• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Kedudukan Kreditur Dalam Penjaminan Dengan Hak Tanggungan

6. Kepastian tanggal kelahiran Hak Tanggungan ( Pasal 13 Ayat (4) UUHT)

Bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan, yang terpenting adalah berlakunya hak-hak istimewa atau hak mendahului daripada kreditur lainnya untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan benda yang ditunjuk secara khusus sebagai obyek Hak Tanggungan dalam hal debitur cidera janji. Untuk menentukan seorang kreditur adalah preferen terhadap kreditur yang lain, bergantung dari kapan Hak Tanggungannya lahir, dan untuk kesemuanya itu Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan adalah tanggal yang menentukan. Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (4) UUHT, ternyata bahwa Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.

Saat pemberian tanggal buku tanah adalah sangat penting, karena pada saat itu Hak Tanggungan lahir, yang berarti mulainya kedudukan “preference” bagi kreditur, penentuan peringkat Hak Tanggungan, dan berlakunya Hak Tanggungan terhadap

pihak ketiga (pemenuhan asas publisitas). Sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan menyerahkannya kepada pemegang Hak Tanggungan.75 Saat lahirnya Hak Tanggungan tersebut merupakan saat yang penting sehubungan dengan munculnya hak tagih preferen dari kreditur, yang menentukan tingkat atau kedudukan kreditur terhadap sesama kreditur dalam hal ada sita jaminan (conservatoir beslag) atas benda jaminan.76

Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib

75 Maria S.W. Sumardjono, Prinsip Dasar dan Isyu di Seputar UUHT, Jurnal Hukum Bisnis

Volume I Tahun 1997, hlm. 38-39.

76 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, (Bandung:

didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka dibentuklah Undang-Undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.

Hak Tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak pihak pemberi Hak Tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap barang jaminan. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.77 Adapun beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan adalah:

1. hak tanggungan yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah sebagai yang dimaksud oleh UUPA;

2. berikut atau tidak berikut dengan benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;

3. untuk pelunasan utang tertentu;

77

4. memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur yang lain.

Adapun ciri-ciri Hak Tanggungan adalah:

a. droit de prefenrence (Pasal 1 angka 1 dan pasal 20 ayat (1) UUHT); b. droit de suite (Pasal 7 UUHT);

c. memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas;

d. asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan Akta Pemberian Hak Tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan didaftarkannya Hak Tanggungan pada kantor pertanahan setempat (pasal 13 UUHT);

e. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya;

f. objek Hak Tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi Hak Tanggungan sebelum kreditur pemegang Hak Tanggungan mengambil pelunasan dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan (pasal 21 UUHT).

Sementara itu, adapun sifat-sifat dari Hak Tanggungan antara lain, yaitu: 1) Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 UUHT)

Meskipun sifat Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, artinya Hak Tanggungan membenani obyek secara utuh, namun sifat ini tidak berlaku mutlak dengan pengecualian dimungkinkan untuk roya partial, sepanjang diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);

2) Bersifat accessoir atau perjanjian buntutan/ikutan, maksudnya perjanjian jaminan utang atas hak tanggungan tidak berdiri sendiri karena ikut pada perjanjian pokok

yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka otomatis perjanjian accessoir menjadi hapus pula.

Objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 51 UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat yakni dapat dinilai dengan uang, harus memenuhi syarat publisitas, mempunyai sifat droit de suite apabila debitur cidera janji, serta memerlukan penunjukkan menurut undang-undang.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Dijadikannya hak pakai sebagai obyek Hak Tanggungan merupakan langkah maju dalam hukum pertanahan kita juga bagi warga Negara asing menjadi pemegang hak pakai atas tanah Negara yang bila hak tersebut akan dijadikan jaminan disertai persyaratan bahwa modal yang diperoleh harus dipergunakan untuk kegiatan pembangunan di Indonesia. Pengawasan pemerintah terhadap WNA dalam pencapaian tujuan tersebut masih susah untuk dilaksanakan karena memang tidak ada penjabaran lebih lanjut dari maksud ketentuan persyaratan tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, pada Pasal 12 ayat (1) ditegaskan: “Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan atau kesatuan dengan tanah tersebut dapat

dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotik, jika tanahnya tanah milik atau hak guna bangunan. Kemudian dibebani fiducia, jika tanahnya hak pakai atau tanah negara, namun dengan keluarnya UUHT maka hak pakai tidak lagi dibebankan dengan fiducia tetapi dengan Hak Tanggungan (Pasal 27 UUHT). Selain obyek Hak Tanggungan seperti tersebut di atas, UUHT juga membuka kemungkinan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah berikut bangunan dan tanaman yang ada diatasnya (Pasal 4 ayat (4)), sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Bangunan dan tanah yang bersangkutan merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dan bangunan tersebut melekat pada tanah yang bersangkutan;

2. Pembebanannya dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);

3. Ketentuan pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut di atas sebagai konsekuensi dari penerapan asas pemilikan secara horizontal yang diambil dari hukum adat.

Hak Tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitur dan kreditur. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditur dan debitur, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitur, jangka waktu pengembalian kredit maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan Hak Tanggungan. Oleh karena Hak Tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya Hak Tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.

Kredit yang diberikan oleh kreditur mengandung resiko, maka dalam setiap pemberian kredit, bank tidak diperkenankan memberikan kredit tanpa ada suatu

perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitur melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Di dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitur dan kreditur) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban. Suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut yakni sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.78

Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan Hak Tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditur dan debitur, yang meliputi hak kreditur untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (obyek Hak Tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitur cidera janji.

Kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari

78 Subekti, R, Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 29.

penjualan tersebut. Kemudian Hak Tanggungan juga tetap membebani obyek Hak Tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit de suite).

Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur maka kreditur dapat mengajukan action pauliana yaitu hak dari kreditur untuk membatalkan seluruh tindakan kreditur yang dianggap merugikan. Dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditur tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitur atau kelalaian debitur.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam perjanjian tanggungan seorang kreditur diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditur dapat pula mengajukan actio paulina (suatu gugatan atau tuntutan hukum yang diajukan kreditur untuk membatalkan atau menyatakan batal segala perbuatan curang debitur yang merugikan pihak kreditur) dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh debitur tanpa izin kreditur.79

Dokumen terkait