• Tidak ada hasil yang ditemukan

negeri Cina, mulai dari era pendirinya yaitu Mao Zedong dan dilanjutkan pada era Deng Xiaoping, hingga pembentukan ASEAN-Cina FTA. Dalam bab ini juga akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan Cina melakukan peningkatan hubungan ekonomi dengan ASEAN dan berupaya melihat kepentingan-kepentingan Cina dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas tersebut. Termasuk diantaranya, kebangkitan ekonomi Cina, faktor politik domestik, ekonomi, dan sistem ekonomi internasional yang menyebabkan Cina melakukan peningkatan kerjasama dengan ASEAN.

BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA. Bab ini menganalisa peningkatan hubungan kerjasama ASEAN-Cina dalam bidang ekonomi. Selain itu, juga akan menggambarkan tentang peluang-peluang dan hambatan yang akan dihadirkan dari terbentuknya ACFTA ini bagi kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya. Bab ini juga memaparkan bagaimana ACFTA berimplikasi terhadap hubungan ekonomi ASEAN dan Cina.

BAB V PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan mengenai pembahasan yang terjadi pada bab-bab sebelumnya.

BAB II

HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN

Bab ini akan memaparkan perkembangan hubungan ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Khususnya kerjasama yang terjadi di dalam ruang lingkup ASEAN, baik kerjasama ekonomi intra ASEAN maupun antara ASEAN dengan lingkungan eksternalnya. Kerjasama ekonomi yang dilakukan ASEAN merupakan bentuk kerjasama ekonomi yang pertama kali disepakati di kawasan Asia, hal ini menandakan keinginan ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Mengingat begitu pentingnya posisi ASEAN, maka pada bagian ini penulis juga akan memaparkan kebutuhan ASEAN untuk meningkatkan perekonomiannya sehingga mendorong ASEAN untuk melakukan kerjasama dengan lingkungan eksternalnya. Salah satu Negara yang dianggap memiliki potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ASEAN adalah Cina.

A. Latar Belakang Kerjasama Ekonomi ASEAN

Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967 merupakan awal bersejarah bagi pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Deklarasi tersebut mendasari terbentuknya ASEAN. Pada awal pembentukannya, ASEAN hanya memiliki lima anggota, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 2). Salah satu tujuan pembentukan ASEAN tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan bersama antara negara-negara yang tergabung di dalamnya untuk meningkatkan perekonomian dan

kesejahteraan bangsanya. Bahkan sejak pembentukannya hingga saat ini, ASEAN senantiasa mengedepankan agenda-agenda ekonomi dalam setiap interaksinya.

Salah satu tujuan dari pembentukan ASEAN seperti yang tertuang dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967 adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ASEAN. Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 1; ASEAN Secretariat 1967). Deklarasi ini mempersatukan negara anggota ASEAN dalam usaha bersama untuk mengembangkan kerjasama ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Deklarasi ini merupakan dasar yang menjadi rujukan bagi setiap aktifitas ASEAN dalam mewujudkan segala tujuannya.

Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, negara-negara anggota ASEAN sebenarnya telah mengalami kemajuan ekonomi, namun krisis ekonomi yang terjadi telah mengakhiri masa perkembangan ekonomi tersebut. Krisis ekonomi yang berawal di Thailand, memberi efek domino bagi negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Laos dan Filipina. Kejadian ini membuktikan adanya saling keterkaitan ekonomi antara negara-negara di kawasan tersebut. Menurut Sungkar (ed. 2005, h. 36), krisis ekonomi 1997 adalah krisis yang telah memukul sistem ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara dan Korea Selatan. Krisis ini diawali dengan tingginya pinjaman jangka pendek dari Negara-negara seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan terhadap Dollar AS. Hal ini

menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang (depresiasi)5 seperti; Rupiah di Indonesia atau Bath di Thailand terhadap Dollar AS, sehingga mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor dan kreditor asing sehingga terjadi pelarian modal dalam jumlah yang sangat besar. Dengan demikian banyak negara Asia yang kekurangan aset mata uang asing (Dollar AS) dan mengalami kesulitan dalam membayar hutang yang menumpuk.

Ketika jangka waktu peminjaman hutang tersebut telah jatuh tempo, perusahaan-perusahaan di negara-negara tersebut tidak mampu untuk membayar karena jumlah hutang yang meningkat, akibat naiknya nilai tukar Dollar AS. Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Bankrutnya perusahaan-perusahaan tersebut juga menyebabkan pinjaman yang dikucurkan oleh perbankan menjadi macet. Belum cukup sampai disitu, permasalahan perbankan ini juga memicu dampak lainnya dari krisis ekonomi ini, seperti bergejolaknya sistem politik di beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara, misalnya Indonesia.

Menurut Purwanto (dalam Yaumidin ed. 2008, h. 82) krisis ekonomi tersebut juga menunjukkan kelemahan fundamental perekonomian kawasan ASEAN. Ini dapat dilihat dari ketergantungan negara-negara ASEAN pada modal dari luar negeri seperti yang berasal dari Amerika Serikat dan Jepang. Purwanto (dalam Yaumidin ed. 2008, h. 83) juga menambahkan bahwa sejak krisis ekonomi tersebut, anggota ASEAN berusaha keras untuk dapat segera keluar dari bayang-bayang krisis dengan melakukan perbaikan-perbaikan kinerja perekonomian dan

5

Depresiasi berarti, menurunnya nilai mata uang dalam negeri terhadap valuta asing karena mekanisme pasar. Sedangkan Devaluasi adalah suatu kebijakan pemerintah untuk menurunkan nilai mata uang sendiri terhadap mata uang asing dengan cara sengaja. Tujuannya agar ekspor meningkat.

juga meningkatkan kerjasama intra regional bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih maju. Akan tetapi dengan adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh negara-negara ASEAN menyebabkan perlunya upaya untuk memperluas kerjasama ekonomi kawasan dengan negara lain, termasuk dengan mitra dialognya seperti dengan Cina, Jepang, India, Korea Selatan, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.

Selain itu, pada KTT ASEAN kedua di Kuala lumpur pada 1977 dikemukakan mengenai perlu ditingkatkannya kerjasama ekonomi dengan pihak lain baik negara, kelompok negara, dan organisasi internasional di luar ASEAN untuk menjalin hubungan yang saling bersahabat serta saling menguntungkan bagi semua pihak (ASEAN Secretariat 1977). Hal ini menunjukkan bagaimana ASEAN sangat menginginkan kerjasama dalam bidang ekonomi baik dengan lingkungan internalnya maupun dengan negara lain di luar kawasan Asia Tenggara. Pada bagian berikutnya, penulis akan memaparkan perkembangan kerjasama ekonomi Intra ASEAN.

B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN

B.1. Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN

Preferential Trading Arrangements (PTA) merupakan bentuk kerjasama ekonomi yang pertama kali terjalin antar negara ASEAN, selain juga merupakan yang pertama kali terjadi di kawasan Asia. PTA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1977 sebagai bentuk komitmen awal negara-negara ASEAN untuk melaksanakan perdagangan bebas (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188; ASEAN Secretariat 1977). Dalam skema PTA berlaku pengurangan tarif

bagi barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari negara-negara anggota ASEAN.

Dalam PTA ini diterapkan preferensi tarif yang dikenal dengan istilah MoP (Margin of Preference) (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 9). Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo menjelaskan, aturan yang termuat dalam MoP bahwa semua barang komoditi yang berasal dari ASEAN akan dikenakan tarif preferensi yang besarnya lebih rendah dari tarif Most Favoured Nation (MFN)6 dari negara-negara anggota ASEAN. Jadi pada intinya pengenaan tarif dalam sistem MoP ini harus lebih rendah dari segala bentuk pemotongan tarif yang telah berlaku di negara anggota ASEAN.

MoP sendiri dihitung berdasarkan persentasi tertentu dari tingkat tarif yang berlaku di negara-negara anggota ASEAN (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 9). Selain itu dalam skema PTA juga berlaku keharusan kandungan muatan lokal (rules of origin) sebesar 50 persen. Oleh karena itu, setiap komoditi yang diperdagangkan dalam skema PTA harus memiliki kandungan yang benar-benar berasal dari negara anggota ASEAN yaitu sebesar 50 persen. Menurut Pangestu (dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188) setiap negara dalam skema PTA ini juga mempunyai daftar pengecualian (exclusion list), yaitu daftar barang yang tidak diperdagangkan atau dikecualikan yang diajukan oleh setiap negara.

6

Most Favoured Nation (MFN), prinsip ini menyatakan bahwa setiap fasilitas atau keringanan yang diberikan oleh suatu negara terhadap impor barang dari suatu negara tertentu harus diberikan pula kepada barang yang sama yang berasal dari negara anggota GATT (General Agreement on Tariff and Trade sekarang WTO) yang lain. Dengan demikian, maka tidak ada satu negarapun yang diperlakukan lebih buruk daripada negara yang lain. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah azas non-diskriminasi, yang berarti tidak adanya perbedaan antara negara satu dengan negara yang lain. Namun, pada perkembangannya prinsip ini mendapatkan tentangan dari negara-negara berkembang, karena dengan cara ini berarti negara industri maju akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Oleh karena itu, negara-negara berkembang menuntut diubahnya prinsip ini dengan memperhatikan perbedaan yang ada antara negara industri maju di satu sisi dan negara berkembang di sisi yang lain (lihat Isaak 1995, h. 112).

Pada perkembangannya implementasi dari PTA ini berjalan kurang efektif, di antaranya akibat terlalu banyak barang-barang yang dimasukkan dalam

exclusion list” atau daftar pengecualian, sehingga tidak memperoleh penurunan tarif. Selain itu, terdapat kesulitan dalam membuktikan kandungan muatan lokal barang dan kurangnya penyebaran informasi tentang PTA terhadap para pengusaha di negara-negara anggota ASEAN. Hal inilah yang menjadi penyebab tidak berjalannya program ini secara efektif. Akibat sistem PTA yang tidak begitu efektif, maka pada ASEAN Summit ke-4 di Singapura pada Januari 1992 disepakatilah pembentukan program baru, khususnya di bidang perdagangan yaitu ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (Singh 1997, h. 47).

Pembentukan AFTA ini juga mencerminkan perkembangan situasi ekonomi dan politik yang terjadi bukan hanya di lingkungan ASEAN tetapi juga dinamika yang terjadi pada lingkungan internasional. Faktor eksternal itu di antaranya seperti yang diungkapkan oleh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 18), yaitu keprihatinan terhadap lambatnya pencapaian kesepakatan Putaran Uruguay7 tentang negosiasi perdagangan multilateral, kemajuan yang cepat dari pembentukan Pasar Tunggal Eropa (European Common Market), serta karena lahirnya NAFTA (North American Free Trade Area)8 (lihat juga Weatherbee et

7

Merupakan babak kedelapan dari perundingan yang berlangsung dalam kerangka kerja GATT yang dimulai pada tahun 1986 sampai 1994. Dalam perundingan ini juga disepakati perubahan dari GATT menjadi WTO. Selain itu juga disepakati pengurangan subsidi pertanian bagi negara-negara maju, investasi asing, tekstil, dan perdagangan di bidang jasa seperti bank dan asuransi. Uruguay Round dalam perundingannya juga berusaha menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan non-tarif, seperti; kuota, pajak, subsidi ekspor, pembatasan-pembatasan sukarela, serta standar dan peraturan birokratis di dalam negeri. Uruguay Round juga dianggap sebagai salah satu perundingan terbesar di bidang perdagangan sebelum adanya Doha Round yang di mulai tahun 2001 hingga saat ini (lihat Isaak 1995, h. 114).

al. 2005, h. 190). Dinamika ini dianggap menjadi tantangan yang serius bagi ASEAN dalam menarik investasi asing ke dalam lingkungan ASEAN. Oleh karena itu, pembentukan AFTA ini dinilai sangatlah penting untuk meningkatkan daya tarik ASEAN dalam dunia perdagangan dan investasi internasional.

Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 20) menyatakan bahwa ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan Negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Dengan adanya AFTA diharapkan perekonomian menjadi lebih efisien, bersaing, dan menarik bagi penanaman modal ke kawasan ini. Menurut Sungkar (ed. 2003, h. 1), AFTA merupakan kawasan perdagangan bebas ASEAN di mana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan nontarif9 bagi Negara-negara anggota ASEAN, melalui Common Effective Preferential Tariff Scheme (CEPT)-AFTA. CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh anggota ASEAN.

Awalnya AFTA ditargetkan akan dicapai dalam waktu 15 tahun yaitu pada 2008, namun dipercepat menjadi 2003, dan dipercepat lagi menjadi 2002 bagi ASEAN-6. Sedangkan untuk Vietnam pada 2006, bagi Laos dan Myanmar 2008, 8

NAFTA (North American Free Trade Area) Organisasi perdagangan bebas Amerika Utara yang beranggotakan tiga Negara yaitu, Amerika Serikat, Kanada dan Mexico.Didirikan pada 1994 bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan.

9

Hambatan non-tarif adalah hambatan non-moneter terhadap produk-produk ataupun jasa yang disediakan oleh pihak asing. Salah satu contohnya adalah standarisasi produk-produk yang dihasilkan oleh negara lain. Standarisasi di sini terkait dengan mutu produk, pengemasan produk, sertifikasi halal, jaminan kesehatan,dll. Hambatan non-tarif bisa saja berupa peraturan-peraturan yang memberatkan produk asing masuk ke suatu negara (lihat Pambudi & Chandra 2006, h. 54).

serta Kamboja pada 2010 (Wuryandari ed. 2000, h. 120; lihat juga ASEAN Secretariat). Seperti yang dikemukakan oleh Pangestu (dalam Weatherbee et al. 2005, h. 191), pengurangan tarif dalam AFTA ini hanya dapat diaplikasikan pada produk-produk yang memenuhi persyaratan kandungan muatan lokal (rules of origin) sebesar 40 persen dari negara-negara anggota.

CEPT dirancang untuk mewujudkan AFTA. Sehingga, isinya merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam melaksanakan AFTA. Menurut Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 28), produk yang diatur dalam CEPT adalah seluruh produk manufaktur dan produk pertanian. Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 29-32; ASEAN Secretariat 1999) menjelaskan bahwa klasifikasi produk dalam CEPT dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:

1.Inclusion List (IL)

Produk yang terdapat dalam IL adalah produk-produk yang harus mengalami liberalisasi dengan dikenai pengurangan tarif secepatnya secara terjadwal di bawah program CEPT, hingga harus turun maksimal 0-5 persen pada 2002 untuk ASEAN-6. Sedangkan bagi negara-negara CMLV (Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam) diberikan kelonggaran waktu yang berbeda untuk menerapkannya yaitu 2006 untuk Vietnam, 2008 untuk Laos dan Myanmar, serta 2010 untuk Kamboja. Kelompok barang dalam IL ini dibagi lagi menjadi dua kelompok, seperti: normal track dan fast track.

2.Temporary Exclusion List (TEL)

TEL adalah daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara untuk dimasukkan dalam skema CEPT karena ketidaksiapannya. Namun semua

produk dalam TEL pada akhirnya harus ditransfer ke dalam Inclusion List paling lambat 1 Januari 2002.

3.Sensitive List (SL)

Produk yang masuk dalam kategori ini terdiri dari produk-produk pertanian yang belum diproses atau produk pertanian bukan olahan (Unprocessed Agricultural Products). Produk dalam SL ini harus dimasukkan ke dalam IL dengan jangka waktu 2003 untuk ASEAN-6, Vietnam pada 2013, Laos dan Myanmar 2015, sedangkan Kamboja pada 2017. Contoh produk dalam SL adalah: beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh.

4.General Exception List (GEL)

GEL adalah daftar produk yang dikecualikan secara permanen dari program CEPT oleh suatu Negara karena dianggap penting dengan alasan perlindungan terhadap keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, serta barang-barang yang mengandung nilai sejarah, seni, dan arkeologis. Ketentuan yang termasuk dalam GEL ini sesuai dengan pasal 10 dari GATT, seperti senjata api, amunisi, narkotika dan sebagainya.

Pada perkembangannya, AFTA berhasil meningkatkan intensitas jumlah perdagangan intra ASEAN, akibat penurunan hambatan tarif maupun non-tarif di antara anggotanya. Namun, peningkatan perdagangan tersebut masih dianggap kurang berarti atau dengan kata lain perkembangan perdagangan intra ASEAN sangatlah lambat. Volume perdagangan dalam AFTA ini masih dianggap kurang mampu menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara (lihat Tabel II.1). Dari tabel ini dapat dikatakan

perdagangan intra ASEAN mengalami peningkatan, namun peningkatan itu belum mampu menggeser ketergantungan ekspor ASEAN ke luar kawasan Asia Tenggara.

Tabel II.1

Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 (dalam juta US$)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total

Intra 206.731 260.697 304.893 352.771 401.920 470.112 376.207 2.373.331

Extra 617.807 811.150 919.996 1.052.034 1.208.867 1.427.015 1.160.635 7.197.504

Total 824.538 1.071.847 1.224.889 1.404.805 1.610.787 1.897.127 1.536.842 9.570.835

Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010

Menurut Luhulima ( et al. 2008, h. 122) rendahnya perdagangan intra ASEAN ini antara lain dikarenakan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan standar produk dan belum harmonisnya prosedur bea cukai. Persoalan lain yang sama pentingnya adalah kurang populernya skema CEPT-AFTA di kalangan swasta, kurang jelasnya aturan kandungan lokal dan belum kuatnya mekanisme penyelesaian masalah perdagangan. Oleh karena itu, ASEAN memperbolehkan negara anggota yang belum siap berintegrasi untuk menyusul di kemudian hari agar tidak memperlambat anggota yang lebih siap. Hal inilah yang menyebabkan penerapan program ini berjalan tidak bersamaan antara satu negara dengan negara lainnya.

Selain itu Ariff (dalam Yue dan Pacini eds. 1997, h. 68) menambahkan bahwa minimnya perdagangan intra ASEAN ini mungkin disebabkan karena beberapa alasan. Pertama, negara-negara ASEAN memiliki sumber daya alam yang relatif sama sehingga tidak adanya saling melengkapi di antara anggota, namun justru terjadi persaingan. Sebagai contoh; Indonesia, Malaysia dan Thailand adalah sesama negara penghasil utama karet alam dunia, kemudian

Malaysia, Singapura dan Filipina sama-sama pengekspor produk-produk elektronik. Jadi perekonomian ASEAN lebih cenderung untuk berkompetisi antara satu negara dengan negara lain dalam memperebutkan pasar. Kedua, negara-negara ASEAN lebih banyak melakukan hubungan dagang dengan negara-negara-negara-negara di luar ASEAN daripada antar anggota ASEAN. Perdagangan negara-negara ASEAN lebih banyak dilakukan dengan negara-negara di luar kawasan, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan juga Jepang. Hal ini disebabkan karena negara-negara tersebut adalah daerah utama pemasaran komoditi ekspor dari negara-negara ASEAN, selain juga merupakan sumber investasi bagi negara ASEAN.

Kemudian, sebagai bentuk lanjutan dari integrasi ekonomi ASEAN, seiring dengan pemberlakuan AFTA maka disepakatilah gagasan yang lebih besar lagi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-8 di Phnom Penh, November 2002. Pada saat itu, menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 1), para pemimpin ASEAN menyetujui prakarsa Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong mengenai pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) sebagai bentuk lanjutan dari proses integrasi ekonomi ASEAN. Kemudian pada KTT ASEAN ke-9 di Bali tahun 2003, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk Komunitas Ekonomi ASEAN yang ditargetkan dicapai pada 2020. Pada KTT inilah dihasilkan ketetapan Bali Concord II yang menjadi cikal bakal pembentukan AEC. Lebih jauh Elisabeth (ed. 2009, h. 2) menyatakan bahwa, pembentukan AEC ini sesuai dengan tujuan pembentukan komunitas ASEAN yang ditetapkan dalam ASEAN Vision 2020 pada 1997, yaitu pembentukan tiga pilar utama ASEAN; ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN

Menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 2), pada tahap selanjutnya dalam KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina Januari 2007, para peserta pertemuan menyepakati untuk mempercepat jadwal pembentukan Komunitas ASEAN yang semula ditetapkan pada 2020 menjadi 2015. Namun, target pembentukan ketiga pilar utama tersebut tidak bersamaan. Target pencapaian disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan politik masing-masing negara anggota ASEAN. Misalnya, Singapura dan Brunei menargetkan ASEAN Community (AC) pada 2010, sedangkan Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand pada 2015, sedangkan CMLV tetap pada 2020.

Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 117) menambahkan bahwa, percepatan pembentukan AC ini terjadi dikarenakan adanya kekhawatiran ASEAN terhadap perkembangan ekonomi dunia. Dalam situasi persaingan ekonomi yang semakin tajam, ada kekhawatiran bahwa Asia Tenggara akan tertinggal jauh dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kawasan atau negara lain seperti pertumbuhan ekonomi Cina dan India. Gagasan membentuk ASEAN

Economic Community (AEC) diharapkan bisa mengalirkan semangat baru untuk berintegrasi ke dalam, dan meningkatkan daya saing kawasan agar dapat merebut investasi asing.

Elisabeth (ed. 2009, h. 3) menambahkan, dalam rangka perwujutan AEC ini, pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura November 2007 disahkan langkah kerja untuk mempercepat integrasi ekonomi dan realisasi pembentukannya, yaitu dengan menjadikan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan yang memiliki pembangunan

ekonomi yang relatif setara (equitable), serta kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global (lihat juga ASEAN Secretariat 2008).

Intinya, komunitas ekonomi ASEAN ingin membentuk suatu pasar dan basis produksi tunggal di mana di dalamnya terdapat pembebasan terhadap barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan liberalisasi modal. AEC juga dimaksudkan untuk membantu mengurangi kemiskinan dan juga mempersempit jurang ekonomi dan pembangunan bagi negara ASEAN-6 dan CMLV pada tahun 2020 mendatang (ASEAN Secretariat 2008).

Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 129) walaupun tidak mudah untuk mencapai tingkat integrasi ekonomi yang lebih tinggi, sebenarnya saat ini kerjasama ekonomi ASEAN bukan pada tahap paling awal dari integrasi ekonomi. ASEAN sudah meletakkan landasan dan menjalani proses integrasi ekonomi seperti, ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), yang ditetapkan dalam ASEAN Summit ke-5 di Bangkok pada Desember 1995. Untuk memperkuat kerjasama sektor jasa antar anggota ASEAN dengan penghapusan hambatan perdagangan jasa intra-regional.

Selain itu, juga disepakati pembentukan ASEAN Investment Area (AIA) pada tahun 1998 (ASEAN Secretariat). Selain kemudahan dalam perdagangan di bidang barang dan jasa, sektor investasi ini merupakan bagian penting dalam peningkatan investasi intra-ASEAN yang masih cukup rendah (lihat Tabel II.2). Penanaman modal asing (Foreign Direct Investment) bagi negara-negara ASEAN sebagian besar masih berasal dari negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara. Jadi, dalam perjalanan menuju Komunitas Ekonomi ASEAN, ASEAN dapat dikatakan telah berada di tengah jalan dan perlu menciptakan mekanisme dan

langkah-langkah baru untuk memperkuat implementasi kerjasama ekonomi yang sedang berlangsung.

Tabel II.2

Investasi Asing Langsung (FDI) Menuju ASEAN: 2003-2009 (dalam juta US$)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total

Intra 2.702 2.958 4.060 7.755 9.682 10.461 4.428 42.046

Extra 21.364 32.242 35.980 47.002 63.746 38.729 35.052 274.115

Total 24.066 35.200 40.040 54.757 73.428 49.190 39.480 316.161

Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010

Oleh karena itu, menurut Arbi (dalam Sungkar ed. 2005, h. 21) ASEAN telah mengesahkan sebelas sektor prioritas proyek percontohan percepatan integrasi pasar tunggal ASEAN yang direncanakan akan tercapai menjelang 2020. Tujuan ini akan dicapai melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan

Dokumen terkait