• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5. Hasil dan Pembahasan

5.1. Hasil

5.2.2. Kepatuhan pada Setiap Momen Indikasi Cuci Tangan

Cuci tangan merupakan langkah yang sederhana namun teknik dasar yang paling penting dalam mencegah penularan infeksi (Potter & Perry, 2005). Pihak RSUP Haji Adam Malik Medan telah mengupayakan untuk menumbuhkan kepatuhan petugas kesehatan terhadap kebersihan tangan dengan cara menempel poster 5 momen 6 langkah cuci tangan serta menyediakan alcohol handrub di setiap pintu ruangan pasien maupun di dalam ruang rawat pasien dan penempelan poster juga ada di setiap wastafel beserta sabun anti microbial. Di setiap lorong rumah sakit juga terdapat poster besar tentang cara mencuci tangan 6 langkah beserta gambar cara melakukan cuci tangan yang benar. Pihak tim pengendali infeksi RSUP HAM juga melakukan audit setiap awal bulan di setiap ruang rawat inap untuk mengobservasi kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan.

Hasil observasi yang dilakukan di instalasi Rindu B memaparkan bahwa masih ada 62,79% petugas kesehatan yang tidak melakukan tindakan kebersihan tangan sebelum kontak dengan pasien, hal ini menunjukkan masih kurangnya kesadaran petugas kesehatan melakukan cuci tangan sebelum memulai

aktivitasnya ataupun saat perpindahan dari satu pasien ke pasien yang lain. Padahal dengan melakukan cuci tangan pasien dapat terlindung dari pathogen yang dibawa oleh petugas kesehatan (Katowa, Ngoma, Maimbolwa, 2007 dalam Suryoputri, 2011).

Tindakan cuci tangan yang dilakukan petugas kesehatan pada indikasi sebelum tindakan aseptik 69,53% tidak dilakukan. Pada indikasi sebelum tindakan aseptik petugas kesehatan selalu menggunakan sarung tangan dan tidak melakukan cuci tangan sebelum menggunakan sarung tangan, hal ini bila dikaitkan dengan alasan mengapa tidak mencuci tangan sejalan dengan pendapat Alvarado (2000) yang dikutip oleh Tietjen (2004) mengenai “mengapa petugas kesehatan tidak mencuci tangan mereka” salah satu alasannya adalah tindakan cuci tangan tidak perlu ketika sarung tangan dipakai. Bagaimanapun, sarung tangan tidak memberikan perlindungan penuh terhadap kontaminasi tangan dan sarung tangan tidak dapat menggantikan perlunya cuci tangan, maka petugas kesehatan harus mencuci tangan sebelum memakai sarung tangan dan sesudah melepasnya (Tietjen, dkk, 2004), sarung tangan juga harus diganti untuk setiap pasien (Nicholls & Wilson, 2001).

Tindakan cuci tangan petugas kesehatan pada indikasi setelah terpapar cairan tubuh pasien yang berisiko 57,47% tidak dilakukan, angka ini lebih rendah dibanding dengan indikasi lainnya dengan kata lain pada indikasi ini tingkat kepatuhan lebih tinggi dari pada indikasi yang lain. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suryoputri (2011) dan berasumsi bahwa kepatuhan cuci tangan tinggi saat ada kekhawatiran tertular penyakit. Walaupun

kepatuhannya lebih tinggi daripada yang lain, namun angka ini masih belum memenuhi standar WHO yang mengatakan kepatuhan harus lebih dari 50% (Jamaluddin, dkk, 2012). Banyak petugas kesehatan yang tidak mencuci tangan setelah melepas sarung tangan, sesuai teori harusnya dilakukan cuci tangan setelah melepaskan sarung tangan (Tietjen, 2004). Kenyataan yang ditemukan peneliti saat melakukan observasi petugas kesehatan kebanyakan melakukan cuci tangan hanya ketika tangan mereka bersentuhan langsung dengan cairan tubuh pasien ketika tidak menggunakan sarung tangan. Hal yang sama sejalan dengan indikasi setelah menyentuh pasien, angka petugas kesehatan yang tidak melakukan tindakan cuci tangan sebanyak 54,40% hampir sama dengan indikasi setelah terpapar cairan tubuh pasien. Hasil yang sejalan ini juga dipengaruhi oleh adanya kekhawatiran petugas kesehatan terkena kontaminasi dari pasien tetapi tidak terlalu menghiraukan keadaan yang sebaliknya yaitu kontaminasi dari petugas ke pasien.

Kepatuhan terendah atau angka tidak cuci tangan paling tinggi pada indikasi setelah menyentuh lingkungan ataupun benda sekitar pasien adalah 78,73%. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Suryoputri (2011) yang memaparkan bahwa kepatuhan cuci tangan terendah terjadi pada indikasi sebelum kontak dengan pasien, pada penelitian ini kepatuhan terendah pada indikasi setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien yaitu 21,27%. Hal ini disebabkan mungkin petugas kesehatan menganggap tidak adanya kuman berbahaya karena tidak menyentuh pasien ataupun terkena cairan tubuh pasien. Padahal kuman juga

melekat di lingkungan pasien seperti tempat tidur, laken, tiang infus, linen kotor, dsb.

Hasil penelitian ini sejalan dengan data RISKESDAS (2007) yang mengatakan bahwa perilaku benar mencuci tangan oleh petugas kesehatan masih berkisar 23,2% atau berkisar masih rendah. Prosedur perawatan pasien mengakibatkan kuman terkolonisasi pada tangan petugas kesehatan sehingga muncul indikasi untuk mencuci tangan. Pentingnya cuci tangan tidak dapat dilalaikan karena agen-agen infeksi dengan mudah dan cepat ditularkan melalui tangan dan segala sesuatu yang disentuh tangan. Mencuci tangan adalah metode yan tertua, sederhana, dan paling konsisten untuk mencegah penyebaran agen- agen infeksi dari satu orang ke orang lain (Schaffer, dkk, 2000).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan, salah satunya adalah kurangnya pengetahuan akan pentingnya melakukan hand hygiene dalam mengurangi penyebaran bakteri dan terjadinya kontaminasi pada tangan dan kurang mengerti teknik melakukan hand hygiene

yang benar (Pitted & Boyce, 2001 dalam Damanik, 2012). Pihak rumah sakit RSUP Haji Adam Malik sendiri telah menghimbau petugas kesehatan untuk melakukan praktek kebersihan tangan dengan poster yang ada di setiap pintu masuk ruangan pasien dan di setiap wastafel yang ada di ruangan. Setiap Senin petugas kesehatan selalu melakukan demonstrasi cuci tangan 5 momen 6 langkah. Bila dilihat dari segi pengetahuan mengenai cara melakukan cuci tangan sudah tentu tidak perlu diragukan lagi pengetahuan para petugas, namun dari hasil penelitian yang menunjukkan masih rendahnya kepatuhan cuci tangan yang

dilakukan oleh petugas kesehatan perlu dikaji kembali pengetahuan tentang pentingnya mencuci tangan. Bukan hanya sekedar tahu cara melakukannya tetapi juga manfaatnya. Maka, pihak RSUP Haji Adam Malik Medan masih perlu memberikan pengetahuan pentingnya hand hygiene pada petugas kesehatan walaupun RSUP Haji Adam Malik telah menghimbau petugas dari poster-poster yang ada di setiap ruangan dan mempraktekan cuci tangan 5 momen 6 langkah setiap hari senin serta menumbuhkan kesadaran diri pada setiap individu untuk melakukan praktek kebersihan tangan untuk mengurangi infeksi nosokomial.

Angka kejadian infeksi nosokomial yang diteliti oleh Jeyamohan (2011) 5,6% dari 534 pasien menderita infeksi nosokomial luka operasi. Bila dikaji dari standar rumah sakit yang menuju satandar internasional, kepatuhan cuci tangan para petugas kesehatan masih perlu ditingkatkan demi memenuhi standar internasional. Salah satu standar yang paling terkait adalah keselamatan pasien, dimana salah satu unsur keselamatan pasien adalah pencegahan terjadinya infeksi nosokomial dan dapat dicegah dengan mencuci tangan.

5.2.3. Tindakan Cuci Tangan Petugas Kesehatan

Fasilitas yang disediakan pihak rumah sakit Adam Malik untuk melakukan cuci tangan dengan dua cara, yakni menggunakan air dan sabun antimikrobial dan

alcohol handrub. Untuk mencuci tangan menggunakan air dan sabun telah tersedia wastafel beserta sabun antimikrobial, tissue, dan tong sampah di bawah wastafel. Cuci tangan menggunakan air dan sabun dilakukan bila tangan terlihat kotor (WHO, 2006).

Penggunaan alcohol handrub untuk mencuci tangan dapat digunakan bila tangan tidak terlihat kotor (WHO, 2006). Menggosok tangan dengan alkohol akan cukup jika tangan tidak tercemar, namun tangan harus dibilas seksama sebelum dan setelah menggunakan sarung tangan (Nicholls & Wilson, 2001). Fasilitas cairan alcohol handrub tersedia di samping pintu masuk setiap ruangan pasien dan ada juga yang di dinding dalam ruangan pasien. Pada penelitian ini didapat hasil bahwa penggunaan alcohol handrub lebih tinggi dibanding dengan cuci tangan menggunakan sabun dan air (52,50%).

Penggunaan alcohol handrub maupun handwash berbeda pada setiap kategori profesi. Perawat dan dokter hampir sama penggunaan handwash maupun

handrub. Hal ini disebabkan tersedianya wastafel setiap ujung lorong ruangan, sehingga untuk menghemat waktu dalam melakukan hand hygine dokter dan perawat menggunakan alcohol handrub. Namun mengingat aktivitas dokter dan perawat yang sering juga kontak langsung dengan pasien, mengakibatkan tangan terlihat kotor sehingga mengharuskan perawat dan dokter mencuci tangan menggunakan sabun dan air.

Bidan paling sering melakukan hand hygiene dengan handwash. Ruangan tempat bidan bertugas memiliki ruang tindakan yang berbeda-beda fungsinya. Dalam ruang tindakan terdapat sarana wastafel dan sabun antimicrobial sehingga bidan lebih sering mencuci tangan dengan sabun dan air. Sedangkan pada petugas lab yang hanya datang ke ruangan untuk pengambilan sampel, mempunyai fasilitas alcohol handrub pada trolly alat yang selalu mereka bawa. Sehingga

mengakibatkan petugas lab lebih sering menggunakan alcohol handrub saat melakukan hand hygiene.

Produk sejenis alcohol handrub ini dinilai lebih praktis karena tidak memerlukan wastafel dan air mengalir, waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan kecil kemungkinan iritasi pada kulit (Tietjen, dkk, 2004). Penggosok tangan antiseptik ini akan segera menggantikan cuci tangan dengan sabun dan sebagai langkah awal peningkatan kepatuhan ( Larson, dkk, 2000; Pittet, dkk, 2000 dalam Tietjen, dkk, 2004). Namun, penyediaan penggosok pencuci tangan bagi petugas tanpa disertai pembelajaran dan motivasi berkesinambungan tidak akan meningkatkan praktik kesehatan dan kebersihan tangan jangka panjang. Tidak memadai dengan hanya memasang dispenser penggosok tangan antiseptik (Muto, dkk, 2000 dalam Tietjen, dkk, 2004).

Hal ini sejalan dengan penelitian, yang mendapatkan hasil masih ada lebih dari 50% bahkan mencapai 90% tindakan cuci tangan yang tidak dilakukan sama sekali. Petugas kesehatan masih mengeluhkan masalah sarana untuk mencuci tangan, mereka berpendapat bahwa sarana dan prasarana masih kurang memadai. Tetapi menurut asumsi peneliti, sarana dan prasarana yang ada sudah cukup memenuhi dengan tersedianya wastafel di setiap ruang rawat dan ruang tindakan serta alcohol handrub yang ada di setiap pintu masuk ruangan pasien, di dalam ruangan pasien serta di trolly yang dibawa petugas bila akan melakukan tindakan.

Walaupun demikian, pihak Adam Malik sendiri masih perlu membenahi sarana dan prasarana untuk melakukan praktek kebersihan tangan dengan

menambahkan wastafel, penyediaan sabun dan kertas tissue yang memadai, serta alcohol handrub yang tersedia di setiap tempat tidur pasien untuk lebih memudahkan petugas kesehatan dalam melakukan praktek kebersihan tangan.

Dokumen terkait