• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah

2. Asas-asas Hak Tanggungan

Hal yang dijadikan sebagai asas dalam pemberian Hak Tanggungan bertujuan untuk membedakan Hak Tanggungan tersebut dari jaminan-jaminan utang lainnya dari segi jenis dan bentuk. Asas-asas tersebut dapatlah terlihat dari berbagai Pasal- Pasal yang terdapat didalam UUHT. Adapun asas-asas tersebut yaitu84:

a) Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan (droit de preference).

Berdasarkan definisi yang ditemukan pada Pasal 1 Ayat (1) yang telah dijelaskan sebelumnya, diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu dibandingkan terhadap kreditur-kreditur lainnya. Kreditur yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.

Adapun pengertian “kedudukan yang diutamakan” tidak ditemui dalam penjelasan dari Pasal 1 tersebut melainkan terlihat pada Angka (4) Penjelasan umum UUHT, bahwa yang dimaksud adalah apabila debitur cidera janji, kreditur dapat mengambil tindakan seperti menjual tanah yang diperjanjikan melalui pelelangan umum dengan hak mendahului dari kreditur-kreditur lain.

Pada penjelasan umum tersebut, diketahui bahwa sekalipun diutamakan terhadap hak kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan, akan tetapi tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara yang menjadi kewajiban debitur yang bersangkutan. Kewajiban itu adalah berupa pajak dan semua piutang

Negara sebagaimana Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.

b) Hak Tanggungan Tidak dapat Dibagi-bagi

Pada Pasal 2 UUHT diketahui bahwa Hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, yang artinya bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek-objeknya dan setiap bagian daripadanya. Meskipun sebagian dari utang telah dilunasi, tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan tetap membebani seluruh objek untuk sisa utang yang belum dilunasi.

Sifat Hak Tanggungan seperti ini menyebabkan tidak dimungkinkannya dilakukan penghapusan penanggungan secara sebahagian atau yang disebut dengan roya parsial terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Menurut Pasal 2 Ayat (1) jo Ayat (2) UUHT, sifat tersebut dapat disimpangi oleh para pihak

apabila para pihak menginginkan hal yang demikian itu dengan

memperjanjikannya dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan atau kemudian disebut dengan APHT.

Adapun pengecualian ini hanya dapat dilakukan sepanjang Hak Tanggungan itu dibebankan kepada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan tersebut, sehingga selanjutnya hanya membebani objek sebagai sisa

utang yang belum dilunasi. Tujuan pengecualian ini menurut Pasal 2 Ayat (2) UUHT yaitu untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perkreditan. c) Hak Tanggungan Hanya Dibebankan Pada Hak atas Tanah yang Telah Ada.

Pada Pasal 8 Ayat (2) UUHT menentukan bahwa kewenangan untuk memberikan Hak Tanggungan harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan yang hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan.

Maka dari itu, terhadap hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang dikemudian hari tidak dapat dijaminkan dan tidak pula dimungkinkan untuk membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru aka nada dikemudian hari.

d) Hak Tanggungan Dapat Dibebankan Selain atas Tanahnya juga Berikut Benda- benda yang Berkaitan dengan Tanah Tersebut.

Berdasarkan Pasal 4 Ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan hanya pada hak atas tanah yang menjadi objeknya saja, akan tetapi juga berikut bangunan, tanaman, atau hasil karya sebagai satu kesatuan dengan tanah, yang mana bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut adalah merupakan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai objek Hak Tanggungan tersebut bukan hanya terbatas kepada benda-benda yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang bersangkutan seperti pada Pasal 4 Ayat (4), akan

tetapi juga terhadap benda yang bukan merupakan milik pemegang hak atas tanah seperti Pada Pasal 4 Ayat (5) UUHT.

e) Hak Tanggungan dapat Dibebankan pula Atas Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah yang Baru Akan Ada Dikemudian Hari.

Pasal 4 Ayat (4) UUHT memungkinkan terhadap Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah sekalipun benda- benda tersebut belum ada, akan tetapi baru akan ada dikemudian hari yaitu benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan, belum merupakan bahagian dari tanah yang menjadi objek misalkan karena tanaman itu baru akan ditanam atau terhadap hasil karya yang baru akan dibangun.

f) Perjanjian Hak Tanggungan adalah PerjanjianAccessoir.

Perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah karena adanya perjanjian lain yang disebut dengan perjanjian induk. Perjanjian induk bagi pemberian Hak Tanggungan adalah suatu perjanjian utang-piutang yang menimbulkan adanya suatu benda yang dijaminkan sebagai utang.

Pada penjelasan umum UUHT butir 8 disebutkan bahwa:

“Oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accesoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya.”

Adapun hal tersebut berdasarkan isi dari Pasal 3 Ayat (1) UUHT, dimana Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk:

(1) Utang yang telah ada

(2) Utang yang baru akan ada, tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu.

(3) Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan.

h) Hak Tanggungan dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang.

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) UUHT disebutkan bahwa: “Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.”

Pasal tersebut memungkinkan pemberian satu Hak Tanggungan untuk beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan satu perjanjian utang piutang dan terhadap beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan beberapa perjanjian utang-piutang bilateral antara masing-masing kreditur dengan debitur yang bersangkutan.

Ketentuan tersebut bertujuan sebagai penampung kebutuhan pemberian Hak Tanggungan bagi kredit sindikasi perbankan, yang dalam hal ini seorang debitur memperoleh kredit lebih dari satu bank, akan tetapi berdasarkan syarat-syarat dan ketentuan yang sama yang dituangkan hanya dalam satu perjanjian kredit saja.

Praktik perbankan memungkinkan seorang debitur memperoleh kredit dari beberapa kreditur berdasarkan perjanjian-perjanjian kredit atau perjanjian bilateral yang berlainan, sedangkan untuk agunan bagi semua kreditur tersebut, debitur menjaminkan hak atas tanah yang sama atau dengan satu agunan.

i) Hak Tanggungan mengikuti Objeknya dalam Tangan Siapapun Objek Hak Tanggungan itu Berada.

Suatu Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 7 UUHT memiliki asas tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Maka dari itu, Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain disebabkan oleh apapun juga dan pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapapun benda itu berpindah.

j) Sita oleh Pengadilan tidak dapat Diletakkan diatas Hak Tanggungan

Pada saat terdahulu, banyak terdapat kasus yang memperlihatkan bahwa pengadilan meletakkan sita diatas tanah yang telah dibebankan hak hipotik. Penetapan pengadilan yang tersebut sangat disayangkan oleh banyak kalangan hukum dan perbankan. Sita yang diletakkan itu adalah baik sita jaminan maupun sita eksekusi yang dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan pihak ketiga.

Peletakan sita tersebut tidak seharusnya dilakukan mengingat karena tujuan dari diperkenalkannya hak jaminan pada umumnya dan hak tanggungan pada khususnya adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Jika terhadap

Hak Tanggungan dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur tersebut.

k) Hak Tanggungan Hanya Dapat Dibebankan atas Tanah yang Tertentu.

Asas ini pada dasarnya menghendaki bahwa Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang ditentukan secara spesifik. Pasal 8 dan 11 UUHT menyatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objeknya dan kewenangan itu harus ada pada saat pendaftaran Hak Tanggungan yang hanya dimungkinkan apabila objeknya telah ada dan telah tertentu pula tanah tersebut tanah yang mana.

Berdasarkan hal tersebut, dikatakan secara spesifik artinya bahwa dalam pemberian Hak Tanggungan didalam APHT wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan, dan hal itu tidaklah dapat terwujud jika objek Hak Tanggungan yang bersangkutan belum ada dan bahkan belum diketahui bagaimana ciri-cirinya secara spesifik.

l) Hak Tanggungan Wajib Didaftarkan sebagai Asas Publisitas

Adapun terhadap Hak Tanggungan berlaku asas publisitas atau asas keterbukaan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 UUHT dimana pemberian Hak Tanggungan itu wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, yang mana pendaftaran itu adalah syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap Pihak Ketiga.

Pihak ketiga sebagai yang terkait dengan adanya suatu proses pemberian Hak Tanggungan berhak untuk mengetahui tentang terjadinya pembebanan Hak Tanggungan itu sendiri. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara yaitu melalui pencatatan atau pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah.

m) Hak Tanggungan Dapat Diberikan dengan Disertai Janji-Janji Tertentu

Menurut Pasal 11 Ayat (2) UUHT, Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai oleh janji-janji tertentu yang dicantumkan dalam APHT yang. Janji-janji tersebut bersifat fakultatif dan tidak limitatif. Adapun dikatakan fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, baik sebahagian maupun seluruhnya, dan bersifat limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji- janji lain selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (2) tersebut.

n) Objek Hak Tanggungan Tidak Boleh Diperjanjikan Untuk Dimiliki Sendiri Oleh Pemegang Hak Tanggungan Bila Debitur Cidera Janji.

Pasal 12 UUHT menyebutkan bahwa terhadap janji untuk memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan dalam memiliki objek Hak Tanggungan apabila terjadi cidera janji yang dilakukan debitur, maka kewenangan tersebut dinyatakan batal demi hukum.

Larangan pencantuman janji seperti itu dimaksudkan untuk melindungi debitur yang berkedudukan lemah, yang adakalanya pihak kreditur

memanfaatkan posisi debitur yang sedang dalam keadaan sangat membutuhkan utang harus terpaksa menerima janji itu dengan persyaratan yang sulit dan merugikan baginya.

o) Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Mudah dan Pasti

Berdasarkan Pasal 6 UUHT, ketika debitur cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk melakukan parate executie yaitu dengan menjual objek Hak Tanggungan dan atas kekuasaan sendiri melakukan pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Adapun dalam hal ini tidak diperlukan perolehan persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan ataupun meminta penetapan pengadilan dalam pelaksanaannya.

Dokumen terkait