• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepatuhan PPAT Dalam Pembuatan Akta Hibah Atas Tanah Dan Bangunan Berdasarkan UU BHPTB

Pelaksanaan pemungutan pajak memerlukan suatu sistem yang telah disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan perpajakan bagi fiskus maupun bagi wajib pajak. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia menuntut wajib pajak untuk turut aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Sistem pemungutan yang berlaku adalah self assesment system, di mana segala pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sepenuhnya oleh wajib pajak, fiskus hanya melakukan pengawasan melalui prosedur pemeriksaan.82

Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Yaitu, kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya. Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh wajib pajak (dilakukan sendiri atau dibantu tenaga ahli misalnya praktisi perpajakan profesional/tax agent), bukan fiskus selaku pemungut pajak. Sehingga kepatuhan diperlukan dalam self assesment system, dengan tujuan pada penerimaan pajak yang optimal. Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of compliance) merupakan tulang punggung sistem self assessment, di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut.83

82

Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan Konsep, Teori dan Isu, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 109.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan di Indonesia dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi, wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.84

Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam Moh. Zain sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana:85

a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.

Safri Nurmantu mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya.86

Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material:87 1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi

kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan.

84 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1995, hal. 1013.

85 Norman D. Nowak dalam Machfud Siddik, op. cit., hal. 110.

86 Safri Nurmanto, dalam Ibid., hal. 110.

87

2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.

Misalnya, ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret, maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, namun isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar surat pemberitahuan sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu berakhir.

Menurut Chaizi Nasucha, kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari:88 1. Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri;

2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan; 3. Kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang; dan 4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.

Erard dan Eeinstin menggunakan teori psikologi dalam kepatuhan wajib pajak, yaitu rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan

keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.89

Demikian juga halnya dalam pembayaran BPHTB atas peralihan hak atas tanah dan bangunan secara hibah yang dilakukan para pihak maka PPAT mempunyai kewajiban untuk memenuhi syarat formal dan syarat materil yang telah diatur dalam UU BPHTB.

UU BPHTB menentukan PPAT yang berwenang dalam pembuatan akta hibah, hanya dapat menandatangani akta tersebut pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.

Menurut ketentuan Pasal 10 UU BPHTB jo Keputusan Menteri Keuangan No.517/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, disebutkan tata cara pembayaran pajak adalah:

a. Pemenuhan kewajiban membayar BPHTB berdasarkan sistem self assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang tanpa menunggu terbitnya Surat Ketatapan Pajak;

b. Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos atau Bank BUMN atau Bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran BPHTB (SBB) yang dibuat rangkap 5:

1) Lembar ke-1 untuk wajib pajak;

2) Lembar ke-2 untuk KP PBB melalui Bank/Kantor Pos Operasional V; 3) Lembar ke-3 untuk KP PBB disampaikan wajib pajak;

4) Lembar ke-4 untuk Bank/Kantor Pos Persepsi;

5) Lembar ke-5 untuk PPAT yang bersangkutan disampaikan oleh Wajib Pajak.

89

Dalam hal BPHTB yang seharusnya terutang nihil, maka wajib pajak tetap harus mengisi SSB dengan keterangan nihil yang diketahui oleh PPAT yang bersangkutan. Lembar ke-2, 3 dan 4 SSB Nihil disampaikan oleh wajib pajak ke KP PBB (sekarang KPP Pratama).

c. SSB harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak dan petugas Bank/Kantor Pos Persepsi yang menerima pembayaran serta dibubuhi cap disampaikan oleh wajib pajak ke KP PBB (KPP Pratama) dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal pembayaran dengan melampirkan fotocopi SPPT PBB tahun perolehan hak dan tahun-tahun sebelumnya yang belum kadaluarsa;

d. SSB tersebut sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, juga berfungsi sebagai Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) PBB;

e. Apabila wajib pajak mengalami kesulitan dalam mengisi SSB, tidak mengetahui Nomor Objek Pajak (NOP) PBB, tidak mengetahui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) PBB tahun terjadinya perolehan hak, hendaklah maka dapat menghubungi KP PBB (KPP Pratama) yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan;

f. Formulir SSB dapat diperoleh di Kantor PPAT yang bersangkutan (atau Kantor Lelang, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. KP PBB, Bank/Kantor Pos Persepsi.

Pembayaran pajak akibat perbuatan hukum perolehan hak secara hibah atas tanah dan atau bangunan biasanya dilakukan oleh PPAT atau para pihak sendiri ke bank yang ditunjuk atau kantor Pos dan Giro dengan hanya memperlihatkan surat

bukti pembayaran pajaknya atau Surat Setoran BPHTB (SSB). Surat bukti inilah yang merupakan dasar bagi PPAT untuk menandatangani akta perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan itu.

Dalam prakteknya penyetoran pembayaran BPHTB ini sering dilakukan oleh PPAT dalam tahun 2008, sebagaimana terlihat dari pernyataan PPAT yang dijadikan responden pada tabel berikut ini:

Tabel 2. Pembayaran BPHTB Wajib Pajak dalam Pembuatan Akta Hibah n = 6

No. Jawaban Responden n %

1. PPAT melakukan penyetoran pembayaran BPHTB Wajib Pajak

6 100,00%

2. Wajib Pajak melakukan penyetoran sendiri - 0,00%

Jumlah 6 100,00%

Dari tabel di atas terlihat PPAT yang dijadikan responden yaitu sebanyak 6 PPAT (100%) menyatakan, walaupun pembayaran pajak tersebut merupakan kewajiban penghadap atau Wajib Pajak atau bukan kewajiban PPAT, tetapi PPAT selalu membantu para pihak dalam pembayaran pajak tersebut. Selanjutnya dari hasil wawancara lebih lanjut kepada responden dijelaskan bahwa penghadap/wajib pajak menitipkan sejumlah uang pajak terhutang BPHTB yang harus dibayarkan kepada PPAT agar PPAT membantunya dalam prosedur pembayaran ke bank yang ditunjuk atau kantor pos/giro dengan SSB. Surat bukti inilah yang merupakan dasar bagi PPAT untuk menandatangani akta hibah yang dilakukan itu.90

90 Hasil wawancara dengan Bapak T. Deddy Iskandar, S.H., Notaris/PPAT di Kota Medan, tanggal 15 Juli 2008 di Medan.

UU BPHTB mengharuskan PPAT hanya boleh menandatangani akta hibah setelah adanya bukti setoran tetapi dalam prakteknya masih terdapat PPAT yang menandatangani akta hibah sebelum dilakukan adanya bukti setoran pembayaran BPHTB dalam tahun 2008, sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Penandatangan Akta Hibah dan Penyetoran BPHTB Sebelum Adanya Bukti Setoran BPHTB (SSB)

n = 6

No. Jawaban Responden n %

1. PPAT menandatangani akta hibah sebelum adanya bukti setoran BPHTB (SSB)

1 16,67%

2. PPAT tidak menandatangani akta hibah sebelum adanya bukti setoran BPHTB (SSB)

5 83,33%

Jumlah 6 100,00%

Dari tabel di atas terlihat PPAT yang dijadikan responden rata-rata telah mengikuti ketentuan UU BPHTB dalam pembuatan akta hibah yaitu sebanyak 5 atau 83,33% PPAT itu hanya akan menandatangani akta setelah adanya bukti setoran (SSB) pajak dari wajib pajak, namun demikian masih terdapat sebanyak 1 atau 16,67% PPAT yang pernah menandatangani akta walaupun belum ada bukti setoran (SSB) tersebut. Hal ini dilakukan PPAT tersebut karena transaksi dilakukan sudah lewat jam setor pajak, jadi ditunda penyetoran sampai esok hari.Bila dihubungkan dengan tabel 2 didepan menunjukkan bahwa PPAT yang dijadikan responden mematuhi secara jelas pembayaran dahulu uang BPHTB terhutang yang dititipkan penghadap dengan bukti SSB,barulah membuat dan memberikan penandatanganan akta hibah kepada penghadap untuk mematuhi syarat-syarat pembuatan akta sesuai dengan yang diatur UU BPHTB.

Di samping itu, menurut keterangan PPAT yang dijadikan responden, dalam hal terjadinya perolehan hak secara hibah nilai pasar atau NJOP tidak melebihi NPOPTKP sehingga pajak BPHTB terutang adalah nol (nihil), maka dapat saja PPAT yang bersangkutan langsung membuat akta hibah tanpa harus meminta bukti setoran pajak BPHTB terlebih dahulu dari wajib pajak, sebagaimana tabel berikut ini:

Tabel 4. Pelaporan Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Melalui Hibah yang NPOP dibawah NPOPTKP

n = 6

No. Jawaban Responden n %

1. PPAT Tetap Mematuhi 5 83,33%

2. PPAT Tidak Mematuhi 1 16,67%

Jumlah 6 100,00%

Dari tabel di atas terlihat PPAT yang dijadikan responden, yaitu sebanyak 5 atau 83,33% PPAT tetap mematuhi ketentuan UU BPHTB walaupun pajak terutang adalah nihil yaitu hanya akan menandatangani akta hibah tersebut setelah adanya bukti SSB dari wajib pajak. Akan tetapi masih terdapat sebanyak 1 atau 16,67% tidak mematuhi ketentuan UU BPHTB karena memang pajak terutang adalah nihil.

Penyampaian SSB sebagai pelaporan pajak dilakukan oleh wajib pajak dalam jangka waktu paling lama 7 hari sejak tanggal pembayaran pajak atau perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Atas pengembalian SSB tersebut maka petugas pajak akan memberikan tanda terima penyampaian SSB dari wajib pajak. Tanda terima ini penting bagi wajib pajak sebagai bukti bahwa wajib pajak telah melaporkan pembayaran pajak tersebut.

Selain sarana pelaporan pajak, SSB tidak hanya berfungsi untuk melaporkan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak sebagai syarat formal dalam pembayaran pajak tersebut, tetapi juga untuk memenuhi syarat materil yaitu melaporkan data-data diri wajib pajak yang memperoleh baik, data letak dan luas tanah dan bangunan objek pajak, besarnya perhitungan pajak dan besarnya BPHTB terutang yang dibayar.

Wajib pajak diminta untuk melaporkan data-data perolehan hak dengan mengisi SSB secara lengkap dan benar sesuai dengan perolehan hak atas hibah yang terjadi. Data-data yang telah dilaporkan oleh wajib pajak akan diteliti oleh petugas dan menjadi dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak berupa Surat Tagihan Pajak (STP ), Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak BPHTB Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan BPHTB Lebih Bayar (SKPLB), maupun Surat Ketetapan BPHTB Nihil (SKPN).

Sebagai alat untuk melakukan pemeriksaan silang (cross check) fiskus akan meneliti SSB yang disampaikan oleh tempat pembayaran ke Kantor Pelayanan Pratama (kantor pelayanan pajak). Data yang ada pada SSB lembar-3 yang disampaikan wajib pajak harus sama dengan SSB lembar ke-2 yang disampaikan oleh bank dan fotocopy SSB lembar ke-5 yang disampaikan oleh pejabat yang berwenang ke KPP Pratama setempat. Apabila terdapat kesalahan maka fiskus akan melakukan penelitian lebih dalam untuk kemudian menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan data perolehan hak yang sebenarnya.

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan sebagai salah satu dasar perhitungan BPHTB untuk perolehan hak atas hibah. Dasar penghitungan dalam perolehan hak secara hibah berbeda dengan penghitungan secara jual beli. Jika dalam jual beli yang menjadi dasar penghitungan pajak adalah nilai transaksi, apabila harga transaksi lebih tinggi dari nilai NJOP, maka yang menjadi Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) adalah nilai transaksi, sedangkan sebaliknya dalam hal nilai transaksi lebih rendah dari nilai NJOP, maka yang digunakan sebagai Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) adalah nilai NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan dalam perolehan hak karena hibah sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) huruf c yang menjadi Nilai Perolehan Objek Pajak adalah nilai pasar.

Berdasarkan data dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) Medan II (sekarang KPP Pratama Medan) diperoleh keterangan tentang nilai perolehan hak atas tanah dan atau bangunan berdasarkan nilai NJOP pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 adalah sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5. Penerimaan BPHTB Berdasarkan NPOP pada KP PBB Medan II (KPP Pratama) Tahun 2005 s/d 2007

No Tahun Sesuai NJOP Di bawah NJOP Di atas NJOP 1 2005 65.245.113.000 - 7.515.357.000 2 2006 81.165.998.000 - 9.112.758.000 3 2007 107.139.117.360 - 12.856.694.083 Sumber data: KPP Pratama Medan Tahun 2008 (diolah).

Jika dibandingkan total perolehan penerimaan BPHTB pada tabel di atas, yang dasar penghitungan BPHTB mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dengan

penghitungan BPHTB yang mengacu harga transaksi di atas NJOP maka persentasenya sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel 6. Penerimaan BPHTB Diatas NJOP pada KP PBB Medan II (KPP Pratama) Tahun 2005 s/d 2007

No. Tahun Total Penerimaan

BPHTB BPHTB diatas NJOP Persentase 1 2005 72.760.470.000 7.515.357.000 10% 2 2006 90.278.756.000 9.112.758.000 10% 3 2007 119.995.811.443 12.,856.694.083 11% Sumber data: KPP Pratama Medan Tahun 2008.

Dari tabel di atas, terlihat penerimaan BPHTB atas dasar nilai transaksi di atas nilai NJOP pada KP PBB Medan II (KPP Pratama) di tahun 2005 s/d tahun 2007 adalah senilai 7.515.357.000 atau 10% di tahun 2005, senilai 9.112.758.000 atau 10% di tahun 2006, dan 12.856.694.083 atau 11% di tahun 2007. Dengan demikian hanya berkisar 10 persen penerimaan BPHTB dari perolehan hak atas tanah dan bangunan yang mengacu pada nilai di atas NJOP. Jadi pada umumnya nilai yang digunakan para pihak dalam pembuatan akta perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan di hadapan PPAT tersebut adalah mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan.

Demikian juga dari keterangan PPAT yang dijadikan responden menyatakan NJOP sebagai dasar perhitungan pajak dalam pembuatan akta hibah dalam tahun 2008 tersebut, sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Tabel 7. Dasar Perhitungan BPHTB dalam Pembuatan Akta Hibah

n = 6

No. Jawaban Responden n %

1. PPAT Mengacu Pada NJOP 6 100,00%

2. PPAT Tidak Mengacu Pada NJOP - 0,00%

Jumlah 6 100,00%

Pendekatan perbandingan atau pendekatan data pasar, yaitu pendekatan yang digunakan untuk menenukan nilai suatu property berdasarkan perbandingan antara property yang dinilai dengan property lain yang sejenis atau mirip, yang telah dijual/disewa (terjadi transaksi) di sekitar letak, property yang dinilai (dengan kata lain telah diketahui harga jual atau harga sewanya).91

Dari tabel 7 di atas, terlihat PPAT yang dijadikan responden, yaitu sebanyak 6 atau (100%) PPAT melakukan pembuatan akta hibah tersebut maka yang dijadikan dasar perhitungan pajaknya adalah NJOP dari objek pajak yang dihibahkan tersebut. Ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan 6 responden tersebut yang menyatakan sulit untuk menentukan harganya (harga pasar) sebagaimana diharuskan oleh Pasal 6 ayat (2) huruf c UU BPHTB harus sesuai dengan harga pasar.

Dalam penerapan harga pasar ini, tidak hanya dialami oleh PPAT tetapi juga kesulitan dalam menentukan harga transaksi juga dialami pihak KPP Pratama untuk membuktikan harga transaksi property yang wajar yang berarti pihak wajib pajak telah melaporkan utang pajaknya secara jujur. Kesulitan ini bukan hanya terkait dengan masalah adanya peluang yang diberikan oleh UU karena membolehkan perhitungan pajak berdasarkan NJOP, juga berkaitan dengan ketidakmampuan dari pihak PPAT dan Pihak Perpajakan untuk lebih jauh melakukan pemeriksaan. Pihak PPAT sesuai wewenang yang ada tidak dapat memaksakan para pihak untuk

91

menetapkan nilai pajak yang sebenarnya dan dilain pihak petugas perpajakan juga tidak dapat meminta begitu saja akta otentik yang telah dibuat PPAT untuk memeriksa utang pajak yang sebenarnya karena terkait dengan sumpah jabatan PPAT. Oleh karena itu faktor kesadaran pihak wajib pajak yang sangat diharapkan.

Dengan demikian dari pembahasan di atas diketahui bahwa PPAT yang dijadikan responden di Kota Medan rata-rata (83,33%) telah mematuhi secara formal ketentuan UU BPHTB dalam pembuatan akta hibah, yaitu PPAT hanya akan menandatangani akta hibah setelah adanya bukti setoran pajak BPHTB (SSB) dari wajib pajak. Akan tetapi, masih terdapat PPAT yang tidak mematuhi ketentuan formal tersebut (16,67%) yang tetap melakukan penandatanganan akta hibah walaupun belum adanya bukti setoran pajak, karena pada saat transaksi dilakukan sudah lewat jam penyetoran pajak atau karena pajaknya adalah nihil. Kemudian juga dalam hal kepatuhan PPAT yang dijadikan responden dalam memenuhi syarat material seperti ketentuan besarnya pajak (BPHTB) yang harus dikenakan dalam pembuatan akta hibah itu yaitu semua (100%) PPAT mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Jadi apabila melihat ketentuan Pasal 6 ayat (2) huruf c bahwa dasar perhitungan perolehan hak secara hibah adalah nilai pasar, maka terlihat ketidakpatuhan PPAT yang dijadikan responden terhadap UU BPHTB. Akan tetapi memang sulit mengetahui harga pasar yang dimaksud dalam UU BPHTB tersebut, sehingga yang menjadi acuan harga perolehan atas hibah tersebut adalah berdasarkan NJOP, dan lagipula PPAT mempunyai keterbatasan untuk mengetahui harga transaksi dari para pihak tersebut.

Kemudian jika dikaitkan ketentuan Pasal 24 UU BPHTB yang menentukan PPAT dalam penandatanganan akta setelah wajib pajak memperlihatkan bukti pembayaran pajak, dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) bahwa pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak tanpa mendasarkannya pada surat ketetapan pajak. Maka sebenarnya PPAT telah mematuhi UU BPHTB walaupun menandatangani akta sebelum ada bukti setoran pajak, selama penyetoran pajak tersebut dilakukan dalam tanggal yang sama dengan tanggal penandatanganan akta tersebut.

Dokumen terkait