• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Hasil Penelitian

2. Kendala dalam pengawasan oleh Disnaker terhadap pekerja anak di sektor informal kota salatiga

Kendala-Kendala dari Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga Dalam Pengawasan Pekerja Anak dari penjelasan yang sudah di jelaskan peneliti tentang upaya pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga pekerja anak masih kurang efektif, karena tidak adanya data-data pekerja anak yang seharusnya mereka memiliki data tersebut sebagai fungsi pengawasan agar mereka dapat melakukan pengawasan dan perlindungan bagi pekerja anak. Namun dalam hal ini

juga peneliti akan menjelaskan beberapa kendala-kendala Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga

dalam melakukan pengawasan.

Menururut dari hasil wawancara peneliti dengan bapak Jamaludin, bahwa yang menjadi kendala Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga dalam hal pengawasan ketengakerjaan adalah

ketidakketerbukaan antara pengusaha dengan pengawas Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga dalam hal pengawsan ketengakerjaan dalam hal, pengusaha selalu menutup-nutupi pekerja anak

yang bekerja di tempat usaha mereka.27

26

Wawancara dengan Bapak Jamaludin selaku pengawas ketenaga kerjaan di Disnaker kota salatiga 17 maret 2016

27

Menurut peneliti, seharunya dengan tidak keterbukaannya pengusaha dengan pegawai pengawasan ketenaakerjaan, Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga harus lebih sigap lagi dalam melakukan pengawasan dengan cara melakukan inspeksi secara diam-diam agar pengusaha

tersebut tidak bisa berbuat apa –apa, agar pekerja anak di Kota Salatiga dapat terlindungi dalam

melakukan pekerjaan dan tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum pengusaha yang tidak bertanggung jawab.

. Berdasarakan penelitian yang di lakukan peneliti dalam hal banyak pekerja anak yang bekerja di usaha kecil sebagai berikut:

1. Tempat usaha kecil belum memiliki banyak modal untuk membayar pekerja dewasa

karena dalam hal ini pengusaha yang memiliki tempat usaha kecil mereka masih mengumpulkan modal yang besar untuk membangun usaha mereka agar semakin besar dengan mempekerjakan pekerja anak pengusah yang memiliki usaha kecil bisa menghemat pengeluaran merka karena dalam hali ini pekerja anak belum terlalu banyak keperluan dan tuntutan seperti halnya pekerja dewasa yang sudah banyak tanggungan dan keperluan dalam hidup mereka seperti halnya kebetuhan keluarga,sekolah,dll, sedangkan pekerja anak berdasarkan hasil wawancara diatas mereka yang penting sudah bisa mendapatkan uang dari pekerjaan mereka untuk tambah uang jajan mereka ataupun untuk membantu orang tua mereka.

2. Perselisihan dalam hal pekerjaan anatara pengusaha dan pekerja sangat kecil karena

dalam hal ini jika terjadi perselihan maka pengusaha dapat mengatasinya dengan mudah beda dengan pekerja dewasa dewasa yang bisa saja terjadi perkelahian atau demo besar-besaran yang dapat membuat pengusaha tersebut rugi.

Oleh karena itu sangat penting pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap usaha kecil karena di Kota Salatiga banyak pekerja anak yang bekerja di tempat usaha kecil seperti halnya bengkel,tempat pencucian kenderaan dan lain-lain tanpa melkukan skala prioritas terhadapa mereka dan agar mereka para pekerja anak tidak di manaatkan oleh oknum-oknum pengusaha untuk kepentingan dirinya sendiri apalagi dalam hal ini mereka mempunyai hak dalam melakukan pengwasan tersebut seperti halnya yang diamanatkan undang-undang.

C. Analisis

Sampai saat ini jumlah pekerja anak masih belum bisa terdata dengan pasti, pekerja anak tersebut tersebar baik pedesaan maupun perkotaan. Beberapa diantaranya pekerjaan yang dilakukan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan-pekerjaan yang terbentuk bagi anak dan akan menghambat tumbuh kembang anak tersebut secara wajar. Disamping itu hal tersebut bertentangan dengan hak asasi anak dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal.

Fenomena pekerja anak di Salatiga semula lebih berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada kerja mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga.

Seiring dengan perkembangan waktu telah terjadi pergeseran, anak-anak tidak lagi bekerja membantu orang tua sebagai bagian dari budaya, tapi lebih berkaitan dengan masalah

ekonomi keluarga (masalah kemiskinan) dan memberi kesempatan memperoleh pendidikan. Pendapatan orang tua yang sangat sedikit tak mampu lagi menutupi kebutuhan keluarga sehingga memaksa mereka ikut bekerja. Dari data ILO menyebutkan secara rata-rata anak-anak yang bekerja menyumbangkan sekitar 20%-25% kepada pendapatan keluarga. Bahkan ada yang menopang 75 % lebih pendapatan orang tua.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan itu adalah memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kalau tenaga kerja wanita, terutama ibu rumah tangga belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak yang belum dewasa juga diikutsertakan untuk menopang kegiatan ekonomi keluarga. Pekerjaan ini tidak terbatas pada pekerjaan rumah tangga tetapi juga melakukan upahan baik di dalam lingkungan pedesaan sekitar tempat tinggal atau pergi mengadu nasib ke kota.

Upaya Pemerintah dalam mengatur hak pekerja anak yang bekerja pada Sektor Informal, di dalam Konvensi tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak ditetapkan pada tahun 1999. Konvensi ini mendefinisikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak seperti praktik perbudakan anak, kerja paksa, perdagangan anak, prostitusi, pornografi, dan bentuk-bentuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Konvensi ini memerlukan langkah-langkah segera dan efektif untuk memastikan ditetapkannya pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak tersebut sebagai hal yang mendesak. Kegiatan-kegiatan tertentu yang didefinisikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak adalah: semua bentuk perbudakan, pelacuran, pemanfaatan anak dalam pornografi dan dalam produksi dan perdagangan dan peredaran obat-obat terlarang.

Konvensi No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja. Konvensi ini mewajibkan Negara menerapkan kebijakan nasional yang akan secara efektif

menghapus pekerja anak. Konvensi ini menetapkan usia minimum diperbolehkan bekerja atau usia minimun untuk bekerja yang tidak boleh kurang dari usia usai wajib belajar, supaya perkembangan fisik dan mental anak tidak terganggu sebelum mereka memasuki angkatan kerja. Larangan bagi pengusaha, untuk mempekerjakan anak, hal ini tercantum di dalam ketentuan Pasal 68 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian, ketentuan Pasal 69 ayat (2) memberikan pengecualian, yaitu bahwa mempekerjakan anak boleh dilakukan asalkan dipenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal tersebut.

Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap persyaratan kerja bagi penggunaan pekerja anak memang tidak semata-mata disebabkan oleh kesalahan pengusaha atau yang mempekerjakan anak tersebut tetapi memang dari pihak pekerja anak atau orang tuanya atau walinya sendiri yang memang menghendaki tidak dipenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagaimana yang terurai di bawah ini. Pertama, tidak ada izin tertulis orang tua/wali. Persyaratan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) butir a, bahwa apabila anak akan bekerja harus terlebih dahulu memperoleh izin secara tertulis dari orang tua atau walinya, izin kerja terkait dengan hak dan kewajiban anak dan pengusaha, misalnya mengenai ketentuan jam kerja, pembayaran upah apakah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, upah lembur, serta orang tua harus mengetahui apakah pekerjaan yang akan dilakukan anak tersebut tidak mengganggu perkembangan anak baik secara fisik, mental maupun sosialnya, dengan mengingat anak-anak masih memerlukan waktu dan kondisi yang memungkinkan anak dapat tumbuh kembang secara wajar. Kedua, tidak didasarkan pada perjanjian kerja.

Anak-anak ini bekerja di sektor informal, tanpa adanya aturan jenis dan bentuk pekerjaan yang jelas yang menjadi bagian tugasnya. Dengan kondisi-kondisi pekerjaan, upah yang akan

terima, sebelum pekerja mulai bekerja, dan juga tentang upah yang akan mereka dapatkan setiap saat mereka menerima pembayaran. Pengecualian dalam hal adanya izin dari orangtua, perjanjian kerja, hubungan kerja yang jelas dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku adalah jika anak bekerja pada usaha keluarganya.

Ironisnya lagi, kondisi jam kerja yang panjang sehingga waktu istirahat menjadi berkurang, sementara dalam kondisi fisik sebagai anak-anak yang masih mengalami fase pertumbuhan, memerlukan istirahat yang cukup, serta asupan makanan yang mendukung proses pertumbuhannya. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf c Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa pekerja anak maksimal bekerja selama 3 jam, tidak terpenuhi dalam pekerjaan disektor informal. Ketentuan tersebut selalu dilanggar, meskipun sudah ada ketentuan pembatasan jam kerja bagi anak-anak yang bekerja, akan tetapi dalam kenyataannya anak-anak bekerja di atas 3 jam.

Kondisi tempat kerja yang kurang kondusif dan terganggunya kesehatan pekerja anak,

sering dihadapi para anak. Pekerja anak di bawah umur, sering dihadapkan pada resiko-resiko pekerjaan yang dilakukannya, terutama yang bekerja disektor industri, seperti resiko gangguan kesehatan akibat ruangan yang pengap, asap kendaraan bermotor yang dapat menyesakan nafas, makan dan minum yang tidak terjamin dan kurang gizi, juga dihadapkan pada gangguan psikis seperti caci maki, kata-kata kasar, dan gangguan kehidupan sosialnya seperti hubungan dengan teman-teman sebaya, frekuensi bertemu dengan tetangga maupun keluarga berkurang atau terbatas, apalagi kalau tempat kerjanya campur dengan orang dewasa. Pencampuran tempat kerja anak dengan tempat kerja orang dewasa tidak seharusnya dilakukan, karena hal ini bertentangan dengan Pasal 72 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang sudah diatur.

Kondisi-kondisi diatas menunjukkan bahwa secara yuridis, negara sudah melakukan kewajibannya dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakatnya terutama untuk

kelompok pekerja anak. Akan tetapi situasi real dalam masyarakat menunjukkan bahwa

pelanggaran terhadap aturan masih saja dilanggar, yang sudah tentu memberikan efek negatif bagi pekerja anak itu sendiri. Lemahnya posisi tawar pekerja anak, serta situasi perekonomian menuntut si anak untuk tidak memiliki pilihan lain, sehingga harus rela menjalani pekerjaan-pekerjaan yang belum pantas di lakukan oleh seorang anak.

Konvensi No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja Konvensi ini mewajibkan Negara menerapkan kebijakan nasional yang akan secara efektif menghapus pekerja anak. Konvensi ini menetapkan usia minimum diperbolehkan bekerja atau usia minimun untuk bekerja yang tidak boleh kurang dari usia usai wajib belajar, supaya perkembangan fisik dan mental anak tidak terganggu sebelum mereka memasuki angkatan kerja.

Apabila melihat pada Teori keadilan bermartabat, teori ini berisi suatu sistem hukum yang mengemban empat fungsi. Keempat fungsi itu adalah bahwa :

a. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas

hukum yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari sistem kontrol sosial mengatur perilaku manusia individual maupun masyarakat.

b. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas

hukum yang saling berkaitan dalam sistem adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa.

c. Fungsi hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan

asas-asas hukum yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari untuk melakukan rekayasa sosial.

d. Hukum berfungsi sebagai pemelihara sosial.28

28

Pada dasarnya peraturan perundang-undang dibuat tidak lain untuk menertibkan masyarakat yang ada didalamnya, agar masyarakat tertib hukum dan tidak berbuat yang dapat merugikan orang lain maupun negara. Di dalam Perlindungan hukum terhadap pekerja anak tidak dapat dilepaskan dengan hak asasi anak, sebab secara konstitusional Indonesia telah mengakui hak untuk bekerja dalam Pasal Undang-Undang Dasar l945 yang dimasukkan pada klasifikasi hak yang bersifat asasi. Pengaturan terhadap hak asasi ini dituangkan dalam Undang-Undnag Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) mengatur

mengenai pengertian Hak Asasi Manusia, yaitu “Seperangkat hak yang melekat pada hakekat

dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang, demi

penghormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.

Perundang-undangan nasional tentang pekerja anak diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.

Berdasarkan hasil wawancara jika dilihat pada kenyataan dilapang belum terlalu efekti, upaya-upaya yang dilakukan Dinas Ketenagakerjaan kota Salatiga masih belum efektif. karena masih banyak pekerja anak di kota salatiga terutama di tempat usaha-usaha kecil yang belum mendapatkan pengawasan dari pihak Disnaker Kota Salatiga khususnya di bagian pengawasan Ketenagakerjaan dan juga didapati oleh peneliti bahwa belum ada data-data pekerja anak di tahun 2014, 2015, 2016 padahal dilapangan banyak pekerja anak di Kota Salatiga dengan berbagai macam permasalah.

Dokumen terkait