• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 5. Hasil dan Pembahasan

5.1. Hasil

5.1.3. Tindakan Cuci Tangan Petugas Kesehatan

Fasilitas cuci tangan yang ada di tempat observasi ada 2 sarana, wastafel yang dilengkapi dengan sabun anti mikrobial dan alcohol handrub.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Tindakan Cuci Tangan Petugas Kesehatan

Profesi Handwash Handrub Total

F % F % F % 1. Perawat 147 44,95 180 55,05 327 100 2. Bidan 67 75,28 22 24,72 89 100 3. Dokter 69 42,86 92 57,14 161 100 4. Petugas Lab 11 26,19 31 73,81 42 100 Sub Total 294 47,50 325 52,50 619 100

Berdasarkan tabel 5.5 hasil observasi menunjukkan pelaksanaan prosedur mencuci tangan yang dilakukan oleh dokter dan perawat hampir sama pada

handwash dan handrub. Bidan dominan menggunakan air dan sabun atau

handwash sedangkan petugas lab lebih dominan menggunakan alcohol handrub. Bila secara keseluruhan penggunaan handwash dan handrub dapat dilihat lebih rinci pada diagram di bawah ini.

Berdasarkan diagram di atas penggunaan handrub paling dominan (52,5%) dilakukan oleh seluruh petugas kesehatan.

47,5

52,5

40

50

60

Petugas Kesehatan

Handwash

Handrub

5.2. Pembahasan

Penelitian ini merupakan deskriptif observasional yang bertujuan untuk mengetahui kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan di ruang rawat inap RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi langsung yang mengguakan formulir observasi dari WHO. Pembahasan angka kepatuhan ini dikelompokkan berdasarkan kategori profesi dan setiap indikasi cuci tangan 5 momen dapat dijelaskan sebagai berikut.

5.2.1. Kepatuhan Cuci Tangan Petugas Kesehatan Berdasarkan Kategori Profesi

Berdasarkan hasil observasi, kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan bila dilihat dari kategori profesi dapat dilihat bahwa perawat yang mencuci tangan dengan benar sebesar 26,02% padahal poster cara mencuci tangan dengan benar berada di setiap wastafel dan di setiap dinding sebelum masuk ke ruangan pasien. Perawat sebagai petugas kesehatan yang selalu berada 24 jam di sekitar pasien harusnya dapat mengaplikasikan prosedur cuci tangan yang benar agar dapat mengeliminasi mikroba yang ada pada tangan secara efektif dan mengurangi kontaminasi silang dari perawat ke pasien demi mencegah terjadinya infeksi nosokomial (Schaffer, dkk, 2000).

Tindakan cuci tangan yang tidak dilakukan oleh perawat paling tinggi pada indikasi setelah menyentuh lingkungan pasien dan sebelum tindakan aseptik. Perawat sering mengabaikan cuci tangan sebelum menggunakan sarung tangan serta pemakaian sarung tangan yang berulang dari satu pasien ke pasien yang lain (Potter & Perry, 2005). Dengan penggunaan sarung tangan, perawat beranggapan

tidak perlu melakukan cuci tangan dengan terlihatnya hasil dari penelitian ini yang memaparkan sebelum tindakan aseptic tindakan tidak cuci tangan lebih tinggi dibanding indikasi lainnya (Alvarado, 2000 dalam Tietjen, dkk, 2004). Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Puspitasari (2012) yang memaparkan bahwa perilaku perawat mencuci tangan dalam kategori baik yaitu 86,1% padahal hasil yang didapatkan dari penelitian ini tindakan cuci tangan perawat yang dilakukan dengan benar hanya sebesar 26,02%.

Bidan merupakan salah satu dari tenaga keperawatan menurut PP No. 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan (Presiden RI, 1996). Hal yang sama dengan perawat, bidan juga selalu berada di sekitar pasien. Kepatuhan cuci tangan bidan >50% pada indikasi setelah terpapar cairan tubuh pasien yang berisiko, selama pengamatan yang dilakukan bidan sering mencuci tangan karena terpapar langsung oleh darah ataupun cairan tubuh pasien yang lainnya tanpa menggunakan sarung tangan, misalnya membuang infuse set yang sudah terkontaminasi, kantong darah kosong yang jarum infusnya masih melekat darah dan terpegang oleh bidan.

Salah satu perilaku professional bidan adalah menggunakan cara pencegahan universal untuk penyakit, penularan dan strategi pengendalian infeksi (Hidayat & Mufdlilah, 2008). Seharusnya bidan menggunakan sarung tangan bila akan menyentuh darah ataupun airan tubuh pasien lainnya sesuai dengan kewaspadaan universal. Menurut Notoatmodjo (2007), sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru) ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya. Apabila penerimaan perilaku baru didasari

oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat lebih langgeng (long lasting). Selain itu perilaku dan sikap positif juga berfungsi sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya. Artinya, dengan perilakunya, dengan tindakan-tindakannya, manusia dapat melindungi diri terhadap ancaman yang datang dari luar. Misalnya seseorang dapat mencegah atau menghindari penyakit, karena penyakit merupakan ancaman baginya. Sama halnya dengan bidan yang mencuci tangan ketika terpapar langsung dengan cairan tubuh pasien tanpa menggunakan sarung tangan, tindakan ini dilakukan untuk melindungi diri dari kontaminasi penyakit yang ada dari cairan tubuh pasien.

Dokter adalah salah satu praktisi kesehatan, namun dokter hampir tidak pernah melakukan tindakan cuci tangan setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien (91,11%). Kegiatan dokter yang sering hanya melakukan visite ke pasien sadar maupun tidak sadar tangan mereka sudah menyentuh tempat tidur pasien, tiang infuse, atau selimut pasien. Sama halnya dengan pernyataan dari WHO (2009) mengenai hasil observasi minimnya pelaksanaan kebersihan tangan yaitu setelah kontak dengan lingkungan pasien, misalnya peralatan. Namun, mereka selalu mengabaikan untuk mencuci tangan setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien tersebut. Mereka mungkin beranggapan tidak harus mencuci tangan karena tidak terlihat kotor, padahal kuman bisa saja berpindah dari pasien ke lingkungan dan benda yang ada di sekitarnya. Saat menyentuh benda yang ada disekitar pasien, tangan dokter mungkin sudah terkontaminasi. Bila sudah terkontaminasi tentu saja dapat mengakibatkan kontaminasi silang ke pasien lain saat dokter melakukan pemeriksaan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, berdasarkan hasil

penelitian ini tindakan dokter yang tidak mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien 71,35%, tentu saja kontaminasi dari tidak mencuci tangan dapat menimbulkan infeksi, padahal dengan mencuci tangan infeksi dapat dicegah (Potter & Perry, 2005).

Selama pengamatan, tindakan cuci tangan yang paling sering peneliti amati adalah tindakan cuci tangan yang dilakukan oleh PPDS. Pada indikasi sebelum tindakan aseptik, penggunaan sarung tangan juga menjadi masalah. Ketika akan melakukan tindakan pelepasan ataupun pemasangan kateter, tidak ada dilakukan cuci tangan karena menggunakan sarung tangan. Padahal sarung tangan yang digunakan untuk lebih dari satu pasien yang akan dilakukan pelepasan atau pemasangan kateter. Selama proses pelepasan ataupun pemasangan kateter, sarung tangan yang digunakan menyentuh benda-benda lain yang ada di sekitar pasien. Kondisi seperti ini akan menimbulkan infeksi nosokomial pada saluran kemih, pantas saja jika angka prevalensi infeksi saluran kemih menjadi infeksi nosokomial yang terbanyak di Indonesia maupun di Negara lain (Nasronudin, dkk., 2007).

Pendidikan yang dimiliki oleh dokter dalam hal kepatuhan cuci tangan tidak memiliki pengaruh yang bermakna, hal ini dapat dibuktikan dengan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh peneliti yang menunjukkan angka kepatuhan cuci tangan dokter yang masih rendah.

Petugas laboratorium berbeda dengan perawat, dokter dan bidan yang memberikan asuhan. Petugas lab di ruang rawat inap hanya mengambil sampel

untuk uji lab pasien, sehingga selama pengamatan tidak dijumpai indikasi cuci tangan setelah kontak dengan pasien. Indikasi yang paling sering muncul adalah sebelum tindakan aseptik dan setelah terpapar cairan tubuh pasien yang berisiko. Walaupun demikian, 82,29% tidak cuci tangan sebelum tindakan aseptik dan 80% tidak cuci tangan setelah terpapar cairan tubuh pasien. Penggunaan sarung tangan sama halnya dengan petugas kesehatan lain, tidak adanya tindakan mencuci tangan sebelum dan sesudah melepaskan sarung tangan, serta pemakaian sarung tangan yang berulang dari satu pasien ke pasien yang lain.

Hanya sebagian kecil petugas lab yang mencuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah melepaskan sarung tangan. Tindakan cuci tangan yang dilakukan oleh petugas lab lainnya dengan mencuci tangan setelah selesai mengambil sampel pada satu ruangan dan dengan penggunaan sarung tangan berulang. Sebagian besar tindakan cuci tangan tidak dilakukan sama sekali walaupun telah selesai melakukan tindakan pada satu ruangan. Pemakaian sarung tangan seolah-olah hanya untuk kewaspadaan pada diri sendiri tetapi tidak memikirkan dampaknya pada pasien. Padahal setiap trolly yang dibawa oleh petugas kesehatan dilengkapi dengan cairan alcohol handrub untuk mempermudah petugas lab mencuci tangan. Berdasarkan data dari WHO (2009) mengenai faktor yang mempengaruhi minimnya kesadaran akan kebersihan tangan salah satunya mencuci tangan memerlukan banyak waktu dan penggunaan sarung tangan sudah menggantikan pentingnya cuci tangan.

Berdasarkan kategori profesi, kepatuhan cuci tangan tertinggi adalah perawat dan bidan (>40%) hasil studi serupa dengan yang dilakukan di RSUP Dr.

Kariadi tahun 2011 yang menyatakan angka kepatuhan perawat dan bidan lebih tinggi dibanding dengan petugas kesehatan yang lainnya, disebabkan oleh perawat dan bidan lebih banyak kontak dan melakukan intervensi terhadap pasien, maka kesempatan atau indikasi cuci tangan ini lebih banyak dijumpai (Suryoputri, 2011).

5.2.2. Kepatuhan pada Setiap Momen Indikasi Cuci Tangan oleh Petugas

Dokumen terkait