• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Kajian Empiris

2.3.2. Studi Terkait dengan Produktivitas Tenaga Kerja

Layard dan Saigal (1966) menjelaskan hubungan antara produktivitas per pekerja dengan struktur pendidikan dan jenis pekerjaan dari angkatan kerja. Dari hasil regresi yang menghubungkan produktivitas per pekerja dengan tingkat pendidikan, menghasilkan elastisitas 0.9 bagi pendidikan tinggi dan sekolah lanjutan serta bagi pendidikan sekolah dasar 0.75. Regresi serupa menghubungkan produktivitas per pekerja dengan jenis pekerjaan menghasilkan elastisitas 0.5 bagi profesional dan tata usaha, 0.6 bagi jenis pekerjaan administrasi dan 0.2 bagi jenis pekerjaan penjualan.

Layard dan Saigal (1966) menggolongkan negara-negara berproduktivitas tinggi (produktivitas per tahun per pekerja lebih dari US$ 1 500 menurut harga- harga tahun 1960), lebih dari 90 persen angkatan kerjanya menamatkan pendidikan sekolah dasar dan hampir 10 persen tergolong profesional atau ahli tehnik. Negara yang berproduktivitas rendah (produktivitas per tahun per pekerja kurang dari US $ 700 menurut harga-harga tahun 1960), kurang dari 25 persen angkatan kerjanya menamatkan pendidikan sekolah dasar dan kurang dari 3

28

persen tergolong profesional atau ahli teknik. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan struktur pendidikan dan struktur jenis pekerjaan angkatan kerja di sejumlah negara pada tahun 1960:

Tabel 7. Struktur Pendidikan dan Struktur Jenis Pekerjaan Angkatan Kerja di Sejumlah Negara, Tahun 1960 (%)

Pendidikan dan jenis pekerjaan

Produktivitas per pekerja per tahun (dollar US, tahun 1960) (Persentase dari angkatan kerja)

Lebih dari 1 500

700- 1 500 Kurang dari

700

Pendidikan (a)

Tingkat gelar atau lebih 3.8 2.4 0.8

Tingkat sekolah lanjutan atau lebih 16.0 13.9 2.8

Tamat sekolah dasar atau lebih 90.5 51.2 23.6

Rata-rata tahun bersekolah (tahun) 9.0 5.7 2.9

Jenis pekerjaan (b)

Profesional, ahli teknik 8.7 4.6 2.4

Administrasi, eksekutif dan manajerial 4.0 1.9 0.6

Tata usaha 9.8 6.3 2.4

Penjualan 8.5 8.1 6.9

Lain-lain 69.0 79.2 87.7

Sumber: Layard dan Saigal (1966)

Tidak semua negara mengalami keadaan yang sama. Jepang termasuk golongan berproduktivitas menengah, tetapi dalam struktur pendidikan termasuk golongan berproduktivitas tinggi. Chili memperlihatkan kasus yang sebaliknya, karena termasuk negara berproduktivitas tinggi tetapi memiliki struktur pendidikan termasuk dalam golongan berproduktivitas menengah. Demikian juga negara-negara berproduktivitas rendah seperti Korea dan Filipina, seharusnya dimasukkan dalam golongan berproduktivitas menengah menurut struktur pendidikan mereka. Sedangkan Peru, walaupun dimasukkan dalam golongan berproduktivitas menengah, namun memiliki struktur pendidikan dengan karakteristik berproduktivitas rendah.

Menurut World Bank (1978), perbedaan produktivitas sektoral di negara berpendapatan rendah pada umumnya lebih besar daripada negara berpendapatan

29

menengah dan sektor pertanian adalah sektor yang umumnya paling kurang produktif, seperti yang diperlihatkan pada Tabel 8, sebagai berikut:

Tabel 8. Tingkat dan Laju Pertumbuhan Produktivitas Menurut Sektor dan Wilayah di Berbagai Negara, Tahun 1960 - 1970 (%) Penggolongan negaraa Tingkat relatif (1970)b Laju pertumbuhan rata-rata per tahun

(1960-1970)c

Pert. Industri Jasa Pertanian Industri Jasa

Berpendapatan rendah 0.60 2.11 2.24 0.95(0.62) 3.63(0.38) 3.32(0.44) Afrika 0.52 2.39 4.06 0.38(1.29) 1.18(1.31) 3.98(0.54) Asia 0.61 2.05 2.04 1.17(0.56) 4.24(0.32) 3.05(0.44) Berpendapatan menengah 0.34 1.90 1.55 2.57(0.11) 4.16(0.47) 2.68(0.61) Sub-Sahara Afrika 0.39 2.91 1.76 0.78(0.54) 3.84(0.56) 0.43(0.91)

Timur Tengah dan

Afrika Utara 0.28 2.44 1.25 2.07(0.23) 5.11(0.48) 3.47(0.45)

Asia Timur dan

Pasifik 0.45 1.90 1.68 3.66(0.19) 5.38(0.52) 3.39(0.58)

Amerika Latin dan

Karibia 0.34 1.73 1.29 2.58(0.17) 2.95(0.51) 2.22(0.65)

Eropa Selatan 0.34 1.23 1.92 4.22(0.56) 6.22(0.29) 3.93(0.52)

Keterangan:

a. Penggolongan negara menurut nilai tambah dan angkatan kerja tidak begitu tepat untuk dibandingkan

b. Produktivitas sektoral dibandingkan dengan produktivitas perekonomian

c. Angka dalam tanda kurung adalah elastisitas kesempatan kerja. Elastisitas yang lebih besar dari 1 menunjukkan menurunnya produktivitas tenaga kerja; elastisitas yang lebih kecil dari 1 menunjukkan meningkatnya produktivitas tenaga kerja

Sumber: World Bank (1978)

Di semua golongan negara, kecuali negara-negara berpendapatan rendah di Afrika, industri merupakan sektor yang laju pertumbuhan produktivitasnya paling tinggi. Pertumbuhan produktivitas sektor pertanian dan industri di negara berpendapatan rendah selalu lebih rendah dari negara berpendapatan menengah, tetapi tidak demikian dengan sektor jasa. Kecenderungan PDB per kapita meningkat lebih cepat di negara berpendapatan menengah dibandingkan negara berpendapatan rendah. Hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan produktivitas sektoral. Elastisitas kesempatan kerja menampilkan pola yang pada hakekatnya

30

sama. Lebih rendahnya laju kenaikan produktivitas di negara berpendapatan rendah tercermin dalam elastisitas kesempatan kerja mereka yang lebih tinggi.

Pada tahun 1960, negara-negara sedang berkembang mempunyai golongan penduduk di bawah umur 25 tahun sebanyak lebih dari 60 persen, sedangkan negara maju pada tahun 1900 kurang dari 50 persen. Hal ini membawa konsekuensi ekonomi, yaitu: pertama, nisbah tanggungan (dependency ratio) menjadi lebih besar. Tiap orang usia kerja di negara berkembang harus menghidupi 0.8 tanggungan dibandingkan dengan negara maju yang kurang dari 0.6, kedua, jumlah pendatang baru yang memasuki pasar tenaga kerja lebih besar di negara-negara sedang berkembang dibanding negara maju. Hal ini berarti bahwa perluasan kesempatan kerja di negara-negara sedang berkembang harus jauh lebih cepat dari pada negara maju (Keyfitz dan Flieger, 1968).

Easterly dan Levine (2000) mengelompokkan negara berdasarkan pertumbuhan pendapatan per kapita antara tahun 1980-1992, menunjukkan bahwa faktor residu (pertumbuhan produktivitas) yang berbeda antar negara, menjadi pemicu yang sangat signifikan dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Miller and Upadhyay (2000) menggunakan data panel terhadap 83 negara maju dan sedang berkembang, pada tahun 1960-1989, menyimpulkan bahwa pada negara yang berpenghasilan menengah, human capital berpengaruh positif terhadap total factor productivity (TFP). Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Benhabib dan Spiegel (1994) dan Islam (1995) yang menjelaskan bahwa human capital tidak berkontribusi secara signifikan dan mempunyai koefisien negatif terhadap output, tetapi mempunyai efek signifikan terhadap total factor productivity. Mereka menyimpulkan bahwa human capital

31

tidak dimasukkan dalam fungsi produksi sebagai input, tetapi lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan melewati efek total factor productivity (TFP).

Jones (2001), dalam penelitiannya dengan menggunakan data panel 200 perusahaan industri di Ghana selama tahun 1992-1994, menggunakan persamaan ekonometrika simultan antara fungsi pendapatan dan fungsi produksi. Hasilnya disimpulkan bahwa pendidikan mempunyai hubungan positif dan signifikan dengan produktivitas. Tenaga kerja dengan tingkat pendidikan sarjana lebih produktif dari pada pekerja lulusan secondary schooling, pekerja lulusan secondary schooling lebih produktif dari pekerja lulusan pendidikan dasar dan pekerja yang lulus pendidikan dasar lebih produktif dari pekerja yang tidak mempunyai pendidikan formal. Perusahaan membayar pekerja sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Jones menyimpulkan bahwa tenaga kerja terdidik ternyata bekerja lebih produktif dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak terdidik. Pekerja yang berpendidikan di Ghana mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi dari pekerja yang tidak berpendidikan dalam kontribusi mereka terhadap output perusahaan, sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga kerja terdidik akan mempunyai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak terdidik.

Brown dan Medoff (1978) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antar tingkat pendidikan dengan produktivitas pekerja. Hal ini senada dengan penelitian dari Mincer (1974) yang mendemonstrasikan bahwa ada hubungan positif antara lamanya sekolah pekerja dengan tingkat pendapatannya.

Menurut Amri (2008), pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat dipengaruhi oleh investasi dan tenaga kerja. Hasil ini diperoleh berdasarkan

32

analisis data tahun 1969-1993 menggunakan model neo-klasik Solow dan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam persamaan regresi linear dan bersifat constant return to scale. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia diantaranya dipengaruhi oleh adanya peningkatan investasi yang bersifat langsung. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama Pembangunan Jangka Panjang pertama disebabkan karena adanya peningkatan kuantitas investasi dan bukan karena peningkatan kualitas investasi seperti yang terjadi di banyak negara- negara maju. Peningkatan kuantitas investasi tidak banyak berperan dalam meningkatkan kapasitas ekonomi atau skala ekonomi (economic of scale).

Berdasarkan hasil perhitungan Hill (1996) terhadap beberapa indikator perkembangan teknologi, Indonesia tertinggal dibanding dengan India, Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand, seperti yang diperlihatkan dalam beberapa indikator perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, beberapa negara di Asia berikut ini:

Tabel 9. Beberapa Indikator Perkembangan Iptek di Beberapa Negara Asia, Tahun 1990-an

Indikator Indonesia India Malaysia Filipina Singapura Thailand Pengeluaran Litbang terhadap

PNB (%)

0.2 0.9 0.1 0.1 0.9 0.2 Pengeluaran Litbang per kapita

(US$).

0.9 2.7 2.1 0.7 68.1 1.9 Pengeluaran Pemerintah

untuk pendidikan terhadap PNB (1992) (%)

1.9 - 5.8 2.9 5.2 3.2

Pengeluaran Pemerintah untuk pendidikan sebagai % dari total

9.8 - 19.6 15.0 22.9 21.1

Jumlah mahasiswa sebagai % golongan pendidikan (1991)

10.0 - 7.0 28.0 - 16.0 Sumber: Hill (1996)

Rendahnya kontribusi teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa teknologi di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan

33

dengan negara tetangga. Berbeda hasil penelitian Drysdale (1997) menyatakan bahwa kontribusi masing-masing faktor produksi tidak menunjukkan perbedaan yang besar kecuali untuk Malaysia dan Philipina, dimana total factor productivity- nya sangat rendah. Berikut ini adalah sumber pertumbuhan negara Asia Timur, tahun 1950-1990 menurut Drysdale (1997):

Tabel 10. Sumber Pertumbuhan Negara Asia Timur, Tahun 1950-1990

(%/Tahun)

Negara Periode Pertumbuhan

GDP Modal Tenaga kerja TFP Hongkong 1960-1990 9.0 31.11 34.44 34.44 Korea 1953-1990 7.4 39.19 32.43 28.38 Taiwan 1950-1990 8.6 30.23 36.05 33.72 Singapura 1950-1990 7.7 50.65 38.96 10.38 Indonesia 1662-1990 6.7 38.81 29.85 31.34 Malaysia 1950-1990 6.0 60.00 48.33 -8.33 Philipina 1950-1990 4.9 48.98 46.94 4.08 Thailand 1950-1990 5.8 29.31 41.38 29.31 Sumber: Drysdale (1997)

Penelitian serupa juga dilakukan di Asia Timur oleh beberapa peneliti seperti Bosworth et al. (1995) yang menunjukkan bahwa kontribusi TFP di Asia Timur selama periode 1960-1990 cukup tinggi.

Berdasarkan studi empiris di lima negara maju, menunjukkan bahwa terdapat komplementaris yang kuat antara kemajuan teknologi (technology progress) dan pembentukan modal (capital formation), seperti yang diperlihatkan pada Tabel 11, mengenai sumber pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju menurut hasil penelitian (Boskin dan Lau, 1992):

Tabel 11. Sumber Pertumbuhan Ekonomi di Beberapa Negara Maju, Tahun 1992

(%)

34 Perancis 28 -4 76 Jerman Barat 32 -10 76 Jepang 40 5 55 Inggris 32 -5 73 Amerika Serikat 24 27 49

Sumber: Boskin dan Lau (1992)

Dari hasil penelitian ini menyatakan bahwa kontribusi terbesar pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju adalah pada kemajuan teknologi.

2.3.3. Studi Terkait dengan Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi