• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pengujian Tingkat Kebusukan Fillet Ikan Nila

Pengujian tingkat kebusukan fillet ikan nila yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengujian nilai TVBN, nilai TBC dan nilai pH. Hasil pengujian tingkat kebusukan ini merupakan nilai dari masing-masing paramater uji yang digunakan sebagai pembanding dengan pola perubahan nilai absorbans sensor.

4.2.1. Total volatile basicnitrogen (TVBN)

Prinsip dari anilisis TVBN adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatile (amin, mono-, di- dan trimetilamin) pada suhu kamar selama 24 jam. Senyawa tersebut kemudian diikat oleh asam borat dan kemudian dititrasi dengan larutan 0,01 N HCl (AOAC 1995).

Hasil analisis nilai TVBN selama proses kebusukan fillet ikan nila selama waktu pengamatan 15 jam menunjukkan bahwa telah terjadinya peningkatan nilai TVBN sejalan dengan makin lamanya waktu pengamatan. Hasil pengamatan pada jam ke-0, nilai TVBN fillet ikan nila adalah sebesar 8,40 ± 0,40 mg N/100 g. Nilai TVBN tersebut terus cenderung mengalami peningkatan, dimana pada pengamatan jam ke-5 adalah sebesar 14,56 ± 0,40 mg N/100 g. Pada pengamatan jam ke-10, nilai TVBN sebesar 28,42 ± 1,39 mg N/100 g dan pada pengamatan jam ke-15 adalah sebesar 52,36 ± 1,98 mg N/100 g. Kecenderungan peningkatan nilai TVBN selama proses kebusukan fillet ikannila selama waktu pengamatan 15 jam dapat dilihat pada Gambar11.

Model regresi polinomial ortogonal dengan order 2 didapatkan bahwa semakin lama waktu pengamatan proses kebusukan fillet ikan nila memperlihatkan adanya peningkatan nilai TVBN. Persamaan regresi polinomial antara waktu pengamatan proses kebusukan fillet ikan nila dengan nilai TVBN adalah y = 0,1778x2 + 0,2478x + 8,519 dengan nilai determinasi sebesar 99,98 %.

Gambar 11. Grafik kecenderungan peningkatan nilai TVBN dan kecenderungan nilai absorbans dinamika respon sensor smart packaging dengan bahan dasar chitosan-asetat, PVA, dan indikator BTB selama proses kebusukan fillet ikan nila pada waktu pengamatan 15 jam.

Jika melihat kecenderungan peningkatan nilai tersebut dibandingkan dengan kecenderungan data dinamika respon sensor smart packaging dengan bahan dasar chitosan-asetat, PVA, dan indikator BTB menunjukkan bahwa pola kecenderungan data yang ada adalah sama, yaitu makin meningkat sejalan dengan makin lamanya waktu pengamatan dari proses kebusukan fillet ikan nila.

Komisi Eropa (2006) menjelaskan bahwa nilai TVBN dapat digunakan sebagai penilaian terhadap kemunduran mutu ikan jika metode sensori dianggap meragukan. Pengamatan terhadap hubungan antara nilai TVBN dengan analisis bau dan nilai TPC ikan mahi-mahi (Coryphaena hippurus) yang disimpan pada suhu 7°C menunjukkan bahwa nilai TVBN cenderung terus meningkat dengan cepat selama proses kebusukan ikan, dimana pada hari ke-3 nilai TVBN telah mencapai 30 mg N/100 g daging ikan, yang merupakan batas akhir penilaian kebusukan ikan (Antoine et al. 2002). Selanjutnya, Duflos et al. (2002) juga mendapatkan nilai TVBN yang telah melewati ambang batas kebusukan ikan, yakni sebesar 29,9 mg N/100 g pada hari ke-8 pada ikan pouting segar dan sebesar 40,1 mg N/100 g pada ikan whitting yang disimpan dalam es dengan suhu penyimpanan 0°C.

4.2.2. Total bacterial counts (TBC)

Salah satu metode untuk melihat kesegaran ikan adalah dengan analisis TBC. Prinsip kerja dari analisis TBC adalah penghitungan jumlah koloni bakteri yang ada di dalam sampel (fillet ikan nila) dengan pengenceran sesuai keperluan dan dilakukan secara duplo (Fardiaz 1987).

Hasil analisis jumlah koloni bakteri selama proses kebusukan fillet ikannila pada waktu pengamatan 15 jam menunjukkan bahwa telah terjadinya peningkatan jumlah bakteri seiring dengan makin lamanya waktu pengamatan. Pada jam ke-0, nilai TBC fillet ikan nila adalah sebesar nilai log 4,35 ± 0,07 (2,3 x 104 CFU/ml). Nilai TBC ini kemudian meningkat pada waktu pengamatan jam ke-5 yaitu sebesar nilai log 5,81 ± 0,43 (8,1 x 105 CFU/ml). Pada waktu pengamatan jam ke-10, nilai TBC kembali meningkat sebesar nilai log 7,5 ± 0,54 (4,5 x 107 CFU/ml). Peningkatan nilai log TBC yang cukup tinggi terjadi pada waktu pengamatan jam ke-15 yaitu sebesar nilai log 9,11 ± 0,05 (1,3 x 109 CFU/ml). Kecenderungan peningkatan nilai TBC dari fillet ikan nila selama waktu pengamatan 15 jam dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Grafik kecenderungan peningkatan nilai log TBC dan kecenderungan nilai absorbans dinamika respon sensor smart packaging dengan bahan dasar chitosan-asetat, PVA, dan indikator BTB selama proses kebusukan fillet ikan nila pada waktu pengamatan 15 jam.

Model regresi polinomial ortogonal dengan order 2 didapatkan bahwa semakin lama waktu pengamatan proses kebusukan fillet ikan nila memperlihatkan adanya peningkatan nilai TBC. Persamaan regresi polinomial ortogonal antara waktu pengamatan proses kebusukan fillet ikan nila dengan nilai TBC adalah y = 0,0037x2 + 0,2687x + 4,4085, dengan nilai determinasi sebesar 99,98 %.

Jika melihat kecenderungan peningkatan nilai tersebut dibandingkan dengan kecenderungan data dinamika respon sensor smart packaging dengan bahan dasar chitosan-asetat, PVA, dan indikator BTB menunjukkan bahwa pola kecenderungan data yang ada adalah sama, yaitu makin meningkat sejalan dengan makin lamanya waktu pengamatan dari proses kebusukan fillet ikan nila.

Adanya perbedaan nilai TBC menunjukkan bahwa makin lamanya waktu pengamatan, jumlah bakteri cenderung meningkat. Gram (1990) menyatakan bahwa ikan yang disimpan dengan pemberian es selama 2-3 minggu, bakteri terus cenderung mengalami peningkatan dengan cepat, dimana mencapai sekitar 108-109 cfu/g daging ikan pada waktu akhir pengamatan. Selanjutnya juga disampaikan bahwa daging ikan yang mengandung lebih dari 1 juta bakteri per gram telah menunjukkan mutu yang sangat rendah bahkan sudah tidak layak lagi untuk dipasarkan. Lin et al. (2006) dengan menggunakan teknik Principal Component Analysis (PCA) dengan peralatan SW-NIR memperlihatkan bahwa jumlah log TBC selama proses kebusukan fillet rainbow trout yang disimpan pada suhu 21°C cenderung semakin meningkat hingga mencapai 7,46 CFU/ml mikroba pada akhir pengamatan (jam ke-24). Perhitungan jumlah bakteri pada daging segar ikan Whitting dan Pouting yang dilakukan Duflos et al. (2002) memperlihatkan juga adanya peningkatan yang nyata terhadap jumlah bakteri selama penyimpanan 10 hari pada suhu 0°C. Dalam perhitungan tersebut, ditunjukkan bahwa laju peningkatan bakteri pada ikan Whitting lebih cepat daripada ikan Pouting. Duflos et al. (2002) juga menyimpulkan bahwa estimasi jumlah mikroflora dalam daging ikan hanya memberikan informasi secara umum terhadap tingkat kontaminasi bakteri dan bukan sebagai kriteria satu-satunya penilai kesegaran.

4.2.3. Nilai pH

Hasil pengamatan nilai pH selama proses kebusukan fillet ikan nila pada waktu pengamatan 15 jam menunjukkan bahwa nilai pH cenderung berfluktuasi. Pada jam ke-0, nilai pH fillet ikan nila segar adalah sebesar 6,50 ± 0,08. Nilai pH ini kemudian menurun saat pengamatan pada jam ke-5, yaitu sebesar 5,96 ± 0,12. Pada pengamatan jam ke-10, nilai pH kembali meningkat menjadi sebesar 6,34 ± 0,73. Peningkatan nilai pH tersebut terus berlanjut pada pengamatan jam ke-15 yaitu menjadi sebesar 6,44 ± 0,25. Kecenderungan perubahan nilai pH selama proses kebusukan fillet ikan nila pada waktu pengamatan 15 jam dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Grafik kecenderungan peningkatan nilai pH dan kecenderungan nilai absorbans dinamika respon sensor smart packaging dengan bahan dasar chitosan-asetat, PVA, dan indikator BTB selama proses kebusukan fillet ikan nila pada waktu pengamatan 15 jam.

Model regresi polinomial ortogonal dengan order 2 didapatkan bahwa selama waktu pengamatan proses kebusukan fillet ikannila memperlihatkan nilai pH yang cenderung berubah-ubah. Persamaan regresi polinomial antara waktu pengamatan proses kebusukan fillet ikan nila dengan nilai pH adalah y = 0,006x2 - 0,092x + 6,44 dengan nilai determinasi sebesar 59,10 %. Apabila diperhatikan data nilai pH yang diperoleh, waktu pengamatan jam ke-5 nilai pH cenderung turun dengan tajam jika dibandingkan dengan nilai pH pada jam ke-0. Hal ini

diduga dari makin meningkatnya produksi asam laktat yang berasal dari proses pemecahan glikogen fillet ikan nila. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh Tarr (1966), dimana jumlah asam laktat dalam daging ikan terus meningkat setelah ikan itu mati.

Jika melihat kecenderungan peningkatan nilai tersebut dibandingkan dengan kecenderungan data dinamika respon sensor smart packaging dengan bahan dasar chitosan-asetat, PVA, dan indikator BTB menunjukkan bahwa pola kecenderungan data nilai pH cenderung berubah-ubah, namun kecenderungan ini semakin sama yaitu makin meningkat sejalan dengan makin lamanya waktu pengamatan dari proses kebusukan fillet ikan nila.

Menurut Fraser et al. (1961) pada ikan atlantik cod yang telah mati ditemukan konsentrasi asam laktat dalam daging yang makin tinggi sejalan dengan nilai pH yang makin rendah, yaitu sebesar 6,8. Penurunan nilai pH sesaat setelah mati juga dialami jenis-jenis ikan yang lain. Data FAO (1995) menyebutkan bahwa pada ikan cod, pH cenderung turun dari 6,8 menjadi 6,1 hingga 6,5. Pada ikan makarel secara umum, pH akhir adalah sebesar 5,8 hingga 6,0; pada ikan tuna dan halibut, nilai pH akhir adalah sebesar 5,4 atau 5,6. Suasana asam pada daging ikan menurut Aksnes (1989) menyebabkan enzim katepsin menjadi aktif dan menguraikan protein menjadi senyawa yang lebih sederhana berupa peptida, asam amino, dan amonia yang bersifat basa, sehingga pH kembali naik mendekati netral. Oleh karena itu, pada penyimpanan jam ke-10 nilai pH fillet nila segar kembali naik. Penelitian yang dilakukan Lin et al. (2006) terhadap kebusukan ikan rainbow trout yang disimpan pada suhu 4°C menggunakan spektroskopik infra merah juga menunjukkan pola naik dan turun pada nilai pH, dimana pada hari pertama nilai pH sebesar 6,50 dan hari ke-8 nilai pH cenderung turun menjadi 6,33.

4.3. Tingkat Hubungan (Korelasi) antara Nilai Absorbans Sensor Smart

Dokumen terkait