• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.9. Kemitraan Usaha

Sebagaimana yang dikutip dari Hafsah (2000) kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan membesarkan. Pada dasarnya maksud dan tujuan dari kemitraan adalah “Win- win Solution Partnership”. Kesadaran dan saling menguntungkan disini tidak berarti para partisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang lebih penting adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Ciri dari kemitraan usaha adalah terdapat hubungan timbal balik, bukan sebagai buruh-majikan atau atasan- bawahan, sebagai adanya pembagian risiko dan keuntungan yang proporsional, disinilah kekuatan dan karakter kemitraan usaha.

Masih menurut Hafsah (2000) bahwa melalui kemitraan dapat meningkatkan produktivitas, pangsa pasar, keuntungan, sama-sama menanggung resiko, menjamin pasokan bahan baku dan distribusi pemasaran. Beberapa manfaat kemitraan antara lain:

1. Produktivitas. Secara umum produktivitas didefinisikan dalam model ekonomi sebagai output dibagi input. Dengan kata lain produktivitas akan meningkat apabila dengan input yang sama dapat diperoleh hasil yang lebih tinggi atau sebaliknya dengan tingkat hasil yang sama hanya membutuhkan input yang lebih rendah. Berpijak dari teori di atas dikaitkan dengan pendekatan kemitraan, maka peningkatan produktivitas diharapkan dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bermitra;

2. Efisiensi. Efisiensi didefinisikan sebagai doing things right atau terjadi bila output tertentu dapat dicapai dengan input yang minimum. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan kecil yang umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan sistem dan sarana produksi, dengan bermitra akan dapat menghemat waktu produksi melalui sistem dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Mekanisasi pertanian dalam penyiapan lahan yang dimiliki oleh petani plasma dimana perusahaan inti menyediakan alat dan mesin pertanian sehingga petani dapat mempercepat dan memperluas areal tanam dengan tenaga yang tersedia. Pada gilirannya hasil produksi dari para petani plasma dapat mencapai hasil yang diharapkan sesuai dengan kapasitas produksi yang ditargetkan oleh perusahaan;

3. Jaminan kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Produk akhir dari suatu kemitraan ditentukan oleh dapat tidaknya diterima pasar. Indikator diterimanya suatu produk oleh pasar adalah kesesuaian mutu yang diinginkan oleh konsumen (market driven quality atau consumer driven quality). Loyalitas konsumen hanya dapat dicapai apabila ada jaminan mutu dari suatu produk;

4. Risiko dapat ditanggung bersama. Dengan kemitraan diharapkan risiko yang besar dapat ditanggung bersama (risk sharing). Tentunya pihak- pihak yang bermitra akan menanggung risiko secara proporsional sesuai dengan besarnya modal dan keuntungan yang akan diperoleh;

5. Sosial. Dengan kemitraan usaha bukan hanya memberikan dampak positif dengan saling menguntungkan melainkan dapat memberikan dampak sosial (social benefit) yang cukup tinggi. Hal ini berarti negara terhindar dari kecemburuan sosial yang bisa berkembang menjadi gejolak sosial akibat ketimpangan;

6. Ketahanan ekonomi nasional. Pokok permasalahan dalam pelaksanaan kemitraan adalah upaya pemberdayaan partisipan kemitraan yang lemah, yaitu pengusaha kecil, atau dengan kata lain terciptanya kesetaraan dalam posisi tawar antar pelaku maka perlu adanya usaha konkret yang mendorong terlaksananya kemitraan usaha sekaligus sebagai model terciptanya kemitraan usaha. Dalam mendorong terciptanya kemitraan usaha yang sering dilakukan adalah dengan menciptakan iklim kondusif berupa peraturan, mewujudkan model atau pola kemitraan yang sesuai, yaitu dengan menyediakan prasarana penunjang. Dengan adanya upaya dan fasilitas fisik diharapkan akan terwujud kemitraan. Produktivitas, efektivitas dan efisiensi akan meningkat yang akhirnya akan bermuara pada meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan para pelaku kemitraan. Dengan adanya peningkatan pendapatan yang diikuti tingkat kesejahteraan dan sekaligus terciptanya pemerataan yang lebih baik otomatis akan mengurangi timbulnya kesenjangan ekonomi antar pelaku yang terlibat dalam kemitraan usaha yang pada gilirannya mampu meningkatkan ketahanan ekonomi secara nasional.

Menurut Pranadji (1995) terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang pada kegiatan agribisnis, yaitu: pola kemitraan tradisional, kemitraan “pemerintah” dan kemitraan pasar. Kemitraan agribisnis tradisional mengikuti pola hubungan patron-client. Pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron adalah pemilik modal atau peralatan strategis (seperti lahan pada agribisnis tanaman semusim dan tahunan, atau pemilik peralatan tangkap pada agribisnis perikanan tangkap); dan yang berperan sebagai client adalah petani penggarap, peternak atau nelayan pekerja. Pada pola patron-client seperti ini kemitraan agribisnis yang berkembang lebih bersifat horisontal, yaitu agribisnis yang bergerak di bidang produksi atau usaha tani. Kemitraan yang bersifat vertikal umumnya diwarnai oleh hubungan

hutang (panjar atau ijon) antara pedagang (pemberi hutang) dan petani produsen (penerima hutang).

Pola kemitraan program pemerintah condong pada pengembangan kemitraan secara vertikal: dimana model umum yang dianut adalah hubungan

“bapak-anak angkat”, yang pada agribisnis perkembangan dikenal sebagai pola

Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Pola kemitraan ini dapat dinilai sedikit lebih maju dibanding pola patron-client. Pola kemitraan pasar berkembang sebagai akibat dari masuknya peradaban ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di pedesaan. Jenis usaha pertanian yang dibidik oleh pola ini adalah usaha yang menghasilkan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai permintaan kuat di pasar dunia. Pola ini berkembang dengan melibatkan petani sebagai pemilik aset tenaga kerja dan peralatan produksi, dan pemilik modal besar yang bergerak di bidang industri pengolah dan pemasaran hasil. Dua pelaku ekonomi, petani dan pemilik modal, menggalang kerja sama (kemitraan) karena danya kepentingan (mutually beneficial) untuk berbagai manfaat ekonomi. Dari segi pengadopsian atas hasil inovasi di bidang iptek (revolusi) permodalan dan kelembagaan modern, pola ini mempunyai keandalan yang relatif lebih tinggi dibanding dengan dua pola terdahulu.

Dokumen terkait