• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.2 Perkembangan Konsep dan Pengukuran

Kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi pengertian yaitu kemiskinan relatif

dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif yaitu ukuran kesenjangan di dalam

distribusi pendapatan, berkaitan dengan tingkat rata-rata dari distribusi, atau

proporsi dari tingkat pendapatan rata-rata. Sedangkan kemiskinan absolut

didefinisikan sebagai derajat kemiskinan ketika kebutuhan minimum untuk

bertahan hidup tidak dapat dipenuhi.

Suatu individu atau rumahtangga didefinisikan miskin bila individu atau

rumahtangga tidak dapat memenuhi kebutuhannya dan berada di bawah standar

minimal tingkat kebutuhan, yang diukur dengan garis kemiskinan. Banyak

metoda yang dikembangkan para ahli dalam penentuan garis kemiskinan ini,

yang secara rinci dibahas tersendiri pada bab ini.

Dalam kaitan dengan kemiskinan absolut, diperlukan pemahaman

tentang garis kemiskinan; yang diukur berdasarkan bundel kebutuhan minimum

terhadap barang dan jasa. Kemiskinan absolut terkait dengan kemampuan yang

dimiliki rumahtangga ataupun individu dengan berbagai karakteristiknya untuk

memanfaatkan peluang-peluang ekonomi guna memenuhi kebutuhannya.

Sejak pertengahan dekade 1980-an, kemiskinan tidak lagi dipersepsikan

sebagai hanya persoalan ekonomi, tetapi menyangkut kualitas hidup (The

manusia tidak boleh dipandang dari hanya sekedar tingkat pendapatan, namun

juga dari kualitas hidup yang dimilikinya. Alternatif pengukuran the Quality of

Life diulas oleh Berg (2001) yang mengatakan bahwa kualitas hidup itu terdiri

dari komponen Gross Domestic Product (GDP) riil per kapita, life expectancy,

rata-rata lama pendidikan, tingkat kematian bayi dan anak-anak.

Mulai dekade 1990-an, tolok ukur kemiskinan memasukkan dimensi

sosial kemiskinan. Pada Konferensi Dunia untuk Pembangunan Sosial (World

Summit for Social Development) di Kopenhagen,1995, kemiskinan didefinisikan sebagai berikut:

”Kemiskinan memiliki wujud yang majemuk, termasuk rendahnya

tingkat pendapatan dan sumber daya produktif yang menjamin

kehidupan berkesinambungan; kelaparan dan kekurangan gizi;

rendahnya tingkat kesehatan; keterbatasan dan kurangnya akses

pada pendidikan dan layanan-layanan pokok lainnya; kondisi tak

wajar dan akibat penyakit yang terus meningkat; kehidupan

bergelandang dan tempat tinggal yang tidak memadai; lingkungan

yang tidak aman, serta diskriminasi dan keterasingan sosial; dan

dicirikan juga oleh rendahnya tingkat partisipasi dalam proses

pengambilan keputusan dan dalam kehidupan sipil, sosial dan

budaya”.

Kemiskinan merupakan sesuatu yang kompleks; bisa dipandang sebagai

akibat sesuatu keadaan, namun secara bersamaan juga merupakan sebab dari

suatu keadaan. Kemiskinan merupakan kombinasi ketidakcukupan daya-beli,

kurangnya kapabilitas, rentan terhadap kemiskinan dan kehilangan kekuatan

untuk berjuang mencari nafkah. Dalam keseharian, kemiskinan dipersepsikan

dalam dimensi ekonomi (Yudhoyono dan Harniati, 2004). Seseorang dinyatakan

miskin ialah bila berpendapatan di bawah garis kemiskinan (poverty line). Berapa

besaran garis kemiskinan dan bagaimana metoda pengukuran atau

penghitungannya sering dijadikan bahan analisis atau studi dan banyak

diperdebatkan.

Dalam perkembangannya, kriteria tingkat kesejahteraan masyarakat

ataupun kemiskinan mengalami perkembangan. Hingga dekade 1970-an, GDP

dipakai sebagai patokan kesejahteraan. Namun berbagai studi menunjukkan

bahwa banyak dijumpai kasus dimana GDP tinggi, namun banyak penduduk

miskin.

Pada tahun 1995 ilmuwan dari United Naton Development Programme,

diprakarsai Mahbub Ul Haq mengembangkan Human Development Index (HDI)

atau Index Pembangunan Manusia sebagai indikator perkembangan

kesejahteraan. Pada HDI ini selain dimensi ekonomi, juga dimasukkan dimensi

selain ekonomi. Variabel HDI merupakan besaran agregat GNP, tingkat harapan

hidup, dan tingkat pendidikan. Peringkat HDI menunjukkan komparasi

kesejahteraan antarnegara.

UNDP kemudian juga memperkenalkan pengukuran kemiskinan yang

dikenal dengan Human Poverty Index (HPI) atau indeks kemiskinan manusia.

Pada HPI, variabel-variabel kemiskinan antara lain persentase penduduk dengan

usia harapan hidup di bawah 40 tahun, persentase keberaksaraan penduduk

usia dewasa, rata-rata persentase penduduk tanpa akses kepada sumber air

aman diminum, dan akses terhadap pelayanan kesehatan.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua, yakni kemiskinan kronis dan

kemiskinan sementara. Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan

sementara (transient poverty) ialah kemiskinan yang ditandai dengan

menurunnya pendapatan sebagai akibat dari perubahan siklus ekonomi dari

kondisi normal menjadi kondisi krisis.

Berbagai literatur mendefinisikan kemiskinan tidak hanya berkenaan

dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek kehidupan sosial, lingkungan

bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya sebagaimana digambarkan oleh

The World Bank (2000):

Poverty is hunger. Poverty is lack of shelter. Poverty is being sick and not being able to go to school and not knowing to know how to read. Poverty is not having job, is fear for the future, living one day at a time. Poverty is losing a child to illness bring about by unclean water. Poverty is powerlessness, lack of representation and freedom.

Analisis kebijakan ataupun studi tentang kemiskinan pada masa lalu

menggunakan pendekatan statistik klasik terhadap kemiskinan. Indikator

kemiskinan yang digunakan yaitu pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.

Besaran pendapatan untuk penetapan kategori miskin atau batas miskin (poverty

line) diturunkan dari survei tradisional terhadap pendapatan penduduk atau pengeluaran konsumsi rumahtangga. Menurut Robb (2003) pengukuran atau

indikator tersebut gagal menangkap multidimensi kemiskinan. Untuk mengerti

tentang kemiskinan, haruslah melihat bagaimana kehidupan orang miskin

dengan menggunakan pendekatan multidisiplin.

Dalam dimensi ekonomi, indikator kemiskinan menggunakan tingkat

pendapatan, yang secara internasional besarnya pendapatan per hari per kapita

US$ 1.00 bagi negara yang tergolong negara berpendapatan sangat rendah

(very low-income countries). Kemiskinan diukur dengan standar pendapatan

US$ 2.00 untuk negara-negara tergolong negara dengan pendapatan sedang

seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2100 kalori per

kapita per hari.

Di Indonesia, sejak tahun 1976, BPS menggunakan batas miskin dari

besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi

kebutuhan makanan dan non makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan

patokan 2.100 kalori per hari, sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum

bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka

barang dan jasa. Komponen non-makanan ini juga dibedakan antara perkotaan

dengan perdesaan. Sayogyo dalam CESS dan ODI (2003) menentukan garis

kemiskinan dengan menggunakan ekuivalen konsumsi beras per kapita; yakni

320 kg beras untuk perdesaan dan 480 kg untuk perkotaan (per kapita per

tahun).

Indikator kemiskinan yang digunakan dalam studi-studi empiris yaitu:

1. the incidence of poverty (the poverty headcount index), yang menggambarkan

persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran

konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan,

2. the depth of poverty (the poverty gap index), yang menggambarkan dalamnya

kemiskinan; yakni jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari

garis kemiskinan,

3. the severity of poverty, yang menunjukkan keparahan kemiskinan; yang

memperlihatkan ketimpangan diantara orang miskin.

Indikator insiden kemiskinan dapat memberikan informasi tentang

proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun tidak dapat

mengindikasikan seberapa miskin penduduk tersebut. Besaran insiden

kemiskinan ini tidak berubah andai seorang miskin menjadi lebih miskin lagi.

antara penduduk miskin, karena itu perlu diukur dengan indeks keparahan

kemiskinan.

Indeks kedalaman dan keparahan diturunkan dari apa yang disebut “a

class of additively decomposable measures”. seperti yang diformulasikan oleh Foster, Greer dan Thorbecke dalam BPS (2005), yang dikenal dengan FGT

Index. Formula FGT meliputi insiden kemiskinan, indeks kedalaman dan indeks keparahan, dirumuskan sebagai:

    − ∑ = = z yi z n q i

P

α α 1 1 dimana:

α = 0,1,2; adalah parameter yang menyatakan ukuran sensitivitas kedalaman dan keparahan kemiskinan. Semakin besar α semakin besar pula timbangan yang diterapkan untuk mengukur keparahan

dari insiden kemiskinan

yi = nilai rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita/bulan dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan; dimana i = (1,2,....q)

untuk semua yi<z

z = garis kemiskinan n = total jumlah penduduk q = jumlah penduduk miskin

z-yi merupakan kedalaman kemiskinan untuk penduduk ke –i secara berurutan menurut besarnya pendapatan dengan ketentuan:

α= 0 adalah head-count index; yang mengindikasikan proporsi penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, maka Po = q/n. Jadi, bila 20

persen penduduk dari total penduduk diklasifikasikan miskin, maka

α=1 adalah rata-rata kedalaman kemiskinan (yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan). Jika α=1 maka P1= (1/n)Σ (z-yi/z)1. Misalkan P1=0,15; ini berarti bahwa gap (kesenjangan) antara total penduduk miskin terhadap garis kemiskinan, jika dirata-ratakan

terhadap seluruh penduduk (baik miskin maupun tidak miskin),

adalah 15 pesen. P1/Po = 1/q Σ(z-yi/z) adalah rata-rata kedalaman kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan.

α=2 adalah suatu ukuran yang dalam beberapa hal sensitif terhadap perubahan distribusi pengeluaran diantara penduduk miskin.

Disagregasi kemiskinan dilakukan oleh Ikhsan (1999) berdasarkan

kondisi kemiskinan terhadap masyarakat miskin yang berada di bawah garis

kemiskinan. Penelitian tersebut membangun garis kemiskinan yang baru dengan

mengacu pada standar kemiskinan versi The World Bank dan berbeda dengan

garis kemiskinan versi BPS. Disagregasi yang dilakukan yaitu karakteristik

kemiskinan yang bersifat nasional (Indonesia).

Studi tentang kerentanan yang dilakukan oleh Sumarto dan Suryahadi

(2001) mengkuantifikasi kerentanan dan menghasilkan pemilahan antara

kemiskinan kronik dan kemiskinan sementara pada masa sebelum dan sesudah

krisis ekonomi di Indonesia. Kerentanan terhadap kemiskinan (vulnerability to

poverty) didefinisikan sebagai probabilitas atau resiko rumahtangga mengalami kemiskinan setidaknya pada suatu masa dalam siklus hidupnya di masa yang

akan datang. Perbedaan kerentanan terhadap kemiskinan dan insiden

kemiskinan menurut Chaudhuri (2001) ialah;

Vulnerability is a forward-looking ex-ante measure of a household’s well-being; poverty is an ex-post measure of a household’s well-being (or lack thereof).

Suatu rumahtangga dianggap rentan (vulnerable) terhadap kemiskinan

bila probabilitasnya jatuh pada kondisi kemiskinan sama atau lebih besar dari 50

persen. Kerentanan terhadap kemiskinan ini bisa dikuantifikasi, yakni dengan

menghitung atau mengkuantifikasi kemungkinan atau resiko jatuh miskin atau

berada dalam kondisi di bawah garis kemiskinan. Kerentanan berdasarkan

Headcount Poverty Rate tersebut juga kerentanan garis kemiskinan (Vulnerability to Poverty Line).

Kondisi rentan dapat menjadi jatuh di bawah garis kemiskinan bila ada

faktor yang mendorong atau memicu. Menurut Islam (2001), faktor-faktor

tersebut dapat berupa goncangan tingkat mikro/household seperti pencari nafkah

jatuh sakit atau meninggal, pada tingkat meso/community seperti gagal panen,

fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan; dan pada tingkat

makro/economy-wide level seperti krisis finansial tahun 1997.

Penelitian yang dilakukan Ikhsan (1999) dan Pritchett et al (2000)

menunjukkan bahwa jumlah rumahtangga miskin berubah signifikan dengan

adanya krisis ekonomi. Selanjutnya, penelitian Sumaryadi (2001) menunjukkan

bahwa 38-50 persen dari rumahtangga Indonesia sangat riskan terhadap gejolak

perekonomian, dan sekitar 18 persen dari mereka tergolong pada kemiskinan

absolut. Studi oleh The World Bank (2003) juga memperlihatkan bahwa jumlah

penduduk miskin akan naik dua kali lipat (200 persen) jika garis kemiskinan naik

dari US$ 1 ke US$ 2 per kapita per hari.

Teknik ekonometri dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor

yang mempengaruhi resiko terhadap pendapatan atau pengeluaran pada masa

yang akan datang. Persyaratan penggunaan teknik ini adalah bila tersedia dua

observasi dari cross-section survey, maka dimungkinkan untuk menggunakan

rumahtangga. Hasil regresi juga memungkinkan untuk analisis perbedaan tingkat

kerentanan. Estimasi variabilitas pendapatan menggunakan koefisien variasi

pendapatan. Namun, hal ini bisa bias karena tidak mudah mencari variabilitas

pendapatan dengan kemiskinan, utamanya pada yang selalu dalam kategori

miskin. Dalam konteks kerentanan, penelitian bersama IPB, UGM, UI (2004)

merekomendasikan agar sasaran kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak

hanya pada penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan tetapi juga yang

nyaris atau rentan terhadap garis kemiskinan.

2.2. Beberapa Temuan Empirik tentang Karakteristik dan Perkembangan

Kemiskinan di Indonesia

Potret kemiskinan Indonesia berdasarkan data BPS 2005 menunjukkan

bahwa persentase penduduk miskin di perdesaan sebanyak 22.7 juta jiwa;

sementara jumlah total penduduk miskin sebesar 35.1 juta jiwa atau 15.7 persen

dari jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan data tahun 2003,

mengalami penurunan dimana jumlah penduduk miskin di Indonesia 38.4 juta

jiwa. Sekitar 65.4 persen dari penduduk miskin tersebut berada di perdesaan dan

82.1 pesen di antaranya menggantungkan hidup dari sektor pertanian.

Perkembangan kondisi kemiskinan menurut BPS (2002) adalah sebesar

37.7 juta jiwa (17.9 persen), yang terdistribusi sebanyak 14.3 persen di perkotaan

dan 20.5 persen di perdesaan. Penyebaran penduduk miskin tersebut sebanyak

58.1 persen di Jawa dan Bali, 20.5 persen di Sumatera dan 21.4 persen di

Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya.

Berdasarkan data BPS, indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan

meningkat dari 2.55 pada tahun 1996 (sebelum krisis) menjadi 4.35 pada tahun

Sementara itu, indeks keparahan kemiskinan di perkotaan meningkat dari 3.53

menjadi 5.01 dan di perdesaan dari 0.96 menjadi 1.48.

Peningkatan kedua indeks tersebut mengindikasikan bahwa krisis

ekonomi yang terjadi telah memperdalam dan memperparah kemiskinan di

Indonesia. Pada tahun 2002, indeks kedalaman kemiskinan mengalami

perbaikan menjadi 3.01 dan indeks keparahan kemiskinan menjadi 0.79.

Menurut data The World Bank (2001), pada awal tahun 1999 jumlah

penduduk miskin di perdesaan sebanyak 36.7 juta jiwa dan di perkotaan 19.1 juta

jiwa. Kemiskinan perkotaan sering dikatakan sebagai efek dan tumpahan

kemiskinan di perdesaan. Selanjutnya, IFAD (2001) melaporkan bahwa 75.7

persen penduduk miskin berada di perdesaan dan menggantungkan hidupnya

pada sektor pertanian. Sebelumnya, pada tahun 2001, penduduk miskin yang

tinggal di perdesaan sekitar 75.7 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa pada

umumnya kemiskinan merupakan fenomena perdesaan.

Secara lebih spesifik, Pasaribu dalam Rusastra et al (2006) menyebutkan

bahwa karakteristik penduduk miskin dicirikan oleh beberapa hal antara lain; (a)

masyarakat miskin sebagian besar tinggal di perdesaan dengan mata pencarian

dominan berusaha sendiri di sektor pertanian (60 persen); (b) penduduk miskin

dengan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, umumnya tinggal di wilayah

dengan karakteristik marjinal, dukungan infrastruktur terbatas dan tingkat adopsi

teknologi yang rendah.

Berdasarkan sumber penghasilannya, sebesar 63.0 persen rumahtangga

miskin menggantungkan hidupnya dari kegiatan pertanian, 6.4 persen dari

kegiatan industri, 27.7 persen dari kegiatan jasa-jasa termasuk perdagangan,

Pada tahun 1998 dan 1999 proporsi sumber penghasilan utama tidak mengalami

pergeseran (BPS, 2001).

Tinjauan spasial menunjukkan bahwa 75.7 persen rumahtangga miskin

berada di perdesaan dengan basis sektor pertanian dalam arti luas, mencakup

pertanian pangan, perkebunan dan peternakan sebagai penghasilan utama.

Sementara di perkotaan, sebanyak 75 persen rumahtangga miskin memperoleh

penghasilan utama di luar sektor pertanian dan 24 persen yang mengandalkan

sektor pertanian.

Jumlah anggota keluarga memberikan perbedaan tingkat kemiskinan.

Menurut data BPS (1999), rata-rata jumlah anggota keluarga rumahtangga

miskin di Indonesia adalah 4.9 jiwa, sementara keluarga tidak miskin

menanggung beban rata-rata 3.9 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa beban

tanggungan keluarga miskin lebih besar daripada beban tanggungan keluarga

tidak miskin.

Bila dilihat tingkat pendidikan keluarga miskin, 72.1 persen rumahtangga

miskin di perdesaan dipimpin oleh kepala keluarga yang tidak tamat pendidikan

dasar (SD), dan 24.3 persen dipimpin oleh kepala rumahtangga berpendidikan

SD. Kecenderungan yang sama juga dijumpai pada rumahtangga miskin di

perkotaan. Sekitar 57.0 persen rumahtangga miskin di perkotaan dipimpin oleh

kepala keluarga tidak tamat SD, dan 31.4 persen berpendidikan SD.

Menurut laporan riset dari The World Bank 2003, pada akhir tahun 2002

dengan menggunakan kriteria pendapatan per kapita US$ 1.00 per hari untuk

negara berpendapatan sangat rendah, maka sebanyak 50 persen penduduk

Indonesia tergolong miskin. Angka ini 20 persen lebih tinggi daripada kemiskinan

dengan menggunakan standar BPS. Bila diukur dengan US$ 2.00 per hari yakni

Indonesia atau sekitar 126 juta orang penduduk Indonesia tergolong orang

miskin. Sekitar 87 persen dari penduduk miskin ini berada pada 20 persen

pendapatan paling rendah (the bottom quintile).

Ketika krisis ekonomi melanda negeri ini, pada medio 1997 jumlah

penduduk miskin meningkat tajam. Pada akhir 1998 menjadi 49.5 juta jiwa (24.23

persen) dari total penduduk; terdiri dari 17.6 juta (21.92 persen) di perkotaan dan

31.9 juta (24.23 persen) di perdesaan. Pada tahun 2000, jumlah penduduk

miskin (tidak termasuk Nanggroe Aceh Darussalam dan Maluku) sebesar 37.3

juta jiwa terdiri dari 9.1 juta di perkotaan dan 25.1 juta di perdesaan.

Analisis-analisis mengenai karakteristik kemiskinan sering dibahas

dengan berbagai pendekatan menggunakan terminologi tipologi kemiskinan

sebagaimana yang dilakukan oleh dua organisasi internasional yakni Swedish

International Development Cooperation Agency (SIDA) dan International Fund for Agricultural Development (IFAD). Pendekatan yang digunakan SIDA untuk membangun tipologi kemiskinan yaitu:

1. Kemiskinan berdasarkan pekerjaan: buruh tani, petani gurem, nelayan

tradisional, dan lain-lain.

2. Kemiskinan yang berkaitan dengan ketidakberuntungan sosial: masyarakat

dengan kasta rendah, masyarakat terasing, suku dalam atau penduduk asli.

3. Kemiskinan karena adanya diskriminasi.

4. Kemiskinan berdasarkan letak geografis.

Sedangkan IFAD menggunakan lima pendekatan untuk membangun

tipologi kemiskinan khususnya kemiskinan perdesaan (rural poverty) yaitu:

1. Kemiskinan karena pencabutan hak dan tersisihkan.

3. Kemiskinan traumatis/sporadis karena adanya guncangan eksternal seperti

kekeringan, banjir dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

4 Kemiskinan endemik yang dicirikan oleh ketidakmandirian, terisolasi,

kurangnya aksesibilitas, dan tidak memadainya teknologi.

5. Kemiskinan karena kepadatan penduduk atau keterbatasan sumberdaya.

Sedangkan tren penduduk miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan

periode 1981-2006 dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: BPS (2003, 2005 dan PSEK (2007). Data diolah

Gambar 1. Tren Kemiskinan di Perdesaan dan Perkotaan Tahun 1981- 2006