• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA TEORI

3.6. Kemiskinan dan Kesejahteraan Masyarakat

Kemiskinan dan kesejahteraan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terlepas di mana pun diletakkan. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (diukur dari sisi pengeluaran), BPS (2009). Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Komponen garis kemiskinan terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) ditambah garis kemiskinan non makanan (GKNM). Kebutuhan dasar

75

makanan setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori sebanyak 2100 kalori per kapita per hari. Kebutuhan dasar bukan makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Garis kemiskinan adalah ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Garis kemiskinan lainnya adalah garis kemiskinan Sajogyo, yang menghitung garis kemiskinan berdasarkan harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras.

Kemiskinan bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya (Sumodiningrat, 1989). Aspek sosial terutama akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi dapat dilihat dari terbatasnya pemilikan alat produksi, upah yang rendah, daya tawar rendah, tidak adanya tabungan, lemah mengantisipasi peluang. Aspek budaya timbul rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.

Kartasasmita (1997) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Friedmann yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-

76

samaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial (Friedmann, 1992). Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan (inequality). Kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup absolut dari masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat.

Menurut Baswir (1997) dan Sumodiningrat (1998). Secara sosioekonomis, terdapat dua bentuk kemiskinan, yaitu : (1) kemiskinan absolut adalah suatu kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, GNP per kapita, pengeluaran konsumsi dan lain-lain, (2) kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa menjadi yang termiskin pada masyarakat desa yang lain.

Terdapat bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan menurut (Kartasasmita 1996, Sumodiningrat 1998, dan Baswir 1997) adalah:

1. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah.

77

Menurut Baswir (1997) kemiskinan natural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1996) disebut sebagai “persisten poverty” yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir. 2. Kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan sebagainya.

3. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997). Sumodiningrat (1998) mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacam-macam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kartasasmita (1996) hal ini disebut “accidental poverty”, yaitu

78

kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat miskin biasanya mempunyai tingkat pendapatan yang rendah. Pendapatan yang rendah mengakibatkan masyarakat miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga mereka terjebak pada kondisi yang disebut sebagai lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty), seperti yang digambarkan oleh Capello (2007) sebagai berikut:

Sumber: Capello (2007)

Gambar 7. Lingkaran Setan Kemiskinan

Masalah kemiskinan menurut Nurkse disebut sebagai sebuah lingkaran setan kemiskinan atau the vicious circle of poverty, yang mengandung arti deretan melingkar kekuatan-kekuatan yang satu sama lain beraksi dan bereaksi sedemikian rupa sehingga menempatkan suatu negara miskin tetap berada dalam keadaan miskin. Seseorang yang miskin akan selalu kekurangan makan, sehingga kesehatannya menjadi buruk. Fisik yang lemah menjadikan kapasitas kerja yang rendah, sehingga penghasilan juga rendah (menimbulkan kemiskinan) demikian seterusnya.

Dari sudut permintaan, lingkaran setan adalah rendahnya pendapatan menyebabkan tingkat permintaan menjadi rendah sehingga tingkat investasi menjadi rendah. Investasi rendah menyebabkan modal dan produktivitas rendah.

Kesehatan dan Pendidikan buruk Produktivitas rendah Tingkat pendapatan rendah (Kemiskinan) Tingkat tabungan dan

79

Produktivitas rendah tercermin dari pendapatan riil dan tabungan yang rendah. Tingkat tabungan rendah menyebabkan investasi dan modal rendah. Kurangnya modal pada gilirannya bermuara pada produktivitas yang rendah, maka lengkaplah juga lingkaran setan bila dilihat dari sudut penawaran.

Lingkaran setan yang ketiga menyangkut keterbelakangan manusia dan sumber alam. Pengembangan sumber alam suatu negara tergantung pada kemampuan produktif manusianya. Bila penduduknya terbelakang, langka akan keterampilan teknik, pengetahuan, dan aktivitas kewirausahaan, maka sumber- sumber alam akan terabaikan, kurang atau bahkan salah guna. Keterbelakangan sumber alam menyebabkan keterbelakangan manusia. Keterbelakangan sumber alam merupakan sebab sekaligus akibat keterbelakangan manusia (Meier dan Baldwin, 1960).

Definisi kemiskinan menurut Bappenas (2004) adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak- hak dasar antara lain: (1) terpenuhinya kebutuhan pangan, (2) tersedianya kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, (3) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan (4) hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.

Karakteristik kemiskinan mencakup lima hal, yaitu: (1) penduduk miskin tidak memiliki faktor produksi sendiri, (2) tidak mempunyai kemungkinan memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, (3) tingkat pendidikan rendah, (4) tidak mempunyai fasilitas, dan (5) mereka berusaha dalam usia yang relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai

80

(Salim, 1984). Negara berkembang umumnya mempunyai masalah jumlah penduduk yang tinggi, pendapatan perkapita rendah, rata-rata 40 persen penduduknya miskin, adanya pengangguran, serta rendahnya tingkat pendidikan (Lewis, 1954).

Manusia merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan kemakmuran bangsa. Sumberdaya alam tidak akan ada artinya bila tidak ada sumberdaya manusia yang pandai mengelola sehingga bermanfaat bagi kehidupan. Sumberdaya manusia yang efektif adalah prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat adalah tingkat hidup layak masyarakat yang diindikasikan oleh kondisi ekonomi dan keadaan sosial masyarakat. Kesejahteraan masyarakat juga dapat diartikan sebagai tingkat kepuasan agregat dalam suatu masyarakat. Tingkat kesejahteraan dapat dirumuskan dengan persamaan W = W(Y, I, P) dimana Y adalah pendapatan per kapita dan berhubungan positif dengan kesejahteraan, I adalah ketimpangan yang berhubungan negatif dengan W dan P adalah kemiskinan absolut yang juga berhubungan negatif. Ketiga komponen ini mempunyai signifikansi yang berbeda- beda dan perlu mempertimbangkan ketiga elemen ini untuk mendapatkan penilaian menyeluruh terhadap kesejahteraan di negara berkembang (Todaro dan Smith, 2003).

Secara umum kesejahteraan dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan primernya (basic needs) berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Definisi kesejahteraan dapat juga diartikan sebagai tingkat aksesibilitas seseorang dalam kepemilikan faktor-faktor produksi yang dapat dimanfaatkan dalam suatu proses produksi dan memperoleh

81

imbalan (compensations) dari penggunaan faktor-faktor produksi tersebut. Semakin tinggi seseorang mampu meningkatkan pemakaian faktor-faktor produksi yang ia kuasai maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan yang diraihnya. Demikian pula sebaliknya, orang menjadi miskin karena tidak punya akses yang luas dalam memiliki faktor-faktor produksi walaupun faktor produksi itu adalah dirinya sendiri.

Pengertian kesejahteraan sosial menurut Whithaker dan Federico (1997) merupakan sistem suatu bangsa tentang manfaat dan jasa untuk membantu masyarakat guna memperoleh kebutuhan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan yang penting bagi kelangsungan masyarakat tersebut. Kurangnya kemampuan seseorang dapat berarti kurang mampu untuk mencapai fungsi tertentu sehingga menjadi kurang sejahtera. United nations development programe (UNDP) mulai tahun 1990 telah menyusun suatu indikator kesejahteraan manusia yang dapat menunjukkan kemajuan manusia berdasarkan rata-rata usia harapan hidup, rata- rata lama sekolah, angka melek huruf, dan kesejahteraan secara keseluruhan.