BAB II
PENGATURAN DAN PROSES PEMBERIAN JAMINAN HUTANG DENGAN HAK TANGGUNGAN ATAS HAK MILIK SATUAN RUMAH SUSUN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG
RUMAH SUSUN
A. Ruang Lingkup Rumah Susun dan Satuan Rumah Susun
1. Sejarah Perkembangan Rumah Susun
Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin
seluruh rakyat Indonesia secara adil dan merata, sebagai salah satu usaha untuk
mengisi cita-cita perjuangan bangsa Indonesia bagi terwujudnya masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Adapun salah satu
unsur pokok kesejahteraan rakyat adalah terpenuhinya kebutuhan akan perumahan,
yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga Negara Indonesia dan
keluarganya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.40
Pembangunan perumahan merupakan salah satu unsur yang penting dalam
strategi pengembangan wilayah yang menyangkut aspek-aspek yang luas dibidang
kependudukan, dan berkaitan erat dengan pembangunan ekonomi dan kehidupan
sosial dalam rangka memperkuat Ketahanan Nasional. Hal tersebut dikarenakan
perumahan adalah masalah nasional yang bersinggungan langsung dengan seluruh
wilayah tanah air terutama wilayah perkotaan yang berkembang pesat.41
40Herman Hermit, Komentar atas Undang-undang Rumah Susun (UU No. 16 Tahun 1985) Dalam Perspektif Isu-isu Strategis Periode 2007-2011,Cetakan ke-I, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 4.
Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman bagian menimbang point c, bahwa:
“Pemerintah perlu lebih berperan dalam menyediakan dan memberikan kemudahan dan bantuan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang berbasis kawasan serta keswadayaan masyarakat sehingga merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan semangat demokrasi, otonomi daerah, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Pemerintah dalam melakukan berbagai upaya guna memenuhi kebutuhan
masyarakat akan perumahan, terutama di daerah-daerah yang berpenduduk padat dan
tersedianya tanah sangat terbatas tersebut, kemudian dapat melaksanakan
pembangunan perumahan dengan menggunakan sistem rumah susun yang merupakan
salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan permukiman
karena pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah, membuat
ruang terbuka dalam perkotaan dan mengurangin daerah kumuh.
Sistem pembangunan rumah susun dapat dikatakan bukan merupakan sesuatu
yang baru lahir, hal ini dikarenakan pembangunan rumah susun sudah ada bahkan
sejak ribuan tahun sebelum masehi, terutama pada masa-masa dimana telah mulai
dikenal adanya hak milik pribadi, hak milik bersama dan pada saat masyarakat mulai
mengenal perpaduan antara kedua hak milik tersebut.42
Suatu bukti bahwa sistem rumah susun sudah dikenal sejak dahulu yaitu
terlihat pada bangsa Dravida yang berwilayah di daerah dataran tinggi Dekhan dan
42 A. Ridwan Halim, Hukum Kondominium dalam Tanya Jawab, Cetakan ke-1, (Jakarta :
sekitarnya. Bangsa Dravida sudah menerapkan sistem rumah susun tersebut, yaitu
mereka membangun dua buah kota yakni Mohenjo daro dan Harapa dilembah sungai
Lindus, jauh sebelum masuknya bangsa Aria yang mengembara dari asal mereka di
Persia dan datang ke Hindustan pada sekitar tahun 1500 sebelum masehi ke daerah
Dekhan tersebut.43
Berbagai reruntuhan kota serta fosil-fosil yang kemudian diketemukan
membuat para ahli sejarah dan budayawan berpendapat bahwa bangsa Dravida ini
sudah memiliki tingkat peradaban hidup yang tinggi pada zamannya dan kebudayaan
mereka juga sudah sangat maju pada saat itu. Prasasti-prasasti yang bertuliskan
piktograf juga memperlihatkan bahwa salah satu cabang kebudayaan mereka yang
paling pesat pada saat itu adalah kebudayaan dalam hal pembangunan.44
Kota Mohenjo Daro dan Harapa merupakan suatu bukti konkrit yang
memperkuat kesimpulan mengenai eksistensi rumah susun. Kedua kota ini
benar-benar dibangun sebagai kota-kota yang baik dengan sistem pembangunan yang
teratur yakni adanya jalan yang lurus, pemukiman yang tertata dengan baik, bahkan
dilengkapi dengan tempat hiburan dan pemandian umum yang dibangun dengan
sangat indah di taman Mohenjo Daro. Adapun salah satu wujud tertatanya sistem
permukiman itu adalah terdapat pembangunan gedung-gedung bertingkat yang
43
Ibid, hal. 183.
menjadi tempat tinggal, meskipun jumlah tingkat bangunan pada gedung tersebut
masih sedikit dan sangat sederhana.45
Penemuan arsitektur yang menggambarkan munculnya pembangunan dengan
sistem rumah susun kemudian di jumpai di Romawi Timur, yaitu mulai zaman
kejayaan Bizantium sampai dengan jatuhnya Kota Istanbul ke tangan Bangsa Turki
pada tahun 1453. Bangsa Turki sendiri dalam sejarah kebudayaannya ternyata banyak
juga meresepsi pola-pola kebudayaan yang universal dari Negara Romawi yang
berhasil ditundukannya itu, yaitu antara lain dalam hal kebudayaan mendirikan
bangunan.46
Sejarah juga kemudian membuktikan bahwa Hukum Rumah Susun
terus-menerus berkembang seiring dengan majunya pembangunan gedung-gedung
bertingkat pada kelima benua di dunia, terutama Eropa dan Amerika yang sudah
mengalaminya sejak awal dan lebih dahulu dari pada ketiga benua lainnya yang baru
kemudian menyusul pula, dan secara implisit termasuk Negara kita yaitu Indonesia.47 Pertumbuhan dan perkembangan rumah susun yang terjadi diberbagai Negara
tersebut pada dasarnya dikarenakan melihat bahwa terbatasnya ketersediaan tanah
sebagai tempat mendirikan bangunan, sementara jumlah manusia yang mendiami dan
mempergunakan tanah tersebut semakin bertambah. Adapun dalam kata lain bahwa
terbatasnya benda pemenuh kebutuhan hidup manusia dibandingkan dengan jumlah
kebutuhan yang terus berkembang.
45Ibid.
Sehubungan dengan hal tersebut, untuk menanggulanginya maka harus
dengan cara dan metode tertentu. Seperti di Negara Australia misalnya, disamping
dikenal cara pembagian tanah secara vertikal, di Negara tersebut juga menggunakan
cara lain untuk membagi tanah yaitu secara horizontal. Adapun Undang-undang
Anglo-Australiamembagi secara horizontal yang mana ruang udara diatas tanah yang
sebenarnya dibagi menjadi strata-horizontal, yaitu tingkat keatas dari suatu bangunan
dan ruang udara didalamnya dapat dipisahkan dari tanah dimana bangunan itu berdiri
dan dianggap sebagaireal property.48
Perkembangan mengenai pembangunan rumah susun juga terlihat di Inggris
yaitu lahirnya istilah strata title dalam Undang-undang Inggris yang ada sejak
pertengahan pertama abad ke-17.49 Adapun berdasarkan hal tersebut dan dengan berbagai perkembangan yang terjadi, akan semakin terlihat adanya eksistensi rumah
susun ditengah-tengah kehidupan dan dengan mengenal pembangunan dengan sistem
rumah susun tersebut berbagai manfaat kemudian dapat diambil baik bagi individu
maupun kelompok masyarakat diberbagai Negara.
2. Undang-Undang Tentang Rumah Susun
Perkotaan adalah merupakan daerah dimana tingkat kebutuhan akan adanya
ruang, sangatlah tinggi. Konsep ruang yang ada, baik hunian ataupun komersial
secara tata pertanahan yang ada dimasyarakat dirasakan kurang efisien, dan akibatnya
kota dengan luas tanah yang terbatas tidak dapat menanggulangi hal tersebut. Sebagai
tindakan untuk menjawab kebutuhan tersebut, maka dibutuhkan adanya aturan yang
jelas untuk merangsang pembangunan rumah susun dengan segera, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat akan hunian khususnya didaerah perkotaan.
Suatu ketentuan dan aturan tentang rumah susun tidaklah muncul secara
tiba-tiba. Hal tersebut selain diperoleh melalui proses pemikiran yang panjang dan
mendalam, juga merupakan suatu perkembangan idealisme yang terdapat dan
diperoleh dari berbagai peraturan perundangan yang telah ada sebelumnya sebagai
pelopor berbagai ketentuan yang akan dibentuk kemudian.
Pada awalnya, hal yang menjadi latar belakangnya adalah timbul dari suatu
kebutuhan untuk mengakomodir pemilikan atas tanah bersama. Adapun dengan
adanya kebutuhan itu, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak atas Tanah Kepunyaan Bersama dan
Pemilikan Bagian-bagian Bangunan yang ada di atasnya serta Penerbitan
Sertipikatnya.50
Peraturan tersebut memuat ketentuan bahwa hak atas tanah bersama didaftar
oleh Kantor Pertanahan dalam beberapa buku tanah sesuai dengan jumlah pemegang
hak atas tanah bersama, yang artinya bahwa pada masing-masing pemegang hak atas
tanah bersama dapat diberikan sertifikat hak atas tanah bersama. Adapun jika diatas
50 Adrian Sutedi, Hukum Rumah Susun dan Apartemen, Cetakan ke-1, (Jakarta : Sinar
tanah bersama tersebut terdapat bangunan, maka pada tiap pemilik bagian bangunan
tersebut juga dapat memperoleh sertipikat hak atas tanah bersama.51
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 kemudian direvisi
oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977, yang memuat ketentuan
bahwa hak atas tanah bersama didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam satu buku
tanah, dan buku tanah ini lalu dapat dibuatkan beberapa salinannya untuk dilampirkan
pada sertipikat hak atas tanah bersama, untuk diberikan kepada para pemegang hak
atas tanah bersama.52
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1977 selanjutnya
mengalami revisi kembali dan menjadi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10
Tahun 1983, yang memuat ketentuan tentang:
a) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah bagi pemilikan tanah bersama;
b) Salinan Izin Mendirikan Bangungan (IMB) bagi pembangunan rumah susun;
c) Bangunan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah bersama;
d) Bangunan telah selesai dibangun;
e) Defenisi bangunan bertingkat;
f) Salinan gambar denah bagian-bagian bangunan;
g) Salinan gambar denah tiap pemegang hak atas tanah bersama; dan
h) Pernyataan tertulis mengenai besarnya bagian tiap pemegang hak atas tanah
bersama.
Adapun setelah perubahan tersebut diatas, kemudian pada akhirnya Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 1983 direvisi substansinya dan ditingkatkan
bentuk produk perundangannya dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun, yang mana merupakan suatu landasan awal yang dijadikan
dasar pembangunan perumahan dengan sistem rumah susun.53
Pada saat sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
rumah susun atau kemudian disebut juga dengan UURS yang pertama ini, di
Indonesia belum terdapat suatu produk hukum tertentu yang mengatur dan menaungi
mengenai pengaturan rumah susun dan kepemilikan atas satuan rumah susun. Hal
tersebut juga terlihat pada Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
(UUPA) yang lahir 25 tahun sebelum lahirnya UURS yang pertama ini, yang mana
belum juga memperlihatkan isyarat akan adanya konsep pemilikan atas satuan rumah
susun maupun hak bersama atas tanah dan bagian ataupun benda yang melekat pada
bangunan gedung rumah susun tersebut.54
Pengaturan mengenai UURS yang pertama ini mulai berlaku pada tanggal 31
Desember 1985, yang mana memantapkan mengenai tata aturan hukum terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan rumah susun. Adapun sebagai pendukung dan tindak lanjut
mengenai pokok-pokok pikiran yang terdapat didalam Undang-undang tersebut,
53Ibid.
kemudian dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 atau yang
kemudian disebut dengan PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.55
Latar belakang ataupun alasan dikeluarkannya UURS yang pertama ini
apabila kita lihat didalam bagian penjelasan Undang-undang tersebut adalah untuk
menjamin dan mengusahakan rakyat banyak agar dapat memiliki tempat tinggal, yang
dalam hal ini berupa rumah susun. Hal ini berarti disamping dari segi semakin
sedikitnya ketersediaan tanah yang dapat digunakan untuk membangun rumah secara
horizontal, tetapi juga dari segi aspek ekonomi dalam arti kebutuhan akan adanya
tempat tinggal juga merupakan latar belakang pemikiran yang penting bagi
dikeluarkannya UURS ini.
Kebutuhan akan rumah susun pada awalnya dipergunakan untuk tempat
hunian dan tempat tinggal, yang mana hal tersebut pada saat ini seiring dengan
perkembangan jaman, maka kebutuhan akan rumah susun kemudian menjadi bukan
hanya sebagai hunian melainkan dapat dipergunakan untuk hal-hal lain misalnya
untuk perkantoran, pertokoan maupun pusat perbelanjaan. Terhadap hal tersebut,
UURS yang pertama ini bersifat fleksible dan tetap berlaku walaupun rumah susun
tersebut dipergunakan untuk tempat tinggal maupun untuk kegunaan yang lain.56 Menanggapi hal itu, Boedi Harsono berpendapat bahwa:
“Walaupun tujuan utama diterbitkannya Undang-undang Rumah Susun adalah untuk memberikan landasan hukum bagi pembangunan gedung bertingkat dengan bagian-bagiannya untuk dihuni, terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah, namun ketentuan-ketentuannya dengan
penyesuaian seperlunya, menurut Pasal 24 dapat diberlakukan juga untuk bangunan-bangunan bagi keperluan lain seperti perkantoran, pertokoan dan lain sebagainya.”57
Sehubungan dengan hal tersebut, sudah sepantasnya apabila UURS yang
pertama ini patut dihargai sebagai peletak dasar hukum bagi semua jenis dan berbagai
macam model bangungan gedung bertingkat tinggi dengan fungsi sebagai hunian. Hal
tersebut seperti tertera dalam penjelasan umum UURS yang pertama ini yaitu58: “Dengan Undang-undang ini diciptakan dasar hukum hak milik atas satuan rumah susun yang meliputi:
a) Hak pemilikan perseorangan atas satuan-satuan rumah susun yang digunakan secara terpisah;
b) Hak bersama atas bagian-bagian dari bangunan rumah susun; c) Hak bersama atas benda-benda;
d) Hak bersama atas tanah; yang semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.”
Seiring dengan perkembangan yang terjadi dimasyarakat yaitu tuntutan
pembangunan dan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang, terutama untuk
memenuhi kebutuhan tempat tinggal yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan
rendah dan partisipasi masyarakat serta tanggung jawab dan kewajiban negara dalam
penyelenggaraan rumah susun, maka Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 atau
UURS yang pertama ini dipandang tidak memadai lagi dan perlu adanya
penyempurnaan terhadapnya dan hal itu juga merupakan instruksi dari Pasal 46
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Perumahan
57Boedi Harsono,Beberapa Analisa tentang Hukum Agraria, Cetakan ke-1, (Jakarta : “ESA”
Study Club, 1979), hal. 3.
yang menetapkan bahwa ketentuan mengenai rumah susun diatur tersendiri dengan
Undang-undang.59
Sebagai tindakan untuk memenuhi tuntutan dan instruksi diatas, maka
kemudian diterbitkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang rumah susun
yang ditetapkan pada tanggal 10 Nopember 2011 yang selanjutnya akan disebut
sebagai UURS yang baru sebagai penyempurnaan produk hukum untuk mengatur
tentang pengaturan penyelenggaraan rumah susun secara menyeluruh.
3. Pengertian, Asas, dan Tujuan Rumah Susun
Pada pembahasan mengenai rumah susun ini, sebaiknya diketahui dan
dimengerti terlebih dahulu pengertian maupun defenisi mengenai rumah susun itu
sendiri agar memudahkan pemahaman mengenai hal tersebut. Adapun diperlukannya
pemahaman lebih lanjut karena banyaknya istilah tentang rumah susun ini yang mana
dalam kesehariannya sering ada kesamaan diantaranya.
Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional menyatakan
bahwa istilah rumah susun merupakan terjemahan dari kata-kata condominium, flat
atau apartement. Istilah tersebut digunakan berdasarkan sistem hukum tiap Negara
masing-masing, misalnya di Amerika yang menggunakan istilah condominium yaitu
co berarti bersama-sama, dan dominium yang berarti pemilikan, di Inggris yang
menggunakan istilah joint property, sedangkan di Singapura dan Australia
menggunakan istilahstrata title.60
Pengertian dari Condominium adalah suatu bentuk pemanfaatan perumahan
dimana bagian tertentu seperti kamar atau ruangan yang dimiliki secara pribadi
sementara penggunaan dan akses ke fasilitas seperti lorong, sistem pemanas, elevator,
eksterior berada di bawah hukum yang dihubungkan dengan kepemilikan pribadi dan
di awasi oleh asosiasi pemilik yang menggambarkan kepemilikan seluruh bagian.61 Berdasarkan perkembangannya, condominium menunjuk kepada
bangunan-bangunan yang terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing merupakan suatu
kesatuan yang dapat digunakan atau dihuni secara terpisah. Bagian-bagian yang
merupakan kesatuan dan dapat digunakan atau dihuni secara terpisah disebut sebagai
apartemen.62
Pengertian dari strata titleadalah suatu sistem yang mengatur tentang bagian
tanah yang terdiri dari lapisan-lapisan atau strata yaitu lapisan bawah dan atas,
dengan mana lapisan-lapisan tersebut dapat diartikan sebagai:63 “Setiap bagian dari tanah yang terdiri dari ruang bentuk apapun didalamnya, di permukaan atau diatas
permukaan tanah, merupakan suatu dimensi yang digambarkan.”
Sebagai pemilikan atas satuan ruang dalam bangunan gedung bertingkat,
strata titledimungkinkan untuk diterapkan di Negara yang menganut asas perlekatan
(accessie/natrekking) yaitu asas dimana tanah adalah permukaan bumi dan apa yang
ada diatas serta dibawahnya merupakan satu kesatuan. Maka rumah susun disini
61Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 138. 62Ibid, hal. 139.
berupa ruang yang berada diatas, dipermukaan dan dibawah tanah, dengan udara
diatas permukaan yang dapat dibagi-bagi dalam lapisan-lapisan (strata), dan diatas
udara terdapat hak untuk membangun (title), dan dimiliki oleh masing-masing
individu disetiap lapisannya.64
Istilah-istilah tersebut kemudian dipersatukan agar lebih mudah dimengerti
yang mana dalam bahasa hukum kesemuanya tetap disebut dengan istilah rumah
susun dikarenakan mengacu kepada Undang-undang Rumah Susun itu sendiri baik
UURS yang pertama maupun UURS yang baru. Terminologi hukum yang
mengekspresikan bangunan gedung bertingkat yang mengandung pemilikan
perseorangan dan hak bersama memang sebaiknya lebih konsisten dalam hal istilah,
karena diketahui bahwa semua istilah hukum disuatu negara selalu bersifat nasional.65 Pengertian tentang rumah susun seperti yang tertera dalam UURS yang
pertama dan kemudian disempurnakan dengan UURS yang baru pada Pasal 1 angka 1
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Rumah Susun adalah:
“Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.”
Pengertian tersebut menegaskan bahwa rumah susun yang dimaksudkan
dalam UURS ini adalah istilah yang memberikan pengertian hukum bagi bangunan
bertingkat yang senantiasa mengandung sistem pemilikan perseorangan dan hak
bersama, yang penggunaannya untuk satu kesatuan sistem pembangunan. Hal tersebut
menegaskan bahwa tidak semua bangunan gedung bertingkat itu dapat disebut rumah
susun, tetapi setiap rumah susun adalah berupa bangunan bertingkat.66
Adapun dalam pembangunan rumah susun, dilaksanakan dengan berdasarkan
asas atau landasan tertentu, agar rumah susun tersebut bermanfaat bagi pihak-pihak
yang terkait dengannya. Landasan ataupun asas dari pembangunan suatu rumah susun
terdiri dari berbagai macam seperti terdapat dalam Pasal 2 UURS, yaitu:
a) “Asas kesejahteraan
b) Asas keadilan dan pemerataan c) Asas kenasionalan
d) Asas keefisienan dan kemanfaatan e) Asas keterjangkauan dan kemudahan f) Asas kemandirian dan kebersamaan g) Asas kemitraan
h) Asas keserasian dan keseimbangan i) Asas keterpaduan
j) Asas kesehatan
k) Asas kelestarian dan keberlanjutan; dan
l) Asas keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan”
Pembagian asas tersebut dimaksudkan sebagai landasan pada pembangunan
rumah susun, yaitu yang dapat memberikan kesejahteraan, keadilan yang merata,
mengedepankan kepentingan nasional, dengan sistem yang efisien dan bermanfaat,
terjangkau dan memberikan kemudahan bagi seluruh lapisan masyarakat secara
mandiri maupun kebersamaan berdasarkan prinsip kemitraan yang serasi dan
seimbang, terpadu dan mengedepankan kesehatan, kelestarian dan keberlanjutan agar
terciptanya keselamatan, keamanan, ketertiban dan keteraturan.
Landasan ataupun asas-asas pada pembangunan rumah susun yang telah
dijelaskan tersebut diharapkan kedepannya akan dapat mewujudkan berbagai tujuan
dan berbagai manfaat, yang mana tercantum dalam Pasal 3 UURS yang baru, yaitu
diselenggarakan untuk:
a) “Memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman.
b) Mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang untuk mewujudkan keseimbangan kepentingan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
c) Meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber alam bagi pembangunan perumahan dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan, baik dikawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan.
d) Memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan
perumahan dan kawasan permukiman.
e) Menunjang pembangunan dibidang ekonomi, sosial dan budaya; dan
f) Menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu dan berkelanjutan.”
Berdasarkan Pendapat dari Arie Hutaggalung, suatu tujuan yang ingin dicapai
dari pembangunan rumah susun adalah67:
a) Untuk pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dalam lingkungan yang
sehat
b) Untuk mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras dan seimbang
c) Untuk meremajakan daerah-daerah kumuh
d) Untuk mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan
e) Untuk mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk.
67Arie S. Hutagalung, Kondominium dan Permasalahannya, Cetakan ke-1, (Depok : Badan
Berdasarkan tujuan-tujuan tersebut, pembangunan rumah susun pada dasarnya
bertujuan sebagai pemenuhan kebutuhan akan adanya suatu rumah susun yang layak
huni dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah dikawasan
perkotaan dengan penduduk sangat padat, sehingga akan berdampak pada68: a) Peningkatan efisiensi penggunaan tanah, ruang, dan daya tampung kota
b) Peningkatan kualitas hidup masyarakat berpenghasilan menengah bawah dan
pencegahan tumbuhnya kawasan kumuh perkotaan
c) Peningkatan efisiensi prasarana, sarana dan utilitas perkotaan
d) Peningkatan produktivitas masyarakat dan daya saing kota
e) Peningkatan pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat
berpenghasilan menengah kebawah
f) Peningkatan penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi
Berdasarkan hal-hal tersebut, jelaslah bahwa perumahan merupakan masalah
nasional yang mana dampaknya sangat dirasakan diseluruh wilayah tanah air,
terutama didaerah perkotaan yang berkembang pesat, maka oleh karena itu
pembangunan dengan sistem rumah susun adalah salah satu alternatif agar terciptanya
kesejahteraan masyarakat.
4. Satuan Rumah Susun dan Hak Milik Satuan Rumah Susun
Suatu bangunan rumah susun, didalamnya memiliki bagian-bagian yang
merupakan ruang-ruang yang terpisah tetapi merupakan satu kesatuan dari
keseluruhan bangunan rumah susun yang ada. Bagian-bagian ini yang kemudian
dikenal dengan sebutan satuan rumah susun. Bagian inilah yang kemudian akan dapat
dimiliki oleh penghuni yang berbeda disetiap ruangnya.
Pengertian satuan rumah susun berdasarkan UURS yang pertama pada Pasal 1
angka 2 adalah: “Rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara
terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan
umum.” Sedangkan pada UURS yang baru, pada Pasal 1 angka 3 disebutkan: “Satuan
rumah susun yang selanjutnya disebut sarusun adalah unit rumah susun yang tujuan
utamanya digunakan secara terpisah dengan fungsi utama sebagai tempat hunian dan
mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.”
Satuan rumah susun atau sarusun merupakan ruang-ruang didalam bangunan
rumah susun yang kemudian akan dimiliki secara individual dan digunakan secara
terpisah. Setiap sarusun harus memiliki sarana penghubung ke jalan umum karena
merupakan penegasan hak pemilik sarusun untuk mempunyai aksesbilitas ke jalan
umum, dan antisipasi agar hak aksesbilitas tersebut tidak mengganggu sarusun milik
penghuni lainnya. Hal ini dibutuhkan untuk memperoleh keamanan dan kenyamanan
masing-masing pemilik sarusun.
Pada Pasal 16-19 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 atau selanjutnya
akan disebut dengan PPRS, memperincikan standarisasi fisik sarusun yaitu:
a) “Ukuran standar yang dapat dipertanggungjawabkan dan memenuhi fungsi dan penggunaannya serta harus disusun, diatur dan dikoordinasikan agar dapat mewujudkan suatu keadaan yang dapat menunjang kesejahteraan dan kelancaran bagi penghuni dalam menjalankan kegiatan sehari-hari untuk hubungan ke dalam dan keluar.
permukaan tanah, atau sebagian diatas permukaan tanah, yang merupakan dimensi dan volume ruang tertentu sesuai dengan yang telah direncanakan. c) Kelayakan sebagai hunian, dalam arti bahwa sarusun dapat memenuhi
kebutuhan penghuni sehari-hari untuk tidur, mandi, mencuci, menjemur, memasak, makan, menerima tamu, dan menempatkan barang-barang keperluan rumah tangga maupun kebutuhan sehari-hari.”
Perbuatan hukum yang ditujukan pada suatu bangunan rumah susun akan
tertuju dan terbatas kepada pemisahan rumah susun menjadi satuan-satuan rumah
susun dan penjualan satuan rumah susun untuk pertama kalinya dari penyelenggara
pembangunan kepada pemilik pertama. Pemegang hak atas tanah tersebut merupakan
sekaligus pemilik gedung.
Pada awalnya hanya terdapat hubungan sewa-menyewa antara pemilik tanah
dan sekaligus pemilik bangunan rumah susun dengan para pemakai dari ruang-ruang
dalam bangunan gedung tersebut. Hal tersebut kemudian berubah sejak lahirnya
UURS yang pertama, yang memperkenalkan dan menjalankan suatu lembaga
kepemilikan baru sebagai hak kebendaan yaitu adanya Hak Milik Sarusun yang
terdiri dari hak perorangan atas unit sarusun dan hak atas tanah bersama, benda
bersama, dan bagian bersama yang berupa satu kesatuan.69
Hak Milik Satuan Rumah Susun memiliki konsep dasar bahwa benda atau
bangunan dapat dimiliki oleh seseorang, dua orang, atau bahkan lebih yang mana hal
tersebut dikenal dengan istilah pemilikan bersama. Bentuk pemilikan bersama ini
terbagi atas dua yaitu pemilikan bersama yang terikat dan pemilikan bersama yang
bebas.70
Pemilikan bersama yang terikat yaitu ikatan hukum yang pada awalnya telah
ada antara pemilik benda bersama, misalnya pemilikan bersama yang terdapat pada
harta perkawinan dan disini pemilik tidak bebas melakukan pemindahan hak kepada
orang lain tanpa adanya persetujuan dari pihak lainnya atau selama suami atau istri
masih dalam ikatan perkawinan dan tidak dimungkinkan untuk melakukan pembagian
atau pemisahan harta perkawinan.71
Pada pemilikan bersama yang bebas yaitu bahwa setiap para pemilik bersama
tidak terdapat ikatan hukum terlebih dahulu, selain dari hak bersama sebagai pemilik
dari suatu benda. Maka disini kemudian muncul kehendak secara bersama-sama
untuk menjadi pemilik atas suatu benda untuk digunakan secara bersama-sama.
Bentuk pemilikan bebas ini yang kemudian disebut sebagai istilahcondominium.72 Berdasarkan konsep tersebut, maka UURS baik yang pertama maupun yang
terbaru kemudian merumuskan dan menetapkan jenis kepemilikan perorangan dan
kepemilikan bersama dalam suatu kesatuan jenis pemilikan baru yang disebut dengan
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atau lebih lanjut akan disebut dengan HMSRS.
Suatu HMSRS berbeda dengan strata title, yang mana keduanya dikatakan
berbeda karena pada HMSRS memiliki makna yang berbeda pula. Pada HMSRS
adalah merupakan suatu pemilikan atas sarusun, sedangkan pada strata title, adalah
70 Ibid.
71Ibid, hal. 199. 72
merupakan hak atas lapisan-lapisan ruang. Adapun dalam hukum tanah Anglo Saxon,
lapisan-lapisan ruang itu dapat dimiliki secara individual.73
Pengertian mengenai HMSRS ini tercantum pada UURS yang baru di Bab VI,
Bagian Kedua, Pasal 46 ayat (1) yaitu: “Hak kepemilikan atas sarusun merupakan hak
milik atas sarusun yang bersifat perseorangan yang terpisah dengan hak bersama atas
bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.”
Hal tersebut kemudian diperjelas dengan Pasal 41 ayat (1) PP Nomor 4 Tahun
1988 yang menyatakan bahwa:
“Hak milik atas satuan rumah susun meliputi hak pemilikan perseorangan yang digunakan secara terpisah, hak bersama atas bagian-bagian bangunan, hak bersama atas benda, dan hak bersama atas tanah, semuanya merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.”
Berdasarkan uraian tersebut, menunjukkan bahwa HMSRS bersifat simultan
(bersamaan) yaitu didalamnya mengandung hak perorangan dan sekaligus hak
bersama, yang mana antara paduan kedua hak itu tetap mempunyai pembatasan
kewenangan yang jelas.
Pada Pasal 8 ayat (1) UURS yang pertama, dijelaskan bahwa subjek HMSRS
adalah perseorangan dan badan hukum yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak
atas tanah. Persyaratan tersebut mengingat bahwa hak pemilikan perseorangan atas
sarusun dan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama
merupakan satu kesatuan hak yang secara fungsional tidak terpisahkan.
Suatu rumah susun hanya dapat dibangun diatas tanah hak milik, hak guna
bangunan, hak pakai atas tanah Negara atau hak pengelolaan, dan khusus terhadap
yang dibangun diatas tanah hak pengelolaan, ketentuan ayat (2) dari Pasal 7 UURS
yang pertama, menentukan bahwa pembangunan rumah susun wajib menyelesaikan
status hak guna bangunan diatas hak pengelolaan tersebut sebelum melakukan
berbagai tindakan salah satunya seperti menjual sarusun itu. Maka dengan demikian,
pemilik sarusun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah bersama
yang bersangkutan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21, 36 dan 42 UUPA.74 Adapun meski HMSRS merupakan hak pemilikan perseorangan dengan hak
bersama, namun didalam hierarki Hak Penguasaan atas Tanah pada Hukum Tanah
Nasional kita, HMSRS dikategorikan sebagai hak perorangan. Penempatannya dalam
sistem Hak Penguasaan atas Tanah dapat diterima oleh logika hukum disebabkan
karena inti sistem rumah susun adalah suatu pemilikan bersama atas sebidang tanah
dengan bangunan fisik diatasnya.75
Pada pasal 41 ayat (2) PPRS menyatakan bahwa “Hak pemilikan
perseorangan atas sarusun merupakan ruangan dalam bentuk geometrik tiga dimensi
yang mempunyai luas dan batas tinggi tertentu yang tidak selalu dibatasi oleh
dinding”. Maka selanjutnya oleh ayat (3) tersebut menentukan bahwa “Dalam hal
ruangan dibatasi dinding, permukaan bagian dalam dari dinding pemisah, permukaan
bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur,
merupakan batas pemilikannya.”
Hal sebaliknya terdapat pada ruangan yang “sebagian tidak dibatasi dinding”,
oleh ayat (4) Pasal 41 PPRS menentukan bahwa “batas permukaan dinding bagian
luar yang berhubungan langsung dengan udara luar yang ditarik secara vertikal
merupakan pemilikannya”. Adapun contoh dari ruangan yang sebagian tidak dibatasi
dinding adalah balkon, yang mana batas-batas bagian atas setinggi permukaan bagian
bawah dari langit-langit struktur, merupakan batas pemilikannya.
Pada ruangan sarusun yang “keseluruhannya tidak dibatasi dinding”, seperti
untuk tempat parkir atau tempat usaha yang dimiliki oleh perseorangan secara
terpisah, ayat (5) Pasal 41 PPRS menentukan bahwa “garis batas yang ditentukan
ditarik secara vertikal yang penggunaannya sesuai dengan peruntukannya, merupakan
batas pemilikannya”. Garis batas yang ditentukan itu diberi tanda yang jelas dan tidak
dapat dihapuskan.
5. Proses Sertifikasi Hak Milik atas Satuan Rumah Susun
Sebagai bukti kepemilikan dari satuan rumah susun, Badan Pertanahan
Nasional menerbitkan suatu sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang
didalamnya menerangkan tiga hal yaitu keterangan mengenai letak, luas, dan jenis
hak tanah bersama. Keterangan tersebut dapat dilihat pada salinan buku tanah dan
surat ukur atau lebih dikenal dengan sertifikat tanah atas tanah bersama dimana
Hal tersebut diatas dapat dilihat sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) UURS yang
baru menyebutkan bahwa: “Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun diatas tanah
hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai diatas tanah Negara, hak guna
bangunan atau hak pakai diatas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun”,
yang mana pada Pasal 47 ayat (2) disebutkan bahwa SHM sarusun ini “diterbitkan
bagi setiap orang yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah”.
Penyelenggaraan pembangunan rumah susun yang telah memperoleh izin
layak huni, kemudian harus menyelesaikan suatu proses pembuatan SHM sarusun
yang bersangkutan yaitu dengan terlebih dahulu melakukan pemisahan rumah susun
dan satuan-satuan rumah susun. Pemisahan ini perlu dilakukan sebelum pemilik dari
masing-masing satuan rumah susun itu melakukan berbagai tindakan hukum salah
satunya seperti menjual atau menjadikan jaminan atas sarusun tersebut.76 Adapun pemisahan itu dilakukan dengan melihat dari pertelaan yang ada pada rumah susun
tersebut.
Pertelaan yang dimaksud adalah uraian dalam bentuk gambar dan tulisan yang
memperjelas batas-batas rumah susun baik secara horizontal maupun vertikal, bagian
bersama, tanah bersama, benda bersama, serta uraian mengenai nilai perbandingan
proporsional masing-masing satuan rumah susunnya. Pertelaan sangat penting dalam
sistem rumah susun, karena dari sinilah titik awal dimulainya proses penerbitan SHM
sarusun. Dari pertelaan tersebut akan muncul satuan-satuan rumah susun yang
terpisah secara hukum melalui proses pembuatan Akta Pemisahan.
Pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun yang akan dilakukan
dengan pembuatan akta pemisahan tersebut, sesuai Pasal 25 UURS yang baru jo.
Pasal 39 PPRS, maka diketahuilah bahwa akta pemisahan adalah:
a) Tanda bukti pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun, bagian
bersama, benda bersama, dan tanah bersama dengan pertelaan yang jelas
dalam bentuk gambar, uraian dan batas-batasnya dalam arah vertikal dan
horizontal yang mengandung nilai perbandingan proporsional.
b) Bentuk dan tata cara pengisian dan pendaftaran akta pemisahan diatur dalam
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989.
c) Akta pemisahan dibuat dan diisi sendiri oleh penyelenggara pembangunan
rumah susun. Akta pemisahan ini tidak diharuskan dibuat secara notarial.
d) Akta pemisahan ini wajib disahkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten /Kotamadya setempat atau Pemerintah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Akta pemisahan tersebut kemudian harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan
setempat dengan melampirkan sertifikat hak atas tanah, izin layak huni dan
warkah-warkah lainnya yang diperlukan yang sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989 tentang bentuk dan tatacara
berkas-berkas lampirannya ini lalu dipergunakan sebagai dasar dalam penerbitan
SHM atas sarusun.77
Setelah dilakukannya pendaftaran akta pemisahan, maka terjadi pemisahan
atas satuan-satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara individual dan terpisah
yang disebut dengan HMSRS dengan dibuatkannya buku tanah untuk setiap satuan
rumah susun yang bersangkutan yang mana hal ini sesuai dengan isi pasal 9 ayat (4)
PPRS.
Hak milik atas satuan-satuan rumah susun yang telah dibukukan tersebut
kemudian dapat diterbitkan SHMSRS. Bentuk dan tata cara pembuatan buku tanah
serta penerbitan sertipikat ini sesuai dan diatur dalam Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang bentuk dan tata cara pembuatan
buku tanah serta penerbitan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun.
Suatu SHMSRS merupakan tanda bukti hak milik atas sarusun, yang mana
pada sertipikat ini terdiri atas78:
a) Salinan Buku Tanah dan surat atas Hak Tanah Bersama menurut ketentuan
Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UUPA.
b) Gambar denah tingkat rumah susun yang bersangkutan yang menunjukkan
sarusun yang dimiliki.
77Ibid, hal. 209.
c) Peta pertelaan mengenai besarnya bagian hak atas bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama yang bersangkutan kesemuanya merupakan
satu-kesatuan yang tidak dapat terpisahkan.
Sertipikat tersebut kemudian terbit atas nama penyelenggara pembangunan
dan harus sudah ada sebelum sarusun mengadakan tindakan penjualan dan
sebagainya. Hal ini berbeda dengan perumahan biasa yang mana sertipikat hak atas
tanah yang berasal dari pemecahan sertipikat induk atas nama penyelenggara
pembangunan terbit atas nama pembeli atau pemilik yang baru dan terbit setelah
rumah yang bersangkutan dibeli.79
Maka dari itu, perbedaan diantara kedua hal tersebut terletak pada perbuatan
hukum pemisahannya dan perbuatan hukum jual belinya, yaitu:
a) Pada rumah susun, pemisahan dilakukan sebelum sarusun dijual yang
selanjutnya terbit SHM sarusun atas nama penyelenggara pembangunan.
Adanya SHM sarusun merupakan syarat untuk dapat menjual suatu sarusun
tersebut.
b) Pada perumahan biasa, pemecahan dilakukan setelah rumah yang
bersangkutan dijual, yang mana atas dasar jual beli tersebut, kemudian terbit
sertipikat hak atas tanah yang terdaftar atas nama pemilik yang baru.
Adapun dengan diterbitkannya SHM sarusun, maka Sertipikat atas tanah
bersama harus disimpan di Kantor Pertanahan sebagai warkah dan didalam buku
tanah maupun sertipikat hak atas tanahnya diberi catatan mengenai pemisahan dan
penerbitan SHM sarusun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 tentang bentuk dan tata
cara pembuatan buku tanah serta penerbitan sertipikat hak milik atas satuan rumah
susun.
B. Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
Sebelum keluarnya Undang tentang Hak Tanggungan dan
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia, tentang jaminan hak kebendaan diatur dalam KUH
Perdata dan Jurisprudensi-Jurisprudensi Mahkamah Agung. Seperti masalah jaminan
atas benda-benda bergerak diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab Ke-20 tentang
gadai dan masalah jaminan atas benda-benda tidak bergerak diatur dalam KUH
Perdata Buku II Bab Ke-21 tentang hipotik.
Setelah menantikan selama kurang lebih 34 tahun sejak diundangkannya
UUPA yang menjanjikan akan adanya suatu peraturan yang mengatur tentang hak
tanggungan, maka akhirnya lahirlah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang
disahkan pada tanggal 9 April 1996.80
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 atau disebut
dengan UUHT, maka Undang-undang tersebeut kemudian menggantikan ketentuan
mengenai hipotik dalam Buku II KUH Perdata sepanjang mengenai tanah dan juga
ketentuan mengenai credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 berdasarkan Pasal 57 UUPA
yang masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya UUHT tersebut.
Pada penjelasan umum UUHT disebutkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan mengenai hipotik dan credietverband berasal dari
zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum
adanya Hukum Tanah Nasional, sebagaimana pokok-pokok ketentuannya tercantum
dalam UUPA dan dimaksudkan untuk diberlakukan hanya untuk sementara waktu
yaitu sambil menunggu terbentuknya UUHT.
Ketentuan mengenai hipotik dan credietverband dipandang tidak sesuai lagi
dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat
menampung perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hak jaminan
sebagai akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibat yang timbul yaitu
perbedaan pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalam pelaksanaan
hukum jaminan atas tanah.
Hak tanggungan pada dasarnya tidak dibangun berdasarkan sesuatu yang
belum ada sebelumnya. Hak tanggungan dibangun dengan mengambil alih dan
mengacu atas asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari hipotik yang diatur
pokok dari Hak Tanggungan yang diambil alih dari hipotik, meskipun juga pasti
terdapat pula asas dan ketentuan yang berbeda.81
Hak tanggungan tersebut dikatakan menggantikan posisi hipotik tidak
keseluruhannya, karena hanya menggantikan hipotik sepanjang yang menyangkut
tanah saja, sedangkan hipotik atas kapal laut dan pesawat udara tetap berlaku.
Adapun disamping hak-hak jaminan berupa hipotik atas kapal laut dan pesawat udara,
ketentuan mengenai gadai dan fidusia sebagai jaminan juga berlaku sebagai hak
jaminan.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa terdapat beberapa jenis hak jaminan
dengan nama yang berbeda-beda, akan tetapi asas-asas dan ketentuan-ketentuan
pokoknya boleh dikatakan sama. Maka dari itu agar tidak mendapat kesulitan dalam
pembagiannya, sebaiknya istilah mengenai hak-hak jaminan tersebut diadakan
penggabungan saja yaitu istilah Hak Tanggungan terhadap semua jenis hak jaminan
yang objeknya benda terdaftar, sedangkan gadai untuk benda yang tidak terdaftar.82 1. Pengertian Hak Tanggungan
Istilah Hak Tanggungan sebagai hak jaminan dilahirkan oleh UUPA, yang
mana istilah itu dipakai dan berkaitan dengan perasuransian. Pada dunia
perasuransian di Indonesia, istilah “tanggungan” digunakan sebagai sinonim dari kata
“asuransi”. Sejalan dengan hal tersebut, lalu muncul istilah “penanggung” yang
berarti suatu perusahaan asuransi, dan istilah “tertanggung” yang berarti pihak yang
ditanggung atau diasuransikan.
Berkaitan dengan pemakaian istilah “hak tanggungan” didalam UUPA dan
didalam UUHT, dunia perasuransian telah menyatakan bahwa pemakaian istilah
tersebut adalah merupakan istilah yang khusus bagi dunia perasuransian, yang mana
sebaiknya tidak digunakan oleh kalangan yang lain selain kalangan pihak
perasuransian. Hal tersebut dikarenakan kata “tanggungan” mempunyai dua arti yaitu
jaminan atas tanah dan asuransi.83
Pemahaman mengenai Hak Tanggungan dapat terlihat misalnya pada Pasal 1
Ayat (1) UUHT disebutkan bahwa:
“Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.”
Apabila diadakan perbandingan dengan definisi hipotik, terlihat bahwa
rumusan mengenai Hak Tanggungan jauh lebih baik dalam rumusannya dibandingkan
dengan rumusan dalam hipotik. Pada rumusan definisi hipotik banyak unsur-unsur
dari hipotik yang belum dicantumkan sehingga definisi tersebut dikatakan belum
dapat memberikan gambaran mengenai apa yang dimaksudkan dengan hipotik.
2. Asas-asas Hak Tanggungan
Hal yang dijadikan sebagai asas dalam pemberian Hak Tanggungan bertujuan
untuk membedakan Hak Tanggungan tersebut dari jaminan-jaminan utang lainnya
dari segi jenis dan bentuk. Asas-asas tersebut dapatlah terlihat dari berbagai
Pasal-Pasal yang terdapat didalam UUHT. Adapun asas-asas tersebut yaitu84:
a) Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur
pemegang Hak Tanggungan (droit de preference).
Berdasarkan definisi yang ditemukan pada Pasal 1 Ayat (1) yang telah
dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu dibandingkan terhadap
kreditur-kreditur lainnya. Kreditur yang dimaksud adalah yang memperoleh atau
yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.
Adapun pengertian “kedudukan yang diutamakan” tidak ditemui dalam
penjelasan dari Pasal 1 tersebut melainkan terlihat pada Angka (4) Penjelasan
umum UUHT, bahwa yang dimaksud adalah apabila debitur cidera janji, kreditur
dapat mengambil tindakan seperti menjual tanah yang diperjanjikan melalui
pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditur-kreditur lain.
Pada penjelasan umum tersebut, diketahui bahwa sekalipun diutamakan
terhadap hak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan, akan tetapi tidak
mengurangi preferensi piutang-piutang Negara yang menjadi kewajiban debitur
yang bersangkutan. Kewajiban itu adalah berupa pajak dan semua piutang
Negara sebagaimana Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara.
b) Hak Tanggungan Tidak dapat Dibagi-bagi
Pada Pasal 2 UUHT diketahui bahwa Hak tanggungan mempunyai sifat tidak
dapat dibagi-bagi, yang artinya bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh
objek-objeknya dan setiap bagian daripadanya. Meskipun sebagian dari utang
telah dilunasi, tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari
beban Hak Tanggungan, melainkan tetap membebani seluruh objek untuk sisa
utang yang belum dilunasi.
Sifat Hak Tanggungan seperti ini menyebabkan tidak dimungkinkannya
dilakukan penghapusan penanggungan secara sebahagian atau yang disebut
dengan roya parsial terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Menurut Pasal 2
Ayat (1) jo Ayat (2) UUHT, sifat tersebut dapat disimpangi oleh para pihak
apabila para pihak menginginkan hal yang demikian itu dengan
memperjanjikannya dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atau kemudian
disebut dengan APHT.
Adapun pengecualian ini hanya dapat dilakukan sepanjang Hak Tanggungan
itu dibebankan kepada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang yang dijamin
dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing
hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan yang akan
utang yang belum dilunasi. Tujuan pengecualian ini menurut Pasal 2 Ayat (2)
UUHT yaitu untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan.
c) Hak Tanggungan Hanya Dibebankan Pada Hak atas Tanah yang Telah Ada.
Pada Pasal 8 Ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk
memberikan Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada
saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan yang hanya dapat dibebankan pada
hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan.
Maka dari itu, terhadap hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang
dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dan tidak pula dimungkinkan untuk
membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru aka nada
dikemudian hari.
d) Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Selain atas Tanahnya juga Berikut
Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah Tersebut.
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan
bukan hanya pada hak atas tanah yang menjadi objeknya saja, akan tetapi juga
berikut bangunan, tanaman, atau hasil karya sebagai satu kesatuan dengan tanah,
yang mana bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut adalah merupakan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai objek Hak Tanggungan
tersebut bukan hanya terbatas kepada benda-benda yang merupakan milik
tetapi juga terhadap benda yang bukan merupakan milik pemegang hak atas
tanah seperti Pada Pasal 4 Ayat (5) UUHT.
e) Hak Tanggungan dapat Dibebankan pula Atas Benda-benda yang Berkaitan
dengan Tanah yang Baru Akan Ada Dikemudian Hari.
Pasal 4 Ayat (4) UUHT memungkinkan terhadap Hak Tanggungan dapat
dibebankan pula atas benda yang berkaitan dengan tanah sekalipun
benda-benda tersebut belum ada, akan tetapi baru akan ada dikemudian hari yaitu
benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan, belum merupakan
bahagian dari tanah yang menjadi objek misalkan karena tanaman itu baru akan
ditanam atau terhadap hasil karya yang baru akan dibangun.
f) Perjanjian Hak Tanggungan adalah PerjanjianAccessoir.
Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri.
Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan
perjanjian induk. Perjanjian induk bagi pemberian Hak Tanggungan adalah suatu
perjanjian utang-piutang yang menimbulkan adanya suatu benda yang
dijaminkan sebagai utang.
Pada penjelasan umum UUHT butir 8 disebutkan bahwa:
“Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accesoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.”
Adapun hal tersebut berdasarkan isi dari Pasal 3 Ayat (1) UUHT, dimana Hak
Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk:
(1) Utang yang telah ada
(2) Utang yang baru akan ada, tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan
jumlah tertentu.
(3) Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan
jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan
berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan
hubungan utang piutang yang bersangkutan.
h) Hak Tanggungan dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang.
Berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) UUHT disebutkan bahwa: “Hak Tanggungan
dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau
untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.”
Pasal tersebut memungkinkan pemberian satu Hak Tanggungan untuk
beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan satu
perjanjian utang piutang dan terhadap beberapa kreditur yang memberikan utang
kepada satu debitur berdasarkan beberapa perjanjian utang-piutang bilateral
antara masing-masing kreditur dengan debitur yang bersangkutan.
Ketentuan tersebut bertujuan sebagai penampung kebutuhan pemberian Hak
Tanggungan bagi kredit sindikasi perbankan, yang dalam hal ini seorang debitur
memperoleh kredit lebih dari satu bank, akan tetapi berdasarkan syarat-syarat dan
Praktik perbankan memungkinkan seorang debitur memperoleh kredit dari
beberapa kreditur berdasarkan perjanjian-perjanjian kredit atau perjanjian
bilateral yang berlainan, sedangkan untuk agunan bagi semua kreditur tersebut,
debitur menjaminkan hak atas tanah yang sama atau dengan satu agunan.
i) Hak Tanggungan mengikuti Objeknya dalam Tangan Siapapun Objek Hak
Tanggungan itu Berada.
Suatu Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 7 UUHT memiliki asas tetap
mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Maka dari itu,
Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu
beralih kepada pihak lain disebabkan oleh apapun juga dan pemegang Hak
Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapapun
benda itu berpindah.
j) Sita oleh Pengadilan tidak dapat Diletakkan diatas Hak Tanggungan
Pada saat terdahulu, banyak terdapat kasus yang memperlihatkan bahwa
pengadilan meletakkan sita diatas tanah yang telah dibebankan hak hipotik.
Penetapan pengadilan yang tersebut sangat disayangkan oleh banyak kalangan
hukum dan perbankan. Sita yang diletakkan itu adalah baik sita jaminan maupun
sita eksekusi yang dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan pihak ketiga.
Peletakan sita tersebut tidak seharusnya dilakukan mengingat karena tujuan
dari diperkenalkannya hak jaminan pada umumnya dan hak tanggungan pada
khususnya adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur pemegang
Hak Tanggungan dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan
mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur
tersebut.
k) Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan atas Tanah yang Tertentu.
Asas ini pada dasarnya menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat
dibebankan atas tanah yang ditentukan secara spesifik. Pasal 8 dan 11 UUHT
menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objeknya dan kewenangan itu harus
ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan yang hanya dimungkinkan apabila
objeknya telah ada dan telah tertentu pula tanah tersebut tanah yang mana.
Berdasarkan hal tersebut, dikatakan secara spesifik artinya bahwa dalam
pemberian Hak Tanggungan didalam APHT wajib dicantumkan uraian yang jelas
mengenai objek Hak Tanggungan, dan hal itu tidaklah dapat terwujud jika objek
Hak Tanggungan yang bersangkutan belum ada dan bahkan belum diketahui
bagaimana ciri-cirinya secara spesifik.
l) Hak Tanggungan Wajib Didaftarkan sebagai Asas Publisitas
Adapun terhadap Hak Tanggungan berlaku asas publisitas atau asas
keterbukaan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 UUHT dimana pemberian Hak
Tanggungan itu wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, yang mana
pendaftaran itu adalah syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan
Pihak ketiga sebagai yang terkait dengan adanya suatu proses pemberian Hak
Tanggungan berhak untuk mengetahui tentang terjadinya pembebanan Hak
Tanggungan itu sendiri. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara yaitu melalui
pencatatan atau pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak
ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu
hak atas tanah.
m) Hak Tanggungan Dapat Diberikan dengan Disertai Janji-Janji Tertentu
Menurut Pasal 11 Ayat (2) UUHT, Hak Tanggungan dapat diberikan dengan
disertai oleh janji-janji tertentu yang dicantumkan dalam APHT yang. Janji-janji
tersebut bersifat fakultatif dan tidak limitatif. Adapun dikatakan fakultatif karena
janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, baik sebahagian
maupun seluruhnya, dan bersifat limitatif karena dapat pula diperjanjikan
janji-janji lain selain dari janji-janji-janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (2)
tersebut.
n) Objek Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan Untuk Dimiliki Sendiri Oleh
Pemegang Hak Tanggungan Bila Debitur Cidera Janji.
Pasal 12 UUHT menyebutkan bahwa terhadap janji untuk memberikan
kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan dalam memiliki objek Hak
Tanggungan apabila terjadi cidera janji yang dilakukan debitur, maka
kewenangan tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Larangan pencantuman janji seperti itu dimaksudkan untuk melindungi
memanfaatkan posisi debitur yang sedang dalam keadaan sangat membutuhkan
utang harus terpaksa menerima janji itu dengan persyaratan yang sulit dan
merugikan baginya.
o) Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti
Berdasarkan Pasal 6 UUHT, ketika debitur cidera janji, maka pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk melakukan parate executie yaitu
dengan menjual objek Hak Tanggungan dan atas kekuasaan sendiri melakukan
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut. Adapun dalam hal ini tidak diperlukan perolehan persetujuan dari
pemberi Hak Tanggungan ataupun meminta penetapan pengadilan dalam
pelaksanaannya.
3. Perjanjian Utang-Piutang Terhadap Hak Tanggungan
Perjanjian piutang berkaitan erat dengan pemberian suatu Hak Tanggungan.
Hal ini terlihat pada Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”
Adapun dengan kata lain, bahwa timbulnya Hak Tanggungan hanya
dimungkinkan apabila sebelumnya telah diperjanjikan didalam perjanjian
utang-piutang atau disebut juga dengan perjanjian kredit yang menjadi dasar pemberian
utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan kepada kreditur, dan kemudian terhadap
tersendiri oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berupa suatu akta yang disebut
dengan APHT.85
Pelaksanaan yang terjadi dalam praktek sehari-hari diketahui bahwa tidak
selamanya didalam perjanjian kredit telah dicantumkan janji-janji yang menyatakan
bahwa untuk menjamin pelunasan kredit yang dibebankan akan selalu diberikan Hak
Jaminan tertentu misalnya gadai, fidusia, hipotik ataupun sekarang ini telah
digantikan dengan Hak Tanggungan.
Adapun pihak pemberi kredit atau pihak kreditur biasanya baru akan meminta
pemberian suatu hak jaminan tertentu setelah diadakannya perjanjian kredit
disebabkan karena objek hak jaminan itu baru kemudian dimiliki oleh debitur atau
baru kemudian dapat diberikan dan diserahkan oleh debitur kepada pihak kreditur.
Suatu keharusan dalam membuat perjanjian utang ditentukan berdasarkan
penjelasan Pasal 10 Ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Sesuai dengan sifat accessoir dari Hak Tanggungan, pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang ini dapat dibuat dengan akta di bawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik, tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dalam hal hubungan utang piutang itu timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian kredit, perjanjian tersebut dapat dibuat di dalam maupun di luar negeri dan pihak-pihak yang bersangkutan dapat orang perseorangan atau badan hukum asing sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia.”
Pembuatan perjanjian kredit seperti yang dimaksud tersebut dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian tersebut. Apabila
diharuskan dibuat dengan akta otentik, maka perjanjian kredit itu dibuat dengan akta
otentik. Akan tetapi apabila tidak diharuskan menggunakan akta otentik, maka cukup
dibuat dengan akta dibawah tangan.
4. Objek Hak Tanggungan
Adapun yang dapat dijadikan sebagai suatu objek Hak Tanggungan yaitu
dapat digolongkan terhadap:
a) Hak-hak atas Tanah
Berdasarkan Pasal 25, 33 dan 39 UUPA, yang dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha
dan Hak Guna Bangunan. Adapun didalam praktik perbankan dan lembaga
pembiayaan lainnya, tanah dengan Hak Pakai juga dapat dijadikan agunan
kredit. Hal itu disebabkan karena Hak Pakai adalah hak atas tanah yang
terdaftar pada daftar umum dan dapat dipindahtangankan.
Hal tersebut terhadap pelaksanaannya mengingat didalam UUPA tidak
disebutkan adanya Hak Pakai sebagai salah satu objek Hak Tanggungan,
maka kemudian pihak kreditur tidak dapat menguasainya sebagai agunan
pengikatan secara fidusia dengan meminta surat kuasa menjual kepada
pemiliknya.86
Terhadap hal tersebut, dengan mengingat kebutuhan dimasyarakat yang
menghendaki agar Hak Pakai juga dapat dibebankan dengan Hak
Tanggungan, maka sesuai Pasal 4 Ayat (3) kemudian diperbolehkan hanya
terhadap Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebankan Hak
Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa:
“Dikarenakan Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang tidak hanya dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara saja, akan tetapi juga dari tanah milik orang lain dengan membuat perjanjian antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai yang bersangkutan, sedangkan kedua jenis Hak Pakai itu pada hakikatnya tidak berbeda ruang lingkupnya yaitu menyangkut hak untuk penggunaannya atau hak untuk memungut hasilnya. Maka dari itu wajar jika Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat pula dibebankan dengan Hak Tanggungan seperti halnya Hak Pakai atas tanah Negara.”
Pada penjelasan umum UUHT juga menyebutkan bahwa terhadap Hak
Pakai tersebut dapat dijadikan objek jaminan Hak Tanggungan yaitu pada
butir 5 Bagian I yang menyebutkan: “...Pernyataan bahwa Hak Pakai tersebut
dapat dijadikan objek Hak Tanggungan merupakan penyesuaian ketentuan
UUPA dengan perkembangan Hak Pakai itu sendiri serta kebutuhan
masyarakat.”
Penjelasan umum UUHT mengemukakan bahwa terhadap Hak Pakai atas
tanah Negara yang wajib didaftarkan, akan tetapi dikarenakan sifatnya yang
tidak dapat dipindah tangankan, maka terhadapnya tidak dikategorikan
sebagai objek Hak Tanggungan, misalnya pada Hak Pakai atas nama Badan
Keagamaan dan sosial.
Adapun terhadap Hak Milik juga dapat dikategorikan bukan sebagai objek
Hak Tanggungan dalam hal apabila Hak Milik tersebut sudah diwakafkan
untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya. Meskipun Hak Milik
ini terdaftar, akan tetapi karena menurut sifat dan tujuannya tidak dapat
dipindahtangankan, maka terhadapnya tidak dapat dibebani Hak Tanggungan.
b) Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah
Kita mengetahui bahwa KUH Perdata menganut asas perlekatan,
sedangkan UUHT menganut asas pemisahan horizontal. Asas perlekatan yang
dianut oleh KUH Perdata itu tercermin pada ketentuan Pasal 1165 yang
menentukan bahwa setiap hipotik meliputi juga segala apa yang menjadi satu
dengan benda itu karena pertumbuhan atau pembangunan.
Berdasarkan penjelasan diatas, perlekatan yang dimaksud adalah tanpa
harus diperjanjikan terlebih dahulu, segala benda yang berkaitan dengan tanah
yang baru akan ada dikemudian hari, demi hukum terbebani pula dengan
hipotik yang telah dibebankan sebelumnya diatas hak atas tanah yang menjadi
objek hipotik. Hipotik tersebut meliputi pula segala perbaikan dikemudian
Adapun diketahui bahwa hukum tanah nasional didasarkan pada hukum
adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Maka dari itu segala
benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang telah dibebankan
dengan Hak Tanggungan itu tidak dengan sendirinya terbebani pula dengan
Hak Tanggungan.87
Berdasarkan yang tercantum dalam angka 6 penjelasan umum UUHT,
dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap
merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dibebankan Hak Tanggungan itu
menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan
sehingga setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan
sendirinya meliputi benda-benda tersebut.
Terhadap hal tersebut, UUHT mengambil sikap bahwa penerapan asas-asas
hukum adat tidaklah mutlak, melainkan selalu memperhatikan dan
disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam
masyarakat. Maka kemudian dimungkinkan pembebanan Hak Tanggungan
atas tanah meliputi benda-benda tersebut sepanjang merupakan satu kesatuan
dengan tanah yang bersangkutan.
Pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda yang berkaitan dengan
tanah itu hanya terjadi apabila dengan tegas dinyatakan dalam APHT yang
bersangkutan, dan apabila tidak dinyatakan secara tegas atau eksplisit, Hak
Tanggungan akan terjadi terhadap tanahnya saja sesuai asas pemisahan
horizontal yang dianut hukum tanah nasional.
Hak Tanggungan juga dapat dibebankan terhadap “bangunan yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut”. Adapun tidak disebutkan
dengan kalimat “bangunan yang berada diatas tanah tersebut” dimaksudkan
agar yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah juga termasuk
bangunan-bangunan yang berada dibawah permukaan tanah yang merupakan bagian dari
tanah diatasnya.88
Maksud hal tersebut adalah bahwa bangunan yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut termasuk misalnya ruang bawah tanah hanya
akan dapat dibebankan tehadapnya Hak Tanggungan apabila atas tanahnya
juga dibebani pula dengan Hak Tanggungan. Bangunan tersebut tidak dapat
dibebankan jika tanah dimana bangunan itu berdiri tidak ikut dibebankan.
Adapun yang dimaksud dengan hasil karya menurut Pasal 4 ayat (4) UUHT
adalah meliputi benda-benda seperti candi, patung, gapura, relief bahkan pada
saat ini misalnya pembangkit tenaga listrik (tower) dan jalan layang (fly over)
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan
terhadapnya dapat dibebankan hak tanggungan.
5. Subjek Hukum Hak Tanggungan
Pihak-pihak yang dapat dijadikan adalah pihak yang terkait dalam proses
pemberian Hak Tanggungan dari awal sampai hapusnya Hak Tanggungan tersebut.
Adapun diketahui bahwa pihak-pihak yang terkait itu menurut pendapat Sutan Remy
Sjahdeini adalah89:
a) Pemberi Hak Tanggungan
Menurut UUHT pada Pasal 8, untuk menentukan pihak mana yang
dikategorikan sebagai pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau
Badan Hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Adapun dikerenakan objek Hak Tanggungan adalah hak milik, hak guna
usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah Negara, sejalan dengan ketentuan
Pasal 8 tersebut, yang dapat menjadi pemberi Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau Badan Hukum yang mempunyai hak-hak atas tanah tersebut.
Kewenangan dalam hal melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak
Tanggungan sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Ayat (1) UUHT tersebut harus
telah ada dan masih tetap ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran
Hak Tanggungan dilakukan.
Pernyataan tersebut diatas disebabkan karena lahirnya Hak Tanggungan
adalah pada saat didaftarkannya Hak Tanggungan tersebut yang secara sendirinya
lahir pula kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak
Tanggungan. Hal ini harus dibuktikan keabsahannya pada saat didaftarkannya Hak
Tanggungan.
Adapun pihak-pihak yang dapat mempunyai Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah Negara yaitu:
(1) Pemilik Hak Milik
Berdasarkan ketentuan UUPA, yang dapat mempunyai hak milik adalah orang
perorangan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum tertentu. Pasal 21 Ayat
(1) UUPA menyebutkan bahwa orang perseorangan yang dapat mempunyai Hak
Milik adalah Warga Negara Indonesia, yang mana dengan ketentuan itu tidak
dimungkinkan orang asing dalam mempunyai tanah Hak Milik.
Badan Hukum yang dimaksud sebelumnya adalah melihat pada Pasal 21 Ayat
(2) UUPA bahwa terhadap Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak
Milik dengan syarat-syarat tertentu yang ditentukan secara khusus oleh
Undang-undang atau peraturan lainnya, seperti pada Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 1973, bahwa badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
adalah:
(a)Bank-bank yang didirikan oleh Negara.
(b)Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan
Undang-undang Nomor 79 Tahun 1958.
(c)Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria
setelah mendengar Menteri Agama.
(d)Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Sosial.
Menurut Pasal 30 Ayat (1) UUPA, yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha
adalah Warga Negara Indonesia, dan Badan Hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Maka dengan demikian orang
asing tidak dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia berupa Hak Guna
Usaha.
(3) Pemilik Hak Guna Bangunan
Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) UUPA, yang dapat mempunyai Hak Guna
Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Mengenai
kepemilikan Hak Guna Bangunan ini pada dasarnya sama dengan pemilik Hak
Guna Usaha.
(4) Pemilik Hak Pakai atas Tanah Negara
Pihak yang dapat mempunyai Hak Pakai atas tanah Negara menurut Pasal 42
UUPA adalah:
(a)Warga Negara Indonesia
(b)Orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia
(c)Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
(d)Badan Hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
b) Pemegang Hak Tanggungan
Pasal 9 UUHT menjelaskan bahwa pemegang Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau Badan Hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.