• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Temuan Penelitian

3. Kendala dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara

di SMP Negeri 8 Surakarta

Segala macam kegiatan pasti tidak luput dari sebuah hambatan atau kendala. Demikian juga dengan sebuah pembelajaran, pasti akan ditemui banyak kendala yang menghambat berlangsungnya pembelajaran. Oleh karena itu perlu adanya pengidentifikasian kendala-kendala yang menghambat pembelajaran. Setelah diidentifikasi, barulah kemudian dicarikan solusi untuk mengatasi kendala-kendala tersebut. Dengan demikian diharapkan proses pembelajaran akan berlangsung lebih baik dari sebelumnya.

Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti di SMP Negeri 8 Surakarta ditemukan beberapa kendala dalam pembelajaran keterampilan berbicara yaitu:

a. Kurang Memadainya Buku tentang Peningkatan Keterampilan

Berbicara yang Ada di Perpustakaan Sekolah

Perpustakaan merupakan tempat penting yang dapat menunjang keberhasilan pembelajaran Bahasa Indonesia, termasuk berbicara. Keberadaan buku-buku penunjang pembelajaran di perpustakaan dapat membantu siswa untuk menemukan materi baru yang belum mereka pelajari secara formal di kelas. Dengan lebih banyak membaca siswa dapat membuka jendela pengetahuan mereka dengan lebih lebar. Akan tetapi tidak semua perpustakaan memiliki koleksi buku yang cukup memadai, termasuk perpustakaan di SMP Negeri 8 Surakarta. Buku-buku mengenai peningkatan keterampilan berbicara jumlahnya masih belum memadai. Keterbatasan ini menyebabkan siswa tidak dapat meminjam dalam waktu yang bersamaan.

commit to user

Selain itu, jika guru ingin memberikan contoh dari buku-buku peningkatan keterampilan berbicara yang ada di perpustakaan untuk dibawa ke dalam kelas juga tidak memungkinkan.

b. Guru Kesulitan Mengatur Siswa Saat Berdiskusi

Bagi guru yang memilih metode diskusi untuk pembelajaran keterampilan berbicara, menyatakan bahwa metode diskusi dipilih karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (1) siswa yang kurang paham dapat bertukar pikiran dengan teman lain yang lebih paham; (2) waktu pengerjaan tugas menjadi lebih cepat karena dikerjakan secara bersama-sama; dan (3) melatih siswa untuk bekerja sama. Akan tetapi guru menuturkan sulit untuk mengatur siswa ketika berdiskusi.

Sebelum diskusi berlangsung, guru meminta siswa untuk kelompok dengan jumlah anggota yang sudah ditentukan oleh guru. Guru mengalami kesulitan untuk mengondisikan siswa saat pembentukan kelompok. Siswa memerlukan waktu yang lama untuk menentukan anggota kelompok dan tugas masing-masing anggota kelompok. Suasana kelas akhirnya menjadi gaduh dan sedikit banyak akan mengganggu proses belajar mengajar di kelas lain. Selain itu saat diskusi berlangsung, hanya beberapa siswa yang mengerjakan tugas yang diberikaa oleh guru, sedangkan yang lainnya sibuk dengan aktivitas mereka sendiri yang tidak ada hubungannya dengan pembelajaran. Misalnya saja asik mengobrol dengan teman atau bahkan ada juga yang justru asik menggambar.

c. Alokasi Waktu Pembelajaran Terbatas

Dengan jumlah siswa yang banyak, alokasi waktu yang diberikan kepada siswa tentunya kurangt. Guru menyatakan bahwa alokasi waktu pembelajaran terbatas. Jumlah waktu pembelajaran yang tersedia dirasa kurang untuk praktik berbicara semua siswa, sehingga cara yang dipakai oleh guru yaitu dengan menunjuk beberapa siswa saja yang nilainya dirasa kurang untuk memperbaiki nilainya. Apalagi jika didahului dengan kegiatan diskusi,

commit to user

waktu untuk praktik berbicara tentunya berkurang. Waktu yang singkat tersebut dirasa siswa belum cukup untuk menyampaikan gagasan atau idenya dengan baik. Memang pada dasarnya dari waktu yang singkat tersebut guru sudah dapat menilai kemampuan siswa. akan tetapi siswa masih merasa belum melakukan yang terbaik.

d. Minimnya Kosakata Bahasa Baku yang Dimiliki Siswa

Kosakata yang dimiliki siswa masih rendah, khususnya yang berkaitan dengan bahasa baku. Jika diberikan satu tema dan siswa diminta untuk mengidentifikasi kata-kata berkenaan dengan tema tersebut, mereka memerlukan waktu yang lama untuk mengidentifikasinya. Hasil identifikasi kata yang diperoleh siswa pun tidak terlalu banyak. Rata-rata siswa masih menggunakan bahasa ibu yang setiap hari dipakai, yaitu bahasa Jawa. Siswa masih sering menggunakan bahasa daerah saat presentasi, diskusi ataupun kegiatan berbicara yang lainnya. Siswa merasa susah menghilangkan kebiasaan tersebut dan cenderung membawanya ke dunia pendidikan, terlabih jika berinteraksi dengan temannya.

e. Kurangnya Percaya Diri pada Sebagian Besar Siswa

Percaya diri merupakan aspek terbesar dan dominan dalam pratik berbicara. Dengan percaya diri siswa dapat leluasa berbicara tanpa adanya grogi atau ragu dalam berbicara. Seperti yang terjadi di sebagian besar siswa kelas VII F dan VIII A di SMP Negeri 8 Surakarta, jika mendapat giliran untuk maju praktik berbicara, siswa kurang percaya diri sehingga berakibat kurang lancar dalam berbicara. Namun untuk tingkat sekolah menengah pertama, rasa percaya diri dinilai masih pada taraf belajar dan mengenal apa itu berbicara di depan umum atau praktik berbicara.

f. Kurangnya Keseriusan Siswa Ketika Praktik Berbicara di Depan Kelas

Kurangnya keseriusan siswa ketik praktik yaitu siswa yang masih sering bercanda ketika maju, atau mengajak bercanda teman yang mendapat

commit to user

giliran maju ke dapan. Hal sepele tetapi justru menjadi kendala yang besar untuk pembelajaran berbicara, khususnya tingkat sekolah menengah pertama. Bayangkan saja, masih SMP sudah sering bercanda yang tidak ada manfaatnya, apalagi kelak nanti di tingkat lanjutan. Misalnya, banyak yang berbicara memotong pembicaraan guru atau menyela teman yang maju, tetapi jika yang bercanda tadi disuruh mengulang, dia tidak bias.

g. Siswa kurang antusias dalam mengikuti pelajaran

Selain kepercayaan diri yang rendah, semangat yang dimiliki siswa juga masih kurang. Siswa pada dasarnya telah memiliki konsep dan pemikiran akan tetapi jika diminta untuk mengungkapkannya di hadapan teman-temannya siswa tidak mampu dikarenakan rasa takut atau malu. Terkadang siswa malas untuk berbicara karena teman-temannya selalu mengganggu. Rasa malu dan gangguan teman tersebut menjadi salah satu pemicu rasa malu dan rendahnya antusias siswa. Guru mengatakan bahwa apabila antusiasme siswa dalam belajar rendah maka sulit untuk menciptakan pembelajaran yang baik.

Dokumen terkait