(Studi di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor)
MA’RIFATU RODIAH I34070089
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Implementation of Healthy Rice-Plant Farming System (Case Ciburuy Village, Cigombong, Bogor). Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN
Implementation of healthy rice-plant farming systems caused changes in some aspect of agricultural institution. The main objectives of this research was to analyzed the agriculture institutional arrangements in the implementation of healthy rice-plant farming system. The specific objectives were: 1) Examined the implementation of healthy rice-plant farming systems; 2) Analyzed the relationship between implementation healthy rice-plant farming system and the labor absorption; 3) Analyzed the relationship between implementation of healthy rice-plant farming systems and changes in organizational form; 4) Analyzed the relationship between implementation of healthy rice-plant farming systems and the agricultural networks. Generally, the implementation of healthy rice-plant farming systems caused changes in several aspects including the increased agricultural activities, the changing forms of organization and the formation of agriculture networks. On the implementations of healthy rice-plant farming systems was not needed a new institutional system to regulated agricultural activities, but rather required a arrangement or addition of new instruments in the organization according to the new perceived needs.
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor). Di bawah bimbingan FREDIAN TONNY NASDIAN.
Penelitian ini bertujuan menganalisis penataan kelembagaan pertanian dalam penerapan sistem pertanian padi sehat, secara khusus menelaah dan menganalisis: (1) Penerapan sistem pertanian padi sehat; (2) Hubungan penerapan sistem pertanian padi sehat terhadap penyerapan tenaga kerja; (3) Hubungan penerapan sistem pertanian padi sehat terhadap perubahan bentuk organisasi; (4) Hubungan penerapan sistem pertanian padi sehat terhadap pembentukan kemitraan pertanian.
Penelitian ini mengkombinasikan dua pendekatan yakni pendekatan kualitatif diikuti pendekatan kuantitatif. Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan sekunder. Penelitian ini didahului dengan pengambilan data sekunder yang diperoleh dari dokumen-dokumen kependudukan maupun profil desa dan data primer kualitatif berupa wawancara dengan tokoh (informan). Data primer kuantitatif berupa pengisian kuesioner dilakukan berikutnya.
Unit analisis dari penelitian ini adalah rumah tangga petani dengan unit pengamatan adalah kepala keluarga atau anggota keluarga yang menerapkan sistem pertanian padi sehat dan tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Pemilihan responden menggunakan teknik stratified random sampling dengan dasar pelapisan yang digunakan berdasarkan penguasaan lahan (pribadi maupun garapan) yang dibedakan ke dalam tiga kelas atau lapisan (atas, menengah dan bawah). Dari total populasi sebanyak 83 orang kepala keluarga yang menerapkan sistem pertanian padi sehat diambil sampel secara acak proporsional dengan jumlah responden sebanyak 30 orang yang terdiri atas 5 orang berasal dari lapisan atas, 15 orang berasal dari lapisan menengah dan 10 orang dari lapisan bawah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penerapan sistem pertanian padi sehat perlu ditunjang dengan penataan kelembagaan pertanian guna mewujudkan pertanian yang berkelanjutan. Pada penerapan sistem pertanian padi sehat, terdapat kegiatan-kegiatan baru terutama pada pengolahan dan pemasaran hasil sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja pertanian. Penerapan sistem pertanian padi sehat juga menyebabkan perubahan pada bentuk organisasi. Perubahan bentuk organisasi yang dimaksud adalah dengan terbentuknya instrumen atau unit kerja baru dengan spesifikasi kerja masing-masing agar lebih efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan dan menunjang kegiatan pertanian.
(Studi di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor)
MA’RIFATU RODIAH I34070089
SKRIPSI
Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:
Nama Mahasiswa : Ma‟rifatu Rodiah
NRP : I34070089
Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul : Penataan Kelembagaan Pertanian dalam Penerapan Sistem Pertanian Padi Sehat (Studi di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor).
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS NIP. 19580214 198503 1 004
Mengetahui,
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Ketua
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENATAAN KELEMBAGAAN PERTANIAN DALAM PENERAPAN SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT (STUDI DI KAMPUNG CIBURUY, DESA CIBURUY, KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA
BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA
MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
Bogor, Agustus 2011
1989. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Atmaja
dan Mukarromah. Pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis berturut-turut dari
jenjang sekolah dasar hingga menengah atas yaitu SDN Katulampa 3
(1995-2001), SMP Negeri 2 Bogor (2001-2004) dan SMA Negeri 4 Bogor (2004-2007).
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Ujian Seleksi
Masuk IPB (USMI) Tahun 2007 pada program Studi Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Selama menempuh
pendidikan di IPB, penulis juga aktif mengikuti sejumlah kegiatan organisasi
maupun kepanitiaan diantaranya, sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Peminat
Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) periode
2009/2010 pada divisi Pengembangan Masyarakat. Pada Tahun 2009 penulis
mengikuti kegiatan IPB Go Field di desa binaan PT. Indocement Tunggal
Prakarsa, Tbk dan sekaligus menjadi angkatan pertama. Pada Tahun 2011 penulis
menjadi fasilitator dalam acara Pesta Petani Muda Indonesia (Pestani) se-Jawa
Barat yang dilaksanakan atas kerjasama KODAM III Siliwangi, Pemerintah
Propinsi Jawa Barat dan Banten serta IPB. Terakhir, penulis juga tercatat sebagai
asisten praktikum Mata Kuliah Sosiologi Umum selama dua semester. Adapun
sejumlah kepanitiaan yang pernah diikuti antara lain Mimitran Gentra Kaheman
2007, Indonesian Ecology Expo (Index) 2008, Conference of Human Ecology
Allah SWT, Tuhan semesta alam, karena berkat nikmat, rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi yang berjudul “Penataan
Kelembagaan Pertanian dalam Penerapan Sistem Pertanian Padi Sehat (Studi di
Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor)”.
Penelitian ini bertujuan menganalisis penataan kelembagaan pertanian dalam
penerapan sistem pertanian padi sehat. Diharapkan melalui penelitian ini dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak atau unsur yang terkait dengan
pembangunan pertanian berkelanjutan dan pihak-pihak yang menaruh minat pada
kajian penataan kelembagaan dimana teknologi menjadi sumber perubahan.
Tidak sedikit hambatan dan masalah yang penulis rasakan dalam
menyelesaikan laporan penelitian (skripsi) ini, namun Allah SWT senantiasa
memberikan kekuatan dalam setiap langkah penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Penulis dedikasikan skripsi ini untuk kedua orangtua yang
merupakan bagian dari hidup penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat
terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah bersedia
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
atas nikmat, rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis juga tidak lupa menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih kepada
beberapa pihak yang telah bersedia membantu dalam penyusunan skripsi ini baik
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen pembimbing yang disela-sela
kesibukannya telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberi
semangat dan masukan-masukan yang begitu berarti kepada penulis selama
masa penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi dan Iman K. Nawireja, SP, MSi selaku
dosen penguji yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi.
3. Ibu Hana Indriyana, SP, MSi yang telah memberikan rekomendasi dan
informasi awal mengenai lokasi penelitian.
4. Ketua Gapoktan, H. A. Dzakaria sekeluarga, petani sejati yang cerdas dan
berdedikasi yang telah menjadi teman berdiskusi sekaligus guru di lapangan.
5. Bapak Guru Suherman dan Ibu Yuyun yang telah menjadi orangtua penulis
selama berada di lokasi penelitian.
6. Seluruh ketua dan anggota kelompok-kelompok tani yang telah bersedia
menerima penulis dalam rangka melakukan penelitian.
7. Keluarga tercinta (Kedua orangtua dan saudara-saudara kandung), bagian
hidup penulis. Terlebih Bapak dan Ibu yang merupakan energi dan sumber
motivasi bagi penulis dalam menjalani masa-masa studi. Terimakasih yang
tak terhingga atas kasih sayang, curahan perhatian dan juga senantiasa
“menyertakan” penulis dalam setiap doa-doanya.
8. Dewi Vivi Vanadiani, sahabat sekaligus teman satu pembimbing, yang
sama-sama merasakan pahit manis masa-masa studi.
9. Sahabat-sahabat tercinta (Wina, Vitadesy, Ira, Anggi, Mabu, Didi, Pia,
Dinda, Karin, Yoshinta, dkk.) atas kebersamaan dan keceriaan yang tiada
usaha kita berkah. Amin.
11.Praktikan Sosiologi Umum, B19 family (angkatan 47) atas kebersamaan,
keceriaan, dan kerjasama yang telah dibangun.
12.Kawan-kawan seperjuangan, KPM angkatan 44 yang begitu penulis sayangi
dan tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas kerjasama dan
kebersamaannya selama ini. Terimakasih pula telah mewarnai hidup penulis
selama menimba ilmu di KPM.
13.Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan
kerjasamanya selama ini.
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis maupun pembaca terutama dalam hal memahami lebih jauh tentang
penataan kelembagaan pertanian.
Bogor, Agustus 2011
DAFTAR ISI
BAB II PENDEKATAN TEORITIS... 6
2.1. Tinjauan Pustaka... 6
2.1.1. Definisi dan Konsep Perubahan Sosial... 6
2.1.2. Teori-teori Modern mengenai Perubahan Sosial... 7
2.1.3. Perspektif Perubahan Sosial... 8
2.1.4. Proses Perubahan Sosial... 10
2.1.5. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan... 11
2.1.6. Sistem Pertanian Organik... 12
2.1.7. Kelembagaan Pertanian... 16
2.1.8. Perubahan Bentuk Organisasi... 18
2.1.9. Kemitraan Usaha... 19
2.2. Kerangka Pemikiran... 22
2.3. Hipotesis... 23
2.4. Definisi Operasional... 23
BAB III PENDEKATAN LAPANG... 26
3.1. Metode Penelitian... 26
3.2. Jenis dan Sumber Data... 26
3.3. Teknik Penentuan Responden... 26
3.4. Pengolahan dan Analisis Data... 27
3.5. Waktu dan Tempat Penelitian... 28
BAB IV PROFIL DESA CIBURUY... 29
4.1. Kondisi Geografis... 29
4.2. Kondisi Fisik, Sarana dan Prasarana... 29
4.3. Kondisi Demografis... 30
4.4. Profil Kampung Ciburuy (Struktural dan Kultural) ... 32
4.5. Pola Adaptasi Ekologi... 35
4.6. Ikhtisar... 36
BAB V PENERAPAN SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT... 38
5.2. Deskripsi Sistem Pertanian Padi Sehat di Kampung Ciburuy... 40
5.3. Sistem Pertanian Padi Sehat dan Penerapannya... 41
BAB VI PENERAPAN SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PERTANIAN... 46
6.1. Kegiatan-kegiatan Baru dalam Penerapan Sistem Pertanian Padi Sehat... 46
6.2. Penyerapan Tenaga Kerja Pertanian... 47
BAB VII PENERAPAN SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT DAN PERUBAHAN BENTUK ORGANISASI... 49
7.1. Kebutuhan yang Dirasakan dalam Penerapan Sistem Pertanian Padi Sehat... 49
7.2. Perubahan Bentuk Organisasi... 52
BAB VIII PENERAPAN SISTEM PERTANIAN PADI SEHAT DAN PEMBENTUKAN KEMITRAAN... 58
8.1. Jaringan Kemitraan dalam Penerapan Sistem Pertanian Padi Sehat... 58
8.2. Manfaat Kemitraan... 61
BAB IX PENUTUP... 65
9.1. Kesimpulan... 65
9.2. Saran... 66
DAFTAR PUSTAKA... 68
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Tabel 1 Jumlah dan Persentase Penduduk Desa Ciburuy menurut
Tingkat Pendidikan... 31
Tabel 2 Jumlah dan Presentase Petani menurut Luas Lahan
Garapan (hektar) di Desa Ciburuy, 2011... 33
Tabel 3 Jumlah dan Persentase Tenaga Kerja menurut Kegiatan Pertanian Di Desa Ciburuy, 2011 (pada Satuan Luas
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penataan Kelembagaan Pertanian
dalam Penerapan Sistem Pertanian Padi Sehat... 23
Gambar 2 Piramida Penduduk Desa Ciburuy... 31
Gambar 3 Persentase Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Ciburuy... 32
Gambar 4 Matriks Pendekatan-pendekatan yang Diterapkan dalam Penerapan Sistem Pertanian Padi Sehat di Kampung
Ciburuy, 2011... 40
Gambar 5 Persentase Perubahan Taraf Hidup Petani Padi Sehat
Kampung Ciburuy... 44
Gambar 6 Persentase Kebutuhan yang Dirasakan Petani Lapisan Atas, Menengah dan Bawah dalam Penerapan Sistem
Pertanian Padi Sehat... 49
Gambar 7 Bagan Alir Terbentuknya Kerjasama dan Munculnya Instrumen (Unit Kerja) Baru dalam Penerapan Sistem
Pertanian Padi Sehat... 53
Gambar 8 Rantai Pasar pada Pertanian Konvensional dan Sistem
Pertanian Padi Sehat... 56
Gambar 9 Matriks Pihak-pihak yang Bermitra dengan Gapoktan “Silih Asih” menurut Kalangan Pemerintahan,
Akademisi, Perusahaan dan Lembaga Penelitian... 59
Gambar 10 Persentase Manfaat Kemitraan yang Dirasakan Petani Lapisan Atas, Menengah dan Bawah dalam Penerapan
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Lampiran 1 Prosedur Operasional Standar (SOP) Budidaya Padi
Sehat Bebas Pestisida dan Pemupukan... 70
Lampiran 2 Daftar Nama Petani Padi Sehat Kampung Ciburuy
(Kerangka Sampling)... 75
Lampiran 3 Denah Lokasi Penelitian... 77
Lampiran 4 Jumlah dan Presentase Penduduk Desa Ciburuy menurut
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Salah satu upaya pemerintah dalam memacu proses industrialisasi pertanian
adalah dengan introduksi sistem pertanian yang mampu mendorong produksi dan
produktivitas sektoral. Upaya ini merupakan salah satu strategi pembangunan
karena teknologi umumnya diciptakan untuk tujuan efisiensi dan efektivitas.
Penerapan sistem tepat-guna dalam skala tertentu juga mampu menunjukkan
efisiensi ekonomi tinggi (Sudaryanto et al, 1997). Salah satu teknologi alternatif yang akhir-akhir ini sedang memperoleh perhatian dan dukungan adalah pertanian
organik. Dukungan tersebut berasal dari para petani sebagai produsen, masyarakat
sebagai konsumen, industri sebagai pelaku bisnis, dan pemerintah sebagai
fasilitator dan regulator.1
Pembangunan pertanian yang didasarkan pada kebijakan Revolusi Hijau
cenderung tidak menunjukkan adanya suatu keberlanjutan baik secara sosial,
ekonomi maupun ekologi. Sehubungan dengan itu, Salikin (2003) menyatakan
bahwa konsep keberlanjutan telah mendapat perhatian yang besar sebagai kritik
atas pendekatan industrial pada proses pembangunan pertanian. Sebagaimana
dikutip dari Reijntjes et al. (1999) dengan munculnya konsep Pembangunan
Pertanian Berkelanjutan yang diperkenalkan pada Tahun 1987 dalam sidang
WCED (World Commission on Environment and Development), pertanian organik
merupakan salah satu bagian dari pendekatan pertanian berkelanjutan. Semakin
tumbuhnya kesadaran maupun pemahaman masyarakat akan bahaya bahan kimia
sintesis dalam jangka waktu yang lama, maka mulai diliriklah cara pertanian
alamiah dalam hal ini pertanian organik. Hingga kini perkembangan penerapan
pertanian organik semakin pesat dan menjadi alternatif jalan penghidupan yang
berkelanjutan.
Introduksi dan diseminasi sistem pertanian modern ke pedesaan tidak diikuti
dengan penataan kelembagaan pertanian. Sebagaimana yang dikutip dari
Suradisastra (1997) bahwa dalam sejarah perkembangan pertanian dan
1
industrialisasi pertanian pedesaan sangat jarang dijumpai pendekatan yang
menekankan pentingnya peran kelembagaan dan organisasi lokal. Alternatif utama
yang mampu mendorong dan mengembangkan pertumbuhan kelembagaan dan
organisasi lokal yang bersifat partisipatif adalah dengan memfasilitasi petani
untuk menyelenggarakan proses pengembangan maupun penataan kelembagaan
dan organisasi yang selaras dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain kelembagaan
pertanian yang sifatnya tradisional juga muncul kelembagaan pertanian yang
dikelola dengan cara lebih modern yaitu kelompok tani, kelompok pemakai air,
kelompok kredit usaha, koperasi desa dan lain sebagainya. Kemitraan juga dapat
menjadi salah satu aspek yang dapat dikembangkan sejalan dengan penataan
kelembagaan karena mengutip Hafsah (2000) kemitraan dapat menjadi salah satu
solusi menghilangkan ketimpangan dan menjadi alternatif dalam upaya
memberdayakan petani.
Di Kampung Ciburuy, Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten
Bogor, terdapat komunitas petani padi sawah yang sejak Tahun 2001 telah
menerapakan sistem pertanian padi sehat2 yang merupakan transisi dari pertanian
modern dengan input luar berbahan kimia menuju pertanian organik. Sehubungan
dengan penerapan sistem pertanian padi sehat muncul kebutuhan-kebutuhan dan
mekanisme pengaturan baru yang dibutuhkan agar dapat menunjang kegiatan
pertanian sehingga dilakukan penataan kelembagaan guna memenuhi kebutuhan
petani. Penataan kelembagaan yang dilakukan oleh Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) ini juga membawa perubahan pada bentuk organisasi dan
pembentukan kemitraan pertanian. Seiring pergeseran paradigma pembangunan
dari Revolusi Hijau ke Pembangunan Pertanian Berkelanjutan, penting untuk
melihat bagaimana perubahan yang terjadi pada kelembagaan pertanian. Oleh
sebab itu, kajian ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana penataan
kelembagaan dan pembentukan kemitraan pertanian dalam penerapan sistem pertanian padi sehat?
2
1.2. Masalah Penelitian
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) baik di tingkat pusat
maupun daerah berisi arah dan kebijakan dasar pembangunan untuk jangka waktu
dua puluh tahun yang berkedudukan sebagai pedoman bagi semua pihak dalam
merencanakan dan melaksanakan pembangunan jangka menengah. Dalam setiap
rencana pembangunan, sektor pertanian masih menjadi perhatian utama.
Pendekatan pembangunan ini dilakukan dengan berpedoman pada etika
modernisasi yang berlandaskan pada kemajuan sistem sebagai sumber utama
perubahan sosial. Lebih jauh lagi sejak munculnya konsep pembangunan
pertanian berkelanjutan yang salah satunya dilakukan melalui pengembangan
sistem pertanian organik maka semakin mewarnai dinamika perubahan dan
perkembangan sektor pertanian di Indonesia.
Sebagaimana dikutip dari Lauer (2006), Perspektif Materialistis
menyatakan bahwa tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh sistem. Veblen
terutama memusatkan perhatian pada pengaruh sistem terhadap pikiran dan
perilaku manusia. Perspektif Materialistis ini mengakui juga adanya interaksi
antara sistem dan ide tetapi memberikan tekanan pada salah satu faktor yaitu
faktor sistem. Dalam hal ini, ide pemikiran atau gagasan mengenai konsep
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan mengawali munculnya sistem pertanian
organik. Namun gagasan ini juga diikuti dengan sistem-sistem yang
dikembangkan untuk pembuatan pupuk organik dengan melibatkan
mikroorganisme yang juga sebagai sebuah sistem. Berdasarkan pandangan
tersebut perlu dilihat bagaimana penerapan sistem pertanian padi sehat dapat
menyebabkan perubahan sosial?
Modernisasi menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan.
Berbagai pakar meletakkan tekanan pada jenis perubahan yang berbeda. Namun
sebagian besar memandang penting perubahan struktural dalam hubungan,
organisasi dan ikatan antara unsur-unsur masyarakat. Sebagaimana dikutip dari
Lauer (2006), alasan dibalik lebih seringnya penekanan ditujukan pada perubahan
struktural dibanding tipe lain adalah karena perubahan struktural itu lebih
mengarah kepada perubahan sistem sebagai keseluruhan dibandingkan perubahan
pembentukan masyarakat dan operasinya. Jika strukturnya berubah, maka semua
unsur lain cenderung berubah pula. Berdasarkan konsep yang dikemukakan di
atas, penelitian ini diarahkan pada pertanyaan yaitu bagaimana perubahan sosial
sebagai akibat dari penerapan sistem pertanian padi sehat berpengaruh terhadap penataan kelembagaan pertanian?
Sektor pertanian dirasakan masih memberikan peluang bagi terjadinya
penyerapan tenaga kerja. Bertambahnya kegiatan-kegiatan baru dalam penerapan
sistem pertanian padi sehat, maka dalam kajian ini juga akan dilihat sejauhmana
penerapan sistem pertanian padi sehat dapat memberikan peluang pada penyerapan tenaga kerja pertanian. Sebagaimana dikutip dari Reijntjes et al. (1999) bahwa perubahan dari sistem pertanian konvensional ke sistem pertanian
yang seimbang secara ekonomis, ekologis, dan sosial memerlukan suatu proses
transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk
membuat sistem usahatani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi
berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko,
sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya.
Dukungan, kepercayaan diri dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan
kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani dalam proses transisi
tersebut.
Merujuk pada pandangan Reijntjes, sebagai upaya mengakomodir segala
kubutuhan dalam proses transisi tersebut diperlukan penataan kelembagaan
modern yang dapat menunjang kegiatan pertanian lebih berkelanjutan.
Pembentukan jejaring kerja atau kemitraan dapat menjadi solusi bagi petani dalam
proses transisi tersebut karena melalui kemitraan antar petani maupun antar petani
dengan pihak luar baik lembaga atau instansi diharapkan dapat meningkatkan
kapasitas petani. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana
perubahan bentuk organisasi dan pembentukan kemitraan pertanian yang telah dibangun dalam penerapan sistem pertanian padi sehat?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Menelaah penerapan sistem pertanian padi sehat.
2. Menganalisis hubungan penerapan sistem pertanian padi sehat terhadap
penyerapan tenaga kerja pertanian.
3. Menganalisis hubungan penerapan sistem pertanian padi sehat terhadap
perubahan bentuk organisasi.
4. Menganalisis hubungan penerapan sistem pertanian organik terhadap
pembentukan kemitraan pertanian.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak yang
menaruh perhatian pada studi perubahan sosial khususnya pada aspek penataan
kelembagaan dan pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung
terhadap pembangunan pertanian, khususnya kepada:
1. Peneliti yang ingin mengkaji atau melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai perubahan sosial dalam kaitannya dengan konsep pembangunan
sebagai perubahan berencana melalui teknologi sebagai sumber perubahan.
2. Kalangan akademisi, dapat menambah khasanah literatur khususnya
mengenai penataan kelembagaan pertanian.
3. Masyarakat umum, dapat mengetahui sejauhmana pertanian organik
mempengaruhi sistem sosial masyarakat khususnya petani.
4. Para pengambil kebijakan, praktisi dan berbagai unsur lainnya yang terkait
dengan pembangunan pertanian, dapat memberikan tambahan informasi,
masukan atau bahan pertimbangan dalam kaitannya dengan penerapan
sistem pertanian padi sehat (menuju) organik dan perubahan sosial yang
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS 2.1.Tinjauan Pustaka
2.1.1. Definisi dan Konsep Perubahan Sosial
Soemardjan dan Soemardi (1964) menyatakan bahwa setiap masyarakat
semasa hidupnya pasti mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan yang
tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi
lambat dan ada pula yang berjalan dengan sangat cepatnya. Lebih jauh
Soemardjan dan Soemardi menyatakan bahwa perubahan-perubahan di dalam
masyarakat dapat mengenai pergeseran norma, nilai, pola-pola perilaku orang,
susunan organisasi dan stratifikasi kemasyarakatan.
Kingsley Davis dikutip Basrowi (2005) mengartikan perubahan sosial
sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Sementara
itu Samuel Koenig dikutip Basrowi (2005) mengatakan bahwa perubahan sosial
menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola kehidupan manusia.
Definisi lain mengenai perubahan sosial dikemukakan Bruce J. Cohen dikutip
Syarbaini et al. (2002) bahwa perubahan sosial adalah suatu perubahan struktur dan perubahan organisasi sosial. Misalnya, perubahan dalam satu segi dari
kehidupan sosial oleh karena menunjukkan terjadi perubahan dalam struktur,
dalam perubahan itu adalah sistem dalam pergaulan sosial yang menyangkut
nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat.
Namun, secara umum Pudjiwati Sajogyo dikutip Salim (2002) membatasi
pengertian perubahan sosial dalam hubungan interaksi antar orang, organisasi atau komunitas. Perubahan sosial dapat menyangkut „struktur sosial‟ atau „pola nilai‟ dan „norma‟ serta „peranan‟. Dengan demikian istilah yang lebih lengkap adalah perubahan sosial dan kebudayaan. Perubahan sosial merupakan proses wajar dan
akan berlangsung terus menerus. Namun menurut Basrowi (2005) tidak semua
perubahan sosial menuju ke perubahan yang positif sehingga perubahan ini
penting dibicarakan.
Perubahan sosial dapat terjadi pada level individu, kelompok, organisasi,
institusi dan masyarakat. Sebagai contoh, perubahan dalam level individu akan
kelompok, akan mungkin terjadi perubahan dalam pola interaksi, komunikasi,
metode penyelesaian konflik, kohesi atau keterikatan, kesatuan, kompetisi, serta
pola-pola penerimaan atau penolakan. Sementara pada level organisasi ruang
lingkup perubahan meliputi perubahan dalam struktur dan fungsi dari organisasi,
perubahan dalam hirarki, komunikasi, hubungan peranan, produktivitas,
rekrutmen, pengakhiran atau terminasi dan pola-pola sosialisasi. Pada level
institusi, perubahan dapat terjadi pada perubahan pola perkawinan dan keluarga,
pendidikan dan praktek-praktek keagamaan. Pada level masyarakat, perubahan
dipandang sebagai modifikasi dari sistem stratifikasi, sistem ekonomi dan sistem
politik (Vago dikutip Yulianto 2010).
Mempelajari perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat penting
untuk mengetahui sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya perubahan. Salah
satu faktor penyebab perubahan sosial dan pola kebudayaan adalah technological
determinism (perkembangan sistem). Perubahan sistem dapat menyebabkan timbulnya peranan-peranan baru yang menuntut cara dan pandangan hidup baru,
bila diikuti oleh makin banyak anggota masyarakatnya akan melembaga sebagai
orientasi nilai budaya baru masyarakat tersebut (Pudjiwati Sajogyo dikutip Tahir
1996).
2.1.2. Teori-teori Modern mengenai Perubahan Sosial
Sebagaimana dikutip dari Sunarto (1993) bahwa teori-teori modern yang
terkenal antara lain, Teori Modernisasi para penganut pendekatan fungsionalisme
seperti Neil J. Smelser dan Alex Inkeles, Teori Ketergantungan Andre Gunder
Frank yang merupakan pendekatan konflik dan Teori Sistem Dunia dari
Wallerstein. Pertama, Teori Modernisasi menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan yang sama dengan negara industri maju di
Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses
modernisasi. Teori ini berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat yang belum
berkembang perlu mengatasi berbagai kekurangan dan masalahnya sehingga dapat
mencapai tahap “tinggal landas” ke arah perkembangan ekonomi. Schrool (1980)
menguraikan proses modernisasi secara lebih rinci sebagai berikut: 1) Perubahan
Sebagai tumbuhnya industrialisasi seperti yang terjadi di Barat; 3) Sebagai
tumbuhnya ilmu pengetahuan; 4) Sebagai usaha mengejar ketertinggalan dari
negara maju; 5) Secara politis merupakan proses bertambahnya pengaruh dan
tugas birokrasi negara; 6) Secara sosiologis dan antropologis sebagai proses
diferensiasi sosial dan pembesaran skala.
Kedua, Teori Ketergantungan. Teori ini berdasarkan pengalaman negara-negara Amerika Latin yang mengatakan bahwa perkembangan negara-negara-negara-negara
industri dan keterbelakangan negara-negara dunia ketiga berjalan bersamaan
dikala negara industri mengalami perkembangan, maka negara maju mengalami
kolonialisme dan neokolonialisme, khususnya di Amerika Latin. Menurut
pandangan ini hubungan antara negara industri maju (pusat, center) dengan negara
sedang berkembang (pinggiran, periphery) adalah suatu hubungan eksploitatif, dimana keuntungan mengalir dari pinggiran ke pusat melalui penguasaan ekonomi
di dunia. Negara sedang berkembang tergantung pada negara industri maju dalam
hal modal dan sistem.
Ketiga, Teori Sistem Dunia yang mengatakan bahwa perekonomian kapitalis dunia kini tersusun atas tiga jenjang: negara inti, semiperiferi dan negara
periferi. Negara inti mendominasi sistem dunia sehingga mampu memanfaatkan
sumberdaya negara lain untuk kepentingan mereka sendiri sedangkan kesenjangan
antara negara inti dengan negara lain sedemikian lebarnya sehingga tidak
mungkin tersusul lagi.
2.1.3. Perspektif Perubahan Sosial
Sebagaimana dikutip dari Lauer (2006), terdapat empat perspektif
perubahan sosial yang masing-masing dijelaskan sebagai berikut; pertama, Perspektif Materialistis yang dikemukakan Thorstein Veblen (1857-1929). Ia
melihat tatanan masyarakat sangat ditentukan oleh sistem. Veblen terutama
memusatkan perhatian pada pengaruh sistem terhadap pikiran dan perilaku
manusia. Pemikiran Veblen ini dikembangkan oleh Ogburn (1886-1959) yang
Sistem baru membawa cita-cita yang sebelumnya tak dapat dicapai ke dalam alam
kemungkinan dan dapat mengubah kesukaran relatif atau memudahkan menyadari
nilai-nilai yang berbeda. Jadi, dengan inovasi sistem berarti masyarakat
berhadapan dengan sejumlah besar alternatif dan jika ia memilih alternatif baru,
maka ia memulai perubahan besar di berbagai bidang, 2) Sistem mengubah
pola-pola interaksi. Segera setelah inovasi sistem diterima, mungkin akan terjadi
pergeseran penting tertentu dalam pola interaksi, pergeseran yang dituntut oleh
sistem itu sendiri; 3) Kecenderungan perkembangan sistem menimbulkan masalah
sosial baru. Adanya masalah ini menimbulkan semacam tanggapan yang dapat
mengakibatkan berbagai perubahan untuk menyelesaikannya.
Kedua, Perspektif Idealistis, berpandangan bahwa ide yang menyebabkan perubahan. Pendekatan filsafat modern oleh Whitehead yang mencoba
menunjukkan cara ide mendorong manusia mengubah tatanan sosial mereka.
Pendirian teoritisi idealis memberikan ide satu tempat dominan dalam perubahan
sosial. Secara garis besar, ide menyebabkan perubahan dengan cara mencegah,
merintangi, membantu atau mengarahkan perubahan, yang dapat dijelaskan
sebagai berikut; 1) Ideologi sebagai perintah perubahan. Karl Mannheim
mendefinisikan ideologi sebagai sistem ide yang menghasilkan perilaku yang
mempertahankan tatanan yang ada; 2) Ideologi sebagai faktor yang
mempermudah perubahan; 3) Ideologi sebagai mekanisme pengarah perubahan.
Cara lain ideologi mempengaruhi perubahan adalah dengan mengarahkannya,
memaksa perubahan menuruti arah tertentu menurut logika ideologi itu.
Ketiga, Perspektif Interaksionis yang berpandangan bahwa ada hubungan antara faktor materiil dan ide. Pandangan ini menyatakan terdapat interaksi antara
faktor materiil dan ide dan bobot keduanya kurang lebih seimbang. Aspek
keseimbangan pengaruh kedua faktor inilah yang membedakan pandangan
interaksionis dengan pendirian Marxis dan Idealis yang mengakui juga interaksi
keduanya, tetapi memberikan tekanan pada salah satu faktor, materiil atau ide.
Keempat, Perspektif yang merupakan variasi dari ketiga pendirian di atas (Marxis, Idealis dan Interaksionis). Menurut pandangan ini, faktor ide dan materiil berubah
bersama-sama meskipun tidak harus serentak dan tidak mungkin mengetahui
2.1.4. Proses Perubahan Sosial
Sebagaimana yang dikutip dari Syarbaini et al. (2002) bahwa proses perubahan sosial meliputi; 1) Penyesuaian terhadap perubahan. Masyarakat selalu
menghendaki keseimbangan sosial, dimana berbagai lembaga sosial yang inti atau
pokok diharapkan tetap berfungsi secara baik. Setiap kali terdapat gangguan
terhadap keseimbangan (dinamika sosial) selalu distabilkan melalui perubahan
lembaga sosial atau orang perorangan yang menyesuaikan diri pada perubahan
(conformity); 2) Saluran perubahan sosial. Pada umumnya saluran proses
perubahan masyarakat adalah bidang pemerintahan, perekonomian, keagamaan,
pendidikan, rekreasi atau wisata, dan sebagainya. Saluran mana yang efektif pada
perubahan sosial sangat tergantung pada lembaga kemasyarakatan apa yang
dominan dan dijunjung tinggi masyarakatnya; 3) Disorganisasi. Apabila ada
perubahan, maka norma dan nilai-nilai kemasyarakatan mengalami proses pudar,
sehingga timbul problema sosial berupa penyimpangan (deviation). Proses
demikian disebut disorganisasi (disintegrasi). Sebaliknya reorganisasi merupakan
proses pembentukan norma dan nilai-nilai baru dalam bentuk penyesuaian diri
dalam lembaga kemasyarakatan yang mengalami perubahan.
Proses perubahan sosial meliputi : proses reproduction dan transformation.
Proses reproduction adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan kembali
segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang kita
sebelumnya. Dalam hal ini meliputi bentuk warisan budaya yang kita miliki.
Warisan budaya dalam kehidupan keseharian meliputi material (kebendaan,
sistem) dan immaterial (non-benda, adat, norma dan nilai-nilai). Reproduction berkaitan dengan masa lampau perilaku masyarakat, yang berhubungan dengan
masa sekarang dan masa yang akan datang (Roy Bhaskar dikutip Salim 2002).
Proses transformasi adalah suatu proses penciptaan hal yang baru
(something new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan sistem (tools and
technologies), yang berubah adalah aspek budaya yang sifatnya material, sedangkan yang sifatnya norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan
ada kecenderungan dipertahankan). Proses transformasi terjadi di desa-desa yang
dikenai program pembangunan pertanian sebagai hasil dari perkembangan ilmu
struktural, peranan negara sangat kuat. Sedangkan dalam perubahan yang sifatnya
kultural peran masyarakat lebih dominan. Perubahan-perubahan yang terjadi di
negara berkembang, seperti Indonesia, perubahan struktural juah lebih kuat dan
cepat dibandingkan perubahan kultural.
2.1.5. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Sebagaimana dikutip dari Reijntjes et al. (1999) dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus
tetap mempertahankan basis sumberdaya. Technical Advisory Committe of the CGIAR (TAC/CGIAR 1988) menyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu
kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan
kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya. Suatu sistem pertanian itu bisa
disebut berkelanjutan jika mencakup hal-hal berikut:
1. Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam
dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan
ditingkatkan. Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang bisa
diperbaharui;
2. Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup
menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri
serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan
tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis ini bisa
diukur bukan hanya dalam produk usahatani yang langsung namun juga
dalam hal fungsi seperti melestarikan sumberdaya alam dan
meminimalkan resiko;
3. Adil, maksudnya sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian
rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan
hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan
teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki
kesempatan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, baik di
lapangan maupun dalam masyarakat. Kerusuhan sosial bisa mengancam
4. Manusiawi, dalam hal ini semua bentuk kehidupan dihargai. Martabat
dasar semua makhluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi
menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan,
kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan
spiritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara;
5. Luwes, berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya
pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lainnya.
Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan sistem yang baru dan sesuai,
namun juga inovasi dalam arti sosial budaya.
2.1.6. Sistem Pertanian Organik
Sistem pertanian organik merupakan salah satu model dari beberapa
pendekatan yang ditawarkan dari sistem pertanian berkelanjutan. Sebagaimana
dikutip dari Sutanto (2002) pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem
pertanian organik merupakan “hukum pengembalian (low of return)” yang berarti
suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke
dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak
yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman.
Masih merujuk pada Sutanto (2002) bahwa filosofi yang melandasi sistem
pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada
tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the
soil that feeds the plants), dan bukan memberi makanan langsung pada tanaman. Strategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman,
kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa tanah yang selanjutnya setelah
mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah.
Mengutip Salikin (2003) menyatakan bahwa sistem pertanian organik pada
awalnya diragukan kemampuannya untuk memacu produksi sebesar sistem
pertanian industrial. Namun demikian, dalam jangka panjang sistem pertanian
organik justru dapat mempertahankan produktivitas lahan dan hasil panen secara
berkesinambungan. Sebaliknya, sistem pertanian industrial lebih berorientasi
jangka pendek atau sesaat dengan cara-cara eksploitasi sumberdaya alam,
panen yang harus berpacu dengan laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan
bahan pangan.
Adapun prinsip-prinsip pertanian organik menurut International Federation
of Organic Agriculture Movements (IFOAM) adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kesehatan. Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan
kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan
dan tak terpisahkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap
individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem;
tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat
mendukung kesehatan hewan dan manusia;
2. Prinsip ekologi. Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus
ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan
siklus ekologi kehidupan. Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik
dalam sistem ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa produksi
didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Makanan dan
kesejahteraan diperoleh melalui ekologi suatu lingkungan produksi yang
khusus; sebagai contoh, tanaman membutuhkan tanah yang subur, hewan
membutuhkan ekosistem peternakan, ikan dan organisme laut
membutuhkan lingkungan perairan;
3. Prinsip keadilan. Pertanian organik harus membangun hubungan yang
mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan
hidup bersama. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam
pertanian organik harus membangun hubungan yang manusiawi untuk
memastikan adanya keadilan bagi semua pihak di segala tingkatan; seperti
petani, pekerja, pemroses, penyalur, pedagang dan konsumen;
4. Prinsip perlindungan. Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan
bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan
generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup.
Kebijakan pemerintah ditujukan untuk menumbuhkan, memfasilitasi,
mengarahkan dan mengatur perkembangan pertanian organik. Departemen
2010‟. Pertanian organik dirancang pengembangannya dalam enam tahapan mulai dari Tahun 2001 hingga Tahun 2010. Tahapan tersebut adalah:
1. Tahun 2001 difokuskan pada kegiatan sosialisasi;
2. Tahun 2002 difokuskan pada kegiatan sosialisasi dan pembentukan
regulasi;
3. Tahun 2003 difokuskan pada pembentukan regulasi dan bantuan teknis;
4. Tahun 2004 difokuskan pada kegiatan bantuan teknis dan sertifikasi;
5. Tahun 2005 difokuskan pada sertifikasi dan promosi pasar;
6. Tahun 2006 – 2010 terbentuk kondisi industrialisasi dan perdagangan.
Merujuk pada Sutanto (2002), beberapa prinsip dalam budidaya pertanian
organik dengan pola SRI (System Rice Intensification) adalah sebagai berikut;
1. Penyiapan lahan, merupakan kegiatan yang dilakukan dua minggu
sebelum masa tanam dan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pembajakan,
penggaruan dan perataan tanah. Setelah pembajakan selesai, pupuk
organik ditaburkan secara merata dengan dosis rata-rata 7.000 kg/ha atau
sesuai dengan kebutuhan. Pupuk organik yang dibutuhkan adalah pupuk
bokashi (hasil fermentasi bahan organik). Keadaan air macak-macak
harus dipertahankan dengan cara menutup pintu masuk dan keluarnya air
agar tanah dan unsur hara tidak terbawa hanyut. Setelah perataan tanah
selesai, dibuat saluran air tengah dan saluran air di pinggir di sekeliling
pematang;
2. Persiapan benih atau persemaian, merupakan kegiatan yang disesuaikan
dengan kebutuhan dan pola tanam yang akan digunakan seperti:
a. persemaian dilakukan pada baki/pipiti/bak kecil yang terbuat dari
kayu;
b. benih yang digunakan adalah 10-15 kg/ha, benih bukan berasal dari
hasil rekayasa genetika dan tidak diperlakukan dengan bahan kimia
sintetik ataupun zat pengatur tumbuh dan bahan lain yang
mengandung additive;
c. media yang digunakan adalah campuran tanah dengan pupuk organik
dengan perbandingan 1:1;
3. Penanaman, merupakan kegiatan dimana benih padi ditanam di lokasi
dengan rincian sebagai berikut:
a. umur benih adalah 8-10 HSS;
b. jumlah tanam/lubang adalah 1 batang/tunas;
c. jarak tanam yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat;
d. dianjurkan menggunakan sistem tanam legowo 2:1, 3:1, atau 4:1;
4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman, merupakan kegiatan untuk
menekan kerusakan dan kehilangan hasil, dengan rincian sebagai berikut:
a. program rotasi tanaman yang sesuai;
b. perlindungan musuh alami hama melalui penyediaan habitat yang
cocok (yang bertujuan agar hama tersebut tidak memakan tanaman
padi petani, namun akan menanam tanaman lainnya), seperti
pembuatan pagar hidup dan tempat sarang, zona penyangga ekologi
yang menjaga vegetasi asli dari hama predator setempat;
c. pemberian musuh alami, termasuk pelepasan predator dan parasit;
d. penggunaan pestisida nabati dan bahan alami lainnya;
e. pengendalian mekanis, seperti pengggunaan perangkap,
penghalang cahaya dan suara;
5. Pemeliharaan tanaman, merupakan kegiatan mempertahankan
kelembapan tanah, yaitu dengan mengatur pemberian air dengan
menggunakan saluran pengairan pematang dan saluran bedengan,
sehingga keadaan tanah tidak tergenang serta pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) yang tidak menggunakan bahan kimia
sintetik, tetapi berupa pengaturan sistem budidaya, pestisida nabati dan
bahan alami lainnya;
6. Panen, merupakan kegiatan dimana pengelolaan produk harus dipisah
dari produk non organik (jika di sekitar produk organik terdapat produk
non organik) dan tidak menggunakan bahan yang mengandung zat aditif.
Adapun penanganan pasca panen yang biasanya dilakukan meliputi:
pemanenan, perontokan, pembersihan, pengeringan, pengemasan, pengangkutan,
et al. (1999) metode LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut:
1. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan
mengombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani yaitu
tanaman, ternak, ikan, tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling
melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar.
2. Pemanfaatan input luar dilakukan hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem dan
meningkatkan sumberdaya biologi, fisik dan manusia. Dalam
pemanfaatan input luar, perhatian utama diberikan pada mekanisme daur
ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan.
Metode LEISA tidak bertujuan memaksimalkan produksi dalam jangka
pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam
jangka panjang. LEISA berupaya mempertahankan dan sedapat mungkin
meningkatkan potensi sumberdaya alam serta memanfaatkannya secara optimal.
Pada prinsipnya, hasil produksi yang keluar dari sistem atau dipasarkan harus
diimbangi dengan tambahan unsur hara yang dimasukkan ke dalam sistem
tersebut.
2.1.7. Kelembagaan Pertanian
Rahardjo (1999) menyebutkan bahwa secara umum lembaga sering
diartikan sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam suatu
masyarakat. Kelembagan dalam kaitan ini adalah tindakan bersama (collective
action) yang memiliki pola atau tertib yang jelas dalam upaya mencapai tujuan
atau kebutuhan tertentu. Ini berarti bahwa kelembagaan yang ada dalam suatu
masyarakat eksistensinya ditentukan oleh sifat dan ragam kebutuhan yang ada
dalam suatu masyarakat. Dengan demikian apabila dalam masyarakat muncul
kebutuhan-kebutuhan baru yang semakin meluas dan beragam, maka
lembaga lama menjadi kurang berfungsi. Sebagai konsekuensinya,
lembaga-lembaga baru yang instrumental bagi pemenuhan kebutuhan baru itu semakin
dituntut keberadaannya.
Lebih lanjut Rahardjo menyebutkan bahwa perubahan kelembagaan tidak
kualitatifnya. Diantaranya adalah yang berkaitan dengan pengaruh modernisasi.
Sejalan dengan proses modernisasi yang terjadi, terjadi pula perubahan atau
pergantian lembaga-lembaga lama yang bersifat tradisional menjadi atau
digantikan oleh lembaga-lembaga baru yang modern. Perubahan semacam ini
bukan hanya menyangkut jenis atau ragamnya, melainkan juga karakteristik yang
terletak padanya. Lembaga atau kelembagaan lama umumnya dilandasi oleh
komunalisme masyarakat desa dan fungsi-fungsi yang membaur (diffused),
sedangkan lembaga atau kelembagaan baru lebih bertumpu pada individualitas
dan diferensiasi fungsi (fungsi-fungsi yang terspesialisasikan).
Sehubungan dengan pemahaman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
diferensiasi kelembagaan pada masyarakat desa sesuai dengan tuntutan
masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan dan perkembangan kelembagaan
pada desa-desa di Indonesia ditentukan oleh kondisi internal maupun oleh
pengaruh eksternal desa. Pengaruh eksternal terutama datang dari
program-program pembangunan.
Sebagaimana yang dikutip dari Radandima (2003), berdasarkan
tingkatannya, kelembagaan dapat dikategorikan dalam empat kategori, yaitu:
1. Pranata sosial, yaitu aturan-aturan tertentu yang dianut dalam masyarakat
secara umum dan agak meluas, misalnya sistem sewa, bagi hasil, ijon,
pinjam-meminjam antar petani dan sebagainya;
2. Kelompok tani, yaitu kelompok petani-petani yang bersifat informal.
Ikatan dalam kelompok berpangkal pada keserasian dalam arti mempunyai
pandangan-pandangan, kepentingan-kepentingan dan
kesenangan-kesenangan yang sama, misalnya kelompok pendengar siaran pedesaan,
perkumpulan arisan dan sebagainya;
3. Organisasi atau perhimpunan petani, yaitu organisasi orang petani yang
bersifat formil, dimana pengurus dan anggota-anggotanya jelas terdaftar.
Organisasi atau perhimpunan petani ini mempunyai Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang tertulis dimana tercantum
tujuan-tujuannya dan ketentuan-ketentuan lainnya. Ada rapat anggota, dan
4. Lembaga instansional (badan instansional), yaitu lembaga pelayanan yang
ada di pedesaaan seperti BRI Unit Desa, lembaga penyuluhan, lembaga
penyuluhan sarana produksi dan sebagainya.
2.1.8. Perubahan Bentuk Organisasi
Sebagimana yang dikutip dari Cahayani (2003), pengertian organisasi
sekarang ini telah bergeser dari pengertian organisasi yang sesunggunya. Pada
masa sekarang organisasi lebih dikenal sebagai suatu wadah atau tempat untuk
melakukan kegiatan bersama agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan
bersama. Lebih jauh Cahayani menyatakan bahwa tidak ada organisasi yang tidak
mengadakan perubahan, perbaikan atau pembaharuan. Perubahan organisasi
bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan organisasi, meningkatkan
kepuasan kerja dan penyesuaian dengan keadaan lingkungan. Intinya, perubahan
organisasi membuat kinerja organisasi menjadi lebih baik. Ada tiga bidang utama
dalam organisasi yang dapat mengalami perubahan, diantaranya perubahan sistem,
perubahan struktural dan perubahan manusia. Adapun sumber-sumber penyebab
perubahan, yaitu:
1. Lingkungan. Suatu organisasi dikatakan berhasil bila dapat memuaskan
anggotanya dan dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Lingkungan
merupakan faktor yang teramat penting bagi organisasi karena lingkungan
menyediakan input yang diperlukan oleh organisasi dan juga merupakan tempat menampung output dari organisasi tersebut. Selain kedua manfaat tersebut, lingkungan juga merupakan salah satu penyebab perubahan di
dalam organisasi, karena jika organisasi tersebut tidak mengadakan
perubahan maka tidak dapat bertahan (survive) atau mati, karena berarti
tidak dapat beradaptasi dengan lingkungannya.
2. Sasaran dan nilai. Tidak jarang organisasi berubah bentuk karena adanya
perubahan sasaran dan nilai yang mereka anut.
3. Sistem. Semakin canggih sistem, maka perubahan atau penyempurnaan
organisasi juga dilakukan. Misalnya semakin canggih sistem perbankan
yang ada, maka semakin banyak perusahaan perbankan yang
4. Struktur. Penambahan atau pengurangan struktur jelas membuat
organisasi berubah.
5. Faktor perilaku seseorang. Tidak jarang dengan bergantinya pimpinan,
akan berganti pula kebijaksanaannya yang dapat menyebabkan timbulnya
perubahan di dalam organisasi.
6. Konsultan. Sebagian besar organisasi pada masa sekarang menggunakan
jasa konsultan untuk memberi masukan dalam rangka perbaikan dan
perkembangan organisasi. Para konsultan tersebut menyarankan
perubahan-perubahan yang harus dilakukan oleh organisasi sehingga
organisasi tersebut dapat tetap survive dan memenangkan persaingan.
Pengembangan organisasi (Organization Development atau OD) merupakan
strategi melakukan perubahan organisasi dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan. Pengembangan organisasi merupakan kegiatan terencana dan
meliputi semua bagian organisasi, dikelola oleh top management untuk meningkatkan efektivitas dan kesehatan organisasi melalui intervensi terencana
dalam proses organisasi dan menggunakan pendekatan perilaku.
2.1.9. Kemitraan Usaha
Sebagaimana yang dikutip dari Hafsah (2000) kemitraan adalah suatu
strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu
tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan
dan membesarkan. Pada dasarnya maksud dan tujuan dari kemitraan adalah “ Win-win Solution Partnership”. Kesadaran dan saling menguntungkan disini tidak berarti para partisipan dalam kemitraan tersebut harus memiliki kemampuan dan
kekuatan yang sama, tetapi yang lebih penting adalah adanya posisi tawar yang
setara berdasarkan peran masing-masing. Ciri dari kemitraan usaha adalah
terdapat hubungan timbal balik, bukan sebagai buruh-majikan atau
atasan-bawahan, sebagai adanya pembagian risiko dan keuntungan yang proporsional,
disinilah kekuatan dan karakter kemitraan usaha.
Masih menurut Hafsah (2000) bahwa melalui kemitraan dapat
meningkatkan produktivitas, pangsa pasar, keuntungan, sama-sama menanggung
resiko, menjamin pasokan bahan baku dan distribusi pemasaran. Beberapa
1. Produktivitas. Secara umum produktivitas didefinisikan dalam model
ekonomi sebagai output dibagi input. Dengan kata lain produktivitas akan meningkat apabila dengan input yang sama dapat diperoleh hasil yang lebih tinggi atau sebaliknya dengan tingkat hasil yang sama hanya
membutuhkan input yang lebih rendah. Berpijak dari teori di atas dikaitkan
dengan pendekatan kemitraan, maka peningkatan produktivitas diharapkan
dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bermitra;
2. Efisiensi. Efisiensi didefinisikan sebagai doing things right atau terjadi bila output tertentu dapat dicapai dengan input yang minimum. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat
tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja
yang dimiliki oleh perusahaan kecil yang umumnya relatif lemah dalam
hal kemampuan sistem dan sarana produksi, dengan bermitra akan dapat
menghemat waktu produksi melalui sistem dan sarana produksi yang
dimiliki oleh perusahaan besar. Mekanisasi pertanian dalam penyiapan
lahan yang dimiliki oleh petani plasma dimana perusahaan inti
menyediakan alat dan mesin pertanian sehingga petani dapat mempercepat
dan memperluas areal tanam dengan tenaga yang tersedia. Pada gilirannya
hasil produksi dari para petani plasma dapat mencapai hasil yang
diharapkan sesuai dengan kapasitas produksi yang ditargetkan oleh
perusahaan;
3. Jaminan kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Produk akhir dari suatu
kemitraan ditentukan oleh dapat tidaknya diterima pasar. Indikator
diterimanya suatu produk oleh pasar adalah kesesuaian mutu yang
diinginkan oleh konsumen (market driven quality atau consumer driven
quality). Loyalitas konsumen hanya dapat dicapai apabila ada jaminan mutu dari suatu produk;
4. Risiko dapat ditanggung bersama. Dengan kemitraan diharapkan risiko
yang besar dapat ditanggung bersama (risk sharing). Tentunya
pihak-pihak yang bermitra akan menanggung risiko secara proporsional sesuai
5. Sosial. Dengan kemitraan usaha bukan hanya memberikan dampak positif
dengan saling menguntungkan melainkan dapat memberikan dampak
sosial (social benefit) yang cukup tinggi. Hal ini berarti negara terhindar
dari kecemburuan sosial yang bisa berkembang menjadi gejolak sosial
akibat ketimpangan;
6. Ketahanan ekonomi nasional. Pokok permasalahan dalam pelaksanaan
kemitraan adalah upaya pemberdayaan partisipan kemitraan yang lemah,
yaitu pengusaha kecil, atau dengan kata lain terciptanya kesetaraan dalam
posisi tawar antar pelaku maka perlu adanya usaha konkret yang
mendorong terlaksananya kemitraan usaha sekaligus sebagai model
terciptanya kemitraan usaha. Dalam mendorong terciptanya kemitraan
usaha yang sering dilakukan adalah dengan menciptakan iklim kondusif
berupa peraturan, mewujudkan model atau pola kemitraan yang sesuai,
yaitu dengan menyediakan prasarana penunjang. Dengan adanya upaya
dan fasilitas fisik diharapkan akan terwujud kemitraan. Produktivitas,
efektivitas dan efisiensi akan meningkat yang akhirnya akan bermuara
pada meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan para pelaku kemitraan.
Dengan adanya peningkatan pendapatan yang diikuti tingkat kesejahteraan
dan sekaligus terciptanya pemerataan yang lebih baik otomatis akan
mengurangi timbulnya kesenjangan ekonomi antar pelaku yang terlibat
dalam kemitraan usaha yang pada gilirannya mampu meningkatkan
ketahanan ekonomi secara nasional.
Menurut Pranadji (1995) terdapat tiga pola kemitraan yang berkembang
pada kegiatan agribisnis, yaitu: pola kemitraan tradisional, kemitraan “pemerintah”
dan kemitraan pasar. Kemitraan agribisnis tradisional mengikuti pola hubungan
patron-client. Pelaku ekonomi yang berperan sebagai patron adalah pemilik modal atau peralatan strategis (seperti lahan pada agribisnis tanaman semusim dan
tahunan, atau pemilik peralatan tangkap pada agribisnis perikanan tangkap); dan
yang berperan sebagai client adalah petani penggarap, peternak atau nelayan pekerja. Pada pola patron-client seperti ini kemitraan agribisnis yang berkembang
lebih bersifat horisontal, yaitu agribisnis yang bergerak di bidang produksi atau
hutang (panjar atau ijon) antara pedagang (pemberi hutang) dan petani produsen
(penerima hutang).
Pola kemitraan program pemerintah condong pada pengembangan
kemitraan secara vertikal: dimana model umum yang dianut adalah hubungan
“bapak-anak angkat”, yang pada agribisnis perkembangan dikenal sebagai pola
Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Pola kemitraan ini dapat dinilai sedikit lebih maju
dibanding pola patron-client. Pola kemitraan pasar berkembang sebagai akibat
dari masuknya peradaban ekonomi pasar dalam usaha pertanian rakyat di
pedesaan. Jenis usaha pertanian yang dibidik oleh pola ini adalah usaha yang
menghasilkan komoditas pertanian bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai
permintaan kuat di pasar dunia. Pola ini berkembang dengan melibatkan petani
sebagai pemilik aset tenaga kerja dan peralatan produksi, dan pemilik modal besar
yang bergerak di bidang industri pengolah dan pemasaran hasil. Dua pelaku
ekonomi, petani dan pemilik modal, menggalang kerja sama (kemitraan) karena
danya kepentingan (mutually beneficial) untuk berbagai manfaat ekonomi. Dari
segi pengadopsian atas hasil inovasi di bidang iptek (revolusi) permodalan dan
kelembagaan modern, pola ini mempunyai keandalan yang relatif lebih tinggi
dibanding dengan dua pola terdahulu.
2.2. Kerangka Pemikiran
Penerapan sistem pertanian padi sehat baik yang meliputi kegiatan budidaya
pertanian (on-farm) maupun pengolahan hasil (off-farm) menyebabkan
bertambahnya kegiatan-kegiatan pertanian baru sehingga memberikan peluang
pada penyerapan tenaga kerja. Sementara itu penataan kelembagaan dalam
penerapan sistem pertanian padi sehat mengakibatkan muculnya perubahan pada
bentuk organisasi dan kemitraan pertanian. Perubahan tersebut terletak pada
terbentuknya unit kerja baru yang dibentuk berdasarkan kebutuhan yang dirasakan
petani. Penataan kelembagaan diperlukan guna menjamin keberlanjutan produksi.
Adanya kebutuhan yang dirasakan dalam penerapan sistem pertanian padi sehat
menyebabkan terjadinya perubahan bentuk organisasi. Perubahan bentuk
dengan pembagian kerja yang lebih spesifik sesuai dengan perkembangan
kebutuhan.
Keterangan Gambar:
: menyebabkan perubahan
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penataan Kelembagaan Pertanian dalam Penerapan Sistem Pertanian Padi Sehat
Dalam perkembangannya, kelembagaan pertanian yang ada juga diarahkan
pada pembentukan dan perluasan kemitraan sebagai upaya pembentukan karakter
dan peningkatan kapasitas petani serta perluasan pemasaran hasil.
2.3. Hipotesis
Semakin tinggi penerapan sistem pertanian padi sehat maka semakin
terjadi perubahan pada kelembagaan pertanian.
2.4. Definisi Operasional
1. Sistem pertanian padi sehat meliputi:
a. Budidaya pertanian (on-farm), meliputi recovery lahan (pembuatan
pupuk kompos dan organik, pestisida nabati, penambahan agensi hayati),
pengadaan benih, perlakuan benih, pembuatan media semai, pengolahan
lahan, penanaman, pengaturan air, pemeliharaan tanaman dan pemanenan.
b. Pengolahan hasil hingga pemasaran (off-farm), meliputi: penjemuran,
penggilingan, pengayakan dan pengemasan. Dalam melakukan kegiatan PENERAPAN SISTEM
PERTANIAN PADI SEHAT
Budidaya pertanian (on-farm)
Pengolahan hasil (off-farm)
Penataan kelembagaan
KELEMBAGAAN PERTANIAN
Penyerapan tenaga
kerja
Bentuk Organisasi Jejaring Kerja/
pertanian padi sehat khususnya pada kegiatan off-farm banyak kegiatan baru sehingga memungkinkan adanya penyerapan tenaga kerja.
c. Penataan kelembagaan adalah suatu usaha pembenahan atau perubahan
pada kelembagaan maupun organisasi pertanian modern. Penataan
kelembagaan ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan yang muncul dan
berkembang di tingkat petani dan dimaksudkan untuk membangun
hubungan kerjasama dengan pihak lain melalui kemitraan.
Penerapan sistem pertanian padi sehat dikategorikan sebagai berikut:
i. Tinggi: apabila sistem pertanian padi sehat telah diterapkan pada
semua kegiatan (on-farm dan off-farm), menggunakan pendekatan
atau metode yang baik dan kegiatan budidaya dilakukan sesuai SOP
yang berlaku (Lampiran 1).
ii. Rendah: apabila tidak memenuhi sedikitnya salah satu dari kriteria
penerapan sistem pertanian padi sehat yang termasuk kategori tinggi.
2. Kelembagaan pertanian dalam hal ini akan dilihat pada perubahan pada
beberapa hal yaitu: aspek peningkatan penyerapan tenaga kerja, perubahan
bentuk organisasi dan pembentukan kemitraan.
a. Penyerapan tenaga kerja dikatakan berubah ketika banyaknya
kegiatan-kegiatan baru setelah sistem pertanian padi sehat diterapkan,
sehingga memungkinkan terjadinya penyerapan tenaga kerja.
Penyerapan tenaga kerja dikategorikan sebagai berikut:
i. Tinggi: terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja.
ii. Rendah: tidak terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja.
b. Bentuk organisasi dikatakan berubah ketika terbentuknya instrumen
(divisi atau unit kerja) baru setelah penerapan sistem pertanian padi
sehat. Perubahan bentuk organisasi dikategorikan sebagai berikut:
i. Tinggi: terbentuk sedikitnya satu divisi (unit kerja) baru.
ii. Rendah: tidak terbentuk divisi (unit kerja) baru.
c. Kemitraan pertanian dikatakan berubah ketika terbentuk hubungan
atau relasi dengan berbagai pihak setelah penerapan sistem pertanian
padi sehat. Kemitraan atau jejaring kerja pertanian dikategorikan
i. Sempit: jangkauan kemitraan terbatas pada kawasan lokal
(pemerintah desa, PPL setempat, Gapoktan desa sekitar).
ii. Luas: jangkauan kemitraan selain mencakup kawasan lokal juga
mencakup pihak-pihak di luar desa dari berbagai kalangan
(interlokal).