• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI KREDITUR A. Alasan-Alasan Diberikannya Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Kredit Yang Diberikannya Dengan Jaminan Hak Tanggungan - Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggunga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BANK SEBAGAI KREDITUR A. Alasan-Alasan Diberikannya Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Kredit Yang Diberikannya Dengan Jaminan Hak Tanggungan - Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Konflik Alas Hak dari Hak Tanggunga"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

A. Alasan-Alasan Diberikannya Perlindungan Hukum Terhadap Bank Atas Kredit Yang Diberikannya Dengan Jaminan Hak Tanggungan

Salah satu produk yang diberikan oleh Bank dalam membantu kelancaran usaha debiturnya adalah dengan pemberian kredit, dimana hal ini merupakan salah satu fungsi Bank yang sangat mendukung pertumbuhan ekonomi. Istilah kredit bukan merupakan hal yang asing dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, karena sering dijumpai pada anggota masyarakat yang melakukan jual beli barang secara kredit. Jual beli tersebut tidak dilakukan secara tunai (kontan) tetapi dengan cara mengangsur. Masyarakat pada umumnya mengartikan kredit sama dengan utang, karena setelah jangka waktu tertentu mereka harus membayar lunas.

Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang berarti kepercayaan akan kebenaran dan apabila dihubungkan dengan Bank, maka terkandung pengertian bahwa pihak Bank selaku kreditur memberikan kepercayaan untuk meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah atau debitur, karena debitur dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan.43 Dalam pengertian yang lebih luas, kredit dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melaksanakan suatu pemberian atau mengadakan suatu pinjaman

(2)

dengan suatu janji pembayarannya akan dilakukan pada jangka waktu yang telah disepakati.

Berdasarkan pengertian kredit di atas, maka intisari pengertian kredit menurut penulis adalah adanya unsur kepercayaan serta pertimbangan untuk saling tolong-menolong. Selain itu, dilihat dari pihak kreditur, unsur penting dalam kegiatan kredit sekarang ini adalah untuk mengambil keuntungan dari modal dengan mengambil kontraprestasi, sedangkan dipandang dari segi debitur, adanya bantuan dari kreditur untuk menutupi kebutuhan berupa prestasi. Hanya saja antara prestasi dan kontraprestasi terdapat suatu masa yang memisahkannya dan kondisi semacam ini mengakibatkan adanya risiko berupa ketidaktentuan, sehingga diperlukan suatu jaminan dalam pemberian kredit tersebut.

Kredit pada awal perkembangannya mengarahkan fungsinya untuk merangsang kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur guna pencapaian tujuan dalam pemenuhan kebutuhan baik dalam bidang usaha maupun untuk kebutuhan sehari-hari. Pihak yang memperoleh kredit (debitur) harus dapat menunjukkan prestasi yang lebih tinggi pada kemajuan usahanya tersebut, atau mendapatkan pemenuhan atas kebutuhannya, sedangkan bagi pihak pemberi fasilitas kredit (kreditur), secara material harus mendapatkan rentabilitas berdasarkan perhitungan yang wajar dari modal yang dijadikan objek kredit, dan secara spiritual mendapatkan kepuasan karena dapat membantu pihak lain untuk mencapai kemajuan.

(3)

Bagi pihak debitur dan kreditur sama-sama memperoleh keuntungan dan mengakibatkan tambahan penerimaan negara dari pajak, serta membawa dampak kemajuan ekonomi yang bersifat mikro maupun makro.

Pemberian kredit yang dilakukan oleh Bank sebagai suatu lembaga keuangan, sudah semestinya harus dapat memberikan perlindungan hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam pemberian kredit ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh Bank dalam rangka melindungi dan mengamankan dana masyarakat yang dikelola bank tersebut untuk disalurkan dalam bentuk kredit, yaitu: 1. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential banking

principles);

(4)

prudential banking harus diterapkan secara menyeluruh, sehingga tidak hanya menyangkut masalah pemberian kredit, tetapi dimulai saat Bank tersebut didirikan, penentuan manajemen yang memenuhi uji kecukupan dan kelayakan (fit and proper test) yang tidak bersifat seremonial.

2. Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan;

3. Wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank;

4. Harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat.

Di dalam pemberian kredit telah digunakan prinsip 5 C selama bertahun-tahun dan kenyataannya pada saat ini masih terus dipergunakan, oleh karena prinsip 5 C tersebutlah dijadikan sebagai dasar bagi Bank dalam memberikan kredit kapada nasabahnya. Prinsip ini meliputi:44

1. Character (watak)

Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur, curang ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu memperhatikan faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan selalu mencari jalan untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence menjalankan bisnis tidak diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan

(5)

buruk, dan hasilnya kredit akan mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak ingin membayar kembali kreditnya, kemungkinan ia akan mencari jalan untuk menghindari membayar kembali. Untuk itu, penilaian karakter debitur harus ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk mendapatkan pinjaman. 2. Capacity (Kemampuan)

Dalam menentukan karakter, debitur harus mampu menunjukkan kepada Bank bahwa ia adalah orang yang jujur dan dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan track record dari yang bersangkutan. Tentu saja untuk melakukan hal ini sangat sulit. Di Australia informasi semacam itu dapat didapatkan pada biro kredit, seperti Credit Reference Association of Australia, Ltd. (“CRAA”). CRAA mengelola database yang berisi data kredit baik perorangan maupun perusahaan yang ada di Australia, yang memuat berbagai informasi dari kredit yang telah diajukan, pembayaran yang telat dan juga putusan pengadilan yang berhubungan dengan kredit macet. Lembaga keuangan yang menjadi anggota CRAA berhak untuk untuk mendapatkan informasi tentang si peminjam, dan sebagai imbalannya, mereka harus menyediakan informasi dari pinjaman yang akan diajukan. Di Indonesia informasi tentang nasabah dapat diperoleh melalui sistem informasi kredit yang dimiliki Bank Indonesia, istilah kalangan perbankan dikatakan BI Checking.45 Namun karena tidak adanya system “kenal diri” yang berlaku nasional sehingga seorang dapat memiliki identitas diri lebih dari satu informasi itu seringkali tidak akurat.

(6)

BI Checking yang dimaksud adalah fasilitas yang sangat berguna sekali bagi para kreditur, dalam hal ini bisa saja Bank Umum atau BPR atau BPR Syariah dan juga Lembaga Keuangan Non Bank lain yang mendaftarkan badan usahanya ke Bank Indonesia sebagai peserta Pelapor Informasi Debitur dan berhak juga untuk meminta BI Checking. BI Checking sendiri sebenarnya adalah berupa Informasi Debitur Individual yang bersumber dari laporan para Bank Pelapor berisikan: a. Data identitas dan pendukung dari Debitur yang menjadi nasabahnya;

b. Data informasi kredit atau pembiayaan yang diterima oleh nasabah tersebut berisikan sejarah pencairan, besarnya pencairan, awal kredit dan jatuh temponya, serta yang lebih penting lagi adalah riwayat angsuran yang telah terjadi;

c. Data informasi jaminan atau agunan yang disertakan dalam kredit;

d. Data informasi neraca dan pengurus bagi Debitur yang berbentuk badan usaha seperti PT atau CV dan Koperasi.

3. Capital (Modal)

(7)

4. Conditions

Conditions dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan kondisi eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur untuk mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun kontrak yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga. Bank berhak mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu Bank menilai resiko dari pinjaman, tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang diperlukan. Bank tidak memberikan kredit untuk tujuan yang illegal misalnya memberikan kredit untuk tujuan yang dapat membahayakan lingkungan.

5. Collateral (agunan)

Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit macet. Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan. Kesulitan Bank dalam melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C sebagaimana dikemukakan di atas dapat diantisipasidengan adanya skim penjaminan atau skim asuransi kredit. Dengan adanya skim tersebut maka Bank lebih mudah menilai risiko kredit yang diberikannya.

(8)

Di dalam rangka pencapaian tujuan ekonomi, maka kredit yang diberikan harus dengan jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang salah satunya adalah membuat perjanjian kredit yang berfungsi memberi batasan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tersebut. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang diikuti dengan perjanjian penjaminan sebagai perjanjian tambahan. Keduanya dibuat secara terpisah, namun kedudukan perjanjian penjaminan sangat tergantung dari perjanjian pokoknya. Hal ini perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada pihak kreditur, sehingga apabila debitur wanprestasi maka kreditur tetap mendapatkan hak atas piutangnya.

Berkaitan dengan jaminan hak tanggungan terhadap kredit yang diberikan oleh kreditur, maka hak tanggungan itu sendiri lahir dengan didahului oleh suatu bentuk perjanjian dasar atau perjanjian pokok yaitu perjanjian utang-piutang antara debitur dengan kreditur. Hubungan hukum antara debitur dan kreditur adalah hubungan perikatan yang sumbernya adalah perjanjian utang piutang, yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban secara timbal balik diantara para pihak. Yang dimaksud dengan hak dan kewajiban secara timbal balik, yaitu:

1. Hak debitur : Menerima uang pinjaman; 2. Kewajiban kreditur : Menyerahkan uang; 3. Hak kreditur : Hak tagih;

(9)

Setelah jangka waktu yang ditetapkan oleh debitur dan kreditur untuk melunasi utang terlewati, maka kreditur hanya dapat menagih utang tersebut kepada debitur tertentu saja. Hal ini menimbulkan hak pribadi yaitu hak menagih kreditur kepada debitur tertentu. Bukan pada debitur lain karena suatu perjanjian hanya mengikat pihak yang membuatnya sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1315 KUHPerdata dan Pasal 1340 KUHPerdata. Dimana dalam kedua pasal tersebut dijelaskan, bahwa apabila debitur wanprestasi maka kreditur melakukan penyitaan terhadap harta debitur. Hal ini didasarkan pada Pasal 1131 KUHPerdata, mengenai jaminan yang bersifat umum. Jaminan umum mengandung pengertian bahwa semua harta benda milik debitur menjadi jaminan bersama-sama bagi semua krediturnya. Hasil dari penjualan tersebut akan dibagi-bagikan menurut besar kecilnya tagihan (piutang) masing-masing kreditur. Dalam prakteknya sering kreditur merasa tidak puas dengan jaminan secara umum tersebut karena tidak banyak memberikan banyak keistimewaan bagi kedudukan kreditur terutama dalam hal ini Bank sebab mempunyai posisi yang sama dengan kreditur lainnya.46

Jaminan hutang sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 1131 KUHPerdata tersebut memiliki kelemahan, yaitu kalau hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi semua hutang kepada krediturnya, tiap kreditur akan memperoleh pembayaran sebagian, seimbang dengan jumlah piutang masing-masing.47

(10)

Apabila seluruh atau sebagian harta kekayaan tersebut oleh debitur dialihkan kepada pihak lain, maka harta kekayaan yang telah dialihkan itu bukan lagi merupakan jaminan bagi pelunasan hutang debitur. Oleh karena itu kreditur menghendaki adanya benda-benda tertentu milik debitur yang berguna dikemudian hari apabila debitur tidak menepati janjinya (wanprestasi), maka kreditur mempunyai kepastian dan kemudahan untuk melaksanakan haknya terhadap benda-benda tersebut untuk melakukan penjualan benda tersebut.

Menurut Pasal 1132 KUHPerdata itu dihubungkan pula dengan ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1134 KUHPerdata, maka kreditur yang ditentukan oleh undang-undang yang mempunyai kedudukan yang sama sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1132 KUHPerdata yaitu hak mereka untuk memperoleh pembagian dari hasil penjualan harta kekayaan debitur dalam hal debitur wanprestasi secara seimbang dan proporsional menurut besar kecilnya masing-masing piutang mereka.

(11)

kebendaan lebih luas atau lebih tinggi tingkatannya. Sementara itu, kreditur konkuren adalah kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan. Kreditur ini memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutangnya kepada kreditur pemegang hak jaminan dan para kreditur dengan hak istimewa.48

Pada proses pemberian hak tanggungan, APHT dibuat 2 lembar yang aslinya (in originali), ditandatangani oleh pemberi hak tanggungan yaitu kreditur penerima hak tanggungan dan 2 orang saksi serta PPAT. Dalam pembuatan APHT tidak minut dan tidak juga dibuat salinannya dalam bentuk “grosse”. Lembar pertama akta tersebut disimpan dikantor PPAT, sedangkan lembar kedua dan satu lembar salinannya yang sudah diparaf oleh PPAT untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertipikat hak tanggungan, berikut warkah-warkah yang diperlukan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan. Menurut ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) disebutkan bahwa penyampaian wajib dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah ditandatangani. Penyampaiannya dilakukan dengan cara datang sendiri ke kantor pertanahan atau dikirim dengan pos tercatat ataupun disampaikan melalui penerima hak tanggungan yang bersedia menyerahkannya kepada Kantor Pertanahan.

(12)

Hak Tanggungan merupakan salah satu jenis jaminan kebendaan sebagaimana telah dijelaskan dimuka, meskipun tidak dijelaskan secara tegas adalah jaminan yang lahir dari perjanjian. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan. Selanjutnya, apabila membaca lebih lanjut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dalam rumusan Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 dapat diketahui bahwa pada dasarnya pemberian hak tanggungan hanya dimungkinkan jika dibuat dalam bentuk perjanjian.49

Pemberian hak tanggungan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan rumusan yang menyatakan bahwa: “Untuk sahnya perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat, yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal”.

Sebagai suatu bentuk perjanjian, maka pemenuhan syarat subyektif pemberian hak tanggungan adalah pemenuhan syarat subyektif sahnya perjanjian. Adanya kesepakatan untuk memberikan hak tanggungan. Kesepakatan dalam perjanjian, pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak dua pihak atau lebih dalam perjanjian tersebut, mengenai hal-hal yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, mengenai cara melaksanakannya, mengenai saat pelaksanaan, dan mengenai pihak-pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan hal-hal yang telah disepakati tersebut. Dalam perjanjian pemberian hak tanggungan, dengan hanya disetujuinya pemberian hak

(13)

tanggungan secara lisan oleh pemilik kebendaan yang akan dijaminkan dengan Hak Tanggungan, belum melahirkan perikatan atau prestasi atau kewajiban pada diri pemilik kebendaan, yaitu bahwa kebendaannya yang akan dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut akan dijual untuk melunasi utang debitur yang dijamin tersebut. Pemberian hak tanggungan dengan segala akibat hukumnya, termasuk kewajiban pemberi hak tanggungan untuk “merelakan” agar benda yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut disita, dijual dan selanjutnya hasil penjualan kebendaan dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut agar dipergunakan untuk melunasi utang debitur yang dijamin, baru lahir, dan mengikat pemilik kebendaan yang akan dijaminkan dengan Hak Tanggungan, manakala telah dibuat Akta Pemberian Hak Tanggungan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 10 sub (1) dan (2) Undang-Undang Hak Tanggungan.

(14)

Di dalam perjanjian pemberian jaminan Hak Tanggungan, kreditur tidak berkepentingan terhadap pemberian jaminan kebendaan dalam bentuk Hak Tanggungan tersebut, melainkan terhadap kebendaan yang dijadikan sebagai jaminan kebendaan dalam bentuk Hak Tanggungan tersebut.

Sebagai suatu bentuk perjanjian yang merupakan ikutan terhadap perikatan pokok yang mendahuluinya, sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan bahwa keabsahan dan eksistensi dari Hak Tanggungan yang diberikan dengan perjanjian pemberian hak tanggungan bergantung sepenuhnya pada keabsahan atau eksistensi dari perikatan pokok yang pembayaran utangnya dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut. Jadi tidak mungkin dalam suatu perjanjian pemberian hak tanggungan dapat terjadi kekhilafan mengenai hakikat dari kebendaan yang dijaminkan tersebut, atau yang berhubungan dengan piutang yang dijamin dengan hak tanggungan tersebut. Mengenai eksistensi hak tanggungan dalam hubungannya dengan eksistensi perikatan pokok yang mendasari keberadaan Hak Tanggungan tersebut, dalam Pasal 18 sub (1) butir a Undang-Undang Hak Tanggungan dikatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.

(15)

sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah.50

Wujud dari peran hukum dalam masyarakat adalah memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat yang kepentingannya terganggu. Persengketaan yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum yang berlaku, sehingga dapat mencegah perilaku main hakim sendiri. Tujuan pokok hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, sehingga terwujud kehidupan yang seimbang.

Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan akan merasa aman. Artinya bahwa dalam hal ini bahwa hukum itu sendiri bertujuan agar tercapainya ketertiban dalam masyarakat sehingga diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan

50 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003),

(16)

dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perlindungan hukum dalam arti sempit adalah sesuatu yang diberikan kepada subjek hukum dalam bentuk perangkat hukum, baik yang bersifat preventif maupun represif, serta dalam bentuk yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu ketenteraman bagi segala kepentingan manusia yang ada di dalam masyarakat sehingga tercipta keselarasan dan keseimbangan hidup masyarakat. Sedangkan perlindungan hukum dalam arti luas adalah tidak hanya diberikan kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan dimanfaatkan bersama-sama dalam rangka kehidupan yang adil dan damai.

(17)

1. Droit De Preference

Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan Hak Tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditur dan debitur, yang meliputi hak kreditur untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, jika debitur cidera janji. Dalam mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu (droit de preference).51

2. Droit De Suite

Hak Tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan di tangan siapapun benda tersebut berada. Ketentuan ini berarti, bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (Droit de suite). Apabila seluruh atau sebagian harta kekayaan tersebut telah dipindahkan kepada pihak lain, karena bukan lagi kepunyaan debitur, bukan lagi merupakan jaminan bagi pelunasan piutang krediturnya.52

3. Jaminan Umum Pasal 1131 KUHPerdata

Dua kedudukan istimewa yang ada pada pemegang hak tanggungan tersebut mengatasi dua kelemahan perlindungan yang diberikan secara umum kepada setiap kreditur oleh Pasal 1131 KUHPerdata. Menurut pasal tersebut seluruh harta

(18)

kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya kepada semua krediturnya. Kalau hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi piutang semua krediturnya, tiap kreditur hanya memperoleh pembayaran sebagian seimbang dengan jumlah piutangnya masing-masing.

4. Kepailitan Pemberi Hak Tanggungan

Selain kedudukan istimewa yang disebut di atas, menurut Pasal 21 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, yakni apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, kreditur pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hal yang diperolehnya menurut Undang-Undang Hak Tanggungan. Ini berarti bahwa obyek hak tanggungan tidak termasuk dalam boedel kepailitan, sebelum kreditur mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan benda yang bersangkutan. Yang dinyatakan pailit adalah pemberi hak tanggungan yaitu pihak yang menunjuk harta kekayaannya sebagai jaminan. Pemberi hak tanggungan tidak selalu debitur sebagai pihak yang berutang tetapi bisa juga pihak lain.

5. Hak Tanggungan Tidak Dapat Dibagi-Bagi

(19)

6. Kemudahan dan Kepastian dalam Eksekusi

Keistimewaan lain adalah bahwa Hak Tanggungan itu mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitur cidera janji tidak perlu ditempuh acara gugatan perdata biasa, yang memakan waktu dan biaya. Bagi kreditur pemegang hak tanggungan disediakan acara khusus yang diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996, yaitu menggunakan haknya menjual obyek jaminan hak tanggungan melalui pelelangan umum berdasarkan Pasal 6 atau ditempuh apa yang dikenal sebagai “Parate Executie”.53

7. Kepastian Tanggal Kelahiran Hak Tanggungan

Ketentuan mengenai kepastian tanggal lahirnya Hak Tanggungan yang diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 dan penentuan batas waktunya dilakukannya berbagai perbuatan hukum dalam rangka pembebanan hak tanggungan.

Berkaitan dengan asas-asas tersebut di atas, maka di dalam suatu perjanjian kredit yang dilakukan antara pihak kreditur dan debitur, tidak menutup risiko adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur, sehingga diperlukan jaminan kebendaan guna menjamin pelunasan piutang debitur. Jaminan yang paling banyak digunakan umumnya adalah hak atas tanah yang ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dimana Undang-Undang ini memberikan perlindungan hukum khususnya bagi pemegang hak tanggungan apabila di kemudian hari debitur

(20)

cidera janji atau tidak memenuhi kewajibannya, dan perlindungan hukum yang diberikan tersebut adalah berdasarkan asas-asas sebagaimana diuraikan tersebut di atas.

Kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari penjualan tersebut. Kemudian Hak Tanggungan juga tetap membebani obyek hak tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditur pemegang hak tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit de suite). Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur, maka kreditur dapat mengajukan action pauliana, yakni hak dari kreditur untuk membatalkan seluruh tindakan kreditur yang dianggap merugikan.

B. Perlindungan Negara Yang Diberikan Kepada Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah Sebagai Debitur

(21)

hukum bagi pemegang haknya. Untuk dapat diberikan jaminan kepastian hukum dan legitimasi dari negara, maka setiap penguasaan dan pemanfaatan atas tanah termasuk dalam penanganan masalah pertanahan harus didasarkan pada hukum dan diselesaikan secara hukum (yuris-teknis).

Secara yuridis formal, pengaturan lebih konkrit mengenai pendaftaran tanah dapat ditemukan pada Pasal 19 UUPA yang mengamanatkan kepada pemerintah agar di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pendaftaran tanah, dengan tujuan mencapai kepastian hukum. Sebagai penjabaran lebih lanjut ketentuan ini, diterbitkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan kemudian diperbarui dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dengan pertimbangan penyesuaian dengan tuntutan dan perkembangan akan kepastian hukum hak atas tanah.

(22)

sebaliknya oleh Pengadilan, maka keterangan yang ada dalam sertipikat harus dianggap benar, dengan tidak perlu bukti tambahan sedangkan alat bukti lain tersebut hanya dianggap sebagai alat bukti permulaan dan harus dikuatkan oleh alat bukti yang lainnya.

Dengan demikian, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai macam hak, subyek hak maupun tanahnya. Penerbitan sertipikat dan diberikan kepada yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertipikat adalah sebagai alat pembuktian kepemilikan hak atas tanah.

Hal ini lebih diperkuat lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dalam ketentuan Pasal 32 yang menyebutkan bahwa:

a. Ayat (1) :

Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam Surat Ukur dan Buku Tanah hak yang bersangkutan;

b. Ayat (2) :

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

(23)

sungguhpun sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif bertendensi positif.54 Khususnya pada ayat (2) Pasal 32 tersebut bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama seseorang atau badan hukum lain, jika selama 5 (lima) tahun sejak dikeluarkannya sertipikat itu dia tidak menuntut/mengajukan gugatan pada pengadilan mengenai penguasaan hak atas atau penerbitan sertipikat tersebut. Jadi, sertipikat hak atas tanah adalah salinan buku tanah dan surat ukur tersebut kemudian dijilid menjadi satu dengan sampul yang telah ditetapkan bentuknya, sehingga terciptalah sertipikat hak atas tanah.

Hal-hal yang dapat dibuktikan dalam sertipikat hak atas tanah tersebut adalah: 1. Jenis hak atas tanah;

2. Pemegang hak;

3. Keterangan fisik tentang tanah; 4. Beban di atas tanah;

Jelaslah apabila seseorang memiliki sertipikat hak atas tanah akan merasa terjamin akan kepastian hak atas tanah yang dimiliknya, sebab apabila terjadi pelanggaran atas tanah hak miliknya maka pemilik tanah dapat menuntut haknya kembali.

Di dalam sistem kegiatan perbankan antara debitur dengan kreditur, maka terdapat suatu aliran kas yang disebut dengan cash flow. Dimana cash flow tersebut adalah merupakan arus kas atau aliran kas yang ada di perusahaan dalam suatu periode tertentu. Cash flow menggambarkan berapa uang yang masuk (cash in) ke

54

(24)

perusahaan dan jenis-jenis pemasukan tersebut. Cash flow juga menggambarkan berapa uang yang keluar (cash out) serta jenis-jenis biaya yang dikeluarkan. Di dalam cash flow semua data pendapatan yang akan diterima dan biaya yang akan dikeluarkan baik jenis maupun jumlahnya diestimasi sedemikian rupa, sehingga menggambarkan kondisi pemasukan dan pengeluaran di masa yang akan datang.55

Sehingga dengan demikian, arus kas yang dimaksud adalah merupakan jumlah uang yang masuk dan keluar dalam suatu perusahaan, mulai dari investasi dilakukan sampai dengan berakhirnya investasi tersebut. Dalam hal ini bagi investor yang terpenting adalah berapa kas bersih yang diterima dari uang yang diinvestasikan di suatu usaha. Pentingnya kas akhir bagi investor jika dibandingkan dengan laba yang diterima perusahaan, dikarenakan:56

1. Kas diperlukan untuk memenuhi kebutuhan uang tunai sehari-hari; 2. Kas digunakan untuk membayar semua kewajiban yang jatuh tempo; 3. Kas juga digunakan untuk melakukan investasi kembali.

Adapun jenis-jenis cash flow yang dikaitkan dengan suatu usaha, terdiri dari:57 a. Initial cash flow atau lebih dikenal dengan kas awal yang merupakan

pengeluaran-pengeluaran pada awal periode untuk investasi;

b. Operasional cash flow merupakan kas yang diterima atau dikeluarkan pada saat operasi usaha, seperti penghasilan yang diterima dan pengeluaran yang dikeluarkan pada suatu periode;

55 Kasmir dan Jakfar, Studi Kelayakan Bisnis, Edisi Kedua, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm. 92.

56

(25)

c. Terminal cash flow merupakan uang kas yang diterima pada saat usaha tersebut berakhir.

Berkenaan dengan perlindungan hukum, maka adapun perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT) kepada debitur adalah sebagai berikut:

1. Roya Partial (Pasal 2 Ayat (2) UUHT)

Menurut Pasal 2 Ayat (2) UUHT, apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka dalam APHT yang bersangkutan dapat diperjanjikan bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Penghapusan atau roya Hak Tanggungan secara sebagian-sebagian tersebut disebut Roya Partial. Untuk berlakunya ketentuan mengenai Roya Partial ini, harus diperjanjikan didalam APHT yang bersangkutan.58

2. Asas Spesialitas (Pasal 11 Ayat (1) UUHT)

Adapun yang dimaksud dengan Asas Spesialitas adalah bahwa dalam APHT harus disebutkan secara jelas mengenai pencantuman nama dan identitas para pihak, domisili para pihak, penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, nilai

(26)

tanggungan dan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan ( Pasal 11 Ayat (1) UUHT ).

Asas Spesialitas ini untuk menjamin kepastian jumlah utang, kepastian nilai tanggungan dan kepastian mengenai obyek yang dijadikan jaminan. Kepastian mengenai jumlah utang ini akan terkait dengan nilai tanggungan. Nilai tanggungan pada hakekatnya merupakan kesepakatan mengenai sampai sejumlah berapa pagu atau batas jumlah utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Utang tersebut bisa kurang, bisa juga lebih besar dari nilai tanggungan yang disepakati. Kalau utang yang sebenarnya lebih besar, maka yang dijamin secara khusus dengan Hak Tanggungan terbatas sebesar nilai tanggungan yang dicantumkan di dalam APHT. Untuk utang selebihnya, pelunasan piutangnya dijamin dengan jaminan umum menurut Pasal 1131 KUHPerdata yang berarti tidak memberikan kedudukan diutamakan (Droit de Preference) kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan tersebut.59

3. Janji yang dilarang/Vervalbeding (Pasal 12 UUHT)

Maksud dari ketentuan tersebut adalah bahwa kreditur dalam APHT tidak diperkenankan untuk memperjanjikan, bahwa kalau debitur wanprestasi, benda jaminan otomatis (tanpa melalui pelelangan umum) menjadi milik kreditur.60 Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitur,

59Ibid.

(27)

agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadapi kreditur karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikan baginya.

Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan dilarang melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis dari pemegang Hak Tanggungan. Janji ini memberikan perlindungan kepada kreditur yaitu adanya jaminan debitur tidak akan melepaskan haknya begitu saja atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan kreditur, sehingga debitur tetap berkewajiban melunasi hutangnya kepada kreditur.

Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT. Janji-janji tersebut dicantumkan dalam akta pemberian hak tanggungan yang bersangkutan. Objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang hak tanggungan bila debitur cidera janji. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk memiliki objek hak tanggungan apabila debitur cidera janji, batal demi hukum, sebagaimana ketentuan yang tercantum pada Pasal 12 UUHT. Hal ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada debitur yang berada dalam posisi yang lemah dalam menghadapi pihak kreditur.

4. Penjualan di bawah tangan (Pasal 20 Ayat (2) UUHT)

(28)

tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, atas kesepakatan pemberi dan penerima Hak Tanggungan serta dengan dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang disebut dalam Pasal 20 Ayat (3) UUHT, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan, jika dengan cara demikian akan diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.61

Penjualan di bawah tangan dari obyek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan apabila debitur menyetujuinya. Dengan persetujuan dari debitur tersebut, berarti debitur telah memperkirakan bahwa penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan akan diperoleh harga yang lebih tinggi daripada obyek Hak Tanggungan tersebut dijual melalui pelelangan umum, sehingga hal ini akan menguntungkan debitur dan akan lebih menjamin pelunasan piutangnya kreditur.

5. Pencoretan Hak Tanggungan (Pasal 22 UUHT)

Apabila Hak Tanggungan hapus (Pasal 18 Ayat (1) UUHT), maka perlu dilakukan pencoretan (roya), artinya pencoretan adanya beban Hak Tanggungan tersebut pada Buku Tanah hak atas tanah dan sertipikatnya. Jika tidak demikian, maka masyarakat umum tidak akan mengetahui posisi hapusnya Hak Tanggungan, sehingga akan terdapat kesulitan untuk mengalihkan atau membebani kembali tanah tersebut.62

61 Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 444-445.

(29)

Pencoretan Hak Tanggungan atau biasa disebut roya, merupakan tindakan administratif yang perlu dilakukan agar data mengenai tanah selalu sesuai dengan kenyataan yang ada. Hak Tanggungan hapus bukan karena ada roya, tetapi justru karena Hak Tanggungan sudah hapus, maka ia perlu diikuti dengan pengroyaan, yaitu pencoretan catatan beban Hak Tanggungan pada Buku Tanah dan serpifikat hak atas tanah yang bersangkutan.63

Dengan dilakukannya pencoretan catatan Hak Tanggungan oleh Kantor Pertanahan sehubungan dengan hapusnya Hak Tanggungan tersebut, maka pihak ketiga yang berkepentingan akan mengetahui bahwa Hak Tanggungan itu telah hapus, sehingga debitur atau pemberi Hak Tanggungan dapat dengan mudah untuk mengalihkan atau membebani kembali tanah tersebut.

C. Kedudukan Kreditur Dalam Penjaminan Dengan Hak Tanggungan

Perjanjian merupakan salah satu sumber hukum perikatan yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata. Dikatakan salah satu sumber hukum perikatan karena sumber hukum perikatan bukan hanya perjanjian, akan tetapi masih ada sumber hukum lainnya yaitu Undang-Undang, Yurisprudensi, hukum tertulis dan tidak tertulis dan ilmu pengetahuan hukum. Berkenaan dengan hal tersebut, maka dalam hal ini perjanjian kredit adalah merupakan salah satu jenis daripada perjanjian.

(30)

Istilah kredit berasal dari bahasa romawi yaitu credere, yang berarti kepercayaan.64 Jadi, dasar kredit adalah kepercayaan/keyakinan dari kreditur bahwa pihak lain pada masa yang akan datang sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan. Kredit juga bisa diartikan penyediaan uang atau tagihan-tagihan yang disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam-meminjam antara Bank dan lain pihak, dalam hal pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga yang telah ditetapkan.

Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang ditanda tangani Bank dan Debitur, maka tidak ada pemberian kredit tersebut. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara Bank dengan Debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua pihak sehubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit (pinjam uang).

Di dalam hal meminjam uang, utang yang terjadi karena hanyalah terdiri atas jumlah utang yang disebutkan dalam perjanjian, apabila sebelum saat pelunasan terjadi suatu kenaikan/kemunduran harga (nilai) atau ada perubahan mengenai berlakunya mata uang, maka pengembalian jumlah yang dipinjam harus dilakukan dalam mata uang yang berlaku pada waktu pelunasan, dihitung menurut harganya (nilainya) yang berlaku pada saat itu (Pasal 1756 KUHPerdata). Dengan demikian, maka untuk menetapkan jumlah uang yang terutang, kita harus berpangkal pada jumlah yang disebutkan dalam perjanjian.65

64

H. Salim HS, Op. Cit, hlm. 30.

(31)

Berkenaan dengan perlindungan hukum, maka yang dimaksud dengan perlindungan hukum itu sendiri adalah suatu jaminan yang diberikan oleh negara kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum.66 Sehingga dari pengertian tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian perlindungan hukum, yaitu:

1. Suatu jaminan yang diberikan oleh negara; 2. Kepada semua pihak;

3. Untuk dapat melaksanakan hak dan kepentingan hukum yang dimilikinya; 4. Dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan (UUHT) kepada kreditur, debitur dan pihak ketiga untuk dapat melaksanakan suatu kewenangan melakukan perbuatan yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki (memberikan Hak Tanggungan, menerima Hak Tanggungan dan lain-lain) dan keperluan atau kebutuhan yang diatur oleh hukum (misalnya, kreditur atau penerima Hak Tanggungan adalah menjadi kreditur Preference yang mempunyai hak mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya untuk pelunasan piutangnya, apabila debitur cidera janji) dalam kapasitasnya (daya tampungnya) sebagai manusia (perseorangan atau lebih) atau Badan Hukum dalam mengemban hak dan kewajiban berdasarkan hukum.

(32)

Adapun perlindungan yang diberikan oleh UUHT kepada kreditur atau Penerima Hak Tanggunganadalah sebagai berikut:

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan / Droit de Preference (Pasal 1 Angka (1) UUHT)

Menurut Penjelasan Umum UUHT pada Angka 4, yang dimaksud dengan “memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan” yaitu jika debitur cidera janji, maka kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan (Obyek Hak Tanggungan) melalui pelelangan umum, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya. Pasal 1 Angka (1) jo Penjelasan Umum UUHT tersebut merupakan perlindungan khusus bagi kreditur atau penerima Hak Tanggungan di samping perlindungan umum yang diberikan oleh Pasal 1131 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menetapkan bahwa “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di

kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan“. Ini berarti bahwa semua kekayaan seseorang dijadikan jaminan untuk semua kewajibannya, yaitu semua utangnya. Inilah yang oleh hukum Jerman dinamakan haftung. Apabila seseorang mempunyai suatu utang, maka jaminannya adalah semua kekayaannya. Kekayaan ini dapat disita dan dilelang dan dari hasil pelelangan ini dapat diambil suatu jumlah untuk membayar utangnya kepada kreditur.67

(33)

Hak jaminan disini tidak memberikan kewenangan bagi yang berhak untuk mempergunakan nikmat yang dihasilkan kebendaan, tetapi hanya memberikan kepada yang berhak kewenangan untuk menguasai benda sebagai pendukung nilai yang berupa uang, hanya memberikan jaminan (zekerheid) bagi pemenuhan suatu prestasi yang berupa sejumlah uang.68

Selanjutnya Pasal 1132 KUHPerdata menegaskan bahwa: “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan“.Dengan demikian, apabila seorang debitur mempunyai beberapa kreditur, maka kedudukan para kreditur adalah sama (asas paritas creditorium). Jika kekayaan debitur itu tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya, maka para kreditur itu dibayar berdasarkan asas keseimbangan, yaitu masing-masing memperoleh piutangnya seimbang dengan piutang kreditur lain. Jadi dalam pasal tersebut terkandung adanya kesamaan hak para kreditur atas harta kekayaan debiturnya.69

Menurut Prof. Boedi Harsono, jaminan umum yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata mempunyai dua kelemahan, yaitu: Pertama, kalau hasil penjualan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk melunasi piutang semua krediturnya, maka tiap kreditur hanya memperoleh pembayaran sebagian seimbang dengan jumlah

(34)

piutangnya masing-masing. Jadi dalam hal ini tidak ada kedudukan kreditur yang didahulukan (droit de preference). Kedua, kalau seluruh atau sebagian harta kekayaan tersebut telah dipindahkan kepada pihak lain, karena bukan lagi kepunyaan debitur, bukan lagi merupakan jaminan bagi pelunasan piutang kreditur.70

Di dalam hal-hal tertentu, adakalanya seorang kreditur menginginkan untuk tidak berkedudukan sama dengan kreditur-kreditur lain. Karena kedudukan sama dengan kreditur-kreditur lain itu berarti mendapatkan hak yang berimbang dengan kreditur-kreditur lain dari hasil penjualan harta kekayaan debitur, apabila debitur cidera janji, sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1132 KUHPerdata dan Pasal 1136 KUHPerdata. Kedudukan yang berimbang itu tidak memberikan kepastian akan terjaminnya pengembalian piutangnya. Kreditur yang bersangkutan tidak akan pernah tahu akan adanya kreditur-kreditur lain yang mungkin muncul dikemudian hari. Makin banyak kreditur dari debitur yang bersangkutan, makin kecil pula kemungkinan terjaminnya pengembalian piutang yang bersangkutan apabila karena sesuatu hal debitur menjadi berada dalam keadaan insolvensi (tidak mampu membayar utang-utangnya). Dan sebagai akibatnya, kemungkinan dinyatakan oleh pengadilan, debitur itu jatuh pailit dan harta kekayaannya dilikuidasi. Pengadaan hak-hak jaminan oleh Undang-Undang, seperti Hipotik dan Gadai, adalah untuk

(35)

memberikan kedudukan bagi seseorang kreditur tertentu untuk didahulukan terhadap kreditur-kreditur lain.71

2. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 Ayat (1) UUHT)

Sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1) UUHT, adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Sekaligus ini berarti jika dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin, tidaklah berarti terbebasnya sebagian obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan tetapi tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.72

3. Kemudahan dan kepastian pelaksanaan eksekusinya (Pasal 6 dan Pasal 20 UUHT)

Adapun yang dimaksud dengan mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya adalah apabila debitur cidera janji tidak perlu ditempuh acara gugatan perdata biasa, yang memakan waktu dan biaya.

4. Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek Hak Tanggungan itu berada/Droit de Suite (Pasal 7 UUHT)

Hak Tanggungan tetap membebani obyek Hak Tanggungan (tanah yang dijadikan jaminan utang) di tangan siapapun obyek tersebut berada. Ketentuan ini berarti bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap berhak menjual lelang obyek

71 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan (Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan

Masalah yang dihadapi oleh Perbankan), (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 9-10.

72 Ignatius Ridwan Widyadharma, Hak Tanggungan Atas Tanah, (Semarang: Badan Penerbit

(36)

Hak Tanggungan (jika debitur cidera janji), walaupun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain.73 Dengan demikian, Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun obyek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh karena sebab apapun juga. Berdasarkan ketentuan ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapapun benda (obyek Hak Tanggungan) berpindah.

5. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan AktaOtentik (Pasal 10 Ayat (2) jo Pasal 1 Angka (4) UUHT)

Adapun yang dimaksud dengan akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk menurut ketentuan Undang-Undang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta itu dibuat (Pasal 1868 KUHPerdata). Akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dibuat didalamnya, yang berarti mempunyai kekuatan bukti demikian rupa karena dianggap melekatnya pada akta itu sendiri, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi.74

Dengan dilakukannya pemberian Hak Tanggungan menggunakan akta otentik, maka kepastian pelunasan piutang kreditur atau penerima Hak Tanggungan akan lebih terjamin daripada pemberian Hak Tanggungan dilakukan hanya menggunakan

73 Boedi Harsono, Loc. Cit, hlm. 402.

(37)

surat di bawah tangan, karena kekuatan pembuktian surat di bawah tangan tidak sesempurna akta otentik (menurut Pasal 1875 KUHPerdata, agar surat di bawah tangan memberikan bukti yang sempurna, tulisan di dalam surat di bawah tangan tersebut haruslah diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai) sehingga para pihak harus membuktikan (mengakui) tulisan yang ada di dalam surat di bawah tangan tersebut.

6. Kepastian tanggal kelahiran Hak Tanggungan ( Pasal 13 Ayat (4) UUHT)

Bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan, yang terpenting adalah berlakunya hak-hak istimewa atau hak mendahului daripada kreditur lainnya untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu dari hasil penjualan benda yang ditunjuk secara khusus sebagai obyek Hak Tanggungan dalam hal debitur cidera janji. Untuk menentukan seorang kreditur adalah preferen terhadap kreditur yang lain, bergantung dari kapan Hak Tanggungannya lahir, dan untuk kesemuanya itu Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan adalah tanggal yang menentukan. Menurut ketentuan Pasal 13 ayat (4) UUHT, ternyata bahwa Tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya.

(38)

pihak ketiga (pemenuhan asas publisitas). Sebagai bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan menyerahkannya kepada pemegang Hak Tanggungan.75 Saat lahirnya Hak Tanggungan tersebut merupakan saat yang penting sehubungan dengan munculnya hak tagih preferen dari kreditur, yang menentukan tingkat atau kedudukan kreditur terhadap sesama kreditur dalam hal ada sita jaminan (conservatoir beslag) atas benda jaminan.76

Meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Perkembangan yang telah dan akan terjadi di bidang pengaturan dan administrasi hak-hak atas tanah serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang telah ditunjuk sebagai obyek Hak Tanggungan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak Pakai atas tanah tertentu yang wajib

75 Maria S.W. Sumardjono, Prinsip Dasar dan Isyu di Seputar UUHT, Jurnal Hukum Bisnis

Volume I Tahun 1997, hlm. 38-39.

76 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, (Bandung:

(39)

didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, perlu juga dimungkinkan untuk dibebani Hak Tanggungan.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, maka dibentuklah Undang-Undang yang mengatur Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sekaligus mewujudkan unifikasi Hukum Tanah Nasional.

Hak Tanggungan lahir dengan sebuah perjanjian. Dalam kenyataan, banyak pihak pemberi Hak Tanggungan yang ternyata lalai atau sengaja melalaikan kewajiban dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya melakukan penjualan terhadap barang jaminan. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.77 Adapun beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan adalah:

1. hak tanggungan yaitu hak jaminan yang dibebankan atas tanah sebagai yang dimaksud oleh UUPA;

2. berikut atau tidak berikut dengan benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu;

3. untuk pelunasan utang tertentu;

77

(40)

4. memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur yang lain.

Adapun ciri-ciri Hak Tanggungan adalah:

a. droit de prefenrence (Pasal 1 angka 1 dan pasal 20 ayat (1) UUHT); b. droit de suite (Pasal 7 UUHT);

c. memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas;

d. asas spesialitas yaitu asas yang mewajibkan dalam muatan Akta Pemberian Hak Tanggungan harus mencantumkan ketentuan-ketentuan seperti ditegaskan dalam pasal 11 UUHT. Sedangkan asas publisitas yaitu asas yang mewajibkan didaftarkannya Hak Tanggungan pada kantor pertanahan setempat (pasal 13 UUHT);

e. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya;

f. objek Hak Tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi Hak Tanggungan sebelum kreditur pemegang Hak Tanggungan mengambil pelunasan dari hasil penjualan obyek Hak Tanggungan (pasal 21 UUHT).

Sementara itu, adapun sifat-sifat dari Hak Tanggungan antara lain, yaitu: 1) Tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 UUHT)

Meskipun sifat Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, artinya Hak Tanggungan membenani obyek secara utuh, namun sifat ini tidak berlaku mutlak dengan pengecualian dimungkinkan untuk roya partial, sepanjang diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);

(41)

yaitu perjanjian utang-piutang, apabila perjanjian pokok hapus atau batal, maka otomatis perjanjian accessoir menjadi hapus pula.

Objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 51 UUPA. Benda-benda (tanah) akan dijadikan jaminan atas suatu utang dengan dibebani hak tanggungan harus memenuhi syarat yakni dapat dinilai dengan uang, harus memenuhi syarat publisitas, mempunyai sifat droit de suite apabila debitur cidera janji, serta memerlukan penunjukkan menurut undang-undang.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. Dijadikannya hak pakai sebagai obyek Hak Tanggungan merupakan langkah maju dalam hukum pertanahan kita juga bagi warga Negara asing menjadi pemegang hak pakai atas tanah Negara yang bila hak tersebut akan dijadikan jaminan disertai persyaratan bahwa modal yang diperoleh harus dipergunakan untuk kegiatan pembangunan di Indonesia. Pengawasan pemerintah terhadap WNA dalam pencapaian tujuan tersebut masih susah untuk dilaksanakan karena memang tidak ada penjabaran lebih lanjut dari maksud ketentuan persyaratan tersebut.

(42)

dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotik, jika tanahnya tanah milik atau hak guna bangunan. Kemudian dibebani fiducia, jika tanahnya hak pakai atau tanah negara, namun dengan keluarnya UUHT maka hak pakai tidak lagi dibebankan dengan fiducia tetapi dengan Hak Tanggungan (Pasal 27 UUHT). Selain obyek Hak Tanggungan seperti tersebut di atas, UUHT juga membuka kemungkinan pembebanan Hak Tanggungan atas tanah berikut bangunan dan tanaman yang ada diatasnya (Pasal 4 ayat (4)), sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Bangunan dan tanah yang bersangkutan merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dan bangunan tersebut melekat pada tanah yang bersangkutan;

2. Pembebanannya dinyatakan dengan tegas oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT);

3. Ketentuan pasal 4 ayat (4) UUHT tersebut di atas sebagai konsekuensi dari penerapan asas pemilikan secara horizontal yang diambil dari hukum adat.

Hak Tanggungan tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh suatu perjanjian (perjanjian kredit) antara debitur dan kreditur. Dalam perjanjian itu diatur tentang hubungan hukum antara kreditur dan debitur, baik menyangkut besarnya jumlah kredit yang diterima oleh debitur, jangka waktu pengembalian kredit maupun jaminan yang nantinya akan diikat dengan Hak Tanggungan. Oleh karena Hak Tanggungan tidak dapat dilepaskan dari perjanjian kredit, itulah sebabnya Hak Tanggungan dikatakan accessoir (mengikuti) perjanjian pokoknya.

(43)

perjanjian tertulis. Itu sebabnya diperlukan suatu jaminan kredit dengan disertai keyakinan akan kemampuan debitur melunasi utangnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan yang menyatakan dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Di dalam menjalankan suatu perjanjian khususnya dalam perjanjian kredit, para pihak (debitur dan kreditur) selalu dibebani dua hal yaitu hak dan kewajiban. Suatu perikatan yang dilahirkan oleh suatu perjanjian, mempunyai dua sudut yakni sudut kewajiban-kewajiban (obligations) yang dipikul oleh suatu pihak dan sudut hak-hak atau manfaat, yang diperoleh oleh lain pihak, yaitu hak-hak menurut dilaksanakannya sesuatu yang disanggupi dalam perjanjian itu.78

Hukum mengenai perkreditan modern yang dijamin dengan Hak Tanggungan mengatur perjanjian dan hubungan utang-piutang tertentu antara kreditur dan debitur, yang meliputi hak kreditur untuk menjual lelang harta kekayaan tertentu yang ditunjuk secara khusus sebagai jaminan (obyek Hak Tanggungan) dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut jika debitur cidera janji.

Kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain (droit de preference) untuk mengambil pelunasan dari

(44)

penjualan tersebut. Kemudian Hak Tanggungan juga tetap membebani obyek Hak Tanggungan ditangan siapapun benda itu berada, ini berarti bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan tetap berhak menjual lelang benda tersebut, biarpun sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain (droit de suite).

Dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan kepada pihak lain tanpa seizin pihak kreditur maka kreditur dapat mengajukan action pauliana yaitu hak dari kreditur untuk membatalkan seluruh tindakan kreditur yang dianggap merugikan. Dalam perjanjian tanggungan, pihak kreditur tetap diberikan hak-hak yang dapat menghindarkannya dari praktek-praktek “nakal” debitur atau kelalaian debitur.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam perjanjian tanggungan seorang kreditur diberikan hak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu dari pihak pemberi tanggungan selain itu, pihak kreditur dapat pula mengajukan actio paulina (suatu gugatan atau tuntutan hukum yang diajukan kreditur untuk membatalkan atau menyatakan batal segala perbuatan curang debitur yang merugikan pihak kreditur) dalam hal terjadinya pengalihan barang jaminan oleh debitur tanpa izin kreditur.79

Referensi

Dokumen terkait

Pola arus dan sirkulasi massa air dominan mengalir dari selatan ke utara di kedua musim yang berbeda (Nia Naelul Hasanah. Pengkajian dalam penulisan tugas akhir

<td

database dan bisa ditampilkan pada web serta mengirim pesan singkat ke handphone apabila salah satu phasa arus pada kWh meter ada yang hilang atau bocor. Pada

(3) Tatacara, pembatalan atau pengurangan ketetapan pajak dan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Gubernur atau

TRACING THE ROOTS OF STATE’S FAILURES ON RESERVED FOREST AREA IN DIENG PLATEAU Critical Discourses Analysis on State’s Political

The values of correlation between NDVI and air temperature is significant and positive for all vegetation types of the test area in the summer season, but the

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui “ Gambaran perkembangan anak usia dibawah 1 tahun pada orang tua dengan riwayat pernikahan dini

Penelitian ini didasarkan pada fenomena banyaknya pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh pelajar SMP yang mengemudikan sepeda motor tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi