• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Kerangka Teori …

2. Kepala Mukim

a. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan itu sifatnya spesifik, khas, diperlukan bagi satu situasi khusus sebab dalam suatu kelompok yang melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, dan mempunyai suatu tujuan serta peralatan-peralatan yang khusus. Pemimpin kelompok dengan ciri-ciri karakteristik itu merupakan fungsi dari situasi khusus. (Kartini Kartono1994:48)

Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam hubungan

tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. George R. Terry (yang dikutip dari Sutarto, 1998 : 17)

b. Pengertian Kepala Mukim

Berdasarkan Qanun Nomor 4 Tahun 2003 Kepala Mukim atau adalah Kepala Pemerintahan Mukim yang dalam kesatuan masyarakat hukum dalam Kabupaten Gayo Lues yang terdiri atas gabungan beberapa Kampung yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Kepala Mukim.

Dalam pembagian wilayah untuk Kepala Mukim membawahi empat sampai lima desa yang dipimpin oleh kapala mukim. bertugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syariat Islam.

Pernyataan tersebut di perkuat dengan undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 mengakui adanya otonomi yang di miliki oleh Mukim dan Gampong (Desa) dimana Mukim dan Gampong (Desa) yang bersifat administratif yang di bentuk karena pemekaran atau karena pengembayan ataupun karena alasan yang warganya pluralisme, majemuk atau heterogen maka kepada Mukim dan Gampong (Desa) di berikan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat.

c. Mukim sebagai Masyarakat Hukum Adat

Secara juridis lembaga pemerintahan mukim baru diakui kembali keberadaannya sejak tahun 2001 setelah diberlakukannya Undang-Undang tentang

Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam atau tepatnya pada tahun 2003 setelah diundangkannya Qanun Aceh tentang Pemerintahan Mukim. Namun Secara de facto, keberadaan mukim masih cukup eksis dan diakui di seluruh Aceh, sekalipun antara warga masyarakat Aceh terdapat beragam suku dan kultur yang berbeda. (Djuned, 2003: 38)

Suatu masyarakat agar dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat (rechtgemeinschaap), haruslah terpenuhi beberapa syarat sebagaimana sering dikemukakan oleh para ahli dan kemudian ditegaskan pula dalam peraturan perundang-undangan. Syarat dimaksud adalah:

1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap); 2. Kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

3. Wilayah hukum adat yang jelas;

4. Pranata hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan

5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Semua persyaratan di atas dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari di

gampong-gampong di Aceh. Sebagian besar warga kampung masih memiliki ikatan geneologis dengan sesamanya. Sehingga kepedulian dan kebersamaan di kampung

dan juga di dalam suatu kemukiman – terutama yang bermukim bukan di perkotaan –

saling keterikatan bukan hanya dikarenakan solidaritas teritorial, tetapi memang merasa sekaum seketurunan (gemeenschap). Adanya perasaan bersalah atau berdosa jika tidak melayat ke rumah warga kampung yang tertimpa musibah. Begitu juga jika

ada tetangga yang melakukan hajatan (kerje), sejak malam hari hingga selesainya

khanduri tersebut terus membantu dengan segala upaya agar acara dimaksud sukses

dengan tiada kekurangan sesuatu apapun. Bahkan, seringkali pula pihak yang melakukan hajatan melimpahkan sepenuhnya penyelenggaraan khanduri tersebut pada gecik, selaku kepala kampung.

Dalam kehidupan kemukiman di Aceh, masih ditemukan adanya lembaga-lembaga adat beserta perangkat penguasa adatnya. Hingga hari ini masih bisa ditemukan eksistensinya:

1. Lembaga pemerintahan mukim yang diketuai oleh Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi beberapa kampung.

2. Lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh sauderen (terdiri dari

masyarakat) Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga kemukiman

anggota musyawarah kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Kepala Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim.

3. Lembaga musyawarah kampung oleh jema tue adalah para orang tua yang dianggap cerdi,pandai, pemuka masyarakat, alim, ulama, dan tokoh-tokoh adat. anggota musyawarah kampung yang bertugas dan berfungsi memberikan nasihat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada gecik/pengulu dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan kampung.

4. Lembaga keagamaan di kampung dipimpin oleh pegawe, adalah pemimpin dan pembina bidang agama (Islam), yang mengetahui hukum haram, halal, makruh dan mubah yang dianggap paham akan agama.

5. Lembaga pemerintahan kampung dipimpin oleh pengulu/gecik adalah Kepala kampung, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan kampung.

6. Hukum Adat adalah semua aturan adat, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat Kabupaten Gayo Lues, bersifat mengikat dan menimbulkan akibat hukum.

Pada masa Kerajaan Aceh hingga awal kemerdekaan, kemukiman memiliki sistem musyawarah penyelesaian sengketa. Pada masa Sultan Iskandar Muda,

“perkara-perkara kecil biasanya diselesaikan oleh Gecik dengan Mukim dari perkara yang dihadapi maka keputusan di lakukan mukim dengan tanpa vonis yaitu tanpa kalah atau menang karena persengketaan itu diselesaikan secara damai yang disebut dengan hukum kebaikan. Sejak dahulu kala gampong telah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara kecil, pencurian kecil, perkelahian, perkara-perkara sipil yang kecil-kecil yang nilai perkara-perkaranya dapat di atasi dengan hukum kebaikan. Sekarang dengan berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah mulai lagi dilakukan penyelesaian perkara secara adat di kampung-kampung dan bahkan sampai pada tingkat kemukiman. Kini malah sistem penyelesaian sengketa secara adat telah mendapat pengaturannya yang cukup tepat di dalam satu bab tersendiri pada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat.

d. Mukim Sebagai Pemerintahan Resmi

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa hirarkhi peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, adalah :

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden, dan 5. Peraturan daerah (atau qanun)

Keberadaan Pemerintahan Mukim sekarang telah diatur secara cukup jelas dan tegas dalam Undang-Undang dan Qanun. Yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pada Bab XV dengan judul Mukim dan Gampong. Dan sebagai penjabaran atau peraturan pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah pula diundangkan Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

Bahkan di dalam Pasal 3 qanun tersebut dinyatakan bahwa Mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam. Dengan

telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan apalagi dengan cara cukup eksplisit – dalam peraturan perundang-undangan (UU dan Qanun), maka keberadaannya telah mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran

sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal.

e. Wewenang dan Fungsi Kepala Mukim

Wewenang adalah hak yang dimiliki seseorang atau badan hukum yang dimana dengan hak tersebut seseorang atau badan hukum dapat memerintah atau menyuruh untuk berbuat sesuatu.

Berdasarkan Qanun nomor 2 tahun 2012 pasal 3 tentang Kewenangan Mukim Mukim:

a. Melindungi adat dan adat istiadat, membina dan meningkatkan kualitas

pelaksanaan Syari’at Islam;

b. Mengkoordinasikan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan kampung;

c. Melaksanakan tugas yang dilimpahkan oleh Camat;

d. Di bidang pertanahan dapat menjadi saksi dalam proses perbuatan hukum pemindahan/peralihan hak atas tanah dan hak milik satuan rumah susun yang dilakukan oleh dan/atau dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, sepanjang memenuhi syarat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e. Terlibat dalam proses perencanaan dan pengembangan kawasan kampung dalam wilayah kemukiman yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak ke tiga;

Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya kekuasaan dan wewenang yang dimiliki maka Mukim merupakan suatu lembaga pemerintahan di Provinsi Aceh yang mempunyai kekuatan hukum serta mempunyai tugas dalam pelayanan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan dalam lingkungan masyarakat di dalam suatu Gampong (Desa).

Mukim memiliki Fungsi dalam penyelenggaraan pemerintah diantaranya Fungsi Mukim adalah:

a. penyelenggaraan pemerintahan baik berdasarkan azas desentralisasi, dekonsentrasi dan urusan tugas pembantuan serta segala urusan pemerintahan lainnya;

b. pelaksanaan pembangunan baik pembangunan ekonomi, pembangunan fisik maupun pembangunan mental spritual;

c. pembinaan kemasyarakatan di bidang pelaksanaan Syari’at Islam, pendidikan,

peradatan, sosial budaya, ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. peningkatan percepatan pelayanan kepada masyarakat;

e. penyelesaian dalam rangka memutuskan dan atau menetapkan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan hukum adat.

Uraian di atas terlihat jelas bahwa Mukim bertanggung jawab dalam mengatasi kesenjangan-kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat dan bagaimana memberikan suatu pelayanan yang menyeluruh kepada masyarakat dalam peranan yang dimiliki sehingga tidak terjadi hal-hal yang melanggar aturan yang telah di tetapkan.

Dokumen terkait