berjalan sesuai rencana (Cashin dan Sahay, 1996). Lebih lanjut Pritchett
mengatakan pemahaman konsep konvergensi memberikan impresi yang keliru,
menurutnya ekonomi bukanlah proses otomatis namun membutuhkan suatu
proses perencanaan, pengembangan evaluasi dan sebagainya. Pertumbuhan
ekonomi yang cepat, bukan dari keadaan miskin akan tetapi merupakan hasil
serangkaian kebijakan yang tepat dan terencana yang diciptakan untuk
memfasilitasi pertumbuhan yang cepat dan stabil, dengan mempertimbangkan
konsep keseimbangan.
Pernyataan ini didukung oleh Rosentein-Rodan dalam artikelnya “Problem
of Industrialisation of Eastern and South-Eastern Europe”. Teori yang kemudian
dikenal dengan “Big Push Model”, menekankan perlunya rencana dan program
aksi dengan investasi skala besar untuk mempercepat industrialisasi di negara
Eropa Timur dan Tenggara. Saat itu di negara kawasan tersebut sangat
terbelakang dan masih mengandalkan surplus tenaga kerja yang terutama bekerja
di sektor pertanian. Big Push, dorongan yang besar, harus dilakukan untuk
mengatasi ketertinggalan dibanding daerah lain dengan memanfaatkan dampak
jaringan kerja antar daerah melalui economies scale and scope dan keluar dari
keseimbangan yang rendah (Kuncoro, 2009). Perencanaan yang didasari strategi
yang baik dan berkesinambungan akan memberikan kesejahteraan yang terus
meningkat yang disertai disparitas pendapatan semakin rendah. Bila pendapat itu
diterapkan dalam lingkup daerah atau negara, artinya jauh lebih penting
diperhatikan adalah bagaimana menyusun kebijakan pembangunan
berkesinambungan yang dapat mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.
Sumber : BPS Banten 2011
Gambar 1. Pertumbuhan IPM di Banten
Lebih lanjut dalam sejumlah literatur terdahulu, indikator pendapatan yang
diukur dari PDRB per kapita banyak digunakan untuk menghitung konvergensi di
suatu daerah. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perekonomian
sudah mengarah kepada konvergensi pendapatan, akan tetapi tidak dapat
menjawab mengenai kualitas hidup masyarakat yang dijadikan objek penelitian.
UNDP sejak tahun 1990 mengeluarkan Indeks Pembangunan Manusia, yang
dihitung berdasarkan kemampuan daya beli (pendapatan), angka harapan hidup
dan kualitas pendidikan. Indeks ini diaplikasikan untuk menilai keberhasilan
pembangunan suatu negara karena dianggap lebih mewakili aspek pencapaian
kinerja pemerintah. Berangkat dari pernyataan ini, maka dalam penelitian ini akan
menggunakan IPM sebagai variabel untuk menghitung konvergensi di daerah,
dimana dalam hal ini sesuai judul penelitian adalah Konvergensi IPM di Provinsi
Banten.
Alasan pemilihan judul penelitian ini, IPM dapat menggambarkan mengenai
kualitas hidup masyarakat di Banten seperti yang ditunjukkan dalam gambar 1.
Kesejahteraan masyarakat yang terdiri atas kualitas pendidikan, kualitas kesehatan
dan tingkat daya beli masyarakat di Banten sudah tergambarkan dalam nilai IPM
itu sendiri. Penelitian ini juga bermaksud untuk menjelaskan konvergensi IPM di
Banten berarti pemerataan kualitas hidup dan kesejahtaraan masyarakatnya
semakin meningkat.
1.2 Perumusan Masalah
Pemerintahan di banyak negara manapun di dunia, terlepas dari sistem
bentuk pemerintahan yang dipilih, berharap pembangunan yang mampu
mensejahterakan penduduknya. Hanya saja, kerap kali kebijakan kadang tidak
mengenai sasaran. Ketentuan tentang Otonomi Daerah dan ketentuan tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, bertujuan
pemerataan kesejahteraan dalam konteks Model Neoklasik yakni konvergensi
pendapatan yang diimbangi dengan laju pertumbuhan tinggi (asumsi, adanya
stabilitas sosial politik dalam pembangunan). Sehubungan latar belakang diatas
dan kebijakan desentralisasi terutama sejak berdirinya Banten lepas dari Provinsi
Jawa Barat 8 Oktober 2000, penelitian akan menganalisis pertumbuhan Indeks
Pertumbuhan Manusia (IPM) sebelum dan setelah terbentuknya Provinsi Banten.
Secara sederhana akan dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah terjadi konvergensi IPM di Provinsi Banten selama periode
1994-2009.
2. Faktor apa yang mempengaruhi Pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia di
Banten.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini ingin mengetahui apakah
Kabupaten dan Kota Provinsi Banten, baik semasa bergabung dengan Jawa Barat
dan setelah pembentukan Provinsi Banten. Sejumlah tujuan penelitian ini
diharapkan mampu menjawab pertanyaan diatas adalah sebagai berikut :
1. Menganalisis laju konvergensi IPM di Provinsi Banten selama periode
penelitian, sehingga dapat diketahui kualitas kemajuan kesejahteraan di
Banten.
2. Melakukan estimasi faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan IPM,
sehingga mengetahui kontribusinya terhadap IPM di Provinsi Banten selama
periode 1994-2009.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam konteks konvergensi
di Provinsi Banten, khususnya berkaitan dengan IPM (Pendapatan, Kesehatan dan
Pendidikan). Terkait dengan pendapatan Button dan Pantecost (1995), indikasi
temuan yang bisa menandai konvergensi maka akan memudahkan bagi pembuat
kebijakan untuk mengkaji efektifitas portofolio kebijakan yang sudah
dilaksanakan dan mendesain strategi yang lebih baik dimasa depan dalam
menetapkan kebijakan pemerataan pembangunan yang berkualitas di Provinsi
Banten.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Teori
Sejumlah penelitian yang dilakukan dibanyak negara lebih memperdalam
pada apakah ketimpangan pendapatan antar negara atau wilayah di suatu negara,
cenderung divergensi atau konvergensi, apabila mengacu pada model
pertumbuhan Neoklasik, Barro (1991), Barro dan Sala-i-Martin (1995), Dewhurts
(1998), Garcia dan Sulistianingsih (1998) serta Heng dan Siang (1999). Penelitian
berikut ini akan menerapkan model pertumbuhan neoklasik untuk mengukur
Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Banten. Model tersebut
mengasumsikan adanya kesetaraan dalam bidang pendapatan, teknologi, tingkat
pertumbuhan penduduk, kepemilikan sumber daya, preferensi besaran konsumsi
dan tabungan di semua daerah atau wilayah, maka nantinya menuju konvergensi
pendapatan per kapita dalam jangka panjang. Konvergensi β (beta convergence)
untuk menghitung kecepatan daerah yang awalnya miskin dengan standar hidup
relatif rendah dan rasio modal per tenaga kerja rendah akan tumnuh lebih cepat
selama masa percapaian akan mengejar daerah yang kaya, kedua kelompok ini
nantinya akan menuju tingkat pendapatan yang sama. Sedangkan standar deviasi
(σ konvergensi) selanjutnya disebut sigma convergence untuk sebaran wilayah
pendapatan per kapita.
2.1.1 Konsep Konvergensi
Kedua konsep konvergensi diatas adalah yang biasanya digunakan dalam
literatur konvergensi, De La Fuente (2000), Garcia dan Sulistianingsih (1998),
Lall dan Yilmaz (2000). Adapun Rey dan Montouri (1998) menyebutkan konsep
konvergensi dari perspektif lain, yakni stochastic convergence, yang biasanya
ditemukan dalam penelitian time series. Dua sebelumnya akan ditemui dalam
penelitian cross section. Sigma convergence digunakan alat ukur standar deviasi
penyebaran pendapatan per kapita kabupaten kota di Provinsi Banten, Barro dan
Sala-i-Martin (1995). Ukuran konvergensi ini disebut juga konvergensi aggregat
(aggregate convergence) atau konvergensi bruto (gross convergence). Cara
menghitungnya dengan logaritma standar deviasi per tahun, berikut adalah
rumusan yang biasa dipakai untuk mengukur standar deviasinya :
...……….
(1)
dimana SD adalah standar deviasi untuk periode t, lnỹ
tdan lny
itmenunjukkan
logaritma rata-rata per kapita kabupaten kota Provinsi Banten periode t dan
logaritma PDRB kabupaten kota i pada periode t, dimana n adalah jumlah
kabupaten kota yang dioservasi. Hasilnya nanti apabila SD
t-1lebih kecil dari SD
tDengan menghitung σ convergence setiap periode waktu maka akan
diketahui apakah sebuah perekonomian mengarah pada divergensi pada sebelum
pemisahan atau konvergensi setelah pemisahan dari Jawa Barat. Tingkat
pertumbuhan dikatakan konvergensi pasca berdirinya Banten bila nilai σ
convergence semakin menurun. Sementara β convergence digunakan untuk
mengetahui pengaruh faktor yang diperkirakan menentukan tingkat konvergensi.
Beta konvergensi ini punya dua aspek, yakni absolute convergence atau
unconditional convergence yang digunakan mengukur kecepatan pertumbuhan
pendapatan per kapita daerah miskin yang akan menyamai pendapatan per kapita
daerah kaya. Kerangka pemikiran Neoklasik memprediksi koefisien variabel
penjelas bertanda negatif dan signifikan, menunjukkan daerah miskin memang
tumbuh lebih cepat dari daerah kaya. Adapun formula yang digunakan untuk
mengukur absolute convergence (Barro dan Sala-i-Martin, 1995) adalah sebagai
berikut :
dikatakan σ convergence ada begitu sebaliknya.
………. (2)
dimana ln adalah natural logaritma, y
itPDRB per kapita kabupaten-kota i pada
tahun t, y
i0,tmerupakan rata-rata galat periode 0 dan T. nilai negatif dan signifikan
antara PDRB awal dan tingkat pertumbuhan PDRB maka dikatakan β
convergence terjadi. Bergstorm (1998) lebih lanjut berpendapat seberapa besar
dampak kebijakan pemerintah maka tercermin dalam β convergence. Kecepatan β
convergence akan semakin tinggi, kalau pemerintah memfokuskan kebijakan
pembangunannya pada peningkatan akumulasi modal di daerah miskin,
pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui
pendidikan dan adanya proses transfer teknologi dengan baik pada industri
setempat, dan mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk (Haryanto, 2001).
Sedangkan stochastic convergence mensyaratkan ramalan jangka panjang
dari perbedaan tingkat pendapatan antara dua perekonomian menuju titik nol (Rey
dan Montouri, 1998). Definisi bisa dilanggar, bila ada shock dalam sebuah
perekonomian dengan jangka waktu tak terbatas. Kondisi dimana adalah sejumlah
shock maka pendapatan mengandung akar unit dan sebab ketentuan stasionaritas
maka konsep ini disebut konvergensi stokastik.
2.1.2 Investasi Sumber Daya Manusia
Sejak zaman Adam Smith, pendidikan telah dikaitkan dengan kemajuan
ekonomi dan sosial yang adil. Namun pada saat ini terdapat literatur yang kecil
namun terus berkembang mengenai ketidakmerataan distribusi pendidikan (Lam
dan Levinson, 1991; Londono, 1990; Maas dan Criel, 1982; Ram,1990). Ketika
data mulai tersedia untuk menghitung distribusi pendidikan, maka disparitasnya
semakin jelas. Penggunaan standar deviasi pencapaian prestasi dalam menempuh
pendidikan disekolah, Birdsall dan Londono (1997) meneliti dampak distribusi
pendidikan yang sangat tidak berkesimanbungan mempunyai dampak negatif
terhadapa pendapatan per kapita di banyak negara, kebijakan ekonomi yang
menindas kekuatan pasar cenderung mengurangi dampak pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Pendapat senada dilontarkan Ravallion dan Datt (1999)
bahwa asosiasi pertumbuhan memberikan kontribusi yang lebih sedikit terhadap
pengurangan kemiskinan di negara yang tingkat iliterasi, produktivitas pertanian
dan standar hidupnya rendah di pedesaan dibanding wilayah perkotaan. Hal ini
menunjukkan distibusi pendidikan mempunyai implikasi kuat terhadap
pertumbuhan yang mengurangi kemiskinan. Pentingnya pembangunan sumber
daya manusia-pendidikan dan kesehatan tampaknya dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh Garcia dan Sulistianingsih (1998) mampu mengurangi
ketidaksinambungan regional. Pasalnya, investasi dalam sumber daya manusia
akan memperbaiki standar hidup di pedesaan dan perkotaan yang selanjutnya
dapat meningkatkan produktivitas.
2.1.3 Indeks Pembangunan Manusia
Kualitas pembangunan manusia didefinisikan oleh UNDP sebagai suatu
proses untuk memperluas pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s
choices). Bahwa Pembangunan Manusia dijelaskan penduduk menjadi pusat
perhatian, dimana penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimated end)
sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana (principal means)
untuk mencapai tujuan itu. Guna mencapai hal tersebut harus didukung oleh
empat pilar yakni :
1. Produktivitas, penduduk harus diberdayakan untuk meningkatkan produktivitas
dan berpartisipasi penuh dalam proses penciptaan pendapatan. Pembangunan
ekonomi menjadi himpunan bagian dari model pembangunan manusia.
2. Pemerataan, penduduk harus memiliki kesempatan yang sama mendapatkan
akses terhadap semua sumber daya ekonomi dan sosial. Semua hambatan yang
memperkecil kesempatan untuk memperoleh akses tersebut harus dihapus,
sehingga mereka dapat mengambil manfaat dari kesempatan yang ada dan
berpartisipasi dalam kegiatan produktif yang dapat meningkatkan kualitas
hidup.
3. Kesinambungan, akses terhadap sumber daya ekonomi dan sosial harus
dipastikan dapat dinikmati untuk generasi selanjutnya. Semua sumber daya
fisik, manusia, dan lingkungan selalu diperbaharui.
4. Pemberdayaan, penduduk harus berpartisipasi penuh dalam keputusan dan
proses yang akan menentukan kehidupan mereka, serta berpartisipasi dan
mengambil manfaat dari proses pembangunan.
Laporan tahun 1995 mencantumkan paradigma pembangunan manusia yang
mencakup empat komponen, yaitu: produktivitas, persamaan, kesinambungan,
dan pemberdayaan. Paradigma baru ini mengoreksi prinsip dan pendekatan
pembangunan yang berorientasi pada hal-hal berikut :
1. Teori pertumbuhan ekonomi menekankan pertumbuhan ekonomi sebagai
tujuan akhir pembangunan. Pembangunan manusia menekankan bahwa
walaupun pertumbuhan ekonomi sangat perlu bagi pembangunan manusia,
namun pertumbuhan ekonomi hanyalah merupakan suatu faktor atau cara
(means), bukan suatu tujuan (ends) pembangunan. Sejumlah fakta yang
termuat dalam laporan UNDP menunjukkan tidak adanya hubungan yang
otomatik antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kemajuan dalam
pembangunan manusia.
2. Teori-teori formasi modal manusia (human capital formation) dan
pembangunan sumberdaya manusia (human resources development)
memandang manusia sebagai alat untuk meningkatkan pendapatan dan
kekayaan ketimbang menekankan aspek pemberdayaan manusia sebagai
tujuan akhir pembangunan. Teori-teori ini memandang manusia sebagai input
atau faktor produksi yang digunakan untuk meningkatkan produksi. Dengan
demikian, manusia yang tidak atau kurang mampu berproduksi dipandang
sebagai beban. Dalam prinsip pembangunan manusia, tidak dikenal segmen
penduduk yang dianggap sebagai beban dalam pembangunan. Pembangunan
harus dapat menawarkan pilihan-pilihan bagi berbagai segmen penduduk
menurut potensi yang dimiliki dengan memperhatikan kemerdekaan dan
martabat manusia.
3. Pendekatan kebutuhan kesejahteraan manusia (the human welfare need
approach) melihat manusia semata-mata sebagai penerima dalam proses
pembangunan, sedangkan konsep pembangunan manusia menekankan
perlunya memperluas pilihan agar manusia selain dapat menikmati hasil-hasil
pembangunan juga mampu berpartisipasi secara aktif dalam berbagai aspek
pembangunan itu sendiri.
4. Pendekatan kebutuhan dasar (the basic need approach) memusatkan
perhatian pada barang dan jasa yang justru bisa memperluas kesenjangan
kebutuhan antar kelompok penduduk. Pendekatan ini lebih memperhatikan
aspek penyediaan barang dan jasa ketimbang implikasinya terhadap perluasan
pilihan bagi berbagai kelompok penduduk itu.
Konsep pembangunan manusia juga menekankan perlunya kebijakan dan
program yang bersifat segmentatif. Semakin banyak kebijakan-kebijakan khusus
pada segmen-segmen penduduk, semakin berhasilguna kebijakan tersebut.
Misalnya, pengelompokan sasaran pembangunan manusia dapat dilakukan
menurut komposisi umur, jenis kelamin, wilayah, perbedaan pedesaan-perkotaan,
maupun menurut kelompok sosial. Dalam hal ini, Pemerintah dituntut memainkan
peranan yang menentukan dalam mengarahkan proses pembangunan dan jika
perlu melakukan intervensi untuk memastikan bahwa kepentingan pembangunan
manusia terpenuhi. Ukuran peranan Pemerintah dalam hal ini bersifat relatif.
Persoalan adalah fungsi apa yang dimainkan oleh pihak pemerintah dan
bagaimana fungsi itu dilaksanakan, bukan bagaimana besarnya peran pemerintah.
Hal penting lainnya, Pemerintah perlu bermitra dengan pihak swasta, lembaga
swadaya dan organisasi masyarakat, dan lebih-lebih dengan institusi lokal di lini
bawah.
Akhirnya, partisipasi merupakan komponen esensial bagi strategi
pembangunan manusia mengingat ia dapat mengurangi biaya pelayanan publik
serta proyek-proyek investasi dengan mengalihkan pengelolaan dari pemerintah
pusat dan daerah ke institusi lokal di lini bawah (grass root). Sebagai contoh,
pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat, kursus-kursus kebidanan, pos-pos
pelayanan dan distribusi makanan dapat diurus oleh kelompok-kelompok lokal
ketimbang tenaga-tenaga khusus berbiaya tinggi yang seringkali berasal dari luar
wilayah itu. Dalam hal ini partisipasi dapat berfungsi ganda, yakni sebagai tujuan
akhir dan sekaligus cara pembangunan manusia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indikator untuk yang
digunakan untuk menggambarkan sejauh mana suatu wilayah telah menggunakan
sumber daya penduduknya untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia di
wilayah tersebut. Oleh karena itu, mutu pembangunan manusia diukur dengan
menggunakan tiga buah variabel, yakni kemampuan hidup secara fisik yang
mencerminkan keberhasilan dalam kesehatan. Kedua, kemampuan memahami,
menguasai dan memanfaatkan alami lingkungan yang merefleksikan keberhasilan
pengembangan pendidikan. Ketiga, besarnya barang dan jasa yang memberikan
keberhasilan mencipta (BPS, 2008). Adapun penghitungan IPM adalah sebagai
berikut :
IPM = (Indeks X
1+ Indeks X
2+ Indeks X
3Dimana
)
Indeks X
1Indeks X
= Indeks Angka Harapan Hidup
2
Indeks X
= Indeks Pendidikan, yakni (indeks Melek huruf) +
(indeks rata-rata sekolah)
3
= Indeks Konsumsi per kapita yang disesuaikan)
Gambar 2.1 Komponen Indeks Pembangunan Manusia
Nilai IPM suatu negara atau wilayah menunjukkan seberapa jauh negara
atau wilayah itu telah mencapai sasaran yang ditentukan yaitu angka harapan
hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat (tanpa kecuali),
dan tingkat pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang
layak. Semakin dekat nilai IPM suatu wilayah terhadap angka 100, semakin dekat
jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sasaran itu.
IPM mencakup tiga komponen yang merupakan bentuk penyederhanaan
dari realitas yang kompleks dari luasnya dimensi pembangunan manusia. Pesan
dasar IPM perlu dilengkapi dengan kajian dan analisis yang dapat
mengungkapkan dimensi-dimensi pembangunan manusia yang penting lainnya
(tidak seluruhnya dapat diukur) seperti kebebasan politik, kesinambungan
lingkungan, kemerataan antar generasi.
IPM merupakan alat ukur yang peka untuk dapat memberikan gambaran
perubahan yang terjadi, terutama pada komponen daya beli yang dalam kasus
Indonesia sudah sangat merosot akibat krisis ekonomi yang terjadi sejak
pertengahan tahun 1997. Tingkat kesempatan kerja dalam konteks pembangunan
manusia merupakan terputusnya jembatan yang menghubungkan antara
pertumbuhan ekonomi dengan upaya peningkatan kapasitas dasar penduduk.
Dampak dari krisis ekonomi pada pembangunan manusia adalah dengan
menurunnya daya beli dan ini juga berarti terjadinya penundaan upaya
peningkatan kapasitas fisik dan kapasitas intelektual penduduk. Penurunan
beberapa komponen IPM sebagai akibat kepekaan IPM sebagai alat ukur yang
dapat menangkap perubahan nyata yang dialami penduduk dalam jangka pendek.
2.1.4 Konvergensi dalam Teori Pertumbuhan
Teori pertumbuhan lokal memprediksi adanya ambiguitas dalam masalah
pendapatan per kapita dan periode berikutnya. De la Fuente (2000) mempertegas
lagi, teori ekonomi tidak dapat menggambarkan apakah perekonomian suatu
daerah atau wilayah mengalami konvergensi secara pasti. Hal ini terjadi, sebab
banyak faktor penduga yang mempunyai pengaruh disetiap daerah itu berbeda
atau berderajat tidak sama. Teori ekonomi hanya sebatas mengidentifikasi faktor
atau mekanisme yang sangat menentukan besaran arah dan nilai (konvergensi dan
divergensi).
Perbedaan ini dikarenakan tiga mekanisme (De La Fuente, 2000), seperti
yang ada pada model produksi Cobb-Douglas yakni decreasing return to scale,
artinya jika akumulasi modal semakin besar maka produktivitasnya semakin
rendah, disisi lain insentif untuk menabung dan kontribusi investasi pertumbuhan
investasi akan turun. Hal ini bila dibiarkan dalam jangka panjang akan cenderung
melambankan pertumbuhan ekonominya, seperti yang dialami sejumlah negara
industri, dimana salah satu solusinya adalah relokasi industri. Kedua, kemajuan
teknologi bisa mempunyai pengaruh yang bertolak belakang, disisi lain teknologi
apabila perbedaan intensitas daerah dalam mengadopsi teknologi baru maka
pertumbuhan ekonomi jangka panjangnya akan berbeda, teknologi bisa menjadi
penyebab divergensi sebaliknya mengacu pada asumsi neoklasik yang
mengatakan preferensi teknologi setiap daerah atau negara sama maka faktor
teknologi bisa menjadi pendorong konvergensi. Ketiga, perubahan struktural atau
relokasi faktor produksi antar sektor (Caselli dan Coleman, 1999), biasanya setiap
daerah atau negara dapat dikatakan kelompok negara maju atau miskin, bisa
dilihat sektor mana yang paling banyak penduduknya terkonsentrasi, pertanian
atau industri. Semakin besar dominasi atau tingkat ketergantungan terhadap sektor
pertanian maka daerah atau negara tersebut cenderung miskin dan sebaliknya, bila
negara ekonominya peran sektor industri besar maka negara tersebut cenderung
lebih maju.
Namun dalam perkembangannya, pendapat optimis dipaparkan oleh kaum
neoklasik akan terjadinya konvergensi pendapatan, mendorong langkah untuk
mencari alternatif penjelas lainnya dalam rangka membangun teori pertumbuhan
yang baru. Sejumlah pencetus pertumbuhan endogen membuat pernyataan adanya
kemungkinan non decreasing return to scale terhadap modal, serta memasukkan
unsur teknologi sebagai faktor endogen dan bisa terjadi tingkatan variasi antara
daerah sekaligus merefeleksikan perbedaan struktural. Berkaitan dengan
pendapatan tersebut, teori ini tidak menutup kemungkinan adanya disparitas
pendapatan semakin meningkat (Pritchett, 1997) tidak seperti diperkirakan oleh
kaum neoklasik. Bahkan Grier dan Grier (2007) menambahkan kendati model
neoklasik bisa menjelaskan divergensi pendapatan, bisa saja terjadi selama
variabel yang menentukan dalam steady state juga mengalami hal serupa. Justru
divergensi pendapatan di suatu negara bisa terjadi walaupun didukung oleh
kebijakan konvergensi yang kuat. Kontradiksi inilah yang tidak mampu dijelaskan
Kaum Neoklasik, kecuali jika asumsi adanya variasi sistematis kemajuan
teknologi antar negara tidak sama, yang tercermin dari alokasi anggaran untuk
penelitian dan pengembangan, pembangunan sektor keuangan serta keterlibatan
lembaga yang mengawasi divergensi perekonomian daerah atau negara. Konsep
awalnya berdasarkan Model Pertumbuhan Neoklasik, yang bertujuan melihat
apakah konvergensi IPM terjadi atau divergensi, serta seberapa cepat konvergensi
IPM di Provinsi Banten, tentunya dengan menggunakan variabel yang sudah
ditetapkan sebelumnya, yakni tingkat pertumbuhan PDRB Kabupaten dan Kota,
tingkat kepadatan penduduk per km
2Model yang digunakan merupakan diadaptasi dari aplikasi oleh Lall dan
Yilmaz (2000) untuk kasus antar negara bagian di Amerika Serikat. Variabel
penjelasnya dalam model konvergensi Rapport (1999) hampir serupa hanya
disagregasi komponen lokal di Amerika Serikat lebih terperinci. Sedangkan
model persamaan yang dikembangkan oleh Haryanto (2001) adalah
, share sektor jasa terhadap PDRB.
LY
o_t= α
o+ α
1LY
oYang digunakan untuk mencari unconditional atau absolute β convergence
(konvergensi absolut), yakni
... (3)
LY
o_
t= tingkat pertumbuhan per kapita atau
y
ity
= PDRB per kapita pada tahun t
io
LY
= PDRB per kapita awal
o
= log Y
α
o ioα
= intersept persamaan
1
= koefisien estimasi LY
oatau
β = kecepatan konvergensi
Selanjutnya modelnya dikembangkan oleh Haryanto (2001) berdasarkan
data yang dipilih variabel penjelas adalah bentuk administrasi (kabupaten atau
kota) perlu dibedakan karena wilayah perkotaan dari segi pendapatan, tingkat
pendidikan jumlah tenaga kerja terampil dan dukungan infrastruktur yang relatif
lebih baik ketimbang kabupaten, sebaliknya tingkat pertumbuhan dan jumlah buta
huruf lebih tinggi dibanding masyarakat perkotaan. Namun hal tersebut kemudian
diubah karena hasil kurang baik diganti dengan tingkat kepadatan penduduk per
km
2Pertumbuhan PDRB Per Kapita turut dijadikan faktor berpengaruh karena
pastinya mempunyai kontribusi yang cukup penting dalam pertumbuhan IPM itu
sendiri. Begitu pula dominasi sektor penggerak perekonomian juga turut
menentukan, seperti yang ditemukan oleh Cashin dan Sahay (1996) wilayah yang
perekonomiannya didominasi oleh sektor industri dan jasa biasanya lebih cepat
pembangunannya dari wilayah yang secara tradisional sektor pertanian sebagai
lapangan pekerjaan masyarakat di wilayah tertentu. Berikut adalah model
modifikasi dari Gama (2008) dan Noorbakhsh (2004)
. Hal ini cukup beralasan karena kebetulan Kabupaten Tangerang mempunyai
karakteristik yang hampir mirip dengan perkotaan dan kondisi perekonomiannya
Dalam dokumen
Convergence Human Development Index in Banten Provence.
(Halaman 103-154)