BAB IV HAK ANAK MENURUT HAM DALAM MEMILIH AGAMA
B. Kepemilikan Hak Bagi Anak dalam Memilih Agama
perspektif Hak Asasi Manusia 2. Perumusan Masalah
Semestinya anak mempunyai hak kebebasan dalam memilih agama sekalipun orang tuanya berbeda agama atau keyakinan, tapi dalam kenyataannya terjadi penekanan atau deskriminasi terhadap anak sehingga ia tidak mempunyai kebebasan dalam memilih agama. Hal inilah yang ingin penulis telusuri dalam skripsi ini.
Rumusan diatas dapat dirinci dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai berikit : a. Bagaimana Kebebasan beragama menurut agama-agama di Indonesia? b. Apakah anak dari pasangan beda agama memiliki hak memilih agama? c. Bagaimana hak memilih agama bagi anak dari pasangan nikah beda agama
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai melalui penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui pandangan agama-agama tentang Kebebasan beragama 2. Untuk mendapatkan informasi yang faktual berkaitan dengan hak memilih
bagi anak dalam memilih agama
3. Untuk mengetahui hak memilih agama bagi anak dalam perspektif Hak Asasi Manusia.
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:
1. Dapat memberikan pemahaman tentang kebebasan beragama menurut masing-masing agama
2. Dapat mendeskripsikan permasalahan tentang hak bagi anak memilih agama dari pasangan beda agama
3. Dapat memberikan wacana dan pemahaman terhadap bagi anak memilih agamanya dalam perspektif Hak Asasi Manusia
D. Metode Penelitian 1. Pendekatan
Dalam pendekatan penulis menggunakan pendekatan secara emperis, yaitu memperhatikan dan memahami secara langsung keadaan keluarga yang menjalani kehidupan rumah tangga yang berbeda agama kemudian dikaitkan dengan penelaahan sumber-sumber yang relevan dengan tema penelitian
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang itu sendiri, atau penelitian yang lebih banyak menggunakan kualitas subjektif. Mencakup penelaahan dan pengungkapan berdasarkan persepsi untuk memperoleh pemahaman terhadap fenomena sosial dan kemanusian.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penulis menggunakan dua cara, yaitu pengumpulan data kepustakaan (Library Research) dan lapangan (Field Research). Adapun dalam pengumpulan data kepustakaan penulis mengambil dari berbagai literatur atau sumber-sumber bacaan yang ada, seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan sumber lain yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Sedangkan dalam pengumpulan data lapangan penulis mengadakan wawancara mendalam (Deep Interview). Wawancara dilakukan terhadap keluarga Bapak Basuki
dan Ibu Sriastuti yang saat ini masih berbeda agama, dan kepada Agus Wiyanto sebagai anak dari pasangan beda agama.
4. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh, penulis kwalifikasikan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Adapun data primer diperoleh langsung dari wawancara dengan keluarga yang menjalani rumah tangga yang berbeda agama, sedangkan data sekunder dipeoleh dari literatur, yaitu buku-buku, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tantang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dan buku-buku yang memuat keterangan dan penjelasan seputar tema dan pokok penelitian.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan dalam skripsi ini adalah Deskriptif Kualitatif. Digunakan untuk menuturkan, menafsirkan dan menguraikan data yang bersifat kualitatif, baik data yang diperoleh dari literatur-literatur maupun data yang dperoleh dari wawancara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah. Penulisan dengan ketentuan sebagai berikiut:
1. Terjemahan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi walaupun kurang dari enam baris
2. kutipan dari buku-buku yang masih dalam ejaan lama disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan (EYD)
3. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditulis pada urutan pertama, kemudian sumber lainya
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi di bagi atas lima bab, tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab. Perincian sistemetika tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I. Pendahuluan; yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat, metode pembahasan, dan sistematika penulisan.
Bab II. Hukum pernikahan beda agama; membahas masalah pernikahan pria dengan wanita ahli kitab, pernikahan pria dengan wanita musyrik, pernikahan wanita dengan pria non muslim, dan akibat hukumnya
Bab III. Konsep HAM dalam kebebasan beragama, mencakup pengertian HAM dan perbedaannya menurut Islam dan Barat, hak kebebasan beragama dalam konsep Islam, hak kebebasan beragama dalam konsep barat (UDHR), dan hak kebebasan beragama dalam konstitusi (UUD 1945)
Bab IV. Hak anak menurut HAM dalam memilih agama, dengan pembahasan kebebasan beragama menurut agama-agama di Indonesia, kepemilikan hak bagi anak dalam memilih agama, hak memilih agama bagi anak menurut hak asasi manusia, dan analisis
Bab V. Penutup, bagian akhir dari skripsi ini yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
HUKUM PERNIKAHAN BEDA AGAMA A. Pengertian
Pernikahan adalah sunnatullah, yang dilakukan oleh manusia, hewan atau tumbuhan. Manusia adalah makhluk yang paling mulia diantara yang ada di dunia, maka dari itu Allah meletakkan aturan pernikahan khusus bagi mereka, tidak seperti makhluk lain, yang aturan-aturan itu tidak boleh dilanggar.
Secara bahasa nikah adalah Ad-dhammu dan Al-wath’u yang berarti berkumpul dan bersetubuh. Sedangkan secara syara’ nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz Inkah dan Tazwij.
Dikalangan ahli fiqih tidak ada perbedaan yang signifikan dalam definisi pernikahan, kecuali pada redaksi saja. Mereka sepakat bahwa nikah adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak untuk memilliki penggunaan terhadap faraj perempuan dan seluruh tubuhnya untuk penikmatan sebagai tujuan primer.10
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
10
Ahmad Sukardja dan Bakri A. Rahman, Hukum Perkawinan Menurut Islam, UU Perkawinan, dan Hukum Perdata/BW, ( Jakarta: Hidayah Karya Agung, 1981), h. 11-12
Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Adapun agama-agama yang dimaksud adalah agama yang mempunyai kitab yang jelas diberikan oleh Allah SWT, seperti agama Islam, Yahudi, dan Nasrani dan ada pula agama yang mempunyai kitab yang mirip dengan kitab (wahyu) seperti agama Zoroaster (Majusi) dan mani.11 Selain itu agama yang disebut dalam al-Qur’an, tetapi beberapa agama dalam al-Qur’an tersebut bukan berarti dapat dikatakan pemberian legitimasi atas keabsahan eksistensi agama tersebut. Diantaranya adalah QS. al-Baqarah ayat (62), QS. al-Maidah ayat (69), QS. al-Hajj ayat (17).
Dilihat secara global dari penjelasan al-Qur’an, dari kepercayaan yang dianut oleh manusia ada empat kelompok, yaitu: Pertama, Allazina amanu (yaitu orang-orang beriman pengikut Nabi Muhammad SAW; Kedua, Allazina hadu (yaitu pengikut Nabi Musa a.s.); Ketiga, Wa al-Nashara (yaitu pengikut Nabi Isa a.s.);
Keempat, As-sabi’in (orang-orang yang keluar dari kelompok yahudi dan nasrani dan mereka menyembah Malaikat).12
11
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, terj. Asywadie Syukur, (Surabya: Bina Ilmu, 2006), h. 29
12
Menurut penelitian Taib Taher Abdul Muin, orang-orang Yahudi atau Bani Isra’il di sekitar Palestina mempunyai kitab suci yang disebut Taurat, yang diturunkan kepada Nabi Musa di gunung Tursina. Mereka terus menerus berselisih karena perubahan kitab suci, sehingga menjadi terpecah-pecah. Adapun agama Nasrani, agama yang diamanatkan kepada Nabi Isa dan diturunkan di Palestina ketika agama yang dibawa Nabi Musa telah diselewengkan. Kitab yang dibawa Nabi Isa adalah Injil. Sepeninggal Nabi Isa, agama Nasrani mengalami perubahan berangsu-angsur, sehingga menimbulkan beberapa golongan. Hampir dari semua golongan mengakui bahwa setelah Nabi Isa bangkit dari kubur ia mi’raj ke langit. Sejak itulah kaum Nasrani berbeda pendapat tentang sifat ketuhanan dan kemanusiaan dalam diri al-Masih. Salah satu penyimpangan agama Nasrani sampai sekarang adanya pembangkangan terhadap agama monoteis yang menjadi ciri-ciri agama samawi saat ini, yaitu paham trinitas yang diyakini kaum Nasrani saat ini. Selain itu ada juga agama Hindu. Hindu adalah agama yang mempercayai tiga Tuhan yang dianggap suci. Ketiganya bersatu dan tidak dapat dipisahkan, karena asal kejadiannya satu, tapi mereka tetap berpendapat bahwa tiga itu adalah satu.13
Hakikat agama yang diwahyukan adalah monoteisme atau bertauhid kepada Allah, baik itu Yahudi, Nasrani maupun Islam. Walaupun ada yang memasukkan agama Hindu sebagai agama monoteisme, tapi tidak satu rumpun seperti ketiga agama di atas. Dalam perjalanannya agama yang masih menjaga keesaan Tuhan
13Ibid
tersebut hanya dipegang oleh agama Islam dan Yahudi. Sedangkan Kristen dan Hindu dengan paham trinitas dan tiga dalam satu tidak dapat dikatakan agama monoteisme.14
Maka yang dimaksud dengan pernikahan beda agama di sini adalah perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita). Mengenai masalah ini Islam membedakan hukumnya sebagai berikut : Pernikahan antar seorang pria muslim denga wanita ahli kitab, Pernikahan antar seorang pria muslim dengan wanita musyrik; perkawinan antar wanita muslimah dengan pria non muslim.15
B. Pernikahan Pria dengan Wanita Ahli Kitab
Dalam masalah pernikahan pria muslim dengan wanita ahli kitab terdapat perbedaan di kalangan ulama. Perbedaan pendapat itu disebabkan karena perbedaan pendapat tentang kedudukan wanita ahli kitab.
Menurut Syaikh Hasan Ayyub kaum musyrikin terdiri dari tiga macam:
Pertama, yang mempunyai kitab. Kedua, yang tidak mempunyai kitab. Ketiga, yang diduga mempuyai kitab. Ulama sepakat yang mempnyai kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Sedangkan mereka yang tidak mempunyai kitab adalah para penyembah
14
Harun Nasution, Islam Ditijau dari Berbagai Aspek, Jil. 1, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1979), h. 12-16
15
berhala, batu-batuan, binatang, matahari, bulan, dan lain sebagainya. Mereka yang diduga mempunyai kitab adalah para penganut Majusi.16
Nikah dengan wanita ahli kitab merdeka dan tidak berzina, berdasar atas zahir ayat adalah halal, baik ahli kitab dzimmiyyah maupun harbiyyah. Lafadz al-Musyrikin tidak mencakup ahli kitab. Kehalalan nikah dengan wanita ahli kitab adalah takhsis (kekhususan) atau istisna (pengecualian) dari larangan nikah dengan wanita-wanita musyrik pada umumnya.
Imam-imam madzhab empat pada prinsipnya mempunyai pandangan yang sama, yaitu wanita ahli kitab boleh dinikahi, sekalipun berkeyakinan bahwa Isa adalah Tuhan atau meyakini kebenaran trinitas. Hal terakhir ini syirik yang nyata, tetapi karena mereka mempunyai Kitab Samawi mereka halal dinikahi sebagai takhsis dari Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman (Q.S. al-Baqarah: 221). Pentakhsisnya ialah “Dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan (al-muhsanat) di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu” (Q.S. al-Maidah: 5).17
16
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Penerjemah, M. Abdul Ghoffar, (Jakarta: Pustaka Al-Kaitsar, 2006), h. 142-144
17
H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 19
Maka dalam hal ini terdapat perbedaan para ulama atas tiga golongan:18 1. Golongan pertama berpendirian bahwa menikahi wanita ahli kitab (Yahudi
atau Nasrani) halal hukumnya. Termasuk dalam golongan ini adalah jumhur ulama’. Golongan ini berdasarkan kepada firman Allah SWT Q.S. al-Maidah ayat 5 :
Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik….. (Q.S. al-Maidah : 5)
Alasan kedua pada golongan ini adalah melihat kepada sejarah yang telah menunjukkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah menikahi wanita ahli
18
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, Jil. I. (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2003), h. 287
kitab. Hal mana menunjukan bahwa menikahi wanita ahli kitab itu halal hukumnya.
Menurut mereka dari ayat di atas dapat ditarik dua argument. Pertama, ayat ini dengan tegas membolehkan orang muslim memakan makanan orang ahli kitab (kecuali jenis yang diharamkan) dan membolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab yang muhsanat; Kedua, dari sisi kronologisnya ayat ini termasuk rangkaian ayat-ayat madaniah, yang turunya sesudah hijrah. Hal ini memperkuat penunjukan ayat ini terhadap hukum.19
Selain berdasarkan kepada Q.S. al-Maidah ayat 5, juga berdasarkan Sunnah Nabi, dimana Nabi pernah menikah dengan wanita ahli kitab, yakni Mariah al-Qibtiyyah (Kristen). Demikian pula sahabat Nabi termasuk senior bernama Hudzaifah bin al-Yaman pernah nikah dengan seorang wanita Yahudi, sedang para sahabat tidak ada yang menentangnya.20
2. Golongan kedua berpendirian bahwa menikah dengan wanita ahli kitab hukumnya haram. Yang termuka dari kalangan sahabat dari golongan ini adalah Ibnu Umar. Ketika Ibnu Umar ditanya tentang nikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani, ia menjawab “sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita musrik bagi kaum muslimin. Aku tidak tahu syirik, syirik manakah yang lebih besar daripada seorang perempuan yang berkata bahwa
19
Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 130 20
Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah seoarang di antara hamba Allah. Pendapat ini menjadi pegangan Syi’ah Imamiyah.21 adapun dalil dipegang oleh golongan ini adalah firman Allah SWT Q.S. al-Baqarah ayat 221:
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (Q.S. al-Baqarah: 221)
Dan firman Allah SWT Q.S. al-Mumtahanah ayat 10 :
Artinya: “Janganlah kamu pegang (yakni, ceraikanlah) perempuan-perempuan kafir yang kamu nikahi” (Q.S. al-Mumtahanah: 10) Ayat di atas melarang menikahi wanita-wanita kafir. Ahli kitab termasuk golongan orang kafir musyrik, karena orang Yahudi menuhankan Uzair dan orang Nasrani menuhankan Isa Ibnu Maryam, sedangkan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah SWT. Jika mereka tidak bertaubat kepada Allah SWT sebelum mereka mati.
Adapun lafadz muhsanat menurut golongan ini di-istimal-kan kepada perempuan ahli kitab yang telah masuk Islam, atau di-istimal-kan kepada pengertian
21
H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 22
bahwa kebolehan menikahi perempuan ahli kitab itu adalah masa (keadaan) perempuan-perempuan Islam sedikit jumlahnya.22
3. Golongan ketiga berpendirian bahwa menikahi wanita ahli kitab itu halal hukumya, tapi karena situasi dan kondisi menghendaki ketentuan lain. Pandangan ini berdasarkan bahwa sayyidina Umar penah menyuruh sahabat untuk menceraikan wanita ahli kitab. Selain itu, kekhawatiran kaum laki-laki akan terikat hatinya pada istrinya, apalagi setelah mendapatkan keturunan. Dan dikhawatirkan pula ketentraman dan kenyamanan dalam rumah tangga yang menjadi tujuan tidak dapat tercapai.23
Adapun Hanafiah berpendapat, menikahi wanita ahli kitab yang berada Darul Harbi, merupakan pembuka pintu ‘fitnah”. Mendahulukan nikah dengan mereka adalah makruh tahrim, karena membawa kepada mafasid, nikah dengan wanita Dzimmiyah yang tunduk kepada Undang-Undang Islam adalah makruh tanzih. Di kalangan Malikiyah ada dua pendapat. Pertama, nikah dengan wanita ahli kitab makruh mutlak, baik dzimmiyah maupun harbiyah. Kedua, tidak makruh secara mutlak, karena ayat telah membolehkan secara mutlak.24
22
Ibrahim Hosen, Fiqih Perbandingan dalam masalah Pernikahan, h. 289 23
Basiq Djalil, Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI, h. 136 24
H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 23-24
Menurut Imam Syafi’I mengatakan dihalalkan menikahi wanita-wanita ahli kitab bagi setiap muslim, karena Allah SWT menghalalkan mereka tanpa pengecualian. Wanita-wanita ahli kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut dua kitab yang Masyhur (yakni Taurat dan Injil), dan mereka adalah Yahudi dan Nasrani, adapun Majusi tidak termasuk. Dihalalkan pula menikahi wanita-wanita dari golongan Shabi’un dan Samirah dari kalangan Yahudi dan Nasrani yang dihalalkan mengawini wanita mereka. Namun bila diketahui bahwa mereka menyelisihi orang-orang yang menghalalkan apa yang dihalalkan dalam al-Kitab dan mengharamkan apa yang diharamkannya, maka pada kondisi demikian diharamkan menikahi wanita-wanita mereka sebagaimana diharamkan menikahi wanita Majusi.25 Imam Syafi’I juga menjelaskan bahwa kebolehan laki-laki mengawini wanita ahli kitab, apabila mereka beragama menurut Taurat dan Injil sebelum diturunkannya al-Qur’an. Namun setelah diturunkannya al-Qur’an mereka tetap beragama menurut kitab-kitab tersebut, tidak termasuk ahli kitab. Berbeda dengan imam-imam yang lain yang membolehkan mengawini ahli kitab secara mutlak.26
25
Imam Syaf’I, Ringkasan Kitab Al-Umm, Penerjemah: Imron Rosadi dan Imam Awaludin, Jilid II, Cet. 2. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2005), h. 351
26
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 344-345
Menjawab pertanyaan tentang menikahi Nasraniah dan Yahudiah, Ibnu Taimiah menjawab, nikah dengan wanita ahli kitab boleh, berdasarkan Q.S. al-Maidah ayat 5, ini pendapat jumhur salaf dan khalaf dari imam-imam madzhab empat. Ahli kitab tidak termasuk musyrikin. Ayat al-Baqarah umum, ayat al-Ma’idah khusus. Dapat juga dikatakan ayat al-Maidah nasikh dari ayat al-Baqarah.27
Menurut Qaul Mu’tamad dalam Madzhab Syafi’I, wanita ahli kitab yang halal dinikahi oleh orang muslim ialah wanita yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sebagai agama keturunan dari orang-orang (nenek moyang mereka) yang menganut agama tersebut semenjak masa sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi Rosul (yakni sebelum al-Qur’an diturunkan) tegasnya, orang yang menganut agama Nasrani atau Yahudi sesudah al-Qur’an diturunkan, mereka itu tidaklah dianggap ahli kitab, karena terdapat perkataan min qoblikum (dari sebelum kamu) dalam surat al-Maidah ayat (5). perkataan min qoblikum menjadi qayd bagi ahli kitab yang dimasksud. Jalan fikiran madzhab Syafi’I ini mengakui bahwa ahli kitab itu bukan karena agamanya, melainkan karena menghormati asal keturunannya.28
Yusuf Qardhawi menatarjih pendapat jumhur, sebenarnya kebolehan mengawini wanita ahli kitab adalah benar, karena surat al-Ma’idah ayat 5 tersebut adalah ayat yang turun terakhir sebagaimana disebut dalam Hadits. Adapun surat al-Baqarah ayat (221) adalah umum dan ditakhsis oleh ayat tersebut . menurut
27
H. Chuzaimah T. Yanggo, dan H. A. Hafiz Anshary A.Z., Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 20
28
Yusuf Qardhawi asal hukum nikah tersebut adalah mubah, dengan tujuan menimbulkan keinginannya memeluk agama Islam, mendekatkan hubungan Islam dan ahli kitab, dan melonggarkan toleransi antara keduanya. Namun, dengan kemubahan ini terikat dengan beberapa aturan yang pokok , antara lain:
a. Harus dapat dipercaya wanita ahli kitab tersebut benar-benar beriman kepada agama samawi, seperti Yahudi dan Nasrani, artinya secara garis besar beriman kepada Allah SWT, beriman kepada Rosul SAW dan beriman kepada Hari Akhir.
b. Wanita tersebut adalah wanita yang menjaga kehormatannya, karena Allah tidak sembarang membolehkan menikah dengan ahli kitab, bahkan menjadi syarat, sebagaimana dalam ayat pembolehannya. Dan wanita yang menjaga kehormatannya adalah wanita yang menjaga dirinya dari perbuatan zina, sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Katsir.
c. Wanita tersebut bukan dari golongan yang memerangi dan memusuhi umat Islam. Terhadap dzimmiyah fuqoha membolehkannya, sedangkan harbiyyah tidak boleh. Pendapat ini dikemukakan Ibnu Abbas.
d. Dibalik perkawinan ini tidak terdapat fitnah atau mudharat yang diperkirakan pasti terjadi atau diduga kuat akan terjadi. Bila secara umum mudharat akan terjadi, maka pelarangannya secara umum,
namun bila mudharat secara khusus maka pengharamannya pada situasi tertentu saja. Diantara mudharatnya adalah pernikahan dengan wanita ahli kitab menjadi tersebar dan sering dilakukan, sementara wanita-wanita muslimah yang lebih layak terkesampingkan.29
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam mengawini wanita non muslim, baik ahli kitab maupun bukan, tidak diperbolehkan, yang telah dirumuskan pada pasal 40 (c). Larangan ini lebih mengambil kepada pendapat sebagian madzhab Syafi’I yang melihat keberadaan kitab mereka dinasakh oleh kehadiran al-Qur’an dan kajian empiris, bahwa perkawinan antar pemeluk agama banyak menimbulkan persoalan. Selain itu juga mengambil para pendapat Majelis Ulama Indonesia yang melarang perkawianan antar pemeluk agama.30
C. Pernikahan Pria dengan Wanita Musyrik
Islam melarang pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita musyrikah, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 221:
Artinya:“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman….. “(Q.S. Al-Baqarah: 221)
29
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid I, Penerjemah: As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 587-590
30
Fuqaha sepakat bahwa seorang muslim tidak boleh nikah dengan wanita yang tidak beragama samawi, yaitu agama yang mempunyai kitab yang diturunkan Tuhan melalui Nabi yang namanya disebut dalam al-Qur’an. Setiap wanita yang tidak beragama samawi, tidak halal dinikahi. Mereka tergolong musyrikah yang termasuk ke dalam larangan umum.31
Hanya dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah yang haram dinikahi itu? menurut Ibnu Jarir al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa