• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

D. Kepemimpinan Dalam Pandangan Islam

2. Kepemimpinan Dalam Islam

Kepemimpinan Islam adalah pemegang prinsip-prinsip yang bersumber dari sejumlah konsep yang apabila dianggap remeh atau dilupakan maka akan sia-sia atau hilang. Sebaliknya apabila dipegang dan dijadikan acuan maka akan membawa kebaikan dan berarti da’wah telah ditegakkan berdasarkan pada kemurnian aqidah dan akhlaq yang mulia.29

Istilah yang sering dihubungkan dengan konsep negara dan pemerintahan adalah khilafah dan imamah. Dua istilah yang terkait erat dengan persoalan kepemimpinan, pertama, imamah yang kemudian popular di kalangan syi’ah, dan kedua, khilafat yang terkenal di kalangan sunni. Walaupun demikian, kedua konsep yang menjadi ciri khas masing-masing sunni dan syi’ah mengandung prinsip yang berbeda. Khilafat dalam perspektif sunni didasarkan pada dua rukun utama, yaitu konsensus (ijma) dan pemberian legitimasi (bai’ah). Sedangkan imamah dalam persepektif syi’ah menekankan dua rukun lain, yaitu: kekuasaan imam (wilayah) dan kesucian imam (ismah).

Konsep imamah dan khilafah memiliki akar kata dalam al-Qur’an. Tidak lebih 12 kali dalam al-Qur’an kata-kayta imam disebutkan. Pada

28 Muhammad Tholhah Hasan, Islam & Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h.247.

29 Musthafa Muhammad Thahhan, Model kepemimpinan dalam amal islami, (Jakarta: Robbani Press, 1985), h.21.

umumnya kata-kata imam menunjukan kepada bimbingan kepada kebaikan, meskipun kadang-kadang dipakai untuk seorang pemimpin suatu kaum dalam arti yang tidak baik, seperti:

Artinya: “Maka perangilah pemimpin-peminmpin orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti.”30

Ayat yang menunjukan imam sebagai ikutan yang baik disebut dalam:

Artinya: “Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (laukh makhfudz).”31(Yasin (36): 12)

Di dalam hadis pun, istilah imam itu ada yang baik dan ada yang buruk, dan imam yang baik adalah imam yang mencintai dan mendoakan rakyatnya serta dicintai dan didoakan oleh rakyatnya, sedangkan imam yang buruk adalah imam yang membenci rakyatnya dan dibenci serta dilaknat oleh rakyatnya.

Istilah Imamah dalam bahasa Arab dan kepemimpinan dan bahasa Indonesia merupakan kata yang erat kaitannya dengan persoalan politik pemerintahan. Dalam bahasa Arab kata Imamah yang berasal dari kata

30 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surat At-Taubah (9):12. 31 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surat Yasin (36):12.

imam berarti “pemimpin”, dan “pemuka” atau orang menjadi pimpinan. Sejak awal istilah imam digunakan guna menyebut seseorang yang memimpin (amma) shalat berjamaan di antara para partisan (ma;maum). Pada saat itu, tidak sedikit pun pola pemikiran kaum muslimin tentang keterkaitan istilah imam dengan kepemimpinan negara. Namun dalam perjalanan historisnya, ketika khulafaurrasyidin memegang tampuk kepemimpinan, mereka tidak hanya berperan sebagai tokoh agama, ahli hukum dan imam shalat, tetapi juga kepala negara yang bertugas mengatur dan mengurus persoalan-persoalan pemerintahan, maka sejak itu pula gelar imam tidak lagi khusus bagi para imam shalat, tetapi juga kata imam sering dikonotasikan sebagai pemimpin kenegaraan atau presiden. Dari kenyataan historis tersebut, istilah imam kemudian sering diidentikkan dengan khalifah, sultham amir, kepala negara, dan presiden.

Oleh karenanya, imam adalah seorang yang diikuti oleh suatu kaum. Kata imam lebih banyak digunakan untuk orang yang membawa kepada kebaikan, seperti pemimpin shalat, pemimpin agama.

Dalam Islam, imamah berfungsi sebagai institusi yang menggantikan peran kenabian Nabi Muhammad SAW dalam melindungi agama Islam dan mengatur kemaslahatan dunia. Hal ini bertolak dari cara atau gaya kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang tidak hanya mengatur persoalan-persoalan keagamaan tapi juga menyangkut persoalan politik. Oleh karena itu, setelah Nabi Muhammad SAW wafat, Allah mestilah mengangkat seorang pemimpin bagi ummat-Nya sebagai pengganti Nabi, pelindung, agama, dan pemegang mandat politik.

Ar-Razi berpendapat bahwa pengangkatan seorang imam adalah wajib, kewajiban itu bukan hanya datang dari Allah SWT, melainkan karena kebutuhan manusia itu sendiri. Argumentasi yang dikemukakan adalah pengangkatan imam itu meruapakan usaha untuk menolak mudarat/kejahatan, dan kejahatan itu tidak mungkin tertolak tanpa adanya imam. Menolak kejahatan demi keselamatan jiwa, menurutnya adalah wajib. Oleh karenanya, merupakan suatu kewajiban bagi orang-orang yang waras untuk mengangkat seseorang imam bagi mereka. Kewajiban mengangkat imam tersebut dipikul oleh rakyat secara bersama-sama, dalam bentuk kewajiban kifayah (kolektif). Karenanya, sumber kekuasaan tertinggi adalah rakyat.

Argumentasi tentang pengangkatan imam sesungguhnya lebih bersifat pertimbangan rasional (aqli) dari pada pertimbangan normatif sebagaimana biasanya terdapat dalam doktrin al-Qur’an dan al-sunah. Secara umum, baik al-Qur’an maupun al-sunah hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan persoalan politik, tetapi secara eksplisit menjelaskan persoalan penangkatan imam. Walaupun demikian ada beberapa ayat yang sering dijadikan para ulama dalam menjelaskan persoalan imam.32

Firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4) ayat 59:

32 Mufid Moh, Politik dalam Persepektif Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), h. 31-37.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu sekalian kepada Allah dan rasul-Nya serta ulil amri di antara kamu”33

Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai rujukan pertama dan utama umat Islam telah menampilkan lima terminologi tentang kepemimpinan yaitu:

a. Al-Imam (perhatikan QS. 25: 74), bentuk jamaknya adalah al-aimmah sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Bukhari dan Muslim. Imam artinya pemimpin yang berada di depan (amam). Istilah ini juga sangat populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan politik dan intelektual, ia juga populer dipakai untuk kepemimpinan dalam shalat berjama’ah. Ungkapan ini dalam bahasa Arab tampil dengan bentuk

isim fa’il (subjek). Tetapi dalam bahasa Arab ungkapan ini juga berarti objek (makmum). Oleh karenanya mengomentari ayat 25:74 itu, Imam Ibnul Qayyim menyampaikan dengan ungkapan, “Ya Allah jadikanlah kami makmum bagi orang-orang yang bertakwa.” Karena seorang pemimpin berada dalam posisi imam, maka dari itu haruslah bersiap berada di depan atau di belakang bersama orang-orang bertakwa, dan bahkan ia harus siap untuk menjadi imam maupun makmum dalam shalat dengan segala hikmah yang terkandung dalamnya.

b. Al-Khalifah bermakna pemimpin yang mewakili, menggantikan, dan siap diganti oleh pelanjutnya (QS. 2:30). Karenanya para Khulafa’ ar -Rasyidun selain menggantikan Rasulullah s.a.w sebagai pemimpin, mereka juga menlanjutkan risalah beliau, bahkan siap dan rela bila kepemimpinannya dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya.

Dalam terminologi ini, seorang pemimpin haruslah dalam posisi tidak melanggengkan kekuasaannya, melainkan ia selalu beraktifitas bijak termasuk mempersiapkan keberlanjutan kepemimpinan berikutnya. c. Al-Malik artinya raja. Hanya saja Al-Qur’an sekaligus mengaitkan

status ini dengan hakikat kerajaan yang sepenuhnya adalah milik Allah saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan kepada manusia hanyalah bersifat nisbi yang semestinya digunakan untuk merelisir kemaslahatan kehidupan. Di antara kemaslahatan tersebut adalah memunculkan kesentausaan bagi sang Raja dan bagi rakyatnya dengan sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah SWT. Karenanya Allah menegaskan bahwa Dia-lah Raja dari para raja. Oleh karenanya para raja di dunia itu haruslah menselaraskan diri dengan hakikat kekuasaan yang mereka miliki dan tidak melampauinya agar tidak muncul kehinaan dan kezaliman bagi kemanusiaan.

d. Al-Amir artinya seorang pemimpin yang dapat memerintah. Ia pun berarti ism maf’ul (objek) sehingga bermakna pemimpin yang dapat dikoreksi oleh rakyatnya atau diperintah untuk memperbaiki diri oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam terminologi ini adalah seorang pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat efektif memerintah melalui perintahnya yang ditaati rakyat , ketika perintah itu benar. Ia dapat berlapang dada untuk menerima perintah dari rakyat melalui koreksi mereka. Dengan cara ini, kehidupan kepemimpinan di suatu negeri akan membawa manfaat yang besar bagi kehidupan bangsa dan efektifnya penyelenggaraan negara.

e. Ar-Ra’i artinya adalah pemimpin yang senantiasa memberikan perhatian kepada ra’iyah (rakyat) (HR.Bukhari Muslim). Dalam hadits Rasulullah s.a.w sering mengingatkan bahwa peran kepemimpinan yang selalu peduli kepada rakyatnya itu ada di seluruh level kepemimpinan. Beliau pun mengaitkan secara langsung korelasi positif timbal balik antara ra’i dan ra’iyyah-nya. Keakraban semacam ini lah yang bila dilakukan seorang pemimpin tentu akan menciptakan iklim kepemimpinan yang penuh empati, keperdulian dan kedekatan dengan rakyat.34

Pemimpin Islam harus menjadi model keteladanan dalam segala hal, dimana kekuatannya lebih banyak diperoleh dari jati dirinya daripada dari keputusan-keputusan di atas kertas. Pemimpin harus memiliki daya penalaran kuat, pengetahuan luas, dan berani. Rasulullah saw adalah seorang pemberani dan paling kuat mentalnya. Para sahabat apabila perang berkecamuk berlindung pada Rasulullah saw.

Pemimpin juga harus bertutur kata yang baik dan berbudi pekerti luhur, tidak berbicara kotor dan tidak mengikuti hawa nafsu. Kerusakan yang sering dialami oleh berbagai jama’ah adalah karena adanya orang-orang yang melukai orang dengan kata-katanya yang pedas. Pemimpin harus bersifat bijak. Sifat bijak tidak tampak dalam waktu-waktu santai dan senang melainkan akan tampak ketika seseorang dapat mengendalikan diri pada saat emosi. Pemimpin harus memiliki sifat pemaaf, lembut, dna

34 Hidayat Nur Wahid, Mengelola Masa Transisi menuju masyarakat madani, (Ciputat: Fikri, 2004), h.165-166.

bertenggang rasa. Dengan sifat ini ia mendapat teman karib dan merangkul orang jauh. Pemimpin harus menetapi perjanjian yang telah disepakati, baik perjanjian dengan sang penciptanya untuk menjadi manusia yang dapat dipercaya dalam da’wahnya maupun terhadap dirinya sendiri; hanya mencari ridha Allah ta’ala dalam pekerjaannya. Pemimpin harus bersifat cerdas dan berwawasan luas, dadanya bersih dari kedengkian, kezaliman, dan kesombongan. Pempimpin harus tidak terpengaruh oleh perbuatan adu domba, sifat ini mempunyai makna penting bagi pemimpin.35

Pemimpin Islam bertanggung jawab menghidupkan dan menyebarluaskan prinsip syura dalam semua pengambilan keputusan sebab syura merupakan satu kewajiban syar’i. Ibnu Arabi berkat: “Musyawarah itu pokok agama dan sunatullah dalam alam. Musyawarah adalah kesepakatan pada suatu masalah di mana masing-masing mengemukakan pendapatnya. Kata ini berasal dari kata dasar isyarat. Dalam tafsir fiman Allah ta’ala:

Dan urusan mereka adalah dimusyawarahkan sesama mereka”.

Ibnu Arabi mengemukakan, syura ialah tidak bersikukuh pada satu pendapat dan tidak langsung menyalahkan pendapat mereka sehingga meminta bantuan orang lain yang dipandang mempunyai pengetahuan tentang maksudnya.36

35 Musthafa Muhammad Thahhan, Model kepemimpinan dalam amal islami, (Jakarta: Robbani Press, 1985), h.21-22.

Veitzal Rivai menyebutkan sekurangnya ada enam ciri kepemimpinan dalam Islam, yaitu:

1. Setia kepada Allah

Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah, artinya bahwa kepemimpinan yang dijalankan itu adalah merupakan perwujudan dari pada kesetiaan seseorang kepada Allah SWT, bukan karena ambisi ingin menjadi pemimpin, jadi semua prilaku kepemimpinannya itu adalah tunduk terhadap semua aturan hukum atau aturan syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT.

2. Tujuan Islam secara menyeluruh

Pemimpin harus mampu melihat bahwa tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, apalagi kepentingan orang perorang, akan tetapi disampingkan untuk kepentingan kelompok, orang perorangan juga dalam rangka memenuhi kepentingan dalam lingkup yang lebih luas yaitu kepentingan Islam secara keseluruhan.

3. Menjunjung tinggi syariat dan akhlak Islam

Pemimpin itu sangat terikat dengan peraturan yang terkandung di dalam syariat Islam, oleh karenanya seseorang boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada aturan-aturan yang terkandung di dalam syariat Islam. Dalam kondisi tertentu di mana pemimpin itu tidak memperhatikan dan mengabaikan aturan-aturan yang terkandung di dalam syariat Islam maka pada saat itu ia harus dimaksulkan, karena ia justru orang yang akan membahayakan Islam itu sendiri. Kecuali itu seorang pemimpin di dalam upaya mengendalikan urusannya itu ia

harus menjunjung tinggi akhlak Islam, baik ketika ia berurusan dengan orang-orang yang sefaham apalagi ketika ia berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham.

4. Pengemban amanat

Pemimpin adalah seseorang yang menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah SWT.oleh karena itu ia memiliki sebuah tanggung jawab yang besar. Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukan sikap yang baik kepada para pengikutnya atau para pahlawan atau para bawahannya. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman:

َةاَكَزلا اُوَ تآَو َة َََصلا اوُماَقَأ ِضْرَْْا ِِ ْمُهاَنَكَم ْنِإ َنيِذَلا

َمَأَو

ِرَكْنُمْلا ِنَع اْوَهَ نَو ِفوُرْعَمْلاِب اوُر

ۗ

ِهَلِلَو

ِقاَع

ََُُ

ِروُمُْْا

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”37 5. Bermusyawarah dan tidak sombong

Merupakan prinsip dasar kepemimpinan Islam adalah terlaksananya musyawarah sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah dalam kepemipinan. Dengan prinsip dasar ini akan memunculkan sikap adil dan memberikan kebebasan berfikir kepada semua pihak dalam lingkup kepemipinannya. Oleh karena itu pemimpin Islam bukanlah

kepemipinan tirani yang mengabaikan proses koordinasi. Namun bermusyawarah dengan pihak terkait yang dilaksanakan secara terbuka dan obyektif dengan menjunjung tinggi rasa saling menghormati merupakan prinsip yang harus dipertahankan. Dengan melaksanakan prinsip musyawarah ini akan menghasilkan keputusan yang lebih adil seadil-adilnya, karena melalui prinsip ini akan mampu menciptakan kebebasan berfikir, menciptakan keterbukaan dan kebesaran hati untuk saling menerima adanya pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, walaupun, kemungkinan munculnya saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa. Akibat menggunakan prinsip inilah maka para pengikut atau para bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama.

6. Disiplin, konsisten, dan konsekuen

Disiplin, konsisten, dan konsekuen merupakan ciri kepemimpinan dalam Islam. Sikap dan sifat ini tentunya akan diwujudkan dalm semua tindakan atau perbuatan dalam melaksanakan kepemiminannya, ia akan selalu memegang janji, ucapan dan perbuatannya, karena ia yakin benar bahwa Allah SWT melihat semua apa yang diucapkan yaitu, yang ia tidak mampu melanggarnya.38

43

A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Gatra

Diawali dengan pembredelan Majalah Tempo, April 1994, awak Tempo yang ada dihadapkan pada pilihan yang bagaikan buah simalakama. Pertama, menerima pembredelan tersebut, dengan konsekuensi mencari perahu masing-masing. Atau, kedua, menerima pembredelan, sebagai konsekuensi menerima Majalah Gatra. Setelah dilakukan semacam memorandum, maka waktu itu sebagian besar awak Tempo, memilih alternatif kedua, yaitu menerbitkan Majalah Gatra.1

Majalah Gatra terbit pertama kali pada 19 November 1994. Lahir dari tuntutan akan sebuah media informasi di tengah kawasan pembangunan Asia Pasifik yang bergejolak saat itu.

Tidak mudah dalam memilih nama media yang kelak menjadi Gatra tersebut. Nama Gatra sendiri dipilih melalui pikiran yang cukup panjang. Gatra diangkat dari khazanah bahasa bangsa. Dipilih dengan maksud tidak mencerminkan simbol golongan, mudah diingat, mulus diucapkan, singkat ditulis dan lancar dilisankan. Gatra sendiri memiliki makna kata, wujud, sudut pandang.

Tokoh-tokoh yang berada dibalik berdirinya Gatra sekaligus merupakan eks wartawan Tempo, antara lain Hery Komar, Mahtum

1 Noman Sanjaya, Strategi Redaksi Majalah Gatra dalam Proses Pembuatan berita pada Rubrik Laporan Khusus edisi 34 (Periode 2-8 Juli 2009), skripsi S1 Fakultas Ilmu Komunikasi UIN Jakarta,Universitas Mercu Buana 2009, h,62.

Mastum, Lukman Setiawan, Harijoko Trisnadi dan Budiono Kartohadiprojo.2

Kini, Gatra menjadi salah satu majalah berita terbesar di Indonesia. Gatra diolah dan dikemas oleh tangan-tangan profesional yang mempunyai sejarah panjang di ladang jurnalistik. Para penggerak Gatra adalah pekerja-pekerja pers yang telah menjalani spesialisasi majalah berita lebih dari dua dasawarsa.

Oplah Gatra saat ini 150.000 eksemplar setiap terbit, ditambah dengan Gatra dalam format digital yang bisa dibaca via website, maupun piranti tablet Apple dan Android, yang bisa diunduh dari berbagai toko buku digital. Gatra cetak saat ini bisa diperoleh di semua kota besar di Indonesia, hingga sejumlah kota di mancanegara. Dari hasil survei tim Gatra, readership Gatra mencapai 1.000,000 orang.

Mayoritas pembaca Gatra adalah dari sekelompok usia produktif antara 20 sampai 50 tahun sebesar 71,5% sementara pembaca di atas usia 50 tahun sebesar 28,9%. Mayoritas pembaca Gatra, ternyata, adalah kalangan berpendidikan tingkat sarjana hingga doctoral sebesar (67,2%). Gatra juga dipilih sebagai oleh pemasang iklan di Indonesia selama bertahun-tahun sebagai media yang efektif untuk berpromosi dan mengiklankan produknya. Mulai dari bisnis otomotif, properti,

2 Majalah Gatra, Profil Perusahaan Majalah Berita Mingguan Gatra (Jakarta: PT Linarasmekar, 1999), h.20, dikutip dari Fauziah Mursid, Analisis Wacana Teun A Van Dijk Dalam Pemberitaan Laporan Utama Majalah Gatra Tentang Seruan Boikot Israel dari Newyork, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, h.34.

telekomunikasi, elektronik, perbankan, penerbangan sampai perusahaan BUMN dan institusi pemerintah.3

B. Visi dan Misi Majalah Gatra

Visi majalah Gatra adalah menjadi bacaan yang cerdas, bermanfaat, dan menghibur. Menjadi sumber refrensi yang jernih, dalam, luas, lengkap dan tuntas. Melakukan fungsi kontrol sosial dengan tajam tanpa menikam,

hangat tanpa membakar, “menggigit” tanpa melukai, mengungkap tanpa

dendam, mengkritik tanpa menghasut. Dan, membangun industri informasi menuju masyarakat yang cerdas, berakhlak, dan sadar akan hak dan kewajibannya, serta mendorong tegaknya hukum yang berkeadilan; menjadi rujukan informasi bagi masyarakat global.

Misi majalah Gatra adalah menyajikan produk informasi yang terpercaya, mencerdaskan, objektif, akurat, jujur, berakhlak dan berimbang. Meningkatkan hasil usaha dengan cara nyang sehat, adil, efisien & efektif, inovatif, tumbuh dan disegani dalam bisnis global. Meninggikan mutu pelayanan untuk meningkatkan kepuasaan dan loyalitas pembaca.4

3 Gatra Media Group, Company Profile Gatra Media Group, dikutip dari Athifa Rahmah,

Perbandingan Makna Korupsi pada Ilustrasi Sampul Antara Majalah Gatra dan Tempo Tahun 2013, skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, h.42, Oktober 2013. 4 Noman Sanjaya, Strategi Redaksi Majalah Gatra dalam Proses Pembuatan berita pada Rubrik Laporan Khusus edisi 34 (Periode 2-8 Juli 2009), skripsi S1 Fakultas Ilmu Komunikasi UIN Jakarta,Universitas Mercu Buana 2009, h,63.

C. Realitas Objektif Kepemimpinan dalam Majalah Gatra

Tahun 2015 merupakan tahun Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia sejak Oktober 2014. Berbagai spekaluasi bermunculan saat Jokowi terpilih menjadi Presiden, apakah Jokowi berhasil menjadi Presiden yang baik seperti saat menjabat sebagai walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta. Kepemipinan Jokowi mulai dipertanyaan.

Dalam kepemimpinan politik, sumber daya insaninya bisa dari partai politik, bisa pula dari calon independen. Baik dari partai politik yang mengusung maupun dari melalui jalur independen, begitu seseorang ditetapkan sebagai pemenang dan menduduki suatu jabatan, maka ia adalah pemimpin untuk rakyat yang dipimpinnya, jika ia seorang Presiden Republik Indonesia. Ketika sumpah jabatan diucapkan, ia adalah seorang presiden untuk rakyatnya. Sekat-sekat ideologis dan kepartaian tak lagi berlaku. Ia berjalan dalam koridor konstitusi di mana ia diberi amanah.5

Oleh sebab itu, kepentingan partai tidak boleh dinomorsatukan. Yang dinomorsatukan adalah kepentingan rakyat yang dipimpinnya. Sebaliknya rakyat, begitu Komisi Pemilihan Umum menetapkan seseorang yang jadi pemenangnya, ia mesti menerima pemimpin baru itu, dan bekerja sama untuk terlaksananya program-program yang merujuk kepada konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula untuk kalangan dewan perwakilan rakyat, sepanjang program pemerintah itu pro-rakyat, mestinya mendapat dukungan sepenuh hati.

Inilah problema awal pemerintahan Jokowi-Kalla, setahun lalu. Ketika akan dilantik sebagai presiden RI, Jokowi dihadapkan pada kenyataan adanya dua kubu: Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). KIH adalah partai yang mengusung Jokowi-Kalla mengantarkannya menjadi Presiden-wakil presiden yang dimotori oleh Paratai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sedangkan KMP yang

“beroposisi” yang dimotori oleh Gerindra.

Melihat kondisi seperti itu, Jokowi tak tinggal diam. Ia mendatangi Prabowo Subianto—rivalnya dalam pemilu predisen—sekaligus mengundang dalam pelantikannya, 22 Oktober 2014, kehadiran Prabowo Subianto dala acara pelantikan Presiden dan Wakil Presiden itu, menurut banyak pengamat, sebagai bentuk dukungan kepada pemerintahan yang baru itu. Dan, secara politik, sebenarnya, memudarnya hasrat sebagai oposisi.

Dalam perjalanannya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak lagi bisa bersatu, terpecah jadi dua: kubu Rommahurmuzy yang mendukung Jokowi-Kalla berhadapan dengan kubu Djan Faridz yang di KMP. Begitu pula di Golkar, kubu Agung Laksono merapat ke KIH, sedangan kubu Aburizal Bakrie bertahan di KMP. Dalam proses peradilan yang berliku selama setahun, akhirnya, pada 20 Oktober lalu, Mahkamah Agung, dalam putusan kasasinyam memenangkan Aburizal Bakrie dan Djan Faridz.

Apa makna dibalik kemenangan Aburizal Bakrie dan Djan Faridz? Pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi, tek hendak ikut campur dalam

putusan peradilan, semua mekanisme sepenuhnya diserahkan kepada

Dokumen terkait