• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala Hukum dalam Hukum Administrasi dalam Penertiban Hak Guna Usaha Perkebunan Terlantar

Menurut catatan SPI (Serikat Petani Indonesia), dalam empat tahun terakhir sedikitnya 23 petani tewas dalam 183 kasus bentrok bersenjata.

Insiden tersebut menyeret 668 petani dikriminalkan dan 82.726 keluarga tergusur. Bahkan tahun ini eskalasi kekerasan terhadap petani semakin terlihat jelas. Di empat bulan pertama tahun ini saja tercatat telah terjadi Sembilan konflik agraria, antara masyarakat dengan pihak perkebunan dan bahkan dengan aparat pemerintah. Konflik agraria di awal 2011 telah menyebabkan 11 petani meninggal, 44 orang mengalami luka, baik ringan maupun berat, 7 orang ditahan, dan ratusan rumah serta tanaman masyarakat dirusak. Jumlah korban meninggal di empat bulan pertama ini jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah korban meninggal sepanjang tahun lalu. SPI menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas pelanggaran kemanusiaan yang telah merampas hak hidup dan hak petani untuk bekerja di tanah-tanah mereka.

2. Kendala Hukum dalam Hukum Administrasi dalam Penertiban Hak Guna Usaha Perkebunan Terlantar

a. Versi Badan Pertanahan Nasional

1) Patok tanda batas bidang tanah hilang/tidak jelas;

Kepastian hukum pemilikkan tanah selalu diawali dengan kepastian hukum letak batas yang harus diketahui atau ditetapkan letak tepatnya.

Pemilik tanah dalam praktek menandai batas tanah mereka dengan garis lurus berupa pagar atau titik-titik sudut bidang tanah dengan patok beton, patok kayu, patok besi atau pagar. Letak batas hanya akan merupakan suatu masalah persetujuan antar tetangga dan belum diungkapkan dalam surat penyataan tertulis antara pemilik tanah dengan pemilik tanah berbatasan yang dikenal dengan asas kontradiktur. Asas kontradiktur dibuktikan dengan Surat Pernyataan yang ditanda tangani pemilik tanah dan pemilik tanah yang berbatasan dan oleh Kepala Desa /Kelurahan.

commit to user

Pada saat yang sama kontradiktur ini di sepakati pula pada Daftar Isian 201 yang dapat diperoleh dari Kantor Pertanahan, kedua bukti tertulis ini menjadi syarat untuk mengajukan pengukuran atau penetapan batas bidang tanah tersebut ke Kantor Pertanahan, Kantor Pertanahan tidak akan menerima permohonan pengukuran bila patok tanda batas yang dipasang belum memenuhi asas kontradiktur. Petugas Ukur Kantor Pertanahan dengan demikian melakukan pengukuran setelah asas kontradiktur dipenuhi, apabila pada waktu pemasangan tanda batas diperlukan pengukuran, maka pengukurannya bukan dilakukan oleh petugas ukur Kantor Pertanahan.

2) Riwayat tanah tidak runtut/terputus;

3) Bukti-bukti perolehan tanah tidak lengkap atau hilang;

4) Sebagian areal Kebun tidak dimanfaatkan secara optimal sehingga muncul penggarapan-penggarapan maupun hunian oleh masyarakat;

5) Batas tanah overlapping dengan tanah kehutanan;

6) Munculnya tuntutan-tuntutan dari masyarakat/kelompok petani terhadap areal kebun bahkan sampai terjadi penjarahan.

b. Versi Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian Republik Indonesia

Gabungan Perusahaan Perkebunan (GPP) di Jawa Tengah dan Daerah Provinsi Yogyakarta yang merupakan suatu perkumpulan yang beranggotakan Perusahaan Perkebunan baik yang berbadan hukum BUMN, BUMD, maupun milik swasta/perseorangan yang berada diwilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY. Keberadaan GPP Jateng & DIY sangat penting seiring dengan banyaknya gangguan usaha perkebunan yang sering dialami oleh perusahaan perkebunan maupun dalam kerangka untuk tumbuh dan berkembang secara bersama-sama. Sulitnya penyelesaian konflik lahan perkebunan didaerah antara lain:

commit to user

1) Sulitnya koordinasi dalam penyelesaian masalah karena melibatkan banyak pihak dan instansi terkait;

Melihat perkembangan kasus gangguan usaha dan konflik perkebunan yang semakin meningkat maka koordinasi antara instansi terkait baik pusat maupun daerah harus ditingkatkan dalam rangka penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan. Bahwa peran pusat, Provinsi, dan Kabupaten dalam penanganan gangguan usaha perkebunan semakin besar dengan meningkatkan peran tim terpadu baik di pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota yang telah dibentuk oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.

2) Adanya provokator, LSM dan pihak ketiga (oknum) yang memanfaatkan situasi konflik antara masyarakat dengan perusahaan;

Sebagai bangsa yang demokratis, optimalisasi peranan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Masyarakat sipil yang tergabung dalam berbagai ormas (organisasi masyarakat): LSM, kelompok keagamaan atau masyarakat kampus dapat menjadi pionir gerakan. Kelompok tersebut dapat berperan aktif dalam mempengaruhi para pengambil kebijakan atau proses legislasi di parlemen.

3) Lemahnya penegakan hukum;

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan”

hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.

4) Perbedaan persepsi terhadap peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan pembangunan perkebunan;

Menurut Permentan No. 7/Permentan/01.140/2/2009 Pasal 26 ayat (1) apabila perusahaan perkebunan ditetapkan kelas D/IV mendapatkan

commit to user

peringatan 3 (tiga) kali masing-masing peringatan dalam jangka waktu 6 (enam) bula, bila belum ditindaklanjuti maka Ijin Usaha Perkebunan dicabut, (2) apabila perusahaan perkebunan ditetapkan kelas E/V mendapatkan peringatan 1 (satu) kali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, bila belum ditindaklanjuti maka Ijin Usaha Perkebunan dicabut. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Tanah Terlantar yang mengidentifikasikan lahan HGU sejak 3 (tiga) tahun diterbitkannya HGU (nama dan alamat perusahaan,; letak, luas, status hak, keadaan fisik tanah; keadaan yang menyebabkan tanah terlantar), teerbitnya PP tersebut disinyalir tidak melibatkan Direktorat Jenderal Perkebunan (DIRJENBUN) yang mengetahui teknis pengelolaan usaha perkebunan yang disamping itu juga terdapat ketentuan yang sangat merugikan perusahaan perkebunan yaitu dengan mekanisme penetapan tanah terlantar dengan pemberian Surat Peringatan kepada perusahaan perkebunan yang diindikasikan menelantarkan areal HGU sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 1 (satu) bulan jika tidak ada respon pengelolaan areal perkebunan dengan baik akan ditetapkan sebagai tanah terlantar.

5) Terjadinya pergantian pimpinan/pejabat yang menangani usaha perkebunan/penanganan lahan perkebunan;

Pergantian pimpinan berarti pergantian pengubahan struktur organisasi menyangkut modifikasi dan pengaturan sistem internal, seperti acuan kerja, ukuran dan komposisi kelompok kerja, sistem komunikasi, hubungan-hubungan tanggung jawab atau wewenang. Pendekatan struktural dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari : Pertama melalui aplikasi prinsip-prinsip perancangan organisai klasik.

Pendekatan ini berusaha untuk memperbaiki penciptaan pembagian kerja yang tepat dari tanggung jawab jabatan para anggota organisasi, pengubahan rentang manajemen, deskripsi jabatan dan sebagainya.

commit to user

Kedua desentralisasi. Hal ini didasarkan pada penciptaan satuan-satuan organisasi yang lebih kecil dan dapat berdiri sendiri dan memutuskan perhatian pada kegiatan yang berorientasi tinggi. Hasilnya perbaikan prestasi kerja. Ketiga modifikasi aliran kerja dalam organisasi.

Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa aliran kerja dan pengelompokan keahlian yang tepat akan berakibat kenaikan produktifitas secara langsung dan cenderung memperbaiki semangat dan kepuasan kerja.