskinan di hutan ternyata relatif paling rendah kerentanannya

dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Walaupun proporsi rumahtangga

rentan miskin terbesar terdapat di kawasan hutan, juga kedalaman dan

keparahannya, tetapi hutan relatif tidak rentan terhadap gejolak harga barang

dan jasa. Hal ini berkaitan dengan relatif terbatasnya akses terhadap mekanisme

pasar karena keterisolasiannya ataupun pengeluaran-pengeluaran penduduk

miskin untuk memenuhi kebutuhan minimumnya pada umumnya tidak melalui

mekanisme pasar berkaitan dengan kehidupan yang relatif subsisten dan akses

yang terbatas terhadap pasar.

Kawasan hutan juga menunjukkan jumlah miskin kronis tertinggi.

kemudian diikuti dengan lahan campuran. Bila dilihat magnitutnya,

agroekosistem yang merupakan kantong kemiskinan adalah lahan kering dan

dataran tinggi. Lahan kering dan dataran tinggi dapat merupakan bagian dari

hutan dan sebaliknya; hutan dapat berupa lahan kering dan di dataran tinggi.

Namun, karena keterbatasan data, untuk mendalami kemiskinan di hutan

diperlukan penelitian yang bersifat mikro dan primer dengan basis wilayah yang

lebih kecil. Berdasarkan jumlah rumahtangga miskin, hutan tidak merupakan

kantong kemiskinan meskipun insiden kemiskinannya tinggi. Hal ini karena

kerapatan penduduk relatif rendah dibanding agroekosistem lainnya. Namun

untuk ‘titik masuk’ pengurangan kemiskinan melalui sektor, maka hutan perlu

Penelitian ini menemukan bahwa elastisitas insiden, kedalaman dan

keparahan kemiskinan di hutan relatif lebih rendah dibanding indikator nasional.

Jadi, sensitivitas hutan terhadap perubahan harga barang dan jasa yang

termasuk bundel kebutuhan minimum relatif kecil dibandingkan dengan

elastisitas secara nasional. Hal ini dapat dijelaskan bila diasumsikan bahwa

rata-rata penduduk di hutan bertempat tinggal dan mencari nafkah relatif jauh dari

pasar ataupun pusat pertumbuhan ekonomi. Mereka relatif lebih remote

/terisolasi, sehingga lebih inert, kurang responsif terhadap external shock

misalnya terjadinya kenaikan harga barang dan jasa.

Mencermati temuan penelitian tentang penciri kemiskinan di kawasan

hutan, maka selain infrastruktur fisik sosial, kemiskinan di hutan juga sangat

dipengaruhi oleh variabel-variabel kondisi fisik rumahtangga, kondisi pendidikan

rumahtangga, dan kondisi ekonomi rumahtangga. yang menjadi variabel nyata

mempengaruhi kemiskinan di kawasan hutan. Kemiskinan di kawasan hutan bisa

dikatakan bersifat multidimensional, terjadi karena tidak berdayanya masyarakat

di agroekosistem hutan untuk mengakses dan mempengaruhi kelembagaan

pemerintah dan proses sosial yang menghasilkan kebijakan publik yang

memihak masyarakat miskin, Sehingga, mereka terperangkap dalam kemiskinan.

Temuan ini juga diperkuat oleh Hebel (2004) yang menjelaskan: “Poverty is

multi-dimensional, extending beyond low levels of income…, Lack of opportunity: low levels of consumption/income, usually relative to a national poverty line. This is generally associated with the level and distribution of physical assets such as land, human capital and social assets; and market opportunities which determine the returns to these assets. The variance in the returns to different assets is also important”.

Lahan kering dan dataran tinggi secara magnitut merupakan kantong

kemiskinan dengan jumlah rumahtangga miskin di lahan kering dan di dataran

tinggi yakni sebesar 4 632 700 dan 4 300 449 berturut-turut. Angka ini jauh lebih

besar kontribusinya terhadap kemiskinan secara nasional daripada lahan basah

(270 096) dan pantai/pesisir (648 219) serta hutan (1 367 966) Jadi, untuk

melihat kemiskinan, angka insiden kemiskinan perlu disertai besaran (magnitude)

jumlah rumahtangga miskin supaya tidak misleading dalam menganalisis

kemiskinan.

Agroekosistem di lahan basah menunjukkan insiden dan kedalaman

kemiskinan dengan elastisitas tertinggi terhadap garis kemiskinan. Sensitivitas

lahan basah ini berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran yang relatif lebih

dipengaruhi keterbukaan terhadap akses pasar ataupun relatif lebih dekat

dengan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Mobilitas penduduk yang relatif tinggi

karena relatif memadainya sarana transportasi, akses yang lebih terbuka

terhadap infrastruktur fisik dan sosial termasuk informasi dan teknologi,

menyebabkan penduduk pada lahan basah lebih responsif terhadap sinyal pasar

(market signal). Kondisi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi

keputusan-keputusan rumahtangga dalam pengeluarannya.

Pada agroekosistem lahan basah ada empat variabel penciri yang khas

antara lain: fasilitas kesehatan, puskesmas, penyakit marasmus; persentase

pengeluaran untuk kesehatan lebih dari 20 persen, dan saluran pembuangan

limbah cair lancar. Variabel penciri kemiskinan di lahan basah yang bersifat khas

yaitu variabel fasilitas kesehatan; sejalan dengan besarnya pengeluaran untuk

kesehatan dan munculnya variabel penyakit marasmus. Hal lain yang spesifik

yaitu pembuangan limbah cair yang mempengaruhi pengeluaran rumahtangga.

ini bila diasumsikan pada lahan basah mobilitas penduduk relatif tinggi sehingga

terpaparnya penduduk terhadap penyakit relatif tinggi. Dugaan lain adalah bahwa

rumahtangga lebih dekat pada fasilitas kesehatan sehingga akses terhadap

fasilitas kesehatan lebih tinggi yang pada gilirannya akan mempengaruhi

pengeluaran. Dugaan tersebut di atas perlu diteliti lebih lanjut yang bersifat mikro

mencakup komponen pengeluaran rumahtangga di lahan basah dan faktor-faktor

yang mempengaruhi keputusan pengeluaran rumahtangga.

Agroekosistem lahan campuran menunjukkan keragaman variabel penciri

kemiskinan. Pada lahan campuran ada enam variabel penciri yang khas yaitu

jenis kloset plengsengan/jemplung, lalu lintas sebagian keluarga darat,

persentase pengeluaran untuk pendidikan 10,1-20 persen, sumber penghasilan

dari pertambangan berupa sumber penghasilan dari peternakan dan tempat

membuang air besar didesa berupa jamban bersama. Variabel yang khas di

pantai/pesisir adalah sumber penerangan berupa listrik, sementara untuk

agroekosistem hutan adalah rata-rata lama sekolah kepala keluarga 6-8 tahun.

Variabel penciri kemiskinan yang membedakan lahan campuran dengan

agroekosistem lainnya yaitu variabel pendidikan, sumber penghasilan, sanitasi

dan sumber air serta alat transportasi. Variabel penciri ini jika dikelompokkan

kembali, maka penciri kemiskinan di lahan campuran ini berkaitan dengan aset

sumberdaya manusia dan infrastruktur fisik. Alternatif sumber penghasilan yang

merupakan variabel penciri dapat dijadikan patokan untuk memperluas

peluang-peluang usaha di lahan campuran dalam rangka peningkatan pendapatan.

Lahan campuran menunjukkan elastisitas keparahan kemiskinan tertinggi.

Artinya, dengan adanya gejolak harga barang dan jasa, maka kemiskinan akan

jauh lebih parah di lahan campuran dibandingkan dengan agroekosistem lain