• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produk perikanan telah lama dikonsumsi masyarakat karena terdapat berbagai manfaat kesehatan dalam produk ini. Manfaat kesehatan dari daging ikan diperoleh dari kandungan gizinya yang tinggi meliputi protein dengan kisaran jumlah antara 16%-21% dari berat tubuh total dan asam lemak tak jenuh dengan kisaran kandungan lemak antara 0,2%-2,5% dari berat tubuh total (Tarr 1966). Secara umum, setiap konsumen memilih produk perikanan yang masih terjaga kesegarannya. Kesegaran ikan berkaitan erat dengan mutu ikan.

Setelah ikan mati, seluruh otot ikan mengalami relaksasi dan tekstur menjadi elastis serta lemas yang bertahan dalam beberapa jam, setelah otot berkontraksi. Otot ikan kemudian menjadi keras dan kaku, seluruh tubuh ikan menjadi tidak fleksibel dan ikan berada dalam kondisi rigor mortis. Selesainya rigor mortis membuat otot kembali rileks dan menjadi lemas, tapi tidak lebih elastis seperti sebelum rigor. Kecepatan permulaan dan akhir rigor bervariasi dari spesies ke spesies dan dipengaruhi oleh suhu, penanganan, ukuran, dan kondisi fisik pada ikan (FAO 1995). Selanjutnya juga dijelaskan bahwa mutu ikan setelah mati sangat dipengaruhi oleh keadaan pasar, geografis, dan budaya (Pacquit et al. 2008).

MacLeod et al. (1963) mengidentifikasi berbagai enzim antara lain phosphofructokinase, aldolase, enolase, dan pyruvic kinase yang bertanggung jawab dalam glikolisis ikan rainbow trout maupun ekstraknya. Tarr (1966) menyebutkan bahwa jumlah asam laktat dalam daging ikan dapat meningkat setelah mati. Pada ikan atlantik cod, ditemukan konsentrasi asam laktat yang tinggi dalam daging dan menyebabkan nilai pH menjadi rendah yakni sebesar 6,8 atau 7,0 (Fraser et al. 1961). Suasana asam pada daging ikan menyebabkan ATPase aktif dan mendegradasi ATP menjadi ADP. ADP selanjutnya didegradasi oleh myokinase menjadi AMP. AMP deaminase mendegradasi AMP menjadi IMP. Hidrolisis AMP menjadi IMP berjalan sangat cepat. Phosphatase memecah IMP menjadi Inosin dan orthophosphate. Hidrolisis IMP menjadi inosin lebih lambat dibanding hidrolisis AMP menjadi IMP. Inosin kemudian didegradasi oleh ribosida hidrolase menjadi hipoksantin dan ribose (Tomlinson et al. 1961; Jones dan Murray 1960; Partmann 1965; Kobayashi 1966). Hipoksantin selanjutnya dipecah oleh xantin oksidase menjadi asam urat (Spinelli et al. 1963). Penelitian selama 16 tahun sebelum 1966

menunjukkan bahwa otot beberapa spesies ikan mengandung adenine nukleotida dalam konsentrasi yang hampir sama dengan yang ada pada otot tikus. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa kadar ATP dalam otot ikan yang diistirahatkan berjumlah 500-800 µmol per 100 g otot (Saito et al. 1959; Jones dan Murray 1960; Fraser et al. 1961; Tomlinson et al. 1961)

Setelah ikan mati dan mengalami penyimpanan, jumlah mikroorganisme pada kulit dan permukaan insang meningkat dan menyebar ke jaringan tubuh ikan lainnya. Umumnya, satu atau lebih spesies dikategorikan sebagai Specific Spoilage Organism

(SSO). SSO tumbuh berkembang dalam daging ikan tergantung pada kondisi lingkungan dan komponen metabolit yang terkandung dalam daging ikan (Hamada- Sato 2005). Ruskol and Bendsen (1992) melaporkan bahwa bakteri dapat dideteksi dengan mikroskop pada daging ikan ketika jumlahnya di permukaan kulit mencapai di atas 106 cfu/cm2.

Dalam keilmuan mikrobiologi pangan, terdapat dua aspek penting yang menjadi perhatian, yakni keamanan produk dan kesegaran produk. Aspek keamanan pada produk pangan berkaitan dengan keberadaan bakteri patogen berbahaya seperti

C.botulinum dan Vibrio spp. Bakteri patogen ini menghasilkan biotoksin yang berbahaya bahkan menyebabkan penyakit pada manusia. Bakteri patogen ini dapat berasal dari mikroba flora alami daging ikan atau dapat juga dari luar daging ikan akibat proses pengolahan, penyimpanan, ataupun transportasi (Whittle et al. 1990 dan Huss et al. 1997). Aspek kesegaran pada produk pangan berkaitan dengan pertumbuhan mikroba pembusuk seperti Pseudomonas spp, Shewarella putrefaciens, dan Photobacterium phosphoreum. Mikroba pembusuk ini mendegradasi komponen metabolit pada daging ikan sehingga menyebabkan bau amis dan hilangnya flavor khas pada daging ikan (Whittle et al. 1990).

Bakteri pada ikan yang ditangkap di air bersuhu sedang (± 20°C) akan memasuki fase pertumbuhan eksponensial segera setelah ikan mati. Mikroflora pada ikan cepat beradaptasi pada suhu chilling. Bakteri tumbuh dengan cepat mencapai jumlah 108-109 cfu/g daging atau cm2 kulit setelah 2-3 minggu penyimpanan dalam es. Bakteri pada ikan yang ditangkap di suhu tropis (28°C-30°C) biasanya memiliki fase lag antara 1-2 minggu jika ikan disimpan dalam es (Gram 1990 dan Gram et al.

mutu ikan. Daging ikan yang mengandung 1 juta atau lebih bakteri per gram menunjukkan rendahnya mutu ikan dan tidak layak untuk dipasarkan (Griffiths 1937). Beberapa metabolit pada daging ikan yang biasa didegradasi oleh mikroba pembusuk adalah komponen nitrogen volatil, biogenik amin, dan komponen sulfur.

Peptida dan asam amino bebas diproduksi dari proses autolisis protein yang banyak dijumpai pada ikan-ikan pelagis komersial. Masuknya bakteri pembusuk ke dalam ikan capelin akibat proses autolisis juga ditandai oleh adanya proses dekarboksilasi asam amino, produksi biogenik amin, dan nilai nutrisi ikan yang semakin menurun secara nyata. Ikan capelin yang telah turun nila gizinya secara nyata akan diolah sebagai tepung ikan untuk keperluan pakan (Aksnes dan Brekken 1988). Selain itu, ikan herring yang diolah sebagai tepung pakan ternyata mengandung enzim proteolitik seperti karboksi-peptidase A dan B, kimotripsin, dan tripsin (Aksnes 1989). Enzim-enzim proteolitik yang terdapat dalam ikan adalah penggerak utama proses autolisis. Katepsin merupakan yang paling banyak dijumpai pada ikan. Katepsin bertugas untuk memecah protein menjadi asam amino yang diperlukan ikan saat masih hidup akan tetapi menjadi tidak terkendali aktifitasnya saat ikan mati (FAO 1995). Reddi et al. (1972) menemukan bahwa sebuah enzim yang dipercaya sebagai katepsin D pada ikan flounder dapat aktif pada kisaran nilai pH antara 3 hingga 8 dengan aktifitas maksimum pada nilai pH 4. Akan tetapi, katepsin L lebih baik dalam meng-autolisis daging ikan dibandingkan katepsin D. Yamashita dan Konogaya (1990) menjelaskan bahwa korelasi linier antara aktifitas katepsin L dengan daya rusaknya terhadap daging ikan adalah sempurna dengan nilai determinasi sebesar 86 % pada ikan segar dan 95% pada ikan beku/thawing. Protease terbanyak setelah katepsin adalah kalpain. Kalpain merupakan endopeptida intraseluler yang mengandung sistein dan kalsium. Kalpain sangat aktif pada kisaran pH fisiologis sehingga mempengaruhi kelenturan daging ikan saat penyimpanan pada suhu chilling (FAO 1995). Kalpain berperan dalam mencerna myosin menjadi molekul lebih sederhana dengan berat molekul 150.000 Da. Kalpain pada ikan jauh lebih aktif pada suhu rendah sehingga ikan pada perairan dingin lebih mudah di- autolisis oleh kalpain dibandingkan ikan pada perairan tropis (Muramoto et al. 1989).

Lipid pada ikan mengalami degradasi melalui proses oksidasi dan hidrolisis. Hasil dari kedua proses tersebut menghasilkan produk dengan rasa dan bau yang

tidak menyenangkan. Lemak ikan sangat mudah mengalami degradasi lipid yang menimbulkan beberapa masalah pada mutu ikan yang disimpan pada temperatur di bawah 0°C. Jumlah yang besar dari asam lemak tak jenuh ditemukan dalam lipid ikan dan sangat mudah mengalami oksidasi oleh mekanisme autokatalitik. Proses autokatalitik menghasilkan produk autooksidasi dengan rantai karbon lebih pendek seperti aldehid, keton, alkohol, asam karboksilat, alkane, dan asam tiobarbiturik. Pada ikan atlantik cod, produksi asam lemak bebas juga terjadi meskipun pada suhu rendah. Trigliserida dihidrolisis menjadi digliserida dan asam lemak bebas dengan bantuan trigliserida lipase. Sedangkan fosfolipid dihidrolisis menjadi lisofosfolipid dan asam lemak bebas dengan bantuan fosfolipase. Hubungan antara aktifitas enzim- enzim ini dengan kehadiran asam lemak bebas belum begitu stabil. Akan tetapi, hidrolisis membantu proses oksidasi dengan baik (FAO 1995).

Komponen volatil amin seperti trimetil amin (TMA), ammonia (NH3), dan dimetilamin (DMA) tergabung dalam komponen nitrogen basa volatil total (TVB- N). Komisi Eropa (2006) telah menjelaskan bahwa kadar TVB-N dapat digunakan sebagai penilaian terhadap kemunduran mutu ikan jika metode sensori dianggap meragukan. Hebard et al. (1982) menjelaskan bahwa trimetil amin oksida (TMAO) umumnya ditemukan pada ikan-ikan air laut. Trimetil amin (TMA) dihasilkan dari TMAO dari bakteri pembusuk selama penyimpanan ikan dalam keadaan dingin (menggunakan es). Hebard et al. (1982) juga menyatakanselama penyimpanan beku, TMAO pada spesies ikan gadoid dipecah menjadi dimetil amin (DMA) dan formaldehid (FA) oleh enzim yang terdapat dalam daging ikan tersebut.

TMAO merupakan bagian penting dalam komposisi kimia daging ikan-ikan air laut karena memiliki fungsi sebagai osmoregulator dan zat anti beku bagi ikan- ikan laut dalam (FAO 1995). Hebard et al. (1982) menjelaskan bahwa jumlah TMAO dalam daging ikan tergantung pada spesies, musim, dan lokasi penangkapan. Kandungan tertinggi TMAO terdapat dalam daging ikan bertulang rawan dan cumi- cumi sebesar 75-250 mg N/100 g. Ikan cod memiliki TMAO sebesar 60-120 mg N/100 g. Akan tetapi, satu pengecualian didapatkan dalam penelitian yang dilakukan Gram et al. (1989) dimana ikan nila perch dan tilapia dari danau Viktoria memiliki kandungan TMAO yang besar bagi ukuran ikan air tawar yakni sebesar 150-200 mg N/100 g.

Duflos et al. (2006) melakukan teknik spektroskopi massa dalam menentukan jenis-jenis zat volatil yang dikeluarkan oleh ikan cod, makarel, dan whiting pada penyimpanan 0 dan 10 hari dalam suhu 4°C. Dalam penelitian tersebut teridentifikasi 20 komponen volatil yang dikeluarkan ketiga spesies ikan tersebut. Komponen- komponen tersebut diantaranya adalah amonia, dimetilamin, dan trimetilamin. Data dari ketiga komponen TVB tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Kesimpulan yang didapat dari Tabel 3 adalah bahwa ketiga komponen volatil bersifat basa karena memiliki nilai pKa lebih dari 7.

Tabel 3. Komponen amina terbanyak yang ditemukan selama pembusukan ikan Komponen Rumus

Molekul

Boiling Point (°C) Densitas (g/L) pKa

Amonia NH3 -33,4 0,68 9,25

Dimetilamin N(CH3)2H 7 1,5 10,73

Trimetilamin N(CH3)3 2,9 0,67 9,81 Sumber : Duflos et al. (2006)

2.3. Smart Packaging

Day (2008) menjelaskan bahwa active packaging merupakan suatu sistem kemasan yang sengaja ditambahkan dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan kemasan dalam menjaga atau memelihara aspek kualitas, keamanan, dan sensori dari bahan pangan. Kemasan aktif memiliki kemampuan untuk memerangkap atau menahan masuk oksigen, menyerap karbondioksida, uap air, etilen, dan atau flavor, bau, noda, mengeluarkan karbondioksida, etanol, antioksidan, serta memelihara kontrol suhu dan bertanggung jawab terhadap perubahan suhu. Pira Internasional Ltd. memberikan estimasi nilai global terhadap penjualan kemasan aktif pada tahun 2005 senilai $ 1.558 miliar dan diramalkan meningkat pada tahun 2010 menjadi $ 2.649 miliar (Anonim 2005). Day (2003) menjelaskan bahwa kemasan aktif (active packaging) memiliki definisi berbeda dengan kemasan cerdas (smart packaging). Robertson (2006) mendefinisikan kemasan cerdas (smart packaging) sebagai kemasan yang memiliki indikator, baik yang diletakkan secara internal maupun secara eksternal dan mampu memberikan informasi tentang keadaan kemasan dan atau kualitas makanan di dalamnya.

Pada tahun 1949, Clark telah membuat paten sebuah aplikasi berupa indikator untuk produk pangan yang mampu melihat perubahan irreversible yang disebabkan oleh aktivitas bakteri. Sebuah penentuan langsung terhadap keberadaan karbondioksida dari produk yang telah mengalami pembusukan secara mikrobiologi menggunakan indikator berbasis warna pH telah ditemukan oleh Lawdermilt pada tahun 1962. Smolander (2008) telah merangkum beberapa perkembangan dalam riset indikator kesegaran produk perikanan dari beberapa peneliti smart packaging. Beberapa indikator penentu kesegaran produk perikanan yang digunakan pada berbagai smart packaging dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Beberapa indikator penentu kesegaran produk perikanan yang digunakan padaberbagai smart packaging

No. Metabolit yang dideteksi

Indikator Potensial dan prinsip sensor Produk indikator kesegaran komersial 1. Gas-gas basa

volatil

DTN pada komponen volatil dari produk dalam kemasan bereaksi dan merubah warna dari pewarna indikator

It’s Fresh™ (It’s Fresh! Inc.) 2. Komponen

nitrogen volatil (TMA, DMA, Amonia)

Reaksi dilihat berdasarkan perubahan warna menggunakan pewarna sensitif pH, atau dengan sensor optik

Fresh Taq (USA), freshQ (USA) 3. Produk

degradasi ATP

Test strip, biosensor elektrokimia berdasarkan penentuan enzimatis, kontak langsung dengan makanan

Transia GmbH (Jerman) 4. Komponen

sulfur

DTN pada komponen volatil sulfur dari kemasan, reaksi berdasarkan perubahan warna mioglobin, atau perubahan warna lembaran perak skala nano

Freshness Guard Indicator

(Finlandia)

Sumber : Smolander 2008

Ada dua indikator yang dapat mendeteksi kualitas makanan non-destruktif yakni, Time-Temprature Integrators (TTI) dan Food Quality Indicators (FQI). Dua indikator ini memiliki prinsip kerja sebagai colorimetric dengan melihat perubahan warna akibat menurunnya mutu produk perikanan di dalam kemasan. Kinerja dari kedua tipe indikator ini berdasarkan prinsip kimia. Perbedaan di antara keduanya adalah TTI memperlihatkan perubahan warna akibat efek perubahan suhu kerena reaksi antara kimia produk dengan indikator sedangkan FQI bereaksi pada perubahan secara kimiawi atau biologi yang ditemukan di dalam kemasan yang menandakan rusaknya produk. Kelemahan dari TTI adalah tidak dapat memberikan indikasi

kualitas sebenarnya pada produk makanan. Berdasarkan teknik indikator TTI, metode pada kemasan ini masih belum menjamin akan tingkat kemunduran mutu ikan, terlebih dengan sangat kompleksnya proses kemunduran mutu yang terjadi pada berbagai hasil perikanan (Eskin dan Robinson 2001). FQI mampu memberikan informasi menurunnya kualitas akibat proses pembusukan. Parameter yang digunakan FQI adalah tekstur, warna, kemampuan elektrik, dan bau (Pacquit et al.

2008).

Penilaian amina dalam daging ikan dan analisis TVB-N telah lama digunakan sebagai penilaian mutu (Fishery products/Food Hygiene European Legislation 1995

dalam Pacquit 2008). FQI memiliki prinsip pada penghitungan nilai amina dalam ikan. Nilai pH daging ikan meningkat sebagai akibat kadar amina pada daging ikan meningkat. Perubahan pH ini dideteksi oleh pewarna pH yang bertindak sebagai indikasi dari mutu daging ikan. Alat sensor yang berisi pewarna indikator pH diletakkan di dalam membran polimer berbasis selulosa. Konsep FQI terlihat sederhana tetapi memiliki beberapa masalah. Masalah pada FQI diantaranya adalah adanya jarak antara peningkatan jumlah mikroba dan peningkatan konsentrasi amina (Pacquit et al. 2008).

Kedua teknologi ini (TTI dan FQI) dapat dipadukan pemanfaatannya dimana TTI yang menjamin kondisi rantai dingin, sementara FQI menjamin kualitas. Smart packaging dapat memberikan informasi aktual mengenai kesegaran dan keamanan pada produk perikanan dalam kemasan, menurunkan kerugian akibat kerusakan produk, dan memberikan estimasi lebih akurat dibandingkan label “baik digunakan sebelum tanggal” (Pacquit et al. 2008).

2.4. Chitosan

Chitosan merupakan produk dari proses deasetilasi chitin yang merupakan komponen utama eksoskeleton dari kelas krustacea. Chitosan adalah kopolimer linier yang tersusun oleh 2000-3000 monomer D-glukosamin (GlcN) dalam ikatan β (1-4) yang terdiri dari 2-asetil-2-deoksi-D-glukopiranosa dan 2-amino-2-deoksi- β-D-glukopiranosa (Prashanth dan Tharanathan 2007). Berat molekul chitosan

sebesar 1,24 x 106 Dalton sedangkan derajat deasetilasinya adalah sekitar 80 %-85 % (Krajewska 2004). Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang

dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang pada

chitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari chitosan

(Graham et al. 1979). Chitosan merupakan polielektrolit netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan chitosan membentuk ion netral.

Chitosan mempunyai gugus amino bebas polikationik, pengkelat, dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Bila chitosan dilarutkan dalam asam maka chitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga dapat digunakan dalam proses flokulasi, pembentuk film atau imobilisasi dalam berbagai reagen biologi termasuk enzim (Rinaudo 2006). Proses kationisasi mengarah kepada pembentukan grup yang fungsional (OH dan NH). Chitosan yang larut dalam asam memiliki keunikan yakni mampu membentuk gel yang stabil dan membentuk muatan dwi kutub, yaitu muatan positif pada gugus NH dan muatan negatif pada gugus karboksilat (Krajewska 2004). Struktur chitin dan chitosan

dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia (a) chitin dan (b) chitosan (Prashanth dan Tharanathan 2007)

Chitosan secara kimia dapat digunakan sebagai pengganti selulosa, dimana dalam gugus hidroksil chitosan pada C2 telah diganti oleh gugus amina (Krajewska 2004). Kemiripan struktur kimia antara chitosan dengan selulosa juga dijelaskan oleh Ban et al. (2005), dimana penambahan chitosan sebanyak 33% memiliki kualitas film

biopolimer yang mirip dengan penambahan 22% selulosa. Sifat yang terdapat pada

atas 6,5 tetapi cepat larut dalam asam organik encer seperti asam asetat, asam sitrat, asam formiat dan asam mineral lain kecuali sulfur. Pelarut yang umum digunakan dalam proses pembuatan membran polimer berbahan dasar chitosan adalah larutan asam asetat (Rinaudo 2006).

Keunggulan sifat chitosan film yang biodegradable telah dibuktikan Makarios-Laham dan Lee (1995). Di dalam tanah, PE-Chitosan film memiliki tingkat degradasi lebih tinggi dibandingkan film komersial dengan bahan dasar tepung kanji. Untuk meningkatkan ketahanan laju udara pada chitosan film, Suyatma et al. (2004) mencampurnya dengan polimer komersial poly(lactic acid) (PLA). Ban et al. (2005) membuktikan bahwa chitosan dengan konsentrasi 28% mampu memberi kekuatan tarik 10 kali lipat pada film dari tepung kanji komersial. Kamel et al. (2004) mendapatkan hasil bahwa perlakuan dengan 1% larutan PVA atau 0,3% larutan

chitosan memberikan karakteristik fisik maksimum pada kertas. Chen et al. (2007) yang meneliti karakteristik ikatan yang terjadi pada film chitosan dan PVA menemukan bahwa interaksi ikatan hidrogen antara chitosan dan PVA membuat struktur kimia film yang dihasilkan sangat kokoh. Apriyanto (2007) telah mengembangkan biofilm berbahan dasar PVA dan chitosan dengan penambahan sorbitol.

Dokumen terkait