• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Kemiskinan

2.3.1 Pengertian Kemiskinan

Tidak mudah untuk mendefenisikan kemiskinan, karena kemiskinan itu mengandung unsur ruang dan waktu. Menurut Sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai kebiasaan suatu masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan ekonominsnya sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. (Soerjono 2006: 320)

Konsep kemiskinan pada jaman perang akan berbeda dengan konsep kemiskinan pada jaman merdeka dan modern sekarang ini. Seseorang dikatakan miskin atau tidak miskin pada zaman penjajahan dahulu akan berbeda dengan saat

ini. Demikian juga dari sisi tempat, konsep kemiskinan di negara maju tentulah berbeda dengan konsep kemiskinan di negara berkembang dan terbelakang. Mungkin keluarga yang tidak memiliki televisi atau kulkas, seseorang yang tidak dapat membayar asuransi kesehatan, anak-anak yang bermain tanpa alas kaki, seseorang yang tidak memiliki telepon genggam, akses internet dan lainnya di negara-negara Eropa dapat dikatakan miskin. Namun tidak demikian di negara kurang berkembang seperti negara-negara di Afrika.

Kemiskinan disebahagian negara justru ditandai dengan kelaparan, kukurangan gizi, ketiadaan tempat tinggal, mengemis, tidak dapat sekolah, tidak punya akses air bersih dan listrik. Defenisi kemiskinan biasanya sangat bergantung dari sudut mana konsep tersebut dipandang.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Bank Dunia mendefenisikan bahwa kemiskinan berkenaan dengan ketiadaan tempat tinggal, sakit dan tidak mampu untuk berobat ke dokter, tidak mampu untuk sekolah dan tidak tahu baca tulis. Kemiskinan adalah bila tidak memiliki pekerjaan sehingga takut menatap masa depan, tidak memiliki akses akan sumber air bersih.

Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. Kemiskinan absolut

Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya

yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya.

2. Kemiskinan relatif

Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. (http://www.repository.usu.ac.id diakses pada tangaal 21 Januari 2015 pukul 11: 12 WIB)

2.3.2 Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan

Menurut Matias Siagian (2012: 114) secara umum faktor-faktor penyebab kemiskinan secara kategoris dengan menitikberatkan kajian pada sumbernya terdiri dari dua bagian besar, yaitu:

1. Faktor Internal

Adalah dalam hal ini berasal dari dalam diri individu yang mengalami kemiskinan itu yang secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan, yang meliputi:

a. Fisik , misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.

b. Intelektual, seperti kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya informasi.

c. Mental emosional atau temperamental, seperti: malas, mudah menyerah dan putus asa.

d. Spritual, seperti tidak jujur, penipu, serakah dan tidak disiplin.

e. Sosial psikologis, seperti kurang motovasi, kurang percaya diri. depresi, stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.

f. Keterampilan, seperti tidak memiliki keahlian yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja.

g. Asset, seperti tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.

2. Faktor Eksternal

Adalah bersumber dari luar diri individu dan keluarga yang mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu menjadikannya miskin, meliputi:

a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar.

b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat memenuhi kebutuhan hidup.

c. Terbatasnya pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor informal.

d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro.

e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak.

f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal, seperti zakat.

g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian program struktural

h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan. i. Kondisi Geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana. j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material.

k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.

l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.

2.3.3 Ciri- Ciri Kemiskinan

Sulit memperoleh informasi secara jelas dan akurat berkaitan dengan indikasi-indikasi seperti apa yang dapat digunakan sebagai penanganan untuk menytakan secara akurat, bahwa orang-orang seperti inilah yang disebut orang miskin, sementara orang-orang yang seperti itu disebut tidak miskin. Namun suatu studi menunjukkan adanya lima ciri-ciri kemiskinan yaitu:

1. Mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup luas, modal yang memadai ataupun keterampilan untuk melakukan suatu aktivitas ekonomi sesuai dengan mata pencahariannya. Sebagai contoh kemiskinan itu bercirikan antara lain bahwa faktor produksi yang dimiliki pada umumnya sedikit atau bahkan tidak ada, sehingga kemampuan untuk mempertahankan apalagi meningkatkan produksipun tidak mungkin. Lebih menyesakkan lagi faktor-faktor produksi yang dimiliki justru digunakan untuk kebutuhan komsumsi, bukan untuk kebutuhan produksi, misalnya modal atau dana tidak digunakan untuk investasi melainkan hanya untuk komsumsi demi mempertahankan hidup. Kondisi seperti ini mengakibatkan banyak kasus berhentinya usaha karena kekurangan atau ketiadaan modal.

2. Mereka pada umumnya tidak mempunyai kemungkinan atau peluang untuk memperoleh aset produksi karena kekuatan sendiri. Sebagai contoh, keluarga petani

dengan perolehan pendapatan hanya untuk komsumsi. Mereka tidak berpeluang untuk memperoleh tanah garapan, benih, ataupun pupuk sebagai faktor-faktor produksi.

3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah. Kondisi seperti ini akan berpengaruh terhadap wawasan mereka. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa waktu mereka pada umumnya habis tersita semata-mata hanya untuk mencari nafkah sehingga tidak ada waktu untuk belajar atau meningkatkan keterampilan. Demikian juga dengan anak-anak mereka, tidak dapat menyelesaikan sekolahnya karena harus membantu orang tua mencari tambahan pendapatan. Artinya bagi mereka, anak tersebut memiliki nilai ekonomis.

4. Pada umumnya mereka yang masuk ke dalam kelompok penduduk dengan kategori setengah menganggur. Pendidikan dan keterampilan yang sangat rendah mengakibatkan akses masyarakat miskin ke dalam berbagai sektor formal bagaikan tertutup rapat. Akibatnya mereka terpaksa memasuki sektor-sektor informal. bahkan pada umumnya mereka bekerja serabutan maupun musiman. Jika dikaji secara totalitas, mereka sesungguhnya bukan bekerja sepenuhnya, bahkan mereka justru lebih sering tidak bekerja. Sekilas mereka tidak menganggur, namun jika digunakan indikator jam kerja, mereka justru masuk ke dalam kategori pengangguran tidak kentara. Kondisi demikian mengakibatkan mereka memperoleh pendapatan yang rendah pula.

5. Banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda, tetapi tidak memiliki keterampilan atau pendidikan yang memadai. Sementara itu, kota tidak siap menampung gerak urbanisasi dari desa yang semakin keras. Artinya laju investasi di perkotaan tidak sebanding dengan laju pertumbuhan tenaga kerja sebagai akibat langsung dari derasnya arus urbanisasi. Kondisi ini tentu tidak terlepas dari sifat

statis desa dalam mendukung kehidupan penduduknya, Dalam keadaan demikian, masyarakat desa cenderung melakukan migrasi ke kota karena dianggap sebagai alternatif dalam upaya mengubah nasib (Siagian, 2012: 20).

2.3.4 Aspek - Aspek Kemiskinan

Adapun aspek-aspek kemiskinan menurut Matias Siagian, yaitu: 1. Kemiskinan bersifat multidimensi

Sifat kemiskinan sebagai suatu konsep yang multi dimensi berakar dari kondisi kebutuhan manusia yang beraneka ragam. ditinjau dari segi kebijakan umum, maka kemiskinan itu meliputi aspek-aspek primer seperti miskin akan aset, organisasi sosial, kelembagaan sosial berbagai pengetahuan dan keterampilan yang dianggap dapat mendukung kehidupan manusia. Sedangkan aspek sekunder dari kemiskinan adalah miskinnya informasi, jaringan sosial dan sumber keuntungan yang semuanya merupakan faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai jembatan memperoleh suatu fasilitas yang dapat mendukung upaya mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas hidup.

Aspek kemiskinan saling berkaitan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sebagai konsekwensi logisnya kemajuan atau kemunduran pada salah satu aspek dapat mengakibatkan kemajuan atau kemunduran pada aspek lainnya. Justru kondisi seperti inilah yang mengakibatkan tidak mudahnya menganalisis kemiskinan itu menuju pada pemahaman yang komprehensif. Hal lain yang juga harus dipahami sebagai konsekwensi logis dari kondisi kemiskinan seperti ini adalah, pemahaman tentang kemiskinan hanya dapat diperoleh jika kita menganalisis kemiskinan secara agregat. menganalisis kemiskinan secara parsial

akan membawa kita pada pemahaman yang salah tentang kemiskinan itu sendiri. Bahkan, kemiskinan hanya dapat dipahami melalui pendekatan interdisiplinear.

2. Kemiskinan itu adalah fakta yang terukur.

Fenomena yang sering kita temui adalah, pendekatan yang diperoleh sekelompok yang bermukin di tempat yang sama, namun kualitas individu atau keluarga yang dimiliki mungkin saja berbeda. Keadaan yang demikian sering mengondisikan kita untuk mengidentifikasi kemiskinan sebagai sesuatu yang serba abstrak dan tidak mungkin diukur. Ada pula yang cenderung menyatakan kemiskinan itu sebagai abstraksi dari perasaan sehingga mustahil untuk diukur cara berfikir seperti ini harus dicegah karena akan menjauhkan kita dari pemahaman yang benar dan holistik tentang kemiskinan itu sehingga kita pun mustahil dapat menemukan solusi (Siagian, 2012: 13).

Karena kemiskinan adalah fakta yang terukur, maka kemiskinan dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai tingkatan (Siagian, 2012: 14), seperti:

1. Miskin

2. Sangat miskin 3. Sangat miskin sekali

Demikian halnya dengan BKKBN sering mengklasifikasi kondisi kehidupan masyarakat ke dalam berbagai tingkat seperti:

1. Prasejahtera 2. Sejahtera 1 3. Sejahtera 2

Berbagai klasifikasi yang telah dikemukakan menunjukkan bahwa, kemiskinan merupakan fakta yang terukur. Bahwa yang miskin adalah manusianya, baik secara individual maupun kolektif. Kita sering mendengar istilah kemiskinan

pedesaan (rural poverty), kemiskinan perkotaan (urban poverty), dan sebagainya. berbagai istilah tersebut bukanlah berarti bahwa yang mengalami kemiskinan itu adalah desa atau kota secara an sich. Kondisi desa atau kota itu merupakan penyebab kemiskinan bagi manusia. Dengan demikian pihak yang menderita miskin hanyalah manusia, baik secara individual maupun kelompok dan bukan wilayah.

Sementara itu menurut Drewnoski (dalam Siagian, 2012) mengemukakan adanya sembilan komponen yang harus disertakan dalam kajian kebutuhan pokok dalam rangka penentuan indikator kemisinan. kesembilan indikator tersebut adalah:

1. Gizi 2. Sandang 3. Tempat berlindung 4. Kesehatan 5. Pendidikan 6. Waktu terluang 7. Ketenagan hidup 8. Lingkungan sosial 9. Lingkungan fisik

Dengan indikator kemiskinan tersebut juga merupakan indikator kesejahteraan sosial ekonomi suatu masyarakat.

Dokumen terkait