• Tidak ada hasil yang ditemukan

KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENGEMBANGAN

Dalam dokumen ATAS KERJASAMA. dengan (Halaman 135-140)

pariwisata. Masih minimnya media informasi seperti brosur merupakan hal yang banyak dikeluhkan pihak biro perjalanan wisata.

4. Aspirasi Kegiatan Wisata oleh Biro Perjalanan Wisata/Travel Agent

Berdasarkan data mengenai aspirasi biro perjalanan wisata/travel agent dalam penyelenggaraan desa wisata di Kabupaten Badung agar dapat berjalan dengan baik, dapat dikumpulkan antara lain sebagai berikut:

1. Kelengkapan fasilitas

2. Informasi terkait kegiatan wisata yang akan dilakukan 3. Pengelolaan atraksi yang lengkap

4. Manajemen resiko terkait dengan kegiatan wisata

Menyangkut bentuk atraksi/tujuan wisata yang dapat ditambahkan dalam aktivitas desa wisata di Kabupaten Badung, pihak biro perjalanan wisata/travel agent menginginkan adanya atraksi wisata spiritual dan wisata budaya. Sedangkan dalam hal peningkatan pelayanan, mereka umumnya menginginkan informasi ketersediaan atraksi wisata.

4.4. Kendala yang Dihadapi dalam Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Badung

Pada umumnya, kendala yang dihadapi dan menjadi hambatan terkait partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pengambilan keputusan pembangunan dalam pengembangan pariwisata disuatu negara, menurut Tosun (2000) terbagi menjadi tiga tipe hambatan utama:

1. keterbatasan operasional.

Keterbatasan operasional meliputi sentralisasi administrasi publik pariwisata,

2. keterbatasan struktural.

Keterbatasan struktural meliputi sikap profesional, kurangnya keahlian, dominasi kaum elit, kurangnya sistem hukum yang tepat, kurangnya sumber daya manusia yang terlatih, partisipasi masyarakat, kurangnya sumber daya keuangan karena biaya yang relatif tinggi.

3. keterbatasan budaya/cultural.

Keterbatasan budaya meliputi sikap apatis dan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pariwisata.

Ketiga hambatan utama seperti yang dikemukakan di atas, berdasarkan data yang diperoleh di lapangan penelitian, juga dihadapi dalam penyelenggaraan desa wisata di Kabupaten Badung. Jika dijabarkan lebih lanjut, ketiga hambatan utama di atas dapat diurai lagi menjadi 9 (sembilan) permasalahan mendasar pengembangan desa wisata di Badung, yakni sebagai berikut:

1. Cara pandang yang salah mengenai keberadaan desa wisata.

 Selama ini pemahaman desa wisata adalah mass tourism

 Kekeliruan cara pandang ini mengakibatkan banyak potensi wisata terkait dengan desa wisata menjadi belum dioptimalkan, terutama dalam hal penataan dan pengemasannya

2. Minim sosialisasi dan pembinaan tentang desa wisata

 Kurangnya sinergitas stakeholders pariwisata dalam transfer of knowledge (sosialisasi pola top-down)

 Mampatnya ruang publik sebagai tempat menyalurkan aspirasi bagi masyarakat lokal karena eksistensi kaum elitis (menumpulkan pola aspirasi bottom-up)

3. Belum terjalin koordinasi antara pemerintahan di tingkat desa

 Belum adanya kesamaan visi dan misi serta pengaturan desa wisata

 Hal ini terkait dengan tidak adanya sinergi yang produktif antara desa adat dengan desa dinas, serta dengan kelompok masyarakat pariwisata yang ada.

4. Permodalan, pengelolaan kelembagaan dan sumber daya manusia

 Kurangnya kemampuan dalam menciptakan jaringan kerjasama

 Belum adanya struktur organisasi yang jelas, sejalan dengan struktur organisasi desa dinas dan desa adat

 Kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat lokal dalam pengelolaan desa wisata

5. Kunjungan wisatawan belum sesuai harapan

 Terkait dengan kuantitas, sepinya wisatawan yang datang menyebabkan masyarakat lokal skeptis dan apatis

 Terkait dengan kualitas, wisatawan yang datang belum sepenuhnya bertindak ala quality tourist.

6. Memaksakan produk dan atraksi wisata tidak sesuai dengan potensi yang dimiliki

 Salah kaprah kreasi produk berdasarkan trend (market driven) yang tidak sesuai dengan batasan desa wisata

 Produk pariwisata yang ditawarkan tidak sesuai dengan nafas budaya dan falsafah setempat sehingga terkesan dipaksakan

7. Harapan besar bahwa desa wisata akan segera dan cepat mendatangkan uang

 Massifnya budaya instan, tidak menghargai proses tetapi berorientasi hasil

 Maraknya sikap pragmatis dan oportunistis di kalangan masyarakat

 Orientasi materialistis

8. Dalam tataran implementasi pemerintah daerah terkesan lepas tangan

 Kurangnya peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan regulator

9. Pemasaran dan promosi

 Kurangnya kreativitas dalam hal pemasaran dan promosi, baik dari sisi kreasi jaringan (networking) maupun bentuk dan media promosinya

 Kurang tersedianya jaringan internet yang memadai

Kesembilan permasalahan mendasar yang dihadapi oleh desa-desa wisata di Kabupaten Badung tersebut tampaknya belum dilihat oleh Pemerintah Kabupaten Badung, atau jika memang sudah diketahui, namun belum dianggap urgent. Sehingga sampai saat ini permasalahan tersebut belum mendapatkan solusinya. Sementara di sisi lain, harapan dari masyarakat di desa wisata yang begitu besar untuk meraup

“dollar”, begitu lama mereka menanti ternyata tidak kunjung datang dengan cepat dan banyak.

Hal ini menimbulkan masyarakat di desa wisata yang masih embriotik mulai merasakan kejenuhan menunggu kedatangan wisatawan. Dikhawatirkan hal itu akan merembet kepada permasalahan-permasalahan lain bahkan kepada permasalahan pribadi di antara oknum pengelola desa wisata, oknum pemerintah di tingkat desa maupun oknum pemerintahan desa adat maupun dengan oknum masyarakat lainnya.

Padahal sumber permasalahannya adalah sembilan permasalahan mendasar di atas yang ternyata dapat bermanifestasi menjadi permasalahan-permasalahan lain, sehingga dari luar terlihat desa wisata yang belum berkembang memiliki permasalahan kompleks, bahkan ada isu yang mengatakan desa wisata sangat sulit berkembang sesuai dengan yang diharapkan.

Menyikapi permasalahan mendasar yang pertama desa-desa wisata di Kabupaten Badung yaitu cara pandang yang salah mengenai keberadaan desa wisata diperlukan upaya pemahaman melalui proses sosialisasi tentang apa itu desa wisata.

Tampak cara pandang tentang desa wisata masih minim, sekedar mengikuti pencanangan program, dan menunggu untuk digerakkan. Ketika aka ada suatu event atau program kerja dari pemerintah provinsi maupun pemerintah pusat, baru Pokdarwis di diarahkan oleh pemerintah kabupaten Badung untuk persiapan dan pelaksanaannya. Setelah event berlalu maka desa-desa wisata seakan dibiarkan begitu saja dan akan kembali berulang pada kasus yang sama. Ternyata ke-11 (sebelas) desa wisata yang ada di kabupaten Badung, tidak semua memahami seperti apa model desa wisata sebagai bagian dari alternative tourism. Sebagian besar memahami keberadaaan desa wisata sebagai upaya mendatangkan “bule” atau “tamu” (istilah lokal) sebanyak-banyaknya ke desa mereka sehingga secara cepat mampu menghasilkan keuntungan yang besar. Tidak lebih dari dua desa wisata saja di Kabupaten Badung yang benar dan serius dalam pengelolaannya yaitu desa wisata Pangsan (bagian dari desa wisata Plaga) dan Desa Lawak (bagian dari desa wisata

Bilok Sidan). Desa wisata tanpa pendampingan yang mapan (pemerintah daerah, LSM, akademisi, investor), maka pengelola desa wisata (Pokdarwis) tersebut tidak mengetahui akan berbuat apa. Beberapa Pokdarwis yang kebetulan memiliki pengelola sebagai praktisi pariwisata atau seniman akan berjalan sendiri-sendiri.

Pokdarwis yang lain karena kebetulan memiliki daya tarik wisata di desanya maka terkesan desa wisatanya berjalan dengan baik atau Pokdarwis yang lain terlihat berjalan baik justru karena kebetulan di desa wisatanya terdapat investor lokal/asing yang menanamkan modalnya seperti rafting, villa, dll.

Pemetaan permasalahan tiap desa wisata di Kabupaten Badung tentu berbeda-beda, sesuai dengan karakteristik sosial budaya dan tipologi lingkungannya. Akan tetapi, jika dikaji secara lebih seksama, dalam rangka mencari akar masalahnya, kesembilan permasalahan dasar yang dipaparkan di atas kiranya dapat merepresentasikan apa yang menjadi kendala dalam pengembangan desa wisata di Kabupaten Badung.

Untuk itu, selanjutnya diperlukan formulasi berupa konsep pengembangan daya tarik wisata berbasis desa wisata di Kabupaten Badung, terutama di Wilayah Badung Utara dan Badung Tengah. Terdapat 4 (empat) kriteria dasar yang dijadikan pijakan dalam rangka pengembangan desa wisata adalah:

1. Ketersediaan sumber daya pariwisata 2. Masyarakat sebagai pengelola desa wisata

3. Aksesibilitas terkait dengan desa wisata terkait fisik dan non fisik 4. Fasilitas pendukung kegiatan wisata

Kendala yang dihadapi dalam pengembangan desa wisata di Kabupaten Badung terkait dengan 9 (sembilan) permasalahan dasar yang teridentifikasi, akan di bahas di bab selanjutnya dengan menggunakan 4 (empat) kriteria di atas.

BAB V

PENGEMBANGAN DESA WISATA

Dalam dokumen ATAS KERJASAMA. dengan (Halaman 135-140)