B. Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah
2. Proses Pemberian Hak Tanggungan pada Hak Milik Satuan Rumah Susun Pemberian Hak Tanggungan pada Hak Milik Satuan Rumah Susun terdiri dar
beberapa tahap tertentu yang mana tahap-tahap tersebut adalah merupakan bagian dari proses yuridis dan administratif.
a) Perjanjian Kredit
Pada tahap awal yaitu dilakukan suatu pengikatan perjanjian kredit atau perjanjian utang dimana disepakati janji debitur untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang. Perjanjian kredit tersebut merupakan suatu90:
(1)Perjanjian pokok (basic agreement, principal agreement), yang berfungsi sebagai dokumen pertama atau sebagai dokumen awal untuk membuktikan ada terjadinya perjanjian utang.
(2)Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UUHT yang berbunyi:
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.” Maka diketahui bahwa eksistensi janji memberikan Hak Tanggungan dalam perjanjian utang atau perjanjian kredit merupakan satu kesatuan dengan janji pemberian Hak Tanggungan.
(3)Perjanjian Hak Tanggungan bersifataccessoirdengan perjanjian pokok. Suatu Hak Tanggungan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan ikutan dari 90M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Cetakan ke-
perjanjian pokok yaitu perjanjian tentang pemberian jaminan atau pelunasan utang yang disebut dalam perjanjian pokok.
Perjanjian pokok seperti yang tersebut diatas, dapat berbentuk akta dibawah tangan (onderhandse akte), atau berbentuk akta autentik (authentieke akte). Pembuatan perjanjian pokok tersebut dapat dilakukan didalam maupun diluar negeri, karena tidak disyaratkan validitas dan keabsahannya harus diperbuat didalam negeri, perjanjian tetap sah apabila dibuat diluar negeri. Pihak-pihak sebagai subjek dalam perjanjian pokok dapat berupa orang perorangan, badan hukum, maupun orang atau badan hukum asing dengan syarat kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk pembangunan di wilayah Republik Indonesia. b) Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan didukung dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan atau disingkat dengan istilah APHT yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan Akta ini berfungsi sebagai bukti tentang Pemberian Hak Tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua, melengkapi dokumen perjanjian utang (perjanjian pokok).91
Penjelasan seperti tersebut diatas juga diperkuat berdasarkan yang tercantum pada isi Pasal 10 ayat (2) UUHT yang menyebutkan bahwa: “Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Adapun dalam pembuatan suatu APHT oleh seorang PPAT menurut Pasal 11 UUHT, wajib mencantumkan nama dan identitas pemegang dan pemberi HT, domisili dari pihak-pihak tersebut, penunjukan secara jelas tentang utang yang dijaminkan, nilai tanggungan, dan uraian mengenai objek Hak Tanggungan yaitu dalam hal ini satuan rumah susun yang akan dijadikan jaminan utang.
Pencantuman elemen ini didalam APHT bersifat kumulatif, dan oleh karena itu harus dilengkapi dan dicantumkan secara jelas. Jika lalai dalam pencantuman salah satu diantaranya, mengakibatkan APHT tersebut batal demi hukum, seperti tercantum dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UUHT bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi asas spesialitas dari Hak Tanggungan, baik mengenai subyek, obyek, maupun utang yang dijamin”.
Pada suatu APHT juga dicantumkan janji-janji tertentu agar dalam pelaksanaannya tetap sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini seperti disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, dimana terdapat sejumlah klausul yang dapat dicantumkan yaitu:
“Janji untuk membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan atau mengubah bentuk tata susunan objek Hak Tanggungan, dan janji untuk memberi kewenangan kepada penerima Hak Tanggungan mengelola objek berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri, menyelamatkan objek Hak Tanggungan dari hapusnya hak atas objek tersebut, kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri, dan terhadap janji pemberi Hak Tanggungan yang akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada saat eksekusi”.
c) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012
Pada tanggal 27 Desember 2012 yang lalu, terjadi perubahan ketetapan dalam sistem pembuatan Akta-akta PPAT yaitu dengan lahirnya sebuah peraturan dimana dimungkinkan setiap PPAT dalam menjalankan jabatannya membuat dan menyusun sendiri akta-akta di bidang pertanahan, baik yang menyangkut peralihan hak seperti Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan kedalam Perusahaan, dan Pembagian Hak Bersama, dan juga dalam bidang jaminan seperti pada pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, atau maupun juga untuk pelayanan seperti pembuatan akta Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.
Adapun sehubungan dengan pembuatan APHT sebagai proses pemberian Hak
Tanggungan pada hak milik satuan rumah susun, awalnya setiap PPAT
menggunakan blanko (formulir) akta yang telah disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat dengan format yang telah ditetapkan, namun dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 yang selanjutnya disebut dengan Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 ini, maka PPAT untuk seterusnya harus membuat dan menyusun akta tersebut secara pribadi karena tidak dibenarkan lagi mempergunakan blanko.
Hal tersebut sesuai dengan isi Perkaban Nomor 8 Tahun 2012 pada bahagian menimbang huruf a yaitu:
“Bahwa untuk meningkatkan pelayanan pertanahan, terhitung mulai tahun 2013 penyiapan dan pembuatan blanko Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dilakukan oleh masing-masing Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus.”
Berdasarkan Hal tersebut, maka APHT sebagai bentuk perjanjian kedua yang merupakan kelanjutan dari perjanjian utang sebagai perjanjian pokok, dibuat dalam bentuk konsep tersendiri yang disusun oleh PPAT sedemikian rupa dengan mencantumkan hal-hal yang penting dalam suatu APHT serta mengenai satuan rumah susun sebagai objek Hak Tanggungan.
d) Pendaftaran Pemberian Hak Tanggungan
Adapun dalam suatu perjanjian kebendaan, pada dasarnya mempunyai karakter yang bersifat berkelanjutan (voortdurende overeenkomst) yang diawali dengan perjanjian pemberian Hak Tanggungan dan berakhir pada saat pendaftaran. Sepanjang pendaftaran belum dilakukan, perjanjian pemberian Hak Tangungan ini dikatakan belum merupakan suatu perjanjian kebendaan.92
Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan syarat imperatif yaitu suatu syarat yang diharuskan. Hal tersebut yang menyebabkan Hak Tanggungan tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan karena merupakan perwujudan asas publisitas serta sekaligus merupakan syarat mutlak untuk lahirnya dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.93
Adapun sebelum pendaftaran berlangsung, proses awalnya yaitu meliputi penandatanganan yang dilakukan oleh para pihak terhadap APHT yang telah dibuat oleh seorang PPAT dengan syarat dan ketentuan sesuai sebagaimana dengan isi dari Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UUHT.
92Mariam Darus Badrulzaman,Op. Cit, hal. 61. 93Ibid, hal. 73.
Setelah penandatanganan akta tersebut, seorang PPAT sebagai pembuat APHT berdasarkan Pasal 13 ayat (2) UUHT, berkewajiban mengirimkan APHT dan warkat lain yaitu meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan objek Hak Tanggungan dan identitas para pihak, serta sertifikat hak atas tanah yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja dari tanggal penandatanganan APHT.
Pengiriman tersebut sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 13 ayat (2) UUHT, yang dapat dilakukan melalui petugas PPAT atau melalui pos tercatat, yang mana disini PPAT tersebut wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman sesuai dengan kondisi dan fasilitas yang ada di daerah yang bersangkutan. Seorang PPAT yang lalai memenuhi kewajiban tersebut diancam dengan sanksi administratif berupa teguran lisan maupun tulisan, pemberhentian sementara, maupun pemberhentian dari jabatan.
Kantor Pendaftaran Tanah sehubungan dengan hal tersebut diatas, berkewajiban mendaftarkan Hak Tanggungan dan kemudian membuat Buku Tanah Hak Tanggungan atau yang kemudian disebut dengan BTHT dan mencatat dalam Buku Tanah Hak Tanggungan atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Pencantuman tanggal pada BTHT sesuai Pasal 13 ayat (4) dan (5) adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap terhadap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran. Maka dari itu, efektifnya suatu Hak Tanggungan terhitung mulai tanggal Buku Tanah Hak Tanggungan dan sekaligus adanya asas keterbukaan (openbaar) dan
perlindungan hukum (legal protection) terhitung dari tanggal penerimaan pendaftaran.94
e) Penerbitan Sertifikat Hak Tanggungan
Setelah dokumen-dokumen seperti yang dijelaskan sebelumnya diterima, lalu Kantor Pertanahan membuat buku tanah Hak Tanggungan atau disebut juga dengan sertifikat Hak Tanggungan, lalu mencatatnya dalam buku hak atas tanah dan menyalin catatan itu pada sertifikat hak tanah.
Penerbitan sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUHT ayat (1) yaitu: “Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” dan dengan mencantumkan irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Fungsi dari adanya sertifikat Hak Tanggungan ini adalah sebagai bukti atas Hak Tanggungan dan sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 ayat (3) yang menyatakan bahwa setifikat ini adalah sebagai landasan kekuatan eksekutorial yang mana kekuatannya sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Adapun tindakan yang dilakukan selanjutnya oleh Kantor Pertanahan adalah mengembalikan sertifikat tanah yang berisi catatan pemberian Hak Tanggungan tersebut kepada pemegang hak tanah dan sekaligus memberikan sertifikat Hak Tanggungan kepada pihak kreditur.