• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kenampakan Komponen Peta

Dalam dokumen ANALISA DESKRIPTIF TERHADAP KELENGKAPAN . (Halaman 43-56)

DATA KOMPONEN PETA DI MEDIA MASSA

3.4 Kenampakan Komponen Peta

Sebagaimana dikemukakan pada tinjauan pustaka sebelumnya, buku-buku penunjang atau buku paket yang beredar di masyarakat baik yang berbentuk LKS (Lembar Kerja Siswa) maupun buku paket umum, tidak memiliki kesamaan dalam jumlah komponen utama yang ada dalam peta. Satu buku hanya menyertakan 9 komponen, sedangkan sumber yang lain ada yang mencantumkan 10 komponen. Namun demikian ada beberapa poin komponen peta yang dianggap sama dan menjadi bagian dari komponen peta.

Selaras dengan pandangan ini, akan dilakukan analisa terhadap kenampakan komponen peta yang dimunculkan dalam media massa. Komponen peta yang dimaksudkan tersebut, yaitu judul, latering, simbol, skala, legenda, garis astronomis, garis tepi, arah mata angin, tahun pembuatan, dan sumber pembuatan. Hasil pengamatan terhadap sumber data riset dapat dikemukakan sebagai berikut.

a. Judul.

Judul peta pada peta-peta yang dipublikasikan media massa menunjukkan keanekaragaman tertentu. Pada satu sisi ada yang menggunakan judul lokasi administratif, dan pada bagian lain banyak yang

menggunakan judul peta dengan tema informasi yang akan disampaikan.

Kasus banjir di Sambas, Kompas menggunakan judul peta ”Sambas”, dan bukan ”banjir Sambas”.

Di lihat judul peta, sesungguhnya peta tersebut dapat dikategorikan sebagai peta umum. Karena judul petanya tidak menunjukkan informasi spesifik sebagaimana yang akan dikemukakan dalam peta tersebut. Namun pada sisi lain, di lihat dari kerangka umum informasi yang sedang dikemukakannya, yaitu mengenai banjir Sambas, maka sesungguhnya pihak pengelola dapat menggunakan peta khusus.

Pada contoh lain, Kompas (26/12/07) ketika menyampaikan informasi daerah rawan bencana alam di Jawa Barat, menggunakan judul peta, ”Daerah Rawan Bencana Alam di Jawa Barat”. Penyertaan judul tersebut, merupakan indikasi nyata bahwa jenis peta yang digunakannya adalah peta khusus (spesifik pada kasus rawan bencana alam).

b. Lettering

Secara umum cara penulisan nama-nama geografi sudah menunjukkan ketepatan cara penulisan. Judul peta ditulis dengan huruf capital tegak, nama ibukota provinsi ditulis dengan huruf tegak dan kapital pada huruf pertama saja (seperti Bedegul di Bali), nama provinsi di tulis dengan huruf capital.

Terkait dengan ukuran bentuk huruf –meminjam analisa dan peraturan sebagaimana yang dikemukakan Wardiyatmoko— penulisan nama-nama geografi ’darat’ sudah dilakukan dengan tepat. Pada umumnya, media massa sudah menunjukkan hasil yang tepat terkait dengan cara penulisan nama geografi darat.

Di lain pihak, lettering dalam penamaan identitas geografi yang terkait dengan ’air’ merupakan komponen peta yang kurang mendapat perhatian dari pembuat peta pada media massa. Etika penulisan nama atau identitas sebuah lokasi dalam sebuah peta, kiranya kurang mendapat perhatian dari kalangan media.

Pembuat peta di Kompas (27/12/06), misalnya, ketika menuliskan identitas ”LAUT JAWA” ditulis dengan huruf tegak. Padahal menurut teori, sebagaimana dikemukakan dalam kajian pustaka, nama geografi yang terkait dengan air harus ditulis miring (italic). Dengan kata lain, identitas geografi ”LAUT JAWA” seharusnya ditulis ”LAUT JAWA”, dan tulisan ”SAMUDRA HINDIA”, ditulis ”SAMUDRA HINDIA”. Kasus serupa pun diperlihatkan kembali pada penulisan ”LAUT BALI” (Kompas, 6/12/06), yang seharusnya ditulis ”LAUT BALI”

c. Skala

Penampakan peta dalam sebuah peta merupakan satu kebutuhan mutlak. Bagi seorang pembaca peta yang baru, skala ini dapat berfungsi untuk mengukur jarak dan luas wilayah, sehingga dirinya dapat mengambil kesimpulan terhadap rencana mengunjungi daerah tersebut.

Misalnya seorang pembaca peta pemula akan berkunjung ke Bandung - Jawa Barat. Pada saat dia

berada di Jakarta, maka dia akan melihat jarak lokasi Jakarta-Bandung sangat membutuhkan kehadiran peta sehingga dirinya dapat menentukan jam keberangkatan dan jam kesampaiannya di lokasi yang akan dituju.

Kompas merupakan media yang sering menggunakan skala sebagai bagian dari informasi peta. Jenis skala yang digunakan Kompas pada umumnya skala batang. Misalnya :

180 km

Skala tersebut, menunjukkan satu batang pada peta sama dengan jarak lokasi 180 km pada kenyataannya. Penggunaan skala seperti ini, pada umumnya tidak bisa digunakan dalam peta-peta akademik yang populer di masyarakat. Karena pada umumnya, peta yang dipublikasikan ke masyarakat lebih banyak menggunakan perbandingan dengan ’cm’ dan bukan dengan ’km’.

Namun demikian ada nilai lebih dari penggunaan skala seperti ini, yaitu memudahkan si pembaca untuk dapat menghitung jarak dan luas wilayah secara cepat.

Pilihan media menggunakan skala batang, merupakan pilihan yang tepat seiring dengan fleksibilitas pengguna dalam menggunakan peta tersebut. Mereka yang bermaksud menggunakan peta dari media massa, akan dengan mudah melakukan perubahan ukuran skala peta, baik ke ukuran peta berskala besar maupun ukuran berskala kecil. Karena skala batang tersebut akan dapat dengan mudah mengalami perubahan seiring dengan pembesaran atau perkecilan ukuran peta tersebut. Kejadian seperti ini akan sulit dialami oleh skala dalam karakter yang lain, misalnya skala angka (numerik) atau skala lettering (kalimat).

d. Legenda

Dari peta yang terkumpul, hampir setengahnya peta yang dimuat di media massa tidak mencantumkan legenda. Kalangan media lebih banyak menonjolkan keterangan dalam bentuk langsung pada objek

informasi sendiri. Oleh karena itu, fungi legenda menjadi sangat kurang dalam penampilan peta di media massa.

Dalam sebuah peta pembelajaran (peta yang digunakan sebagai media belajar), banyak simbol yang ditetakkan dalam peta, bahkan variasi simbol itu secara berulang- ulang. Dengan keadaan seperti itu, menjadi masuk akal dan mudah dipahami bila peran dan fungsi legenda adalah untuk menyederhanakan informasi dalam peta, sehingga dapat dengan efektif dan lengkap.

Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi pada peta di media massa. Peta di media massa itu, kadang hanya membutuhkan satu atau dua bentuk simbol. Dan munculnya simbol tersebut dalam peta, hanya satu atau dua kali. Oleh karena itu, peran legenda yang menyajikan keterangan mengenai berbagai simbol menjadi kurang penting.

Terkait dengan kemungkinan seperti inilah, maka komponen legenda memungkinkan menjadi salah satu komponen peta yang kurang mendapat perhatian dari

pembuat peta di media massa. Dan mereka lebih banyak membuat keterangan-keterangan langsung pada sasaran objek berita yang sedang dipublikasikan.

e. Simbol

Simbol yang digunakan dalam peta media massa cenderung menggunakan simbol konvensional. Misalnya saja simbol jalan raya, simbol lapangan udara, simbol rel kereta api. Model-model simbol tersebut cenderung konvensional.

Hal yang menjadi arena kreativitas para pembuat peta media massa, yaitu pada bagian warna dan desain peta dan legenda. Ketiga arena ini merupakan arena yang sering menjadi sasaran kreativitas para pembuat peta di media massa.

f. Arah Mata Angin

Dari sejumlah peta yang terkumpulkan, lebih dari setengah peta di Kompas mancantumkan arah mata angin (orientasi peta) dalam peta yang dipublikasikannya. Sedangkan peta yang tampil di

Pikiran Rakyat, ada setengahnya yang tidak menampilkan orientasi peta (arah mata angin).

Kondisi seperti ini sudah tentu dapat memberikan informasi yang kurang tepat bagi masyarakat. Bahkan dalam batasan tertentu, khususnya masyarakat yang tidak terbiasa membaca peta potensial mendapatkan informasi yang keliru atau setidaknya mengalami kesulitan dalam membaca peta.

g. Garis Tepi Peta

Mayoritas peta di media massa mencantumkan garis tepi peta. Sehingga para pembaca dapat secara langsung (direct) dapat membedakan areal yang termasuk kategori areal (wilayah) peta dan bukan areal peta. Keadaan seperti ini dapat dilihat pada peta-peta yang ada di media massa.

Hal yang membedakan antara satu peta dengan peta yang lain (catat : bukan antara peta di media satu dengan media yang lain) hanyalah pada variasi model/bentuk garis tepi peta itu sendiri.

Koran Sindo, ketika menampilkan peta “Busway Koridor VIII –X” membuat garis tepi peta dengan satu garis tipis yang tegas. Sementara Pikiran Rakyat (16 Juni 2005) menampilkan peta tentang garis Wallacea dengan garis tepi peta yang lebih tebal dari peta yang dimunculkan Sindo. Hal yang unik, dimunculkan oleh Kompas. Dalam beberapa peta yang ditampilkan Kompas, beberapa diantaranya menggunakan warna dasar sebagai garis tepi peta, dan bukan membuat garis tepi peta baru yang menjadi pembatas atau bingkai ruang peta tersebut. Warna dasar peta, dalam beberapa peta di Kompas berfungsi langsung menjadi areal peta, dan garis tepi peta yang bisa dibedakan dari areal tulisan yang lain.

Walaupun demikian, ditemukan pula peta yang ditampilkan media massa tidak menggunakan garis tepi peta, sehingga areal peta dengan areal wacana media massa membaur. Namur demikian, secara umum peta di media massa menggunakan garis tepi peta.

Garis astronomi merupakan aspek penting dalam memahami perubahan iklim dan cuaca dari sudut pandang revolusi bumi dan rotasi bumi. Namun demikian, dari sejumlah peta yang terkumpul, ditemukan bahwa garis astronomi ini kurang mendapat perhatiana yang seksama dari para pembuat peta di media massa.

Bila dilihat dari teknik penyertaan garis astronomis, sesungguhnya dapat dilakukan dalam dua model. Pertama, hanya mencantum grid astronomi pada garis tepi peta. Kedua, menyertakan garis astronomis (garis bujur dan garis lintang) secara lengkap di dalam peta.

i. Sumber Peta

Dalam proses pembelajaran masih terdapat kekeliruan anak didik mengenai sumber peta. Khusus dalam memahami peta yang dipublikasikan media massa, mereka lebih banyak menganggap bahwa sumber peta itu yaitu ’penerbit’ media massa itu sendiri. Sehingga mereka menyebutkan sumber peta adalah ”Pikiran Rakyat”, ”Kompas”, ”Galamedia”, dan ”Tribun Jabar”

atau yang lainnya. Persepsi seperti itu mereka tunjukkan pula dalam menyebutkan sumber peta yang ada di Atlas Indonesia. Mereka menyebutkan bahwa sumber peta itu adalah ”penerbit Atlas” tersebut. Persepsi seperti ini sudah tentu kurang tepat. Karena sesungguhnya yang dimaksud dengan sumber peta adalah pembuatan peta dari peta dasar. Artinya peta dasar itu dibuat oleh siapa dan atau menggunakan teknologi apa. Karena pada dasarnya, banyak peta- peta yang terpublikasikan saat ini lebih merupakan satu bentuk duplikasi dari peta dasar yang disusun oleh lembaga tertentu.

j. Tahun Pembuatan

Media massa masih mengabaikan masalah tahun pembuatan peta. Dari sejumlah peta yang terkumpulkan, tidak ada mencantumkan tahun pembuatan peta. Keadaan seperti ini, sudah tentu kurang positif bagi pembelajaran geografi. Karena bila peta ini dibaca oleh seseorang yang kurang jeli, dapat menyebabkan kekeliruan analisis. Khususnya mengenai daerah administrasi sebuah kawasan.

Sebagai contoh, dalam Peta ”Daerah Rawan Bencana Alam di Jawa Barat” (PR, 27 Desember 2006) tidak menyertakan Kota Cimahi sebagai bagian dari wilayah administrasi baru. Apakah hal ini merupakan satu kekhilapan dalam mencantumkan lokasi Kota Cimahi, atau sebuah ketidaktahuan pembuatnya. Hal ini merupakan satu bentuk nyata potensi kekeliruan mencantumkan peta tanpa menyertakan tahun pembuatan peta.

Dalam dokumen ANALISA DESKRIPTIF TERHADAP KELENGKAPAN . (Halaman 43-56)

Dokumen terkait