BAB II
Kerangka Teori, Hasil Penelitian dan Analisis
A. Krangka Teori
1. Pengertian Tenaga Kerja
Dalam masyarakat Indonesia dikenal berbagai istilah dalam bidang ketenagakerjaan yaitu
buruh, pekerja, karyawan, dan pegawai negeri.1 Pada jaman colonial, istilah buruh untuk
menunjuk orang yaitu melakukan pekerjaan yang faktor utamanya bukan tenaga seperti juru tulis
disebut pegawai. Dinegara Barat pekerja kasar yaitu buruh disebut dengan istilah blue collar dan
pegawai disebut dengan white collar. Istlah pekerja ditunjuk pada setiap orang yangmelakukan
pekerjaan.2
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyamakan istilah
buruh dengan pekerja yang disebut dalam pasal 1, yaitu:
a. Orang yang bekerja pada orang lain(majikan).
b. Mendapatkan upah sebagai imbalan.
Pengertian Tenaga Kerja dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dalam Pasal 1 ayat (2) adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan barang dan atau jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Istilah tenaga kerja mengandung pengertian yang sangat luas, yaitu meliputi semua orang
yang mampu dan diperbolehkan melakukan pekerjaan, baik yang sudah punya pekerjaan dalam
1
Abdul Rachmad..Hukum Perburuhan di Indonesia. Raja Grafindo, Jakarta. 1997, h. 1.
2
hubungan kerja atau sebagai swa-pekerja maupun yang tidak atau belum punya pekerjaan.3 Pengertiantenaga kerja ini meliputi semua orang, baik laki-laki maupun perempuan yang mampu
dan diperbolehkan untuk melakukan pekerjaan, kecuali:
a. Anak-anak yang berumur 14 tahun kebawah;
b. Mereka yang berumur 14 tahun tapi masih bersekolah untuk waktu penuh;
c. Mereka yang karena sesuatu tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan;
Seorang pekerja dalam melakukan pekerjaan dapat berupa pekerjaan yang bergerak
dalam sektor formal atau informal. Sektor formal dapat berupa buruh pabrik, pegawai
perusahaan, dan lain-lain. Sedangka dalam sektor informal pekerjaannya berupa loper Koran,
pramuwisma, dan lain-lain. Sedangkan Sektor usaha informal merupakan bentuk usaha yang
paling banyak kita temukan di masyarakat. Bentu usaha yang ini bnayak dilakukkan oleh
masyarakat yang tidak berpendidikan, bermodal kecil, dilakukkan oleh masyarakat golongan
bawah dan tidak mempunyai tempat usaha yang tetap. Sektor usaha informal terbuka bagi siapa
saja dan sangat mudah mendirikannya, sehingga jumlahnya tidak dapat di hitung, dengan
banyaknya usaha ini berarti akaan menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.4
2. Pengertian Anak
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 70
ayat (1) menyebutkan bahwa :
3
Imam soepomo.Penghantar Hukum perburuhan . Djambatan, Jakarta. 1999, h. 27.
4
“Anak dapat melakukan pekerjaan ditempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang”
Sedangkan pasal 2 menyebutkan bahwa :
“anak yang dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14(empat belas)tahun”
Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO
Nomor 182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk Pekerjaan
Terburuk bagi Anak mendefinisikan anak sebagai semua orang yang berusia 18 tahun.
Penegrtian anak Menurut keputusan presiden Nomor 12 Tahun 2001 mengenai Komite
Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak dalam pasal 1 angka 1, yakni
semua orang yang berusia di bawah delapan belas tahun. Sementara Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak tidak menyebutkan definisi
anak dalam pasal tersendiri, namun disimpulkan dari pasal 14, bahwa anak adalah laki-laki atau
perempuan berusia 15 tahun kebawah.
Pengertian anak juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak, yaitu dalam Pasal1 ayat (2) yang menyebutkan bahwa:
“anak adalah seorang yang belum mencapai umur 2 tahun dan belum pernah
kawin”.
Batas usia 21 tahun ini ditetapkan berdasarkan pertimbangan kesejahteraan anak, dimana
kematangan sosial, pribadi dan mental anak dicapai pada usia tersebut. Dalam hal ini pengertian
anak mencakup situasi dimana seorang yang dalam kehidupan mencapai tumbuh dan
Undang-Undang ini menentukan demikian dengan harapan anak dapat memperoleh
perlindugan bagi kesejahteraannya selama mungkin, kaena perlindungan terhadap hal ini
merupakan hak bagi seorang anak. Tetapi jika anak tersebut tetap harus bekerja pun usia untuk
bekerja tersebut tersebut diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan yang berlaku.
Pengertian lain tentang anak terdapat pada Pasal 1 ayat(1) Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana anak adalah seorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Batas usia 18 tahun ini ditetapkan
berdasarkan hak yang dimiliki anak sejak dalam kandungan untuk mendapatkan penghidupan
dan perlindungan dari hal apapun juga, mereka berhak untuk mendapat yang terbaik dalam
kelangsngan hidup dan perkembangannya.
Di dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.Kep.235/Men/2003
dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan tentang yang dimaksud sengan anak yaitu:
“Anak adalah setiap ornag yang berumur kurang dari 18(delapan belas) tahun”
Dari bebrapa pengertian diatas, terlihat bahwa batasan mengenai pengetian seorang anak
anak berbeda-beda sehingga sulit bagi kita menentukan batasan mana yang akan kita gunakan.
Selain itu dengan adanya perbedaan tersebut membuka kemungkinan terjadinya perselisihan
mengenai batasan umur tersebut.
3. Pengertian Pekerja Anak
Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa yang harus dibimbing agar kelak
dan berkembang sewajarnya agar anak ini dapat memikul beban dimasa yang akan datang. Akan
menjadi tidak adil jika anak tidak dapat merasakan kesempatan itu karena harus bekerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga melarang dengan
tegas anak untuk bekerja, dalam pasal 68 yang berbunyi:
“pengusaha dilarang mempekerjakan anak”
Di dalam Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan
Penaggulangan Pekerja Anak menyebutkan bahwa pekerja anak yaitu anak yang berusia dibawah
15 tahun yang sudah melakukan pekerjaan berat dan berbahaya, baik yang tidak bersekolah
maupun yang bersekolah meliputi sektor formal dan informal. Pengaturan mengenai pekerja
anak dalam intruksi ini bertujuan untuk melarang, mengurangi, dan menghapus pekerja anak
yang hidup di kota maupun desa.
Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja
sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja setiap jenis pekerjaan atau kerja yang
karena sifatnya atau karena keadaan lingkungan dimana pekrjaan itu harus dilakukan
mungkin membahayakan keseluruhan, keselamatan, atau moral anak muda, tidak boleh
kurang dari 18 tahun”.
Pengesahan konvensi ini dimaksud untuk menghapus segala bentuk praktek
mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi,
Pengertian mengenai pekerja anak tidak diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 12
Tahun 2001 mengenai Komite Akasi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
bagi Anak. Pembatasan umur dalam Keputusan Presiden ini sama dengan Undang-Undang
Nomor 1 tahun 2000, kedua peraturan ini dikeluarkan Konvensi ILO Nomor 138.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 menyebutkan
bahwa usia minimum untuk bekerja adalah
a. Usia minimum umum 15 tahun
b. Usia minimum untuk pekerjaan ringan 13 tahun
c. Usia minimum untuk pekerjaan berbahaya 18 tahun
Pekerjaan ringan adalah pekerjaan yang tidak mengancam kesehatan dan keselamatan
atau menggangu kehadiran mereka di sekolah atau mengikuti program pelatihan dan orientasi
kerja. Sementara yang disebut dengan pekerjaan berbahaya adalah pekerjaan yang dapat
menggangu perkembangan fisik, mental, intelektual, dan moral anak.
Pasal 3 ayat (2) Konvensi Hak Anak menyatakan bahwa:
“Negara-negara peserta berusaha untuk menjamin agar anak memperoleh perlindungan
dan perawatan yang diperlukan demi kesejahteraan dengan mempertimbnagkan hak dan
kewajiban orang tua atau wali yang sah, dan dengan tujuan ini akan mengambil semua
langkah-langkah legislative dan administrative yang tepat”.
“Negara-negara peserta wajib melindungi anak dari eksploitasi pekerjaan yang
membahyakan kesehatan pendidikan, fisik dan moral Negaramenetapkan batas usia minimum,
jam kerja, persyaratan kerja, dan menetapkan sanksi atas pelangarannya”.
Sementara itu, Undang-Unndag Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 dalam Pasal 69
yang merupakan pengecualian dari pasal 68 dimana anak disebutkan tidak boleh dipekerjakan,
menyebutkan bahwa:
“anak yang berusia 13 sampai 15 tahun boleh melakukan pekerjaan ringan sepanjang
tidak mengangu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan social”
Pasal 70 Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa:
“anak dapat melakukan pekerjaan ditempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang yang paling
sedikit berusia 14 tahun”.
Tiga bentuk keterlibatan kerja anak-anak, antara lain :
a. Anak-anak yang bekerja membantu orang tua dimana faktor ekonomi social kurtural
sering mendasari bentuk pekerjaan anak yang membantu orang tua;
b. Anak yang berkerja dalam status magang atau belajar sambil bekerja. Magang adalah
cara untuk menguasai ketrampilan yang dibutuhkan industry yang bersangkutan;
c. Anak yang bekerja sebagai buruh. Dalam bentuk ini, tenaga kerja anak-anak terkait
dalam suatu hubungan buruh dan majikan.5
a. Latar Belakang Pekerja Anak
5
Latar belakang anak usia sekolah terlibat kegiatan ekonomi, menurut Effendi
sekurang-kurangnya ada dua teori yang dapat dipakai untuk menjelaskan gejala tersebut. pertama, teori
strategi kelangsungan rumah tangga. Menurut teori ini anak-anak akan bekerja apabila kondisi
ekonomi makin memburuk. Kedua, teori industrialisasi menurut teori ini pada tahap ini industri
membutuhkan pemupukan modal yang banyak, sehingga untuk biaya pengeluaran upah dia
melakukan penghematan, sehingga yang dipekerjakan anak-anak dan wanita.6
Kemiskinan sering menjadi alasan utama anak terpaksa bekerja, tetapi tidak selamanya
keadaan orang tua menjadi faktor dominan, salah satu faktor dominan lain adalah keinginan
untuk memilih bekerja yang dianggap lebih baik daripada berangkat ke sekolah. Keinginan ini
mungkin didorong oleh budaya konsumtif terhadap barang-barang hasil industri yang membuat
anak-anak memilih untuk bekerja agar dapat membeli barang yang mereka inginkan.7
Sebagai tambahan ada banyak studi yang mengambil kesimpulan bahwa, anak putus
sekolah dengan kondisi ekonomi mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Salah satu peneliti
yang menemukan hubungan tersebut adalah Dr. Francis Wahono Sj. Dalam kesimpulannya dia
sampai mengatakan apa artinya pendidikan yang direncanakan sembilan tahun, jika urusan
kemiskinan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar tidak terpenuhi.8
Selain alasan ekonomi dan budaya, struktur sosial juga ikut mempengaruhi timbulnya
apa yang dinamakan pekerja anak. Dalam struktur sosial masyarakat, hampir tidak pernah
dihitung hak-haknya. Hal ini sejalan dengan konsep kepemilikan anak yang diungkapkan oleh
Dr. Irwanto dalam penelitiannya, bahwa anak merupakan milik orang tua secara mutlak sehingga
6
Ratna dan Holzner, Brigitte, Saptari. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial (Sebuah Pengantar Studi Perempuan), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997, h.25.
7
Ibid., h.21
8
mereka berhak melakukan apa saja atas diri anak-anak mereka. Dengan begitu, kontrol
masyarakat dianggap sebagai intervensi atas wilayah pribadi keluarga.9
Mensinyalir pengaruh faktor budaya terhadap kecenderungan terjadinya tindakan
kekerasan. Anak seringkali menerima hubungan asimetris antara mereka dan orang dewasa.
Anak selalu dalam posisi yang lemah, sehingga hal itu merupakan akar dari berbagai tindak
kekerasan orang dewasa kepada anak.10
Disamping itu ada beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai sarana pendorong
masuknya anak-anak ke sektor kerja, yaitu kurangnya pengetahuan masyarakat terutama orang
tua tentang hak-hak anak, masih rendahnya taraf ekonomi kebanyakan masyarakat, serta masih
diskriminatifnya cara pandang masyarakat Indonesia atas “keberadaan” seorang anak. Hal di atas
diwujudkan dalam anggapan orang tua terhadap seorang anak dimana anak diharapkan memiliki
tiga fungsi yaitu: konsumsi, investasi dan asuransi bagi orang tuanya.11 Bagi keluarga miskin
ketiga fungsi tersebut didapatkan dalam waktu tidak terlalu lama. Orang tua mempunyai anak
dengan harapan mereka dapat bekerja membantu ekonomi keluarga.
Ditemukan juga munculnya kesadaran di tingkat anak-anak untuk tidak melanjutkan
sekolah karena ketidakmampuan orang tua untuk membayar tagihan pendidikan. Akibatnya
mereka tidak memiliki aktivitas (menganggur) sehingga anak berusaha untuk berkegiatan,
terlebih lagi jika kegiatan tersebut dapat menghasilkan uang. Bahkan beberapa pekerja anak
perempuan rela untuk tidak melanjutkan sekolah dan memilih untuk bekerja dengan harapan
penghasilan yang diperoleh dapat untuk membantu orang tua sehingga dapat memberi
kesempatan yang lebih luas kepada saudara laki-lakinya untuk dapat mengenyam pendidikan
yang lebih baik dibanding dirinya. Hal ini terjadi karena budaya patriarki (posisi laki-laki lebih
tinggi dibanding perempuan dan perempuan hanya menjadi second position) masih sangat
melekat di masyarakat termasuk juga untuk mendapatkan kesempatan pendidikan. Akibatnya
pengorbanan saudara perempuan terhadap saudara laki-laki dianggap sebagai sebuah
kewajaran.12
Tingginya tingkat pengangguran di masyarakat juga turut andil menjadikan anak tidak
sekolah, karena baik anak maupun orang tua sadar bahwa persaingan untuk mendapatkan
pekerjaan jelas sulit bagi anak-anak dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah.
Kenyataan ini telah dijadikan alasan bagi orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya lebih
tinggi lagi dengan alasan bahwa yang mempunyai pendidikan lebih tinggipun harus menganggur.
Secara garis besar yang dipaparkan dalam pedoman program pendampingan anak disana
ada beberapa alasan, anak-anak bekerja. Alasan-alasan itu adalah ingin membantu orang tua
yang miskin, disuruh orang tua, lari dari rumah, tergiur janji dari pengajak (orang dewasa),
diajak teman, biaya sekolah mahal, dipaksa bekerja oleh orang lain, dan sebagai akibat sekolah
yang kurang menarik.13
4. Hak-Hak Pekerja
Undang-Undnag nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan
perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja, Hak-hak dasar pekerja tersebut antara lain
menyangkut perlindungan uaph, jam kerja, Tunjangan hari Raya (THR), Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (jamsostek), kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan hak istirahat atau cuti,
Pengertian dari hak-hak dasar pekerja dijabarkan masing-masing sebagai berikut:
12
Ratna dan Holzner, Brigitte, Saptari. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial (Sebuah Pengantar Studi Perempuan), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1997.h . 34.
13
a) Perlindungan upah
Perlindungan hukum bagi pekerja asat upah dilandaskan pada pasal 88
sampai dengan pasal 98 Undnang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatakan bahwa :
“setiap pekerja berhak memperoleh pengasilan yang memenuhi
peghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
Dalam melakukan suatu pekerjaan, setiap pekerja berhak atas upah sebagai
hasil kerja mereka tanpa ada diskriminasi, seornag pekerja anak juga berhak atas
upah yang sama dengan pekerja lainnya yang sudah dianggap dewasa apabila
pekerjaan mereka yang lakukan sama. Sistem upah yang diterapkan pada
anak-anak adalah borongan dan harian. Upah borongan diberikan persatuan barang
selalu kecil daripada upah yang diterima ornag dewasa, karena perbedaan ukuran
barang yang dikerjakan.
1. Upah minimum
Diselenggarakan sebagai upaya mewujudkan penghasilan yang
layak bagi pekerja, dengan mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan
pekerja tanpa mengabaikan peningkatan produktivitas dan kemajuan
perusahaan serta perkembangan perekonomian pada umumnya.
Pengaturan upah minimum tercantum dalam Peraturan Menteri Tenaga
disempurnakan dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.226/MEN/2000 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.17/MEN/VIII/2005.
2. Upah kerja lembur
Pengusaha wjib membayar upah kerja lembur apabila pekerja
melakukan pekerjaannya melebihi eaktu kerja wajib. Dasar hukum
pegaturannya tercantum dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP 102/MEN/2004 tentang Waktu Kerja Lembur
dan Upah Kerja Lembur.
3. Upah tidak masuk kerja karena berhalangan
Diatur dalam pasal 93 ayat (2) huruf a dan b Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
4. Upah tidak masuk dalam kerja kerna melakukan kegiatan lain diluar
pekerjaannya.
Diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf c,d,e,h, dan I Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
5. Upah karena menjalankan hak dan waktu istirahat kerja.
Diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
6. Bentuk dan cara pembayaran upah.
Bentuk upah secara yuridis berupa uang dengan proporsi
tercantum dalam pasal 94 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.
b) Perlindunagn jam kerja.
Perlindunagn hukum mengenai jam kerja bagi pekerja diatur dalam Pasal
77 samapi dengan Pasal 85 undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan setiappengusaha wajib melaksanakan waktu kerja, yaitu jumlah
jam kerja normal untuk selama 1 minggu sebanyak 40 jam dengan perincian
sebagai berikut:
1. Berdasarkan pasal 77 ayat (2) huruf 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan apabila perusahaan memberlakukan waktu
kerja 6 ahri dalam 1 minggu, maka jumlah jam kerja 1 hari adalah 7 jam dan
hari sabtu 5 jam kerja.
2. Berdasarkan pada pasal 77 ayat (2) huru b Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan apabila perusahaan memberlakukan waktu
kerja 5 hari dalam 1 minggu, maka jam kerja 1 hari umlahnya adalah 8 jam
dan hari sabtu libur.
Perusahaan dapat mempekerjakan pekerja melebihi jam kerja normal,
dimana jam kerja selebihnya harus dihitung sebagai jam kerja lembur, syarat
pengusaha yang memepekerjakan pekerja melebihi waktu kerja, adalah sebagai
1. Berdasarkan pada pasal 78 ayat(1) huruf a Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, harus ada persetujuan dan
pekerjaan yang bersangkutan.
2. Berdasarkan pasal 78 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan waktu kerja lembur hanya dapat
dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1
minggu.
Selain itu juga anak-anak yang bekerja penuh waktu seperti halnya buruh
dewasa, bekerja 7 jam sehari, 6 hari seminggu. Anak-anak yang bekerja
paruh waktu baik apda majikan maupun pada orang tua, bekerja sama 2
sampai 4 jam sehari yang dilakukan diantara waktu sekolah.14 padahal
untuk lebih terjaminnya perkembangan anak yang wajar diperlukan waktu
sekolah, belajar, bermain, dan bersosialisasi serta istirahat 12 jam
berturut-turut di malam hari untuk pemulihan. Oleh karena itu bagi anak yang
bekerja perlu diadakan pembatasan waktu kerja dan waktu istirahat
sebagai berikut.15
1. Anak sebaiknya boleh bekerja selama 4 jam sehari, dengan
pengaturan kerja 2 jam ¼ jam istirahat dan 2 jam kerja.
2. Anak tidak boleh kerja lembur dan kerja pukul 18.00 s.d 06.00
kesokan harinya.
14
Ibid., h.68
15
3. Anak harus mendapat istirahat mingguan, tahunan, dan libur
resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.
a. Pengertian Hak Anak Dan Kesejahteraan Anak
Hak anak diabaikan oleh pihak manapun, trutama oleh keluarga sebagai unit terkecil,
padahal mereka sangat membutuhkan informasi serta sebagai unit terkecil, padahal mereka
sangat membutuhkan informasi serta pelaksanaannya tetapi dari unit terkecil pun tidak bisa
dipenuhi. Dalam konvensi Hak Anak, salah satunya anak harus mendapatkan haknya sebagai
anak. Hak anak merupakan kebutuhan dasar anak yang harus dijamin, dilindungi dan dipenuhi
oleh pemerntah, keluarga dan masyarakat.16
Selain dari itu anak juga mempunyai hak-hak dasar anak yang meliputi:
a. Hak untuk hidup yaitu memperoleh akses dan pelayanan kesehatan dan menikmati
standar hidup yang layak seperti makanan yang cukup, air bersih, dan tempat tinggal
yang aman. Anak juga berhak memperoleh nama dan kewarganegaraan.
b. Hak untuk tumbuh dannberkembang yaitu memeproleh kesempatan untuk
mengembangkan potensial semaksimal mungkin. Anak juga berhak memperoleh
pendidikan yang memadai, diberi kesempatan bermain, berkreasi dan beristirahat.
c. Hak berpartisipasi yaitu hak untuk diberi kesempatan untuk menyuarakan pandangan
dan ide-idenya, terutama persoalan yang berkaitan dengan anak.
d. Hak untuk memperoleh perlindungan yaitu hak anak yang harus dipenuhi untuk
melindungi anak dari:
1) Eksploitasi ekonomi dan seksual
16
2) Kekerasan baik fisik maupun psikologi
3) Segala bentuk diskriminasi
Seorang anak yang terlahir dalam keluarga bertaraf ekonomi social rendah memiliki
kecenderungan untuk bekerja guna memnuhi kebutuhan hidupnya. Anak-anak yang memutuskan
untuk bekerja sesungguhnya tidak menjadi masalah apabila perkembangan fisik dan mentalnya
tetap diperhatikan. Seorang anak juga memiliki hak-hak atas kesejahteraan mereka sebagaimana
tercantum dalam pasal 2 sampai pasal Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 Hak-Hak atas
Kesejahteraan Anak diantaranya:
a. Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan;
b. Hak atas pelayanan;
c. Hak atas perlindungan dan pemeliharaan;
d. Hak atas perlindungan lingkungan hidup;
e. Hak untuk mendapat perlindungan pertolongan pertama;
f. Hak untuk memperoleh asuhan; dan
g. Hak memperoleh bantuan.
Masalah hak-hak anak merupakan masalah yang menonjol baik dalam hal pelanggaran
trhadapmhak-hak atas mereka sebagai pekerja maupun sebagai seorang anak. Hal ini terjadi
karena anak-anak itu sendiri tidak menyadari atau tidak mengetahui bahwa mereka memiliki
hak-hak tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak dalam Pasal 2 ayat(4) menyatakan bahwa:
“anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan yang dapat membahyakan atau
b. Perlindungan Hak Bagi Pekerja
Bahasa tentang perlindungan anak sudah banyak sekali dibahas, salah satunya Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa
“Perlindungan Anak adalah Segala kegiatan untuk menajmin dan melindungi anak dan hak
-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Masih dalam Undang-Undang yang sama, dalam pasal 88 disebutkan “setiap orang yang
mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak
Rp. 200 juta”.
Di sisi lain International labour Organization/ ILO sebagai lembaga international untuk
penghapusan pekerja anak, mengkategorikan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berada
dalam:
a. Anak-anak yang bekerja telah dirampas hak-haknya secara pribadi.
b. Anak-anak yang bekerja dibawah tekanan yang sangat kuat, walaupun diberikan upah.
c. Anak-anak yang bekerja pada pekerjaan yang berbahaya, baik bagi keselamatan jiwa
maupun fisik.
d. Anak-anak yang bekerja pada usia yang relative muda, yaitu dibawah 12 tahun.17
Dari pengertian pekerja anak kategori ILO tersebut, anak harus dilindungi karena:
17
1) Keadaan darurat ataukeadaan yang membahayakan;
2) Kesewenang-wenangan;
3) Eksploitasi termasuk tindakan kekerasan dan penelantaran;
4) Diskriminasi.18
Kategori tersebut masih diperjelas dengan lima faktor yang mempengaruhi kualitas
kondisi pekerja anak yaitu:
a) Jam kerja, yaitu jumlah jam kerja anak;
b) Jenis-jenis pekerjaan, yaitu menggambarkan kegiatan yang dilakukan oleh anak
yang meliputi alat dan bahan, kondisi tempat kerja, posisi kerja atau tidak adanya
perlindunagn kerja;
c) Upah kerja;
d) Kecelakan kerja;
e) Kondisi social kerja.
Semakin banyak fakta-fakta yang diatas, Perlindungan Anak sebenarnya harus
diperhatikan untuk kepentinan:
1. Perlindunan bagi anak-anak
Perlindungan bagi anak merupakan alasan utama mengapa pemerintah dan
berbagai organisasi member perhatian kepada pekerja anak, karena masa anak-anak
merupakan masa dimana anak tumbuh dan berkembang sehingga perlu perlindungan,
Anak-anak tersebut jika dari usia disini telah bekerja yang karena posisi masih
rendah dan rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi. Oleh karena itu, perlindungan
18
ini perlu diberikan terutama bagi anak-anak yang bekerja di tempat yang
membahayakan.
2. Perkembangan anak
Dalam perkembangannya anak tumbuh dengan cepat, mereka membutuhkan
pengetahuan dan keterampilan agar menjadi manusia yang produktif dan berguna.
Anak-anak yang bekerja sambil sekolah perlu mendapat perhatian, karena anak-anak
yang bekerja akan mempengaruhi kehadiran di sekolah dan prestasi belajar.
3. Dampak pasar kerja dan perekonomian pekerja anak
Dampak pasar kerja dan pereonomian terhadap pekerja anak dapatdibago menjadi
dua, yaitu pertama, pada tingkat makro, pendapatan keluarga dan cara bertahan
(survival), kedua, tingkat perekonomian dan pasar kerja (tingkat upah dan
pengangguran orang dewasa), pertumbuhan dan perkembangan ekonomi.
Perkembangan anak yang mempengaruhi hingga dewasa yang merupakan hak dan
kewajiban atau kebutuhan itu semua harus disadari oleh semua lapisan masyarakat,
baik yang berada disekitarnya maupun stakeholder yang bekenaan menangani
masalah perlindungan anak.
Perlindungan anak sangat dibutuhkan untuk perkembangannya baik fisik maupun
berkembang dengan baik ketika semua aspek pelindung tersebut berjalan sesuai
dengan fungsinya.
5. Pengawasan Ketenagakerjaan
Pemerintah telah mewujidkan campur tangannya melalui peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan yang mengatur hubungan kerja dan perlindungan bagi hak-hak pekerja.
Diperlukan pula adanya pengawasan ketenagakerjaan, yaitu kegiatan mengawasi dan
menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan. Adapun
aturan hukum yang mengatur mengenai pengawasan ketenagakerjaan, antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor
81 Tahun 1947 Mengenai Pengawsan Ketenagakerjaan dalam Industri dan
Perdagangan.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.03/MEN/1948 tentang Pengawasan
Ketenagakerjaan Terpadu.
Disebutkan dalam Pasal 176 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan bahwa pengawas ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai-pegawai
pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen atau tanpa
terpengaruh oleh pihak dalam mengambil keputusan, guna menjamin pelaksanaan
perundang-undangan ketenagakerjaan. Fungsi system pengawasan ketenagakerjaan seperti
c. Menjamin penegakan ketentuan Hukum mengenai
kondisi kerja dan perlindungan pekerja saat
melaksanakan pekerjaannya, seperti ketentuan yang
berkaitan dengan jam kerja, pengupahan, keselamatan,
kesehatan dan kesejahteraan, pengguanan pekerja/buruh
anak dan orang muda serta masalah-maalah lain yang
terkait, sepanjang ketentuan tersebut dapat ditegakkan
oleh pengawas ketenagakerjaan.
d. Memberikan keterangan teknis dan nasehat kepada
pengusaha dan pekerja/buruh mengenai cara yang
paling efektif untuk mentaati ketentuan hukum.
e. Memberitahukan kepada pihak yang berwenang
mengenai terjadinya penyimpangan-penyimpangan atau
penyalahgunaan secara khusus tidak diatur dalam
ketentuanhukum yang berlaku,
f. Tugas lain yang dapat menjadi tanggung jawab
pengawas ketenagakerjaan tidak boleh menghalangi
pelaksanaan tugas pokok pengawasan atau mengurangi
kewenangannya dan ketidakberpihaknya yang
diperlukan bagi pengawas dalam berhubungan dengan
pengusaha dan pekerja/buruh.
Tujuan pengawasan ketenagakerjaan merupakan upaya menjaga keseimbangan
usaha dan ketenaga kerja serta menghindari terjadinya penyimpangan atas peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan.
B. Hasil Penelitian
1. Upaya pengawasan oleh Disnaker terhadap pekerja anak di sektor informal kota salatiga
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Salatiga, maka tugas dan fungsi Dinas Ketenagakerjaan Kota
Salatiga adalah sebagai berikut :
1. Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf i mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintahan Daerah di bidang
sosial, ketenagakerjaan dan transmigrasi berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
2. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dinas Sosial,
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi mempunyai fungsi:
a. perumusan kebijakan teknis di bidang sosial, ketenagakerjaan dan transmigrasi;
b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di bidang sosial,
ketenagakerjaan dan transmigrasi;
c. pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang sosial, ketenagakerjaan dan
transmigrasi;
d. pelaksanaan pelayanan kesekretariatan Dinas; dan
e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan
3. Susunan organisasi Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi terdiri atas:
a. Kepala Dinas;
b. Sekretariat, yang membawahi:
1 Subbagian Perencanaan;
2. Subbagian Keuangan; dan
3. Subbagian Umum dan Kepegawaian
a. Bidang Asistensi Sosial, yang membawahi :
1. Seksi Bantuan dan Pengelolaan Sumber Dana Sosial;
2. Seksi Kesetiakawanan Sosial dan Kepahlawanan; dan
3. Seksi Penyuluhan, Hubungan Kelembagaan dan Pengawasan.
b. Bidang Rehabilitasi dan Potensi Sosial, yang membawahi:
1. Seksi Pembinaan Tuna Sosial;
2. Seksi Rehabilitasi Penyandang Cacat; dan
3. Seksi Pemberdayaan Potensi Kesejahteraan Sosial
c. Bidang Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja, yang membawahi:
1. Seksi Hubungan Industrial dan Syarat Kerja;
2. Seksi Pengawasan Ketenagakerjaan; dan
3. Seksi Jaminan Sosial
d. Bidang Penempatan Tenaga Kerja, Pelatihan dan Transmigrasi, yang membawahi:
1. Seksi Informasi dan Pasar Kerja;
2. Seksi Pelatihan dan Produktivitas; dan
e. Unit Pelaksana Teknis Dinas; dan
f. Kelompok Jabatan Fungsional.
4. Bagan susunan organisasi Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigrasi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IX merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Daerah ini.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti dapatkan dalam upaya Pengawasan Tenaga
kerja anak dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja Kota Salatiga di sektor informal. Menurut hasil
wawancara peneliti dengan Bapak Jamaludin selaku pengawas ketenagakerjaan di Dinas
ketenagakerjaan Kota Salatiga. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di
lapangan, peneliti mendapati bahwa pekerja anak di Salatiga, karena berdasarakan hasil
wawancara peneliti dengan bapak Jamaludin bahwa data pekerja anak di Dinas Tenaga kerja
hanya mendata pada tahun 2012, pada tahun 2013 jumlah anak yang bekerja di Kota Salatiga ada
2 orang di Toko Niki Way,dan di tahun 2014, 2015 dan 2016 pihak Disnaker belum melakukan
survey terhadap pekerja anak yang berada di Salatiga, padahal Dinas Tenaga kerja Kota Salatiga
harus mendata pada tahun berikutnya agar dapat mengawasi dan melindungi pekerja, Adapun
data pekerja anak pada tahun 2012 sebagai berikut:
Table 1
DATA PEKERJA ANAK TAHUN 2012 KOTA : SALATIGA19
19
Data dari Disnaker Kota Salatiga). 21 oktober 2015.
Dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan, Dinas ketenagakerjaan kota Salatiga
hanya mengawasai pekerja di sektor formal saja sedangkan informal kurang mendapat
pengawasan dari Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga. Pengawasan terhadap pekerja anak di
sektor formal ialah pekerja anak yang melakukan pekerjan di sektor usaha seperti halnya
perusahaan, pabrik, dan lain-lain. Sedangkan pekerjaa anak di sektor informal ialah pekerja anak
yang bekerja sendiri atau tidak bekerja di sektor usaha seperti halnya pedagang asongan, kuli
pasar, pencucian kendaraan dan lain-lain.
Dengan demikian hanya pekerja formal menjadi objek pengawasan. Sementara pekerja
informal kurang mendapat pengawasan .20
20
Wawancara dengan Bapak Jamaludin selaku pengawas ketenaga kerjaan di Disnaker kota salatiga 17 maret 2016.
1. Faiz L Salatiga Pedagang SD Tukang Parkir Jasa parkir
2. Darmaji L Kab.Semarang Petani SMP Tukang Parkir Jasa parkir
3. Hikmah P Kab.Semarang Petani SD Packing Pabrik
minuman
4.. Kholid L Kab.Semarang Petani SD Packing
Pabrik
Minuman
5. Rohayati P Kab.Semarang Petani SD Packing Pabrik
minuman
Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 pasal 3 tentang Pengesahan Konvensi ILO
No. 81 mengenai pengawasan ketenagakerjaan dalam industri dan perdagangan disebutkam
bahwa fungsi ketenagakerjaan harus:
a. Menjamin penegakan ketentuan hukum mengenai kondisi kerja dan peraturan yang
menyangkut waktu kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan serta kesejahteraan,
tenaga kerja anak serta orang muda dan masalah-masalah lain yang terkait.
b. Memberikan informasi tentang masalah-masalah teknis kepada pengusaha dan
pekerja/buruh mengenai cara yang paling efektif untuk menaati peraturan
perundang-undangan
c. Memberitahukan kepada pemerintah mengenai terjadinya penyimpangan atau
penyalahgunaan yang secara khusustidak diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Alen pekerja anak berumur 16 tahun yang
bekerja di tempat pencucian kenderaan, bahwa pekerja anakyang bekerjadi tempat pencucian
kenderaan memulai pekerjaan mereka dari jam 8.00 sampai dengan 16.30 adapun upah yang
mereka terima Rp. 2.500,00 dalam sekali cuci motor, dan dalam sehari juga mendapatkan uang
makan Rp, 5.000,00.21
Di lain pihak juga peneliti melakukan Wawancara dengan Adi Setiyawan umur 17 tahun
pekerja anak yang bekerja kuli bangunan, pekerja anak yang bekerja sebagai kuli bangunan
memulai pekerjaan dari jam 09.00 sampai dengan 16.00 adapun upah yang di terima Rp.30,000
21
sehari, dan menerima upah di hari sabtu sebesar Rp.180,000. Mengingat anak inibekerja di
bangunan soal makan sudah disediakan dari majikan yang mempekerjakannya. 22
Di lain pihak juga peneliti melakukan wawancara dengan Mutamakin umur 17 tahun
pekerja anak yang bekerja di bengkel, bahwa pekerja anak yang bekerja dibengkel memulai
pekerjaan mereka dari jam 09.00 sampai dengan 16.00 adapun upah yang mereka terima tidak
terikat dan sangat rendah yaitu di hitung sesuai kenderaan yang merekakerjakan tetapi
mendapatkan uang makan dari bengkel tersebut sebesar Rp.10,000.23
Dengan melihat masih adanya pekerja anak yang bekerja tidak sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, maka berarti apa yang telah diamanatkan undang-undang-undang-undang belum terlaksana
dengan sebagaimana mestinya. Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi belum terlalu efektif
dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawasan ketengakerjaan. Apalagi dalam hal ini
berdasarkan wawancara peneliti dengan Bapak Jamaludin bahwa Dinas ketenagakerjaan dalam
hal ini hanya menunggu informasi dalam melakukan pengawasan pada pekerja anak.24
Oleh karena itu dalam hal ini Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga melakukan
upaya-upaya dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan di Kota Salatiga, berdasarkan wawancara
denga bapak Jamaludin ada beberapa upaya yang sudah dilakukan oleh Dinas Ketenagakerjaan
Kota Salatiga dalam melakukan pengawasan ketenagakerjaan adapun upaya-upaya tersebut
sebagai berikut:
1. Inspeksi Kesehatan dan keselamatan kerja
22
Wawancara dengan Adisetiyawan selaku pekerja kuli bangunan 8 Desember 2015.
23
Wawancara dengan iqbal selaku pekerja bengkel 12 Mei 2016.
24
Inspeksi kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu proses untuk menemukan potensi
bahaya yang ada ditempat kerja untuk mencegah terjadinya kerugian maupun kecelakaan
ditempat kerja dalam penerapan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
2. Pembinaan
Pembinaan dilakukan ketika dalam pemeriksaan di dapati ada permasalahan terhadap
permasalahan dalam pekerjaan, yaitu antara lain seperti Upah, Jam kerja, keselamatan,dll.
Hal ini apabila terjadi akan dilaporkan pada Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga dan
akan segera dilakukan pembinaan terhadapa pengusaha tersebut, Karena dalam hal ini
Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga tidak bisa langsung menindaki sebelum
dikaukannya pembinaan.
3. Penindakan
Penindakan dilakukan setelah dilakuakannya pembinaan terhadap pengusaha dan
pengusaha tersebut tetap melanggar hal tersebut maka pengusaha tersebut akan dikenakan
sanksi kurungan dan administratif sesuai dengan undang-undang yang berlaku.25
Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bersama bahwa pekerja anak di Kota
Salatiga banyak yang berada pada usaha kecil dan itu sangat menghawatirkan karena selain jam
kerja mereka tidak sesuai dengan undang yang berlaku, keselamatan dan upah mereka juga
sangat di bawah sekali tidak sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Oleh karena itu
pengawasan dinas ketenagakerjaan Kota Salatiga dalam hal pengawasan ketengakerjaan sangat
di perlukan untuk menyelesaiakan permasalahan tersebut, namun berdasarkan hasil wawancara
dengan bapak Jamaludin bahwa pekerja anak pada usaha kecil jarang mereka melakukan
25
pengawasan karena dinas ketengakerkejaan Kota Salatiga memilik skala prioritas dalam hal
melakukan pengawasan,26 dari wawawancara tersebut dapat kita ketahui bersama bahwa
kurangnya pengawasan dinas ketengakerkejaan Kota salatiga pada usaha kecil padahal dapat kita
ketahui bersama bahwa pekerja anak yang bekeja di usaha kecil lumayan banyak di kota
Salatiga.
2. Kendala dalam pengawasan oleh Disnaker terhadap pekerja anak di sektor informal kota salatiga
Kendala-Kendala dari Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga Dalam Pengawasan Pekerja
Anak dari penjelasan yang sudah di jelaskan peneliti tentang upaya pengawasan Dinas
Ketenagakerjaan Kota Salatiga pekerja anak masih kurang efektif, karena tidak adanya data-data
pekerja anak yang seharusnya mereka memiliki data tersebut sebagai fungsi pengawasan agar
mereka dapat melakukan pengawasan dan perlindungan bagi pekerja anak. Namun dalam hal ini
juga peneliti akan menjelaskan beberapa kendala-kendala Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga
dalam melakukan pengawasan.
Menururut dari hasil wawancara peneliti dengan bapak Jamaludin, bahwa yang menjadi
kendala Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga dalam hal pengawasan ketengakerjaan adalah
ketidakketerbukaan antara pengusaha dengan pengawas Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga
dalam hal pengawsan ketengakerjaan dalam hal, pengusaha selalu menutup-nutupi pekerja anak
yang bekerja di tempat usaha mereka.27
26
Wawancara dengan Bapak Jamaludin selaku pengawas ketenaga kerjaan di Disnaker kota salatiga 17 maret 2016
27
Menurut peneliti, seharunya dengan tidak keterbukaannya pengusaha dengan pegawai
pengawasan ketenaakerjaan, Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga harus lebih sigap lagi dalam
melakukan pengawasan dengan cara melakukan inspeksi secara diam-diam agar pengusaha
tersebut tidak bisa berbuat apa –apa, agar pekerja anak di Kota Salatiga dapat terlindungi dalam
melakukan pekerjaan dan tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum pengusaha yang tidak
bertanggung jawab.
. Berdasarakan penelitian yang di lakukan peneliti dalam hal banyak pekerja anak yang
bekerja di usaha kecil sebagai berikut:
1. Tempat usaha kecil belum memiliki banyak modal untuk membayar pekerja dewasa
karena dalam hal ini pengusaha yang memiliki tempat usaha kecil mereka masih
mengumpulkan modal yang besar untuk membangun usaha mereka agar semakin
besar dengan mempekerjakan pekerja anak pengusah yang memiliki usaha kecil bisa
menghemat pengeluaran merka karena dalam hali ini pekerja anak belum terlalu
banyak keperluan dan tuntutan seperti halnya pekerja dewasa yang sudah banyak
tanggungan dan keperluan dalam hidup mereka seperti halnya kebetuhan
keluarga,sekolah,dll, sedangkan pekerja anak berdasarkan hasil wawancara diatas
mereka yang penting sudah bisa mendapatkan uang dari pekerjaan mereka untuk
tambah uang jajan mereka ataupun untuk membantu orang tua mereka.
2. Perselisihan dalam hal pekerjaan anatara pengusaha dan pekerja sangat kecil karena
dalam hal ini jika terjadi perselihan maka pengusaha dapat mengatasinya dengan
mudah beda dengan pekerja dewasa dewasa yang bisa saja terjadi perkelahian atau
Oleh karena itu sangat penting pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga
terhadap usaha kecil karena di Kota Salatiga banyak pekerja anak yang bekerja di tempat usaha
kecil seperti halnya bengkel,tempat pencucian kenderaan dan lain-lain tanpa melkukan skala
prioritas terhadapa mereka dan agar mereka para pekerja anak tidak di manaatkan oleh
oknum-oknum pengusaha untuk kepentingan dirinya sendiri apalagi dalam hal ini mereka mempunyai
hak dalam melakukan pengwasan tersebut seperti halnya yang diamanatkan undang-undang.
C. Analisis
Sampai saat ini jumlah pekerja anak masih belum bisa terdata dengan pasti, pekerja anak
tersebut tersebar baik pedesaan maupun perkotaan. Beberapa diantaranya pekerjaan yang
dilakukan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan-pekerjaan yang
terbentuk bagi anak dan akan menghambat tumbuh kembang anak tersebut secara wajar.
Disamping itu hal tersebut bertentangan dengan hak asasi anak dan nilai-nilai kemanusiaan yang
diakui secara universal.
Fenomena pekerja anak di Salatiga semula lebih berkaitan dengan tradisi atau budaya
membantu orang tua. Sebagian besar orang tua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada
anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan tanggung jawab. Selain dapat
melatih dan memperkenalkan anak kepada kerja mereka juga berharap dapat membantu
mengurangi beban kerja keluarga.
Seiring dengan perkembangan waktu telah terjadi pergeseran, anak-anak tidak lagi
ekonomi keluarga (masalah kemiskinan) dan memberi kesempatan memperoleh pendidikan.
Pendapatan orang tua yang sangat sedikit tak mampu lagi menutupi kebutuhan keluarga sehingga
memaksa mereka ikut bekerja. Dari data ILO menyebutkan secara rata-rata anak-anak yang
bekerja menyumbangkan sekitar 20%-25% kepada pendapatan keluarga. Bahkan ada yang
menopang 75 % lebih pendapatan orang tua.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk beradaptasi dengan perubahan itu adalah
memanfaatkan tenaga kerja keluarga. Kalau tenaga kerja wanita, terutama ibu rumah tangga
belum dapat memecahkan masalah yang dihadapi, biasanya anak-anak yang belum dewasa juga
diikutsertakan untuk menopang kegiatan ekonomi keluarga. Pekerjaan ini tidak terbatas pada
pekerjaan rumah tangga tetapi juga melakukan upahan baik di dalam lingkungan pedesaan
sekitar tempat tinggal atau pergi mengadu nasib ke kota.
Upaya Pemerintah dalam mengatur hak pekerja anak yang bekerja pada Sektor Informal,
di dalam Konvensi tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak ditetapkan pada
tahun 1999. Konvensi ini mendefinisikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak seperti
praktik perbudakan anak, kerja paksa, perdagangan anak, prostitusi, pornografi, dan
bentuk-bentuk pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Konvensi ini
memerlukan langkah-langkah segera dan efektif untuk memastikan ditetapkannya pelarangan
dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak tersebut sebagai hal yang
mendesak. Kegiatan-kegiatan tertentu yang didefinisikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk untuk anak adalah: semua bentuk perbudakan, pelacuran, pemanfaatan anak dalam
pornografi dan dalam produksi dan perdagangan dan peredaran obat-obat terlarang.
Konvensi No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja.
menghapus pekerja anak. Konvensi ini menetapkan usia minimum diperbolehkan bekerja atau
usia minimun untuk bekerja yang tidak boleh kurang dari usia usai wajib belajar, supaya
perkembangan fisik dan mental anak tidak terganggu sebelum mereka memasuki angkatan kerja.
Larangan bagi pengusaha, untuk mempekerjakan anak, hal ini tercantum di dalam ketentuan
Pasal 68 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. Namun demikian, ketentuan Pasal 69 ayat
(2) memberikan pengecualian, yaitu bahwa mempekerjakan anak boleh dilakukan asalkan
dipenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal tersebut.
Bentuk-bentuk pelanggaran terhadap persyaratan kerja bagi penggunaan pekerja anak
memang tidak semata-mata disebabkan oleh kesalahan pengusaha atau yang mempekerjakan
anak tersebut tetapi memang dari pihak pekerja anak atau orang tuanya atau walinya sendiri yang
memang menghendaki tidak dipenuhinya persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
69 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagaimana yang terurai di bawah ini. Pertama,
tidak ada izin tertulis orang tua/wali. Persyaratan sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal
69 ayat (2) butir a, bahwa apabila anak akan bekerja harus terlebih dahulu memperoleh izin
secara tertulis dari orang tua atau walinya, izin kerja terkait dengan hak dan kewajiban anak dan
pengusaha, misalnya mengenai ketentuan jam kerja, pembayaran upah apakah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, upah lembur, serta orang tua harus mengetahui apakah pekerjaan yang
akan dilakukan anak tersebut tidak mengganggu perkembangan anak baik secara fisik, mental
maupun sosialnya, dengan mengingat anak-anak masih memerlukan waktu dan kondisi yang
memungkinkan anak dapat tumbuh kembang secara wajar. Kedua, tidak didasarkan pada
perjanjian kerja.
Anak-anak ini bekerja di sektor informal, tanpa adanya aturan jenis dan bentuk pekerjaan
terima, sebelum pekerja mulai bekerja, dan juga tentang upah yang akan mereka dapatkan setiap
saat mereka menerima pembayaran. Pengecualian dalam hal adanya izin dari orangtua,
perjanjian kerja, hubungan kerja yang jelas dan menerima upah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku adalah jika anak bekerja pada usaha keluarganya.
Ironisnya lagi, kondisi jam kerja yang panjang sehingga waktu istirahat menjadi
berkurang, sementara dalam kondisi fisik sebagai anak-anak yang masih mengalami fase
pertumbuhan, memerlukan istirahat yang cukup, serta asupan makanan yang mendukung proses
pertumbuhannya. Hal ini tertuang dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) huruf c Undang-Undang
Ketenagakerjaan, yang mengatur bahwa pekerja anak maksimal bekerja selama 3 jam, tidak
terpenuhi dalam pekerjaan disektor informal. Ketentuan tersebut selalu dilanggar, meskipun
sudah ada ketentuan pembatasan jam kerja bagi anak-anak yang bekerja, akan tetapi dalam
kenyataannya anak-anak bekerja di atas 3 jam.
Kondisi tempat kerja yang kurang kondusif dan terganggunya kesehatan pekerja anak,
sering dihadapi para anak. Pekerja anak di bawah umur, sering dihadapkan pada resiko-resiko
pekerjaan yang dilakukannya, terutama yang bekerja disektor industri, seperti resiko gangguan
kesehatan akibat ruangan yang pengap, asap kendaraan bermotor yang dapat menyesakan nafas,
makan dan minum yang tidak terjamin dan kurang gizi, juga dihadapkan pada gangguan psikis
seperti caci maki, kata-kata kasar, dan gangguan kehidupan sosialnya seperti hubungan dengan
teman-teman sebaya, frekuensi bertemu dengan tetangga maupun keluarga berkurang atau
terbatas, apalagi kalau tempat kerjanya campur dengan orang dewasa. Pencampuran tempat kerja
anak dengan tempat kerja orang dewasa tidak seharusnya dilakukan, karena hal ini bertentangan
Kondisi-kondisi diatas menunjukkan bahwa secara yuridis, negara sudah melakukan
kewajibannya dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakatnya terutama untuk
kelompok pekerja anak. Akan tetapi situasi real dalam masyarakat menunjukkan bahwa
pelanggaran terhadap aturan masih saja dilanggar, yang sudah tentu memberikan efek negatif
bagi pekerja anak itu sendiri. Lemahnya posisi tawar pekerja anak, serta situasi perekonomian
menuntut si anak untuk tidak memiliki pilihan lain, sehingga harus rela menjalani
pekerjaan-pekerjaan yang belum pantas di lakukan oleh seorang anak.
Konvensi No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja
Konvensi ini mewajibkan Negara menerapkan kebijakan nasional yang akan secara efektif
menghapus pekerja anak. Konvensi ini menetapkan usia minimum diperbolehkan bekerja atau
usia minimun untuk bekerja yang tidak boleh kurang dari usia usai wajib belajar, supaya
perkembangan fisik dan mental anak tidak terganggu sebelum mereka memasuki angkatan kerja.
Apabila melihat pada Teori keadilan bermartabat, teori ini berisi suatu sistem hukum
yang mengemban empat fungsi. Keempat fungsi itu adalah bahwa :
a. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas
hukum yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari sistem kontrol sosial mengatur perilaku manusia individual maupun masyarakat.
b. Hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan asas-asas
hukum yang saling berkaitan dalam sistem adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa.
c. Fungsi hukum yang dalam hal ini dibatasi pada kaidah dan
asas-asas hukum yang saling berkaitan dalam sistem menjadi bagian dari untuk melakukan rekayasa sosial.
d. Hukum berfungsi sebagai pemelihara sosial.28
28
Pada dasarnya peraturan perundang-undang dibuat tidak lain untuk menertibkan
masyarakat yang ada didalamnya, agar masyarakat tertib hukum dan tidak berbuat yang dapat
merugikan orang lain maupun negara. Di dalam Perlindungan hukum terhadap pekerja anak
tidak dapat dilepaskan dengan hak asasi anak, sebab secara konstitusional Indonesia telah
mengakui hak untuk bekerja dalam Pasal Undang-Undang Dasar l945 yang dimasukkan pada
klasifikasi hak yang bersifat asasi. Pengaturan terhadap hak asasi ini dituangkan dalam
Undang-Undnag Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) mengatur
mengenai pengertian Hak Asasi Manusia, yaitu “Seperangkat hak yang melekat pada hakekat
dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrahNya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara, hukum pemerintah dan setiap orang, demi
penghormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Perundang-undangan nasional tentang pekerja anak diatur juga dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum untuk
Diperbolehkan Bekerja.
Berdasarkan hasil wawancara jika dilihat pada kenyataan dilapang belum terlalu efekti,
upaya-upaya yang dilakukan Dinas Ketenagakerjaan kota Salatiga masih belum efektif. karena
masih banyak pekerja anak di kota salatiga terutama di tempat usaha-usaha kecil yang belum
mendapatkan pengawasan dari pihak Disnaker Kota Salatiga khususnya di bagian pengawasan
Ketenagakerjaan dan juga didapati oleh peneliti bahwa belum ada data-data pekerja anak di
tahun 2014, 2015, 2016 padahal dilapangan banyak pekerja anak di Kota Salatiga dengan