• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Serta Upaya Penyelesaian

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 74-87)

Dalam pelaksanaan pengadaan tanah dalam rangka pembangunan jalan tol Solo Kertosono ruas Solo Mantingan di wilayah kabupaten sragen tidak berjalan secara mulus tetapi banyak kendala dan masalah yang dihadapi.

Sesuai dengan hasil wawancara dengan panitia pengadaan tanah dan pejabat pembuat komitmen dari kementerian pekerjaan umum kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengadaan tanah dalam rangka pembangunan jalan tol Solo Kertosono ruas Solo Mantingan diwilayah kabupaten Sragen serta upaya penyelesaian dapat dikelompokkan :

a. Tanah masyarakat

Kendala yang dihadapi dalam pengadaan tanah dalam rangka pembangunan jalan tol Solo Kertsono ruas Solo Mantingan di wilayah kabupaten Sragen yang berasal dari tanah masyarakat dapat dikelompokkan menjadi :

1) Sengketa kepemilikan

Sengketa kepemilikan dikarenakan pemilik tanah yang tercantum dalam sertipikat telah meninggal dunia dan kemudian menjadi hak ahli waris. Dalam pembagian warisnya terdapat sengketa waris mengenai pembagiannya. Upaya yang ditempuh panitia pengadaan tanah untuk menyelesaikan kendala ini adalah dengan mengadakan mediasi kepada para pihak yang bersengketa, apabila mediasi tidak mencapai kata sepakat maka kepada para pihak disarankan untuk membawa masalah itu ke pengadilan.

Permasalahan sengketa kepemilikan ini terjadi di desa Karangmalang sebanyak 1 bidang, desa Krikilan sebanyak 1 bidang, desa Singopadu sbanyak 2 bidang, desa pilangsari 1 bidang.

2) Sisa tanah dan atau bangunan yang tidak terkena jalan tol minta dibayarkan ganti rugi semuanya.

Sesuai dengan hasil wawancara dengan pantia pengadaan tanah dan pejabat pembuat komitmen kementerian pekerjaan umum mengenai sisa tanah yang dapat diberikan ganti rugi adalah apabila

sisa tanahnya kurang dari 100 m2 atau dengan adanya jalan tol mengakibatkan tanah sisa tersebut menjadi terisolir.

Dengan adanya kebijakan dari kementerian pekerjaan umum tersebut maka sisa tanah yang luasnya lebih dari 100 m2 tidak bisa diberikan ganti rugi akan tetapi masih terdapat pemilik tanah yang tidak memahami hal ini sehingga mereka tetap meminta agar sisa tanah yang luasnya lebih dari 100 m2 agar diberikan ganti rugi seluruhnya. Hal ini terjadi di desa Sidodadi sebanyak 1 bidang, desa toyogo sebanyak 4 bidang.

Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah dilakukan penjelasan secara personal oleh panitia pengadaan tanah, akan tetapi apabila tidak berhasil maka dengan terpaksa ganti rugi akan dititipkan ke pengadilan negeri kabupaten Sragen atau yang dikenal dengan istilah konsinyasi.

3) Alas hak (sertipikat) hilang

Hilangnya sertipikat mengakibatkan kesulitan dalam pemberian ganti rugi dan pelepasannya haknya. Hal ini dikarenakan dalam pelepasan haknya harus mencantumkan dasar penguasaan tanahnya atau alas haknya sebagai bagian dari kepastian hukum. Selain hal tersebut sertipikat diperlukan untuk proses pemisahan sertipikat sehingga akan terbit sertipikat sisa dan tanah yang dilepaskan haknya.

Upaya untuk mengatasi hal ini adalah dengan mengajukan sertipikat pengganti atas sertipikat yang hilang ke kantor pertanahan kabupaten sragen. Hal ini terjadi di desa Purwosuman 1 bidang, desa Jetak 1 bidang,

4) Sertipikat dijaminkan ke bank

Pinjaman diberikan oleh pihak bank lebih besar dari nilai ganti rugi yang diterima oleh pemilik tanah. Hal tersebut mengakibatkan keberatan dari pihak bank untuk memberikan sertipikat yang di jaminkan kepada panitia pengadaan tanah.

Keadaan ini terjadi di kelurahan Karangtengah sebanyak 1 bidang, dan desa Banyuurip sebanyak 1 bidang. Untuk mengatasi hal ini maka panitia pengadaan tanah melakukan pendekatan secara personal kepada pihak bank maupun kepada pemilik tanah serta mecari kejelasan duduk masalah yang sebenarnya serta melakukan mediasi antara pihak bank dengan pemilik tanah sehingga urusan pinjaman ke bank dapat diselesaikan.

5) Belum terjadi kesepakatan besarnya ganti rugi

Besarnya ganti rugi merupakan hal yang terpenting dalam proses pengadaan tanah. Dalam menentukan bentuk dan besar ganti rugi dilaksanakan dengan musyawarah antara pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah dalam hal ini adalah kementerian pekerjaan umum. Kendala ini merupakan yang terbanyak terjadi dalam pelaksanaan pengadaan tanah dalam rangka pembangunan jalan tol Solo Kertosono ruas Solo Mantingan, terjadi di desa desa Krikilan sebanyak 1 bidang, desa Purwosuman sebanyak 5 bidang desa Jetak sebanyak 3 bidang, desa Singopadu sebanyak 6 bidang, kelurahan Karangtengah sebanyak 2 bidang, desa Bandung sebanyak 2 bidang, desa Pilangsari sebanyak 4 bidang, desa Kebonromo sebanyak 39 bidang.

Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan kendala ini untuk desa - desa yang progress pemberian ganti ruginya sudah lebih dari 75 % yaitu yang terjadi di desa Krikilan, desa Purwosuman, desa Jetak, desa Singopadu, kelurahan Karangtengah, desa Bandung dan desa Pilangsari dilakukan pendekatan secara personal oleh panitia pengadaan tanah kepada pemilik, apabila pemilik tanah tetap tidak mau menerima besar ganti rugi yang ditawarkan oleh PPK kementerian pekerjaan umum kepada pemilik tanah disarankan mengajukan keberatan mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai

kewenangan disertai dengan penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut.

Khusus untuk menyelesaikan kendala di desa Kebonromo dilakukan dengan cara Reappraisal. Hal ini dikarenakan dari total tanah yang diganti rugi baru mencapai 73,83 dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan. Sesuai dengan ketentuan pasal 36 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 2007 bahwa Pemilik tanah yang belum bersepakat mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi, dan jumlahnya 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah pemilik/luas tanah, Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota mengupayakan musyawarah kembali sampai tercapai kesepakatan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi.

b. Tanah kas desa

Pada kegiatan pelaksanaan pemberian ganti rugi terhadap tanah kas desa di wilayah Kabupaten Sragen dari tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2014 masih terdapat 17 (tujuh belas) bidang tanah yang belum dibayarkan ganti ruginya. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pengadaan tanah dan pemberian ganti rugi terhadap tanah kas desa adalah sebagai berikut :

1) Kesulitan mencari tanah pengganti

Kendala ini ditemui di Desa Sidodadi, Kecamatan Masaran.

Pihak Desa kesulitan mencari tanah pengganti sebagai tanah kas Desa Sidodadi, dimana persyaratan dari tanah pengganti tersebut harus berlokasi di desa setempat. Status penggunaan tanah tersebut berupa tanah sawah dengan C Desa Nomor 9.135 seluas 1.057 m2.

Kesulitan ini dikarenakan masyarakat di desa setempat tidak ada yang menjual tanahnya untuk dijadikan sebagai tanah pengganti dari tanah kas desa. Keengganan masyarkat tersebut dikarenakan Dinas Bina Marga tidak memberikan kepastian kepada pemilik tanah kapan tanah tersebut akan dibayarkan.

Sesuai dengan isi Pasal 15 PMDN Nomor 4 tahun 2007, Dinas Bina Marga baru akan membayarkan uang ganti rugi kepada pihak desa jika Surat Rekomendasi Pelepasan Hak dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah dikeluarkan. Terkait dengan hal tersebut, meskipun telah terjadi kesepakatan harga antara pemilik tanah dari calon tanah pengganti dengan Dinas Bina Marga selaku pemilik tanah, jika pemilik tanah dari calon tanah pengganti tidak mendapatkan kepastian kapan tanahnya akan dibayarkan maka dapat dipastikan pemilik tanah tersebut akan membatalkan isi kesepakatan tersebut.

Upaya yang ditempuh oleh panitia pengadaan tanah serta Dinas Bina Marga selaku pihak yang membutuhkan akan memberikan uang panjar/uang persekot terlebih dahulu kepada pemilik tanah dari calon tanah pengganti dan memberikan kepastian kepada pemilik tanah bahwa tanahnya akan dibayar lunas setelah SK dari Bupati dan Surat Rekomendasi dari Gubernur.

2) Belum dikeluarkannya SK Bupati dan Surat Rekomendasi dari Gubernur Jawa Tengah

Sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 disebutkan bahwa tanah kas desa dilepaskan berdasarkan Surat Keputusan dari Kepala Desa setempat setelah mendapatkan ijin dari Bupati/Walikota dan Gubernur. Dengan belum dikeluarkannya SK Bupati dan Surat Rekomendasi Gubernur maka proses pelepasan belum bisa dilaksanakan. Kesulitan ini ditemui di Desa Krikilan sebanyak 2 bidang, di Desa Purwosuman sebanyak 8 bidang, di Desa Pandak sebanyak 1 bidang tanah.

Belum dikeluarkannya SK Bupati dan Surat Rekomendasi dari Gubernur Jawa Tengah tersebut terkendala dengan surat dari Kementerian Dalam Negeri nomor : 143/944/PMD tanggal 08 Februari 2012 tentang Penyelesaian Administrasi Penggantian Tanah Kas Desa (TKD) untuk Kepentingan Umum. Dalam surat tersebut dijelaskan

bahwa pembiayaan seluruh administrasi dalam proses tukar menukar sampai dengan penyelesaian sertipikat tanah kas desa pengganti adalah diluar dari nilai ganti kerugian atas tukar menukar tanah kas desa yang telah disepakati oleh kedua pihak. Dengan dikeluarkannya surat tersebut, maka seluruh biaya administrasi menjadi tanggung jawab pihak yang melaksanakan pembangunan atau pihak yang memerlukan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum.

Jika sebelum surat itu dikeluarkan seluruh biaya operasional maupun administrasi dalam proses tukar menukar sampai dengan penyelesaian sertipikat tanah kas desa pengganti dijadikan satu dengan nilai ganti rugi atas tukar menukar tanah kas desa, namun setelah dikeluarkannya surat tersebut seluruh pembiayaan ditanggung oleh Kemeterian Pekerjaan Umum selaku pihak yang membutuhkan tanah.

Upaya yang dilaksanakan dalam mengatasi kendala ini adalah pemerintah dalam waktu dekat akan meninjau ulang kebijakan yang terkait dengan biaya operasional pengadaan tanah pengganti tanah kas desa.

3) Pemilik Tanah tidak bisa menunjukkan alas hak/alas hak hilang

Kendala ini terjadi di Desa Toyogo, Kecamatan Sambungmacan sebanyak 2 (dua) bidang tanah. Alas hak dari tanah ini masih berupa Letter C Desa. Berdasarkan hasil inventarisasi dari Tim Inventarisasi luas dari masing-masing bidang tanah tersebut adalah 246 m2 dan 711 m2.

Berdasarkan hasil penelitian dari penulis Pemerintah Desa tidak bisa menunjukkan alas hak bukan karena tanah tersebut tidak tercatat dalam Buku C desa, akan tetapi karena Buku C Desa hilang pada saat penyelesaian administrasi di tingkat desa.

Upaya yang ditempuh Panitia Pengadaan Tanah akan tetap membayarkan ganti rugi tanah tersebut dengan catatan : a) tanah tersebut telah tercatat sebagai asset desa atau kekayaan desa dan telah

tercatat di dalam buku inventaris asset desa, b) ada surat pernyataan yang menyatakan bahwa secara fisik yuridis tanah tersebut benar-benar dikuasai oleh Pemerintah Desa setempat.

4) Belum terjadi kesepakatan harga ganti rugi

Kendala ini terjadi di Desa Gringging, Kecamatan Sambungmacan, dimana jumlah bidang tanah yang terkena proyek pembebasan sebanyak 1 (satu) bidang tanah. Luas tanah dari tanah tersebut adalah seluas 533 m2 dan diatas tanah tersebut berdiri sebuah bangunan. Dari hasil inventarisasi dari tanah seluas 533 m2 tersebut yang terkena proyek pengadaan hanya seluas 436 m2 dan sisa dari tanah tersebut seluas 97 m2. Dari pihak desa bersikeras meminta agar tanah dan bangunan dibayarkan keseluruhan. Alasannya adalah dari luas 97 m2 tersebut pemerintah desa akan kesulitan untuk mempergunakan tanah tersebut. Tidak hanya itu saja pemerintah desa juga bersikeras agar bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut juga dibayarkan semua.

Upaya yang ditempuh dalam mengatasi kendala ini adalah Dinas Bina Marga akan melakukan identifikasi dan verifikasi ulang secara teknis bahwa sisa bangunan tersebut masih layak pakai atau tidak untuk difungsikan kembali. Dari hasil kajian secara teknis tersebut Kementerian Pekerjaan Umum akan merekomendasikan apakah bangunan tersebut dibayarkan secara keseluruhan atau tidak

c. Untuk tanah wakaf

Sampai dengan tahun 2014 progres pelaksanaan pengadaan tanah yang berstatus sebagai tanah wakaf dari 2 bidang keseluruhan belum diberikan ganti ruginya sehingga belum bisa dilaksanakan pelepasan haknya. Kendala yang dihadapi dalam hal ini adalah :

1) Belum diterbitkannya ijin pembangunan fisik bangunan pengganti berupa masjid dari dinas pekerjaan umum kabupaten Sragen yang akan digunakan sebagai dasar untuk segera melaksanakan pembangunan

masjid pengganti tanah wakaf yang akan dibebaskan. Untuk mengatasi kendala ini usaha yang ditempuh adalah pejabat pembuat komitmen kementerian pekerjaan umum mengajukan ijin kepada dinas pekerjaan umum kabupaten sragen bahwa sebelum rekomendasi dari kementerian agama yang mengesahkan tukar menukar harta wakaf selesai agar pembangunan fisik masjid agar dapat dilaksanakan terlebih dahulu.

2) Dalam pelaksanaan tukas menukar harta wakaf rekomendasi/persetujuan tukar menukar harta wakaf di terbitkan oleh Menteri Agama sehingga dibutuhkan waktu yang lama dalam proses pengurusannya. Untuk mengatasi kendala ini maka panitia pengadaan tanah bekerja sama dengan tim penilai harga dan manfaat harta/tanah pengganti tanah wakaf, serta Nadzhir dari masjid yang bersangkutan selalu berkoordinasi secara intensif agar pelaksanaan pemberian/penggantian tanah wakaf dapat berjalan dengan lancar.

d. Tanah fasilitas sosial dan fasilitas umum

Sampai dengan tahun 2014 progres pelaksanaan pengadaan tanah yang berstatus sebagai tanah fasilitas umum dan fasilitas sosial dari 218 bidang keseluruhan belum diberikan ganti ruginya. Kendala yang dihadapi dalam hal ini adalah :

1) Ketidakjelasan mengenai status haknya terutama mengenai subyek hak maupun alas haknya sehingga kesulitan kepada siapa ganti rugi akan diberikan serta penetapan alas hak yang nantinya digunakan untuk pelepasan haknya dan siapa yang akan melepaskan haknya.

2) Belum ada kejelasan mengenai regulasi/pedoman yang jelas mengenai pelaksanaan pemberian ganti rugi terhadap tanah – tanah fasilitas umum dan fasitas sosial

Upaya yang dilaksanakan dalam hal ini adalah panitia pengadaan tanah mengusulkan agar ditetapkan pedoman yang jelas sebagai dasar untuk pelaksanaan ganti rugi, sedangkan untuk pelepasan haknya tidak diperlukan lagi karena tanah – tanah yang tidak dikuasai oleh hak tertentu

merupakan tanah negara yang bisa dimohon untuk oleh pihak yang menguasai tanah dengan hak tertentu dan sebagai pengganti dari fasilitas umum dan fasilitas sosial yang terkena jalan tol diganti sesuai dengan fungsi dan manfaat dari fasilitas umum dan fasilitas sosial yang bersangkutan misal jalan diganti dengan dibuatkan jalan baru ataupun saluran diganti dengan dibuatkan saluran yang baru.

Selain kendala yang sifatnya sporadis tersebut kendala yang dihadapi dapat dilihat dari teori berkerjanya hukum. Menurut Lawrence Meir Friedman28 dalam bukunya The Legal System, mengemukakan mengenai Tiga Unsur Sistem Hukum (Three Element of Legal System). Untuk itu sangat tepat teori Friedman yang menyatakan bahwa hukum merupakan satu kesatuan sistem yang terdiri dari tiga unsur yang saling terkait. Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum tersebut adalah sebagai berikut :

1. Struktur Hukum (legal structure)

Struktur menurut Friedman adalah kerangka bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia maka termasuk didalamnya struktur Institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

Dalam hal ini merupakan unsur yang berasal dari para pemegang aturan hukum. Bisa jadi pemerintah (eksekutif), pembuat peraturan (legislatif) ataupun lembaga kehakiman (yudikatif). Para aparat penegak hukum, seyogyanya harus bersikap konsisten terhadap apa yang telah dikeluarkannya. Ia tidak boleh mangkir dari kebijakan-kebijakan hukum yang telah dibuatnya. Atau dengan kata lain, dalam melakukan segala perbuatan, pemerintah harus selalu berpegang teguh terhadap peraturan umum yang telah dibuatnya.

28Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Jakarta, PT. Yarsif Watampone, 2001

Dalam pelaksanaan peraturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang menjadi institusi penegak hukumnya adalah panitia pengadaan tanah yang sifatnya insidentil yang terdiri dari berbagai unsur. Disamping melaksanakan pengadaan tanah panitia pengadaan tanah masih harus melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang bebannya tentu lebih berat. Hal ini kadang membawa konsekuensi sulitnya koordinasi dan dikesampingkannya tugas pengadaan tanah karena melaksanakan tugas pokok dan fungsi utamanya. Akibat dari hal tersebut adalah kurang maksimalnya proses pengadaan tanah sehingga meleset dari jalwal yang telah ditentukan, untuk pengadaan tanah dan pemberian ganti rugi dalam rangka pembangunan jalan tol Solo Kertosono ruas Solo Mantingan di wilayah kabupaten sragen yang ditargetkan selesai pada tahun 2014 ternyata baru mencapai 90,63%.

2. Substansi Hukum (legal substance)

Substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada didalam sistem hukum itu mencakup peraturan baru yang mereka susun. Komponen substantif sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur29

Substansi hukum meliputi norma dan aturan itu sendiri. Tidak terbatas pada norma formal saja tetapi juga meliputi pola perilaku sosial termasuk etika sosial, terlepas apakah nantinya akan perilaku sosial tersebut akan membentuk norma formal tersendiri. Idealnya, isi/materi hukum tidak boleh diinterpretasikan secara baku/sebagaimana adanya seperti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

Substansi yang terdapat dalam peraturan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum mengatur tiga permasalahan pokok, yaitu

29Ibid, hal 5

batasan/definisi kepentingan umum, mekanisme penaksiran harga tanah dan ganti kerugian, serta tata cara pengadaan tanah yang harus ditempuh.

Definisi kepentingan umum menurut pasal 5 Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum adalah berupa daftar yaitu meliputi a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi, b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal, d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana, e. tempat pembuangan sampah, f. cagar alam dan cagar budaya, g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

Hal tersebut sejalan dengan difinisi kepentingan umum menurut Michael G Kitay bahwa doktrin kepentingan umum dalam berbagai negara diungkapkan dalam dua cara yakni 1. Pedoman umum (General Guide), dalam hal ini negara hanya menyatakan bahwa pengadaan tanah dibutuhkan untuk kepentingan umum (public purpose). Istilah public purpose dapat juga berubah, misalnya public menjadi social, general, common atau collective. Sedangkan kata purpose diganti menjadi need, necessity, interest, funtion, utility, atau use. Negara yang menggunakan pedoman umum ini, biasanya tidak secara eksplisit mencantumkan kegiatan yang termasuk kepentingan umum.

Pengadilan yang secara kasuistis menentukan apa yang disebut sebagai kepentingan umum, 2. Ketentuan-Ketentuan Daftar, daftar ini secara eksplisit mengidentifikasi kepentingan umum itu.

Berbicara mengenai mekanisme penaksiran harga tanah dan ganti kerugian pada prinsipnya dimulai dengan dibentuknya panitia pengadaan tanah yang kemudian menunjuk lembaga penaksir harga yang bertugas

menaksir harga tanah dengan memperhatikan NJOP atau nilai nyata tanah yang bersangkutan. Hasil taksiran harga dari lembaga penilai tanah kemudian dijadikan dasar untuk musyawarah untuk menentukan bentuk dan besar ganti rugi. Setelah terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan besar ganti rugi barulah dibayarkan secara langsung ganti rugi kepada bekas pemilik tanah.

Pada dasarnya pemberian besar dan bentuk ganti rugi dilakukan setelah terjadi kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah, akan tetapi ada kalanya tidak terjadi kata mufakat. Untuk hal ini telah diatur bahwa apabila lokasi pembangunan tidak bisa dipindahkan maka terhadap pihak-pihak yang keberatan mengenai besar ganti rugi yang ditawarkan oleh panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Gubernur. Akan tetapi tidak diatur batasan waktu untuk mengajukan keberatan dimaksud. Hal ini mengakibatkan berlarut-larutnya dalam upaya penyelesaian masalah tersebut sehingga menghambat pelaksanaan pengadaan tanah.

Tata cara pengadaan tanah telah diatur secara rinci dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Walaupun sudah diatur secara rinci akan tetapi tahapan satu dengan tahapan yang lain tidak dicantumkan jangka waktu pelaksanaannya. Hal ini mengakibatkan kesinambungan pelaksanaan antar tahapan tidak ada kejelasan kapan harus dilaksanakan. Keadaan ini menuntut pelaksana di lapangan untuk bekerja dengan menentukan waktu kapan tahapan-tahapan tersebut dilaksanakan dan konsekuen dengan rencana yang ditentukan.

3. Kultur hukum (legal culture)

Pernyataan Friedman menyatakan bahwa kultur hukum ádalah apa yang masyarakat rasakan terhadap hukum dan sistem hukumnya, kemudian Friedman memperluas lagi bahwa budaya hukum bukan sekedar pikiran saja, tetapi juga cara pandang dan cara masyarakat menentukan bagaimana sebuah hukum itu digunakan

Pada akhirnya, pemahaman kultur hukum menurut Friedman adalah setiap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah susunan pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan Tanpa Kultur Hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya. Pendapat Friedman, jika unsur ini dihilangkan akan menimbulkan kepincangan hukum &

tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, serta cita-cita mewujudkan keadilan pun akan sirna. Pemerintah, dalam menyusun peraturan dan menentukan langkah-langkah hukum perlu memperhatikan pula nilai-nilai dalam masyarakat. Tidak boleh mengambil keputusan/kebijakan hanya berdasarkan asumsinya belaka. Sesuai/tidaknya kebijakan hukum dengan tuntutan masyarakat umum, akan sangat menentukan keberhasilan hukum itu sendiri.

Tanah merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan baik

Tanah merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan baik

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 74-87)

Dokumen terkait