• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Kepadatan Spora

Hasil penghitungan kepadatan spora di lapangan (jumlah spora per 50 gram tanah) berdasarkan tingkat salinitas tanah dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar 2 tampak

bahwa kepadatan spora di lapangan meningkat sejalan dengan menurunnya kadar salinitas tanah. Kepadatan spora terendah di lapangan ditemukan pada tingkat salinitas 15,5 mS/cm (10 spora) dan tertinggi pada tingkat salinitas 2,5 mS/cm (129 spora).

10 17 23 30 36 60 78 84 97 129 15.5 13.5 10.0 8.5 8.0 7.5 4.0 3.5 3.0 2.5 0 20 40 60 80 100 120 140 K epa da ta n S p ora ( pe r 50 g t an ah ) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 T in g k at S al in it as ( m S /c m )

Kepadatan Spora (per 50 g tanah) Tingkat Salinitas

Gambar 2 : Jumlah Spora di Lapangan Berdasarkan Tingkat Salinitas Tanah Dari data di atas dapat dikatakan bahwa tingginya salinitas tanah ini berpengaruh negatif terhadap kepadatan spora FMA. Terjadinya penurunan salinitas tanah menghasilkan peningkatan kepadatan spora FMA sepanjang jalur pengamatan. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ragupathy dan Mahadevan (1991) yang mempelajari pengaruh gradien salinitas terhadap distribusi FMA di Kodikkarai Reserve Forest, Tamil Nadu, India dan secara tegas menyatakan bahwa salinitas menekan pembentukan spora FMA. Pada hasil penelitiannya ini diperoleh data bahwa penurunan tingkat salinitas tanah dari 7,0 mmho/cm menjadi 2,0 mmho/cm menghasilkan peningkatan kepadatan spora antara 51–1.052 spora per 100 gram tanah. Hasil penelitian yang sama juga diperoleh Kim dan Weber (1985) serta Delvian (2003) yang mempelajari

keanekaragaman cendawan mikoriza arbuskula di Hutan Pantai Cagar Alam Leuweung Sancang, Pameungpeuk Kabupaten Garut. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kepadatan spora meningkat sejalan dengan menurunnya salinitas tanah. Secara umum

Brundrett et al. (1996) menyimpulkan bahwa salinitas merupakan salah satu faktor tanah

yang menyebabkan kurangnya spora FMA di tanah disamping faktor pH tanah, kekeringan, pencucian, atau iklim yang ekstrim, dan kehilangan lapisan tanah bagian atas, atau kurangnya tanaman inang.

Peningkatan jumlah spora yang selalu diikuti dengan turunnya tingkat salinitas tanah ini disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu tingkat salinitas tanah dan tanaman

inang (Johnson-Green et al., 1995; Siguenza et al., 1996). Dimana salinitas tanah dapat

mempengaruhi setiap tahapan perkembangan FMA, mulai dari perkecambahan spora (Hirrel, 1981) sampai tahapan pembentukan spora baru (Pacioni, 1986). Penundaan atau penghambatan fase perkecambahan spora akibat tingginya konsentrasi garam terlarut dalam larutan tanah menunda atau menghambat pertumbuhan hifa sehingga pada akhirnya menunda kolonisasi akar tanah dan pembentukan simbiosis (Juniper dan Abbott, 1993). Penundaan itu akhirnya akan mempengaruhi proses pembentukan spora dan jumlah spora yang dihasilkan.

Kondisi salinitas tanah juga sangat mempengaruhi tingkat ketersediaan air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang pada akhirnya juga mempengaruhi perkembangan FMA yang terdapat pada perakaran tanaman sebagai simbionnya. Terdapat beberapa penelitian tentang pengaruh ketersediaan air terhadap sporulasi FMA, antara lain Sieverding dan Toro (1988) yang melaporkan bahwa, sporulasi sejumlah FMA menurun akibat kekurangan air. Mereka mempelajari pengaruh regim air tanah terhadap

pertumbuhan tanaman Cassava yang diinokulasi dengan 7 jenis FMA yang berbeda. Terdapat 2 perlakuan air: yaitu basah, dimana tanah dipertahankan pada kapasitas lapangan ( kadar air 33%), dan kering, dimana pot diairi sampai kapasitas lapangan, lalu kadar airnya menurun sampai 15% dan kemudian diairi kembali sampai kapasitas lapang. Jumlah total spora yang terbentuk dari semua jenis FMA yang digunakan secara

signifikan akan menurun pada kondisi kering, kecuali pada Scutellospora heterogama

yang relatif meningkat dengan perlakuan pengeringan. Hal ini terjadi karena perlakuan kering akan menurunkan produksi bahan kering tanaman, maka produksi spora FMA juga akan menurun.

Selain mempengaruhi kepadatan spora, tingkat salinitas tanah juga mempengaruhi keanekaragaman spora FMA yang ditemukan (Tabel 2). Hasil identifikasi di lapangan menunjukkan bahwa secara umum penurunan tingkat salinitas tanah menghasilkan

peningkatan keanekaragaman spora FMA, dimana jenis Glomus sp. 2 dan Glomus sp. 4

merupakan jenis spora yang mempunyai daerah penyebaran pada tingkat salinitas yang lebih luas. Berdasarkan pengamatan spora di lapangan dijumpai 10 jenis spora FMA,

yang mana kesemuanya adalah Glomus sp. Jenis-jenis lainnya seperti Acaulospora sp.,

Gigaspora sp., Scutellospora sp dan Enthrospora sp tidak dijumpai pada pengamatan

Tabel 2. Keanekaragaman spora FMA yang Ditemukan dari Lapangan Berdasarkan Tingkat Salinitas Tanah.

No. Salinitas mS/cm Nama Jenis

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15,5 13,5 10,0 8,5 8,0 7,5 4,0 3,5 3,0 2,5

Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5

Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7

Glomus sp. 2, Glomus sp. 5, Glomus sp. 8, Glomus sp. 9

Glomus sp. 2, Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 7,

Glomus sp. 9

Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7

Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7,

Glomus sp. 10

Glomus sp. 1, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6,

Glomus sp. 7

Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 3, Glomus sp. 4,

Glomus sp. 7, Glomus sp. 10

Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5,

Glomus sp. 6, Glomus sp. 10

Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5,

Glomus sp. 6, Glomus sp. 7, Glomus sp. 8

Penurunan jumlah jenis spora FMA pada tingkat salinitas tanah yang tinggi, diduga berhubungan dengan toleransi setiap jenis FMA terhadap tingkat salinitas tanah (Flower

et al., 1997). Toleransi FMA terhadap salinitas tanah ditentukan oleh kemampuan setiap

jenis untuk melakukan osmoregulasi atau penyesuaian osmotik agar potensial osmotik dalam sel FMA lebih rendah dari pada larutan tanah.

Hasil pengamatan dari kultur pemerangkapan (trapping) menunjukkan bahwa kepadatan dan keanekaragaman spora meningkat dibandingkan spora di lapangan,

mempunyai daerah penyebaran pada tingkat salinitas yang lebih luas. Hasil penghitungan

kepadatan spora dan keanekaragaman spora hasil trapping (jumlah dan keanekaragaman

spora per 50 gram tanah) berdasarkan tingkat salinitas tanah dapat dilihat pada Gambar 3 dan Tabel 3. 15 23 37 54 74 106 125 131 145 177 15,5 13,5 10,0 8,5 8,0 7,5 4,0 3,5 3,0 2,5 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 K ep ada ta n S por a ( p er 50 g ta na h ) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 T ingk at S al ini ta s ( m S /c m )

Kepadatan Spora (per 50 g tanah) Tingkat Salinitas

Gambar 3 : Jumlah Spora Hasil Trapping Berdasarkan Tingkat Salinitas Tanah

Dari Gambar 3 di atas tampak bahwa kepadatan spora hasil trapping meningkat

sejalan dengan menurunnya kadar salinitas tanah. Hasil trapping menunjukkan bahwa jumlah kepadatan spora terendah hasil trapping ditemukan pada tingkat salinitas 15,5 mS/cm (15 spora / 50 g tanah) dan tertinggi pada tingkat salinitas 2,5 mS/cm (177 spora / 50 g tanah).

Tabel 3. Keanekaragaman spora FMA Hasil Trapping Berdasarkan Tingkat Salinitas tanah

No. Salinitas Nama Jenis

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15,5 13,5 10,0 8,5 8,0 7,5 4,0 3,5 3,0 2,5

Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 17, Glomus sp. 26

Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7, Glomus sp. 26, Acaulospora sp. 2

Glomus sp. 2, Glomus sp. 5, Glomus sp. 8, Glomus sp. 9, Glomus sp. 21, Glomus sp. 22

Glomus sp. 2, Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 7, Glomus sp. 9, Glomus sp. 24

Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7, Glomus sp. 18, Glomus sp. 25

Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 7, Glomus sp. 10, Glomus sp. 18, Glomus sp. 24

Glomus sp. 1, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7, Glomus sp. 13, Glomus sp. 18, Glomus

sp. 19, Glomus sp. 20, Acaulospora sp. 1

Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 3, Glomus sp. 4, Glomus sp. 7, Glomus sp. 10, Glomus sp. 14, Glomus

sp. 15, Glomus sp. 16, Glomus sp. 18, Glomus sp. 21,

Acaulospora sp. 1

Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6, Glomus sp. 10, Glomus sp. 11, Glomus

sp. 12, Glomus sp. 17, Glomus sp. 18, Glomus sp. 26,

Acaulospora sp. 1

Glomus sp. 1, Glomus sp. 2, Glomus sp. 4, Glomus sp. 5, Glomus sp. 6, Glomus sp. 7, Glomus sp. 8, Glomus

sp. 18, Glomus sp. 20, Glomus sp. 23, Glomus sp. 24,

Meningkatnya jumlah dan keanekaragaman spora hasil trapping diduga karena

FMA dari lapangan banyak yang belum bersporulasi sehingga dengan dilakukannya trapping, diharapkan FMA yang ada akan bersporulasi sehingga akan terbentuk keanekaragaman dan jumlah FMA yang lebih banyak serta data yang diperoleh juga lebih akurat. Menurut Delvian (2006 b) pada kondisi basah atau banyak hujan umumnya persentase kolonisasi meningkat dan pembentukan spora baru berkurang. Hal ini disebabkan karena kelembaban tanah yang tinggi pada kondisi basah akan merangsang keberadaan dan keanekaragaman FMA serta terbentuknya kolonisasi dengan tanaman inang. Sebaliknya pada kondisi kering atau sedikit hujan pembentukan spora baru akan meningkat dan persentase kolonisasi akan menurun. Kondisi kering akan merangsang pembentukan spora yang banyak sebagai respon alami dari FMA serta upaya untuk mempertahankan keberadaannya di alam.

Pada identifikasi hasil trapping dijumpai 28 jenis spora FMA. Dua puluh enam jenis

spora diantaranya merupakan genus Glomus sp dan 2 jenis spora merupakan genus

Acaulospora sp. Jenis-jenis mikoriza lainnya seperti Gigaspora sp., Scutellospora sp dan

Enthrospora sp tidak dijumpai pada pengamatan tipe spora hasil trapping. Identifikasi ini

dilakukan berdasarkan perbedaan ciri, karakteristik morfologi (bentuk ketebalan dinding sel, ada tidaknya sublending hifa, kehalusan permukaan) dan reaksi spora terhadap pewarna melzers.

Keanekaragaman karakteristik spora FMA yang ditemukan di lapangan ditampilkan pada Tabel 4 dan keanekaragaman karakteristik spora FMA yang ditemukan hasil trapping ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 4. Keanekaragaman dan karakteristik spora FMA yang ditemukan di lapangan

No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s

1

Glomus sp-1

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

2

Glomus sp-2

Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 3 Glomus sp-3 Spora lonjong, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

4

Glomus sp-4

Spora bulat, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 5 Spora lonjong, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s

6

Glomus sp-6

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

7

Glomus sp-7

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya agak kasar.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

8

Glomus sp-8

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

9

Glomus sp-9

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

10

Glomus sp-10

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

Tabel 5. Keanekaragaman dan karakteristik spora FMA hasil trapping

No. Spora Karakteristik

Morfologi

Reaksi dengan Melzer’s

1

Glomus sp-1

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

2

Glomus sp-2

Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 3 Glomus sp-3 Spora lonjong, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

4

Glomus sp-4

Spora bulat, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 5 Spora lonjong, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

No. Spora Karakteristik Morfologi

Reaksi dengan Melzer’s

6

Glomus sp-6

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

7

Glomus sp-7

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya agak kasar.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

8

Glomus sp-8

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

9

Glomus sp-9

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

10

Glomus sp-10

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s

No. Spora Karakteristik Morfologi

Reaksi dengan Melzer’s

11

Glomus sp-11

Spora lonjong, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

12

Glomus sp-12

Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 13 Glomus sp-13 Spora lonjong, berwarna kuning kemerahan, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s. 14 Glomus sp-14 Spora lonjong, berwarna kuning keemasan, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

15

Glomus sp-15

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 16 Glomus sp-16 Spora lonjong, berwarna kuning keemasan, permukaannya kasar.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

17

Glomus sp-17

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya agak kasar.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

18

Glomus sp-18

Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

19

Glomus sp-19

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya kasar.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

20

Glomus sp-20

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 21

Glomus sp-21

Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

22

Glomus sp-22

Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya kasar.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

23

Glomus sp-23

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

24

Glomus sp-24

Spora bulat, berwarna coklat, permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

25

Spora bulat, berwarna kecoklatan,

permukaannya halus.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

No. Spora Karakteristik Morfologi Reaksi dengan Melzer’s 26 Glomus sp-26 Spora lonjong, berwarna kuning, permukaannya agak kasar.

Tidak bereaksi dengan pewarna melzer’s.

27

Acaulospora sp-1

Spora bulat, berwarna kuning, permukaannya halus dan membentuk ornamen seperti kulit jeruk.

Bereaksi dengan

pewarna melzer’s terjadi perubahan warna dimana bagian dalam spora berwarna lebih gelap.

28

Acaulospora sp-2

Spora bulat, berwarna kuning kecoklatan, permukaannya kasar dan membentuk ornamen seperti kulit jeruk.

Bereaksi dengan

pewarna melzer’s terjadi perubahan warna dimana bagian dalam spora berwarna lebih gelap.

Dari data keanekaragaman spora yang ditemukan kemudian dihitung frekuensi mutlak dan frekuensi relatif kehadiran setiap genus spora FMA (Koske, 1987). Dari data frekuensi mutlak dan frekuensi relatif di lapangan menunjukkan bahwa hanya mikoriza

dari jenis Glomus sp yang ditemukan di lapangan, sehingga FM dan FR di lapangan

(100% dan 100%), seperti disajikan pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6. Nilai Frekuensi Mutlak (FM) dan Frekuensi Relatif (FR) Kehadiran Suatu Genus FMA di Lapangan

Pengamatan Jenis FMA

FM(%) FR(%)

Glomus 100 100

Dari data frekuensi mutlak dan frekuensi relatif hasil trapping menunjukkan bahwa spora

Glomus mempunyai FM dan FR tertinggi (100% dan 69,8%) yang diikuti oleh

Acaulospora (43,3% dan 30,1%), seperti disajikan pada Tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Nilai Frekuensi Mutlak (FM) dan Frekuensi Relatif (FR) Kehadiran Suatu Genus FMA pada Pengamatan Hasil Trapping

Pengamatan Jenis FMA

FM(%) FR(%)

Glomus 100 69,8

Acaulospora 43,3 30,2

Dari Tabel 6 dan Tabel 7 dapat dikatakan bahwa spora tipe Glomus mempunyai

daerah sebaran yang paling luas dan paling toleran terhadap kondisi salinitas tanah. Hasil ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh banyak peneliti yang melihat bahwa jenis

FMA yang paling banyak ditemukan pada tanah-tanah bergaram tinggi adalah Glomus sp.

(Delvian, 2006; Koske dan Tews, 1987; Koske, 1987; Pond et al., 1984; Allen dan

Cunningham, 1983).

Tingginya frekuensi kehadiran spora FMA genus Glomus ini mungkin berhubungan

dengan spesies Glomus yang sangat banyak dibandingkan jenis lainnya. Dari 172 jenis

FMA yang sudah diidentifikasi diketahui jenis Glomus merupakan jenis yang paling

banyak, diikuti Acaulospora., Scutellospora., Gigaspora., Enthropospora., Archaeospora

dan Paraglomus (INVAM, 2009). Keanekaragaman spesies yang tinggi ini tentu

menghasilkan toleransi yang luas terhadap berbagai faktor lingkungan sehingga daerah penyebarannya lebih luas. Disamping itu Baon (1998) menyatakan tanah yang didominasi oleh fraksi lempung merupakan kondisi yang diduga sesuai untuk

Dokumen terkait