PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE AREA
(ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA
(2003-2009)
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Jurusan Hubungan Internasional
Oleh
Ali Fikri Wibowo
NIM : 106083003757
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 juli 2011
LEMBAR PERSETUJUAN
PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE
AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI
ASEAN-CINA (2003-2009)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hubungan Internasional
Oleh: Ali Fikri Wibowo
NIM: 106083003757
Dosen Pembimbing Dosen Penasehat Akademik
Dina Afrianty, Ph.D. Ali Munhanif, Ph.D.
NIP: 197304141999032002 NIP: 196512121992031004
Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PEMBENTUKAN ASEAN–CINA FREE TRADE AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA (2003-2009)
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan
Hubungan Internasional.
Jakarta, 5 Agustus 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan
Dina Afrianty, Ph.D. Agus Nilmada Azmi, M.Si.
NIP: 197304141999032002 NIP: 197808042009121002
Pembimbing
Dina Afrianty, Ph.D. NIP: 197304141999032002
Penguji I Penguji II
Friane Aurora, M.Si. Arisman, M.Si.
ABSTRAK
Penelitian ini melihat hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina hingga kedua belah pihak menyepakati pembentukan ASEAN-Cina Free Trade Area. Oleh karena itu, penulis mencoba menjabarkan kepentingan ASEAN dan Cina di balik pembentukan perjanjian ini. Kepentingan tersebut dipengaruhi dinamika internal dan eksternal yang terjadi baik dalam lingkup ASEAN maupun Cina, sehingga hubungan ekonomi ini sangat mencerminkan adanya interdependensi. Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan dalam skripsi ini maka ACFTA bagi ASEAN dan Cina harus diwujudkan.
Oleh karena itu, secara umum penulis melihat kerjasama ini dari perspektif neoliberal. Kemudian mencoba mengkhususkannya lagi melalui dua varian lain dalam perspektif tersebut, yaitu interdependensi yang dapat menjelaskan bahwa masing-masing pihak sangat membutuhkan perjanjian ini, dan neoliberal institusionalis yang mencoba menggambarkan peran dari sebuah rezim yang dalam hal ini adalah ACFTA.
Metode Penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yang didasarkan pada pengumpulan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber. Data-data ini kemudian penulis olah dengan bantuan kerangka pemikiran untuk mempermudah penulis dalam menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis memaparkan ataupun mendeskripsikan fakta-fakta terkait dengan pembahasan skripsi ini, lalu kemudian mencoba menganalisa fakta ataupun data tersebut pada bagian selanjutnya dalam penulisan.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pada jurusan
Hubungan Internasional.
Penulis bersyukur atas segala rintangan dan kemudahan yang menyertai
penulisan skripsi ini, hingga dapat diselesaikan. Hal ini tentunya terjadi bukan
hanya dari usaha penulis seorang diri, melainkan juga karena karuniaNya dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya: Kedua orang tua yang telah
memberikan dukungan. Terutama Mama yang telah memberikan dukungan
finansial dan tekanan moral, sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
Selain itu juga, terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dina Afrianty
Ph.D. selaku dosen pembimbing dan Ketua Jurusan Hubungan Internasional yang
sudah sangat membantu proses penulisan skripsi ini. Terima kasih karena selama
ini sudah rela meluangkan waktu dan membagi ilmunya, sehingga sangat-sangat
membantu penulis. Ibu telah memberikan arahan, motivasi dan benar-benar
membimbing, suatu kehormatan bagi penulis bisa berada di bawah bimbingan Ibu.
Terimaka kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ali Munhanif Ph.D.
selaku Penasehat Akademik, Bapak Agus Nilmada Azmi M.Si. selaku Sekretaris
Jurusan Hubungan Internasional, serta seluruh staf Dosen pada jurusan Hubungan
Internasional yang sudah mendedikasikan ilmunya selama ini kepada penulis.
Terima kasih juga untuk seluruh keluarga, Uni Yeni, Uni Dila dan
keponakanku satu-satunya Nazla Kamilah yang sudah memberikan keceriaan, di
tengah kepenatan selama ini. Terima kasih kepada Bang Marbawi yang sudah
meminjamkan beberapa bukunya sehingga memudahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Tidak lupa juga terima kasih kepada seluruh rekan-rekan seperjuangan
eksplorasi bersama pencarian bahan-bahan skripsi, ataupun dengan sukarela
meminjamkan bukunya; Christa, Acyd, Kis, Dian, Nia, Qori, Ayu. Selain itu juga
teman-teman lainnya di HI 2006, sebagai rekan diskusi selama ini; Nanda, Beben,
Firman, Insan, Wer, Irfan, Adnan, Bojay, Zubir, Ibnu.
Terima kasih juga kepada teman-teman di UKM FORSA khususnya divisi
Basket, yang sudah menumbuhkan jiwa sportifitas dan semangat pantang
menyerah dalam diri penulis. Selain itu terima kasih juga kepada teman-teman di
kosan Graha Cendekia yang sudah menemani penulis selama beberapa tahun
dalam menempuh pendidikan di Universitas ini. Dan semua pihak yang sudah
membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu per satu,
terima kasih.
Akhirnya, penulis berharap agar semua kebaikan yang telah diberikan
mendapatkan balasan dariNya. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
orang lain yang membacanya, terlepas dari banyaknya kekurangan yang termuat
di dalamnya. Terima Kasih.
DAFTAR ISI B.1 Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN………...……...20
B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN….………...32
C. Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN C.1 Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN………..35
C.2 ASEAN+3 (Cina, Jepang, Korea Selatan)….………...37
C.3 Hubungan Awal Kerjasama ASEAN-Cina…………...41
C.4 ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)…………...43
B.2 Perluasan Akses Pasar……….64
C. Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA
C.1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin…………67
C.2 Masuknya Cina menjadi anggota WTO……….…...69
C.3 Membendung Pengaruh Jepang di Kawasan Asia
Tenggara……….…..…...73
BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA
A. Permasalahan Penerapan ACFTA………..…………...80
B. Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina
B.1 Aspek Perdagangan Luar Negeri………...83
B.2 Aspek Investasi………...86
C. Dampak Terbentuknya ACFTA Terhadap Hubungan
Ekonomi ASEAN-Cina………..…..………...90
BAB V PENUTUP
DAFTAR SINGKATAN
AC : ASEAN Community
ACFTA : ASEAN-China Free Trade Area
AEC : ASEAN Economic Community
AFAS : ASEAN Framework Agreement on Services
AFTA : ASEAN Free Trade Area
AIA : ASEAN Investment Area
AMM : ASEAN Ministerial Meeting
APEC : Asia-Pasific Economic Cooperation
APSC : ASEAN Political-Security Community
APT : ASEAN Plus Three
ARF : ASEAN Regional Forum
AS : Amerika Serikat
ASA : ASEAN Swap Arrangement
ASCC : ASEAN Socio-Cultural Community
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
BIMP-EAGA : Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN
Growth Area
CEP : Comprehensive Economic Partnership
CEPT : Common Effective Preferential Tariff
CIA : Central Intelligence Agency
CITIC : China International Trust and Investment Company
CMI : Chiang Mai Initiative
CMLV : Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam
CNOOC : China National Offshore Oil Corporation
EAC : East Asian Community
EHP : Early Harvest Program
EU : European Union
FDI : Foreign Direct Investment
FTA : Free Trade Area
GDP : Gross Domestic Product
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Mercosur : Southern Common Market, Mercado Común del Sur
MFN : Most Favoured Nation
MoP : Margin of Preference
NAFTA : North American Free Trade Area
NICs : New Industrialized Countries
NT : Normal Track
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PKC : Partai Komunis Cina
PRC : People’s Republic of China
PTA : Preferential Trading Arrangements
RoO : Rules of Origin
RRC : Republik Rakyat Cina
RTA : Regional Trading Agreements
SEATO : Southeast Asia Treaty Organization
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 ...26
Tabel II.2 Investasi Asing Langsung Menuju ASEAN: 2003-2009…………..…30
Tabel II.3 Skema Penurunan tarif ACFTA ………...……46
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Transkrip Wawancara
Lampiran 2: Framework Agreement on Comprehensive Economic
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skripsi ini membahas tentang faktor-faktor, baik internal maupun eksternal
yang membuat Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dan Cina
meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi, serta dampaknya terhadap hubungan
ekonomi tersebut. Namun, pembahasan tidak akan melihat hubungan
masing-masing negara anggota ASEAN dengan Cina secara terpisah, melainkan
hubungan ASEAN secara keseluruhan sebagai suatu institusi formal di kawasan
Asia Tenggara dengan Cina. Selain itu, penulis juga membatasi periode jangka
waktu penelitian, yaitu antara tahun 2003 sampai dengan 2009. Dikarenakan pada
tahun 2003 skema perjanjian kerjasama ini secara bertahap mulai diberlakukan
dan pada 2009 mengingat keterbatasan data primer sehingga pembatasan jangka
waktu harus dilakukan.
Sejak berakhirnya Perang Dunia II timbul satu gagasan untuk
mengintegrasikan perekonomian negara-negara di dunia. Salah satunya melalui
kerjasama bilateral ataupun dalam ruang lingkup regional. Dengan bersatunya
ekonomi negara-negara di dunia, diharapkan akan tercipta situasi saling
ketergantungan (interdependensi) dan akan memperkecil resiko timbulnya
perselisihan yang bisa mengakibatkan kembali timbulnya perang. Selain itu,
setelah Perang Dunia II berakhir negara-negara di dunia ingin kembali
diwujudkan tanpa adanya bantuan ataupun kerjasama dari negara lainnya. Maka
pada tahap selanjutnya timbullah bentuk-bentuk kerjasama regional di dunia ini.
Salah satu bentuk kerjasama regional yang lahir setelah berakhirnya PD II
adalah Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) pada 1954 yang merupakan
organisasi bentukan Amerika Serikat yang lebih bertujuan untuk membendung
berkembangnya komunisme di Asia Tenggara dengan mengutamakan kerjasama
di bidang pertahanan (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h. 187). Pada
perkembangannya, SEATO inilah yang melatarbelakangi pembentukan dari
ASEAN pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Awal pembentukan ASEAN
juga bertujuan untuk membendung penyebaran komunisme di Asia Tenggara yang
dipelopori oleh Cina (Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 59).
Selain karena alasan politik dan pertahanan tersebut, tujuan dari
pembentukan ASEAN, salah satunya seperti yang tertuang dalam Deklarasi
Bangkok tahun 1967, adalah untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan kebudayaan di kawasan ASEAN
(ASEAN Secretariat 1967; Prabowo & Wardoyo2004, h. 1). Meskipun sampai
saat ini kemapanan dari segi ekonomi yang dicita-citakan oleh ASEAN masih
belum terwujud, akibat keberagaman tingkat ekonomi dari negara-negara
anggotanya. ASEAN sendiri dihadapkan atas berbagai pilihan, yaitu antara
mengembangkan kerjasama dengan negara ASEAN (intra ASEAN) atau
kerjasama ekonomi dengan negara di luar anggota ASEAN. Salah satu negara di
luar ASEAN yang dianggap mampu untuk memacu ataupun mengembangkan
perkembangan ekonomi Cina pada dua dekade terakhir yang mengalami
peningkatan cukup pesat.
Secara historis, hubungan antara Cina dengan ASEAN memang sudah
berlangsung sejak lama, namun secara resmi baru dimulai pertengahan tahun
1990-an (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 167). Hubungan kerjasama Cina
dengan ASEAN ditandai dengan adanya perubahan-perubahan pada tingkat
global. Pasca perang dingin, Cina memutuskan untuk lebih mempererat
hubungannya pada bidang ekonomi dengan ASEAN sekaligus melepaskan
ketergantungan hubungannya dengan negara-negara maju seperti Amerika
Serikat (AS).
Bagi Cina, memang tidak ada pilihan lain kecuali menerima kenyataan
akan adanya interdependensi dan globalisasi secara antusias dan terbuka sebagai
kebutuhan dari pembangunan perekonomiannya (Inayati ed. 2006, h. 21). Cina
sebenarnya sudah lama berusaha untuk meningkatkan perekonomiannya, tetapi
perekonomian berdikari yang dicanangkan oleh pendiri negara ini yaitu Mao
Zedong1 gagal membawa pertumbuhan bagi perekonomian Cina. Keinginan
untuk menjadikan Cina sebagai kekuatan besar dalam sistem hubungan antar
1
Mao Zedong adalah tokoh pendiri Republik Rakyat Cina (RRC) yang juga pemimpin Partai Komunis Cina (PKC), ia memimpin Cina pada periode 1949 hingga 1976. Mao Zedong dianggap pemimpin yang revolusioner dan juga kejam karena sering sekali menyingkirkan lawa-lawan politiknya. Jasa terbesarnya adalah keberhasilannya memimpin PKC dalam perang saudara melawan Kuomintang yang beraliran nasionalis (1927-1949), serta keberhasilannya dalam memimpin perang gerilya melawan Jepang (1937-1945). Namun, kegagalan terbesarnya saat
memimpin Cina adalah berupa kebijakannya yaitu “Lompatan Jauh Ke Depan” yang justru
mengakibatkan kesengsaraan rakyat banyak, dan “Revolusi Kebudayaan” yang dipandang hanya
negara di dunia ini tidak hanya menjadi obsesi Mao Zedong, tetapi juga menjadi
cita-cita pemimpin Cina pasca Mao Zedong yaitu Deng Xiaoping2.
Menurut Inayati (ed. 2006, h. 23), Deng Xiaoping dalam usaha
menjadikan Cina sebagai negara yang kuat lewat peningkatan kekuatan ekonomi
mencanangkan program reformasi yang dinamakan “Empat Modernisasi” (singe
xiandaehua). Gagasan program empat modernisasi ini dikemukakan oleh Deng
Xiaoping dalam pidato utama di pleno ketiga sidang komite sentral kesebelas
Partai Komunis Cina (PKC) pada tanggal 13 Desember 1978, empat program
modernisasi tersebut meliputi bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan
teknologi serta pertahan keamanan. Untuk mendorong program empat
modernisasi tersebut, Deng Xiaoping memprakarsai kebijakan pintu terbuka (open
door policy). Pada dasarnya kebijakan pintu terbuka adalah kebijakan yang
disusun untuk mempromosikan ekspansi hubungan ekonomi dengan negara lain,
termasuk di dalamnya beberapa kebijakan dalam hal perdagangan luar negeri,
investasi asing, serta pinjaman luar negeri. Hal inilah yang menyebabkan Cina
membuka diri terhadap hubungan ekonomi dengan negara lainnya, kebijakan
inilah yang terus mendasari hubungan ekonomi Cina dengan negara lainnya.
Salah satu kerjasama ekonomi yang dinilai penting adalah kerjasama
dengan ASEAN. Menjalin kerjasama dan hubungan ekonomi yang baik dengan
2
Deng Xiaoping dianggap sebagai pemimpin Cina pasca Mao Zedong, ia memimpin Cina pada periode 1978 hingga 1992. Pada masa revolusi kebudayaan di Cina, ia juga termasuk lawan politik yang diasingkan oleh Mao. Pada masa kepemimpinannya, Cina justru mengalami kemajuan yang pesat di bidang ekonomi, karena keterbukaannya dengan pihak asing. Kebijakan ekonomi yang diterapkan Deng sering dianggap bertentangan dengan prinsip pokok Marxisme, namun Deng
tetap membangun Cina dengan “sosialisme baru”, ungkapan yang cukup terkenal dari pernyataan Deng adalah “Tidak peduli apakah kucing itu berwarna putih atau hitam, yang penting adalah
ASEAN berarti menimbulkan penciptaan lingkungan regional yang damai, yang
merupakan salah satu inti sari dari empat program modernisasi Cina (Inayati ed.
2006, h. 38). Meskipun Cina bukan negara utama dari penyebaran komoditi
ekspor negara ASEAN, karena jumlah nilai ekspor yang dihasilkan masih kalah
jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang, namun peningkatan nilai
tersebut secara terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun, bahkan sebenarnya
telah melampaui persentase kenaikan nilai ekspor ASEAN ke AS dan Jepang
(Danyang dalam Hock, Jun & Wah eds. 2005, h. 209).
Pada 4 November 2002 saat ASEAN-Cina Summit ke-6 di Kamboja, para
pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menandatangani
Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation. Kerangka ini
merupakan landasan bagi kerjasama perdagangan dalam sebuah kawasan
perdagangan bebas ASEAN-Cina yang ditargetkan bisa dicapai pada tahun 2010
untuk ASEAN-6 (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand) dan
pada tahun 2015 untuk ASEAN-CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam)3
(Yu dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 45).
Masing-masing pihak baik ASEAN maupun Cina sebenarnya saling
membutuhkan kawasan perdagangan bebas ini untuk meningkatkan
perekonomiannya. Bagi negara-negara ASEAN sendiri, Cina dianggap mampu
menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap Amerika Serikat dan Jepang
3
yang perekonomiannya sering menghadapi goncangan. Dengan kedekatan
ASEAN dan Cina tersebut maka akan meningkatkan stabilitas ekonomi dan
keamanan regional sendiri, karena banyaknya alternatif kerjasama yang dimiliki
ASEAN dan masing-masing pihak juga membutuhkan lingkungan regional yang
aman untuk mengoptimalkan nilai investasi yang ada. Atas latar belakang inilah,
peningkatan kerjasama di bidang ekonomi antara ASEAN dan Cina dapat
disepakati, sehingga membentuk ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA), yang
selanjutnya menjadi pokok pembahasan utama dalam penulisan skripsi ini.
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang akan dibahas adalah:
1. Faktor internal maupun eksternal apa saja yang membuat ASEAN dan Cina
meningkatkan hubungan kerjasama di bidang ekonomi melalui ACFTA?
2. Bagaimana pembentukan ACFTA ini berimplikasi pada hubungan ekonomi
ASEAN dan Cina?
C. Kerangka Pemikiran
Globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia telah memberikan
peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonominya, serta mampu mengubah struktur dan pembangunan sosial
masyarakatnya. Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 266) globalisasi berarti
meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi, sosial dan budaya yang melewati
batas-batas internasional. Globalisasi yang dicirikan dengan adanya saling
untuk mempertahankan kebijakannya yang independen dan otonom (Perwita &
Yani 2005, h. 77). Kebijakan yang diambil oleh suatu negara baik yang bersifat
domestik terlebih lagi luar negeri, harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan
yang cepat terjadi pada lingkungan internasional. Oleh karena itu, globalisasi telah
membuka peluang yang tidak terbatas bagi negara-negara untuk melakukan
kerjasama dan integrasi ekonomi yang saling menguntungkan dalam bidang
perdagangan barang, jasa, maupun investasi. Penulis akan berkonsentrasi pada
aspek ekonomi dari globalisasi, karena aspek ekonomi ini berkaitan dengan saling
ketergantungan (interdependensi) yang terjadi di antara negara-negara di dunia
ini. Selain dari konsep interdependensi, penulisan skripsi ini juga akan dilihat dari
perspektif neoliberal institusionalis, agar dapat menggambarkan peran institusi
ataupun rezim (serangkaian peraturan) yang terjadi dalam pembentukan
ASEAN-Cina Free Trade Area ini.
Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 147) interdependensi berarti
ketergantungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lainnya. Jadi suatu
negara dipengaruhi oleh apa yang terjadi di manapun, oleh tindakan rekannya di
negara lain. Dengan adanya interdependensi, maka yang terjadi bukan hanya
keterkaitan dari segi ekonomi, namun interdependensi antar negara dapat
mengurangi konflik kekerasan antar negara. Keohane dan Nye (dalam Jackson &
Sorensen 2005, h. 151) menambahkan bahwa, dalam interdependensi (complex
interdependence) kekuatan militer merupakan instrumen kebijakan yang kurang
bermanfaat. Oleh karena itu, sumber daya kekuatan selain dari militer semakin
penting, seperti keahlian bernegosiasi. Akhirnya negara-negara menjadi lebih
menghiraukan dengan isu keamanan (high politics). Dalam interdependensi ini,
hubungan yang terjadi menjadi lebih bersahabat dan kooperatif.
Lebih jauh, Jackson dan Sorensen menyatakan (2005, h. 65) bahwa, ketika
terdapat derajat interdependensi yang tinggi, negara-negara akan sering
membentuk institusi-institusi internasional untuk menghadapi masalah-masalah
bersama. Institusi-institusi itu dapat berupa organisasi internasional formal (Uni
Eropa,WTO,ASEAN), atau dapat berupa serangkaian persetujuan (sering disebut
rezim) yang menghadapi aktivitas-aktivitas atau isu-isu bersama, seperti
perjanjian tentang perdagangan, komunikasi, penerbangan, atau lingkungan. Peran
institusi dalam bentuk ini akan dilihat dari perspektif neoliberal institusionalis.
Ada banyak varian dalam liberalisme, neoliberal institusionalis adalah
salah satunya. Namun, yang membedakan neoliberal institusionalis dengan jenis
liberalisme lainnya, menurut Keohane (dalam Hobson 2003, h. 95-98; lihat juga
Grieco dalam Baldwin ed. 1993, h. 123) adalah tanggapannya yang menerima
sejumlah asumsi dari pemikiran realis (struktural realis) mengenai anarkinya
hubungan internasional. Menurut Keohane, negara secara rasional adalah egois
dengan berusaha memaksimalkan keuntungan masing-masing, namun kehadiran
sebuah rezim sangatlah penting dan efektif, meskipun dalam kondisi yang secara
rasional memaksimalkan keuntungan masing-masing tersebut. Neoliberal
institusionalis menurutnya juga bertentangan dengan pemikiran normatif dari
liberal institusionalis sebelumnya. Keohane menolak pendapat dari liberalisme
klasik, yang menyatakan bahwa kerjasama terjadi secara alami. Menurut
Keohane, kerjasama tidak akan terjadi secara alami, kerjasama harus dirancang
Menurut Keohane, sistem politik dunia tidak didominasi oleh harmoni dan
kerjasama, tetapi dari perselisihan yang sering terjadi, seperti pendekatan
neorealis. Secara fakta, perselisihan sangatlah penting, karena dapat menciptakan
kebutuhan akan suatu rezim. Tanpa adanya konflik maka kerjasama tidak akan
dibutuhkan. Negara dapat bernegosiasi atau merancang sebuah institusi, karena
nilai dari keuntungan jangka panjang dari sebuah rezim. Rezim dapat
mengusahakan negara untuk menyelesaikan permasalahan bersama dari situasi
yang anarki. Kerjasama tidak terjadi karena alasan moral atau motivasi idealisme,
tetapi karena menjanjikan kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, dalam
perspektif neoliberal institusionalis masih terdapat optimisme dalam melakukan
kerjasama, dan institusi memiliki peran dalam mewujudkan kerjasama tersebut.
Jackson dan Sorensen (2005, h. 158) menambahkan bahwa institusi
internasional membantu memajukan kerjasama antara negara-negara, selain itu
juga membantu mengurangi ketidakpercayaan dan rasa takut di antara negara satu
dengan yang lainnya yang dianggap menjadi masalah tradisional yang dikaitkan
dengan anarki internasional. Steans dan Pettiford (2009, h. 132) menjelaskan
bahwa negara-negara tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan warga negara
mereka yang beranekaragam tanpa bekerja sama dengan negara-negara lain.
Institusi-institusi dan rezim-rezim internasional diperlukan untuk mengatur
kekuatan interdependensi yang ada. Meskipun konflik itu selalu ada, namun
institusi-institusi atau rezim-rezim menyediakan acuan bagi negara-negara untuk
menyelesaikan berbagai perbedaan.
Menurut Steans dan Pettiford (2009, h. 135), keberhasilan neoliberal
pada keberadaan suatu negara yang berhegemoni (dominan). Namun, ada
kepentingan-kepentingan bersama yang bisa dicapai melalui kerjasama. Pada
pandangan ini, negara-negara masih menjadi aktor dominan meskipun bukan
satu-satunya, tetapi aturan-aturan institusi berpengaruh penting terhadap hasil-hasil
dalam berbagai permasalahan. Mingst (2003, h. 65) menambahkan, bagi
neoliberal institusionalis, kerjasama muncul karena setiap aktor mempunyai
interaksi terus-menerus (kontinuitas) dengan yang lainnya. Institusi menyediakan
jaminan kerjasama, di mana ada harapan untuk interaksi di masa selanjutnya.
Mengenai keuntungan yang akan diperoleh dengan melakukan kerjasama,
Steans dan Pettiford (2009, h. 135; Keohane dalam Hobson 2003, h. 98)
mengungkapkan bahwa bagi neoliberal institusionalis, umumnya negara-negara
merupakan aktor yang berusaha memaksimalkan keuntungan yang absolut,4 bukan
memaksimalkan keuantungan relatif. Keuntungan Absolut berarti perolehan
mutlak yang didapatkan negara, tanpa membandingkan dengan seberapa besar
yang didapatkan oleh negara lain. Oleh karena itu, kerjasama menjadi hal yang
lebih masuk akal (rasional), dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi
keuntungan absolut. Dalam hal inilah tersimpan penjelasan tentang kemunculan
dan daya tahan berbagai organisasi, institusi dan rezim internasional. Jackson dan
Sorensen (2005, h. 169) menambahkan, jika negara-negara memiliki kepentingan
yang sama maka mereka tidak akan mencemaskan tentang keuntungan relatif.
Dalam situasi tersebut institusi dapat membantu meningkatkan kerjasama.
4
Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, pandangan neoliberal
institusionalis dapat dikaitkan dengan peran ASEAN sebagai organisasi formal di
kawasan Asia Tenggara yang sedang berusaha untuk lebih memajukan
pertumbuhan ekonomi negara-negara anggotanya, melalui berbagai hubungan
kerjasama ekonomi yang dilakukan baik intra ASEAN maupun dengan
lingkungan eksternalnya. Dalam perspektif ini juga dapat dilihat peran institusi
dalam menerapkan berbagai aturan ataupun program yang diharapkan dapat
memacu pertumbuhan ekonomi negara anggotanya. Institusi dianggap mampu
memberikan pedoman kerjasama bagi negara-negara yang memiliki banyak
perbedaan baik dari segi ekonomi, politik dan lainnya.
Selain peran ASEAN sebagai suatu institusi, melalui perspektif neoliberal
institusionalis juga dapat dilihat mengenai perjanjian pembentukan ACFTA.
Keberadaan rezim atau perjanjian kerjasama ini bisa dikaitkan dengan anggapan
anarkinya hubungan internasional, dalam hal ini misalnya, perkembangan
ekonomi Cina yang dianggap menjadi pesaing dari perekonomian ASEAN baik
dalam segi perdagangan maupun investasi, selain itu makin
terkelompok-kelompoknya berbagai negara dalam suatu bentuk regionalisme (Uni Eropa,
NAFTA, Mercosur) menjadikan hal yang lebih sulit bagi suatu negara di luar
kawasan tersebut untuk melakukan kerjasama, dengan kata lain masing-masing
negara berusaha memaksimalkan keuntungannya. Oleh karena itu, ASEAN dan
Cina menanggapinya dengan lebih mendekatkan diri dengan membentuk ACFTA.
Terlebih lagi Cina, karena dalam wilayah Asia Timur sendiri hampir tidak adanya
kemungkinan bagi Cina untuk membentuk suatu institusi formal terkait
Oleh karena itu, optimisme Cina dan ASEAN dalam melakukan kerjasama
di bidang ekonomi tertuang dalam pembentukan ACFTA. Kedua belah pihak
menganggap keberadaan perjanjian ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi bagi keduanya. Meskipun dalam pembentukannya juga banyak menuai
protes, terkait dengan komoditi ekspor Cina yang luar biasa melimpah, namun
sesuai dengan pandangan neoliberal institusionalis tentang keuntungan absolut
yang akan diperoleh, maka perjanjian ini dapat diwujudkan, dengan harapan
manfaat jangka panjang dari hubungan yang akan terjadi bagi keduanya termasuk
dari segi investasi.
Fenomena globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia tidaklah
mungkin untuk dihindari, yang menjadi persoalan adalah sejauh mana
negara-negara di dunia ini mampu mengambil keuntungan dari proses globalisasi ini.
Salah satu bentuk nyata dari interdependensi yang juga disebabkan oleh proses
globalisasi, adalah terbentuknya ACFTA. Saling ketergantungan yang terjadi di
antara kedua belah pihak baik ASEAN maupun Cina menyebabkan terbentuknya
perjanjian ini. Perjanjian kawasan perdagangan bebas ini tentunya dapat terwujud
jika setiap negara anggotanya mau menerima semua aturan ataupun perjanjian
yang telah disepakati bersama. Hubungan interdependensi yang terjadi antara
ASEAN dan Cina sehingga menyebabkan terbentuknya ACFTA akan lebih
dijelaskan dalam bagian selanjutnya pada skripsi ini.
Kerjasama ekonomi yang terjadi dalam ACFTA haruslah dapat
menguntungkan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya. Eksploitasi dalam
bentuk ekspansi ekonomi sangatlah dihindari dalam kerangka kerjasama ini. Salah
pemberlakuan skema ACFTA bagi anggota ASEAN-CMLV (Cambodia,
Myanmar, Laos, Vietnam) hingga pada 2015 (Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h.
42). Hal ini dimaksudkan agar ke-empat anggota baru ASEAN ini tidak menjadi
sasaran empuk dalam penyebaran komoditi ekspor negara lainnya, khususnya oleh
Cina. Dengan melakukan penundaan ini, maka diharapkan dapat memperpanjang
waktu persiapan bagi negara-negara tersebut untuk lebih menguatkan lagi kondisi
perekonomian domestiknya. Sehingga nantinya lebih mampu bersaing di dalam
skema kawasan perdagangan bebas ini.
Integrasi ekonomi yang terjadi di dalam skema ACFTA ini diharapkan
mampu memberikan manfaat bagi seluruh negara anggotanya, meskipun
keuntungan dari segi ekonomi yang diperoleh antara satu negara dengan negara
lainnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini terjadi akibat dari tingkat
kemampuan ataupun kesiapan yang berbeda-beda dari setiap negara yang
bekerjasama dalam sistem ini. Pada dasarnya, setiap negara yang terlibat dalam
perjanjian ini memiliki posisi yang setara, karena masing-masing pihak memang
membutuhkan kerjasama ekonomi ini. Sehingga diharapkan tidak ada negara yang
merasa dirugikan. Saat ini tidak ada satu negarapun di dunia ini yang betul-betul
dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil produksi negaranya sendiri. Langsung
atau tidak langsung negara-negara tersebut membutuhkan hubungan ekonomi
sehingga masing-masing negara sudah berada pada situasi yang saling
ketergantungan. Untuk mewujudkan hal itu maka instrumen kerjasama ekonomi
menjadi sesuatu yang harus dilakukan.
Pada pelaksanaannya hubungan kerjasama ekonomi antara Cina dengan
Faktor internal:
perspektif Cina pertumbuhan ekonomi yang pesat hasil dari program empat
modernisasi yang sukses dan interaksi Cina dengan ekonomi global, telah
membuka mata negara itu akan pentingnya interdependensi dan keterbukaan
dengan pihak asing. Interdependensi Cina telah mentransformasikan peran negara
itu dan sikap seluruh dunia dalam berhubungan dengan Cina ke arah yang lebih
baik. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah membuka mata dunia, dan
berpaling ke negeri itu. ASEAN sendiri juga sangat menyadari hal ini, sehingga
membuat negara-negara di kawasan Asia Tenggara menyambut baik tawaran dari
Cina dalam pembentukan ACFTA. Keinginan ASEAN di satu sisi dan kebijakan
Cina di sisi lain yang sangat membuka diri untuk melakukan hubungan ekonomi,
mengakibatkan upaya-upaya membentuk ACFTA dapat diwujudkan.
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran
pada bagian sebelumnya, maka penulis mencoba menggambarkan penelitian ini di
dalam sebuah model, yang dapat dilihat seperti di bawah ini:
ASEAN
CINA
D. Metode Penelitian
Pembuatan skripsi ini menggunakan metode kualitatif. Meskipun di
dalamnya tetap menampilkan data yang berbentuk angka, tetapi data tersebut tidak
didapat melalui penghitungan secara langsung oleh penulis, oleh karena itu masih
tergolong dalam penelitian kualitatif. Selain itu jenis penelitian skripsi ini bersifat
deskriptif. Penulis akan memaparkan atau mendeskripsikan sejumlah fakta-fakta
terkait dengan pembahasan skripsi ini.
Dalam memudahkan penulisan skripsi ini, penulis memperoleh data-data
primer dan sekunder, diantaranya yang berupa buku-buku, jurnal hubungan
internasional, wawancara dengan salah seorang peneliti pada Pusat Penelitian
Politik (P2P) LIPI , internet, dokumen resmi ASEAN Secretariat dan
bahan-bahan tertulis lainnya. Data yang didapat, digunakan untuk memudahkan penulis
dalam memahami permasalahan mengenai peningkatan hubungan kerjasama
ekonomi antara ASEAN dengan Cina.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini nantinya akan di bagi dalam beberapa bab dan setiap
bab mempunyai sub-bab tertentu.
BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan tentang latar belakang
permasalahan yang menjadi alasan pemilihan topik untuk penulisan skripsi ini.
Kemudian dilanjutkan pertanyaan penelitian, kerangka pemikiran, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN. Bab ini
dalam intra ASEAN maupun dengan lingkungan eksternalnya. Dimulai dari PTA,
AFTA, ASEAN+3,ASEAN Economics Community, sampai pembentukan
ASEAN-Cina FTA. Bab ini juga membahas faktor yang menyebabkan
terbentuknya ACFTA, yang dilihat dari perspektif ASEAN sebagai organisasi
regional di Asia Tenggara.
BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN
ACFTA. Bab ini berisikan tentang gambaran umum kebijakan ekonomi luar
negeri Cina, mulai dari era pendirinya yaitu Mao Zedong dan dilanjutkan pada era
Deng Xiaoping, hingga pembentukan ASEAN-Cina FTA. Dalam bab ini juga
akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan Cina melakukan peningkatan
hubungan ekonomi dengan ASEAN dan berupaya melihat
kepentingan-kepentingan Cina dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas tersebut.
Termasuk diantaranya, kebangkitan ekonomi Cina, faktor politik domestik,
ekonomi, dan sistem ekonomi internasional yang menyebabkan Cina melakukan
peningkatan kerjasama dengan ASEAN.
BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA. Bab ini
menganalisa peningkatan hubungan kerjasama ASEAN-Cina dalam bidang
ekonomi. Selain itu, juga akan menggambarkan tentang peluang-peluang dan
hambatan yang akan dihadirkan dari terbentuknya ACFTA ini bagi kedua belah
pihak yang terlibat di dalamnya. Bab ini juga memaparkan bagaimana ACFTA
berimplikasi terhadap hubungan ekonomi ASEAN dan Cina.
BAB V PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan mengenai pembahasan
BAB II
HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN
Bab ini akan memaparkan perkembangan hubungan ekonomi yang terjadi
di kawasan Asia Tenggara. Khususnya kerjasama yang terjadi di dalam ruang
lingkup ASEAN, baik kerjasama ekonomi intra ASEAN maupun antara ASEAN
dengan lingkungan eksternalnya. Kerjasama ekonomi yang dilakukan ASEAN
merupakan bentuk kerjasama ekonomi yang pertama kali disepakati di kawasan
Asia, hal ini menandakan keinginan ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonominya. Mengingat begitu pentingnya posisi ASEAN, maka pada bagian ini
penulis juga akan memaparkan kebutuhan ASEAN untuk meningkatkan
perekonomiannya sehingga mendorong ASEAN untuk melakukan kerjasama
dengan lingkungan eksternalnya. Salah satu Negara yang dianggap memiliki
potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ASEAN adalah Cina.
A. Latar Belakang Kerjasama Ekonomi ASEAN
Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967 merupakan awal bersejarah bagi
pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Deklarasi
tersebut mendasari terbentuknya ASEAN. Pada awal pembentukannya, ASEAN
hanya memiliki lima anggota, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan
Filipina (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 2). Salah satu tujuan pembentukan
ASEAN tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan bersama antara
kesejahteraan bangsanya. Bahkan sejak pembentukannya hingga saat ini, ASEAN
senantiasa mengedepankan agenda-agenda ekonomi dalam setiap interaksinya.
Salah satu tujuan dari pembentukan ASEAN seperti yang tertuang dalam
Deklarasi Bangkok tahun 1967 adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi,
kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ASEAN.
Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan
dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat
bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 1;
ASEAN Secretariat 1967). Deklarasi ini mempersatukan negara anggota ASEAN
dalam usaha bersama untuk mengembangkan kerjasama ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Deklarasi ini merupakan
dasar yang menjadi rujukan bagi setiap aktifitas ASEAN dalam mewujudkan
segala tujuannya.
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, negara-negara anggota ASEAN
sebenarnya telah mengalami kemajuan ekonomi, namun krisis ekonomi yang
terjadi telah mengakhiri masa perkembangan ekonomi tersebut. Krisis ekonomi
yang berawal di Thailand, memberi efek domino bagi negara-negara tetangganya
di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Laos dan Filipina. Kejadian ini
membuktikan adanya saling keterkaitan ekonomi antara negara-negara di kawasan
tersebut. Menurut Sungkar (ed. 2005, h. 36), krisis ekonomi 1997 adalah krisis
yang telah memukul sistem ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara dan Korea
Selatan. Krisis ini diawali dengan tingginya pinjaman jangka pendek dari
menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang (depresiasi)5 seperti; Rupiah di
Indonesia atau Bath di Thailand terhadap Dollar AS, sehingga mengakibatkan
hilangnya kepercayaan investor dan kreditor asing sehingga terjadi pelarian modal
dalam jumlah yang sangat besar. Dengan demikian banyak negara Asia yang
kekurangan aset mata uang asing (Dollar AS) dan mengalami kesulitan dalam
membayar hutang yang menumpuk.
Ketika jangka waktu peminjaman hutang tersebut telah jatuh tempo,
perusahaan-perusahaan di negara-negara tersebut tidak mampu untuk membayar
karena jumlah hutang yang meningkat, akibat naiknya nilai tukar Dollar AS.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Bankrutnya
perusahaan-perusahaan tersebut juga menyebabkan pinjaman yang dikucurkan
oleh perbankan menjadi macet. Belum cukup sampai disitu, permasalahan
perbankan ini juga memicu dampak lainnya dari krisis ekonomi ini, seperti
bergejolaknya sistem politik di beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara,
misalnya Indonesia.
Menurut Purwanto (dalam Yaumidin ed. 2008, h. 82) krisis ekonomi
tersebut juga menunjukkan kelemahan fundamental perekonomian kawasan
ASEAN. Ini dapat dilihat dari ketergantungan negara-negara ASEAN pada modal
dari luar negeri seperti yang berasal dari Amerika Serikat dan Jepang. Purwanto
(dalam Yaumidin ed. 2008, h. 83) juga menambahkan bahwa sejak krisis ekonomi
tersebut, anggota ASEAN berusaha keras untuk dapat segera keluar dari
bayang-bayang krisis dengan melakukan perbaikan-perbaikan kinerja perekonomian dan
5
juga meningkatkan kerjasama intra regional bagi pertumbuhan ekonomi yang
lebih maju. Akan tetapi dengan adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
oleh negara-negara ASEAN menyebabkan perlunya upaya untuk memperluas
kerjasama ekonomi kawasan dengan negara lain, termasuk dengan mitra
dialognya seperti dengan Cina, Jepang, India, Korea Selatan, Kanada, Australia,
dan Selandia Baru.
Selain itu, pada KTT ASEAN kedua di Kuala lumpur pada 1977
dikemukakan mengenai perlu ditingkatkannya kerjasama ekonomi dengan pihak
lain baik negara, kelompok negara, dan organisasi internasional di luar ASEAN
untuk menjalin hubungan yang saling bersahabat serta saling menguntungkan bagi
semua pihak (ASEAN Secretariat 1977). Hal ini menunjukkan bagaimana
ASEAN sangat menginginkan kerjasama dalam bidang ekonomi baik dengan
lingkungan internalnya maupun dengan negara lain di luar kawasan Asia
Tenggara. Pada bagian berikutnya, penulis akan memaparkan perkembangan
kerjasama ekonomi Intra ASEAN.
B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN
B.1. Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN
Preferential Trading Arrangements (PTA) merupakan bentuk kerjasama
ekonomi yang pertama kali terjalin antar negara ASEAN, selain juga merupakan
yang pertama kali terjadi di kawasan Asia. PTA pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1977 sebagai bentuk komitmen awal negara-negara ASEAN untuk
melaksanakan perdagangan bebas (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h.
bagi barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari negara-negara anggota
ASEAN.
Dalam PTA ini diterapkan preferensi tarif yang dikenal dengan istilah
MoP (Margin of Preference) (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 9). Lebih jauh
Prabowo dan Wardoyo menjelaskan, aturan yang termuat dalam MoP bahwa
semua barang komoditi yang berasal dari ASEAN akan dikenakan tarif preferensi
yang besarnya lebih rendah dari tarif Most Favoured Nation (MFN)6 dari
negara-negara anggota ASEAN. Jadi pada intinya pengenaan tarif dalam sistem MoP ini
harus lebih rendah dari segala bentuk pemotongan tarif yang telah berlaku di
negara anggota ASEAN.
MoP sendiri dihitung berdasarkan persentasi tertentu dari tingkat tarif
yang berlaku di negara-negara anggota ASEAN (Prabowo & Wardoyo 2004, h.
9). Selain itu dalam skema PTA juga berlaku keharusan kandungan muatan lokal
(rules of origin) sebesar 50 persen. Oleh karena itu, setiap komoditi yang
diperdagangkan dalam skema PTA harus memiliki kandungan yang benar-benar
berasal dari negara anggota ASEAN yaitu sebesar 50 persen. Menurut Pangestu
(dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188) setiap negara dalam skema PTA ini juga
mempunyai daftar pengecualian (exclusion list), yaitu daftar barang yang tidak
diperdagangkan atau dikecualikan yang diajukan oleh setiap negara.
6
Pada perkembangannya implementasi dari PTA ini berjalan kurang efektif,
di antaranya akibat terlalu banyak barang-barang yang dimasukkan dalam
“exclusion list” atau daftar pengecualian, sehingga tidak memperoleh penurunan
tarif. Selain itu, terdapat kesulitan dalam membuktikan kandungan muatan lokal
barang dan kurangnya penyebaran informasi tentang PTA terhadap para
pengusaha di negara-negara anggota ASEAN. Hal inilah yang menjadi penyebab
tidak berjalannya program ini secara efektif. Akibat sistem PTA yang tidak begitu
efektif, maka pada ASEAN Summit ke-4 di Singapura pada Januari 1992
disepakatilah pembentukan program baru, khususnya di bidang perdagangan yaitu
ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau kawasan Perdagangan Bebas ASEAN
(Singh 1997, h. 47).
Pembentukan AFTA ini juga mencerminkan perkembangan situasi
ekonomi dan politik yang terjadi bukan hanya di lingkungan ASEAN tetapi juga
dinamika yang terjadi pada lingkungan internasional. Faktor eksternal itu di
antaranya seperti yang diungkapkan oleh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 18),
yaitu keprihatinan terhadap lambatnya pencapaian kesepakatan Putaran Uruguay7
tentang negosiasi perdagangan multilateral, kemajuan yang cepat dari
pembentukan Pasar Tunggal Eropa (European Common Market), serta karena
lahirnya NAFTA (North American Free Trade Area)8 (lihat juga Weatherbee et
7
al. 2005, h. 190). Dinamika ini dianggap menjadi tantangan yang serius bagi
ASEAN dalam menarik investasi asing ke dalam lingkungan ASEAN. Oleh
karena itu, pembentukan AFTA ini dinilai sangatlah penting untuk meningkatkan
daya tarik ASEAN dalam dunia perdagangan dan investasi internasional.
Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 20) menyatakan bahwa ASEAN Free
Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan Negara-negara ASEAN
untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan
daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN
sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta
penduduknya. Dengan adanya AFTA diharapkan perekonomian menjadi lebih
efisien, bersaing, dan menarik bagi penanaman modal ke kawasan ini. Menurut
Sungkar (ed. 2003, h. 1), AFTA merupakan kawasan perdagangan bebas ASEAN
di mana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan nontarif9
bagi Negara-negara anggota ASEAN, melalui Common Effective Preferential
Tariff Scheme (CEPT)-AFTA. CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan
penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh anggota ASEAN.
Awalnya AFTA ditargetkan akan dicapai dalam waktu 15 tahun yaitu pada
2008, namun dipercepat menjadi 2003, dan dipercepat lagi menjadi 2002 bagi
ASEAN-6. Sedangkan untuk Vietnam pada 2006, bagi Laos dan Myanmar 2008,
8
NAFTA (North American Free Trade Area) Organisasi perdagangan bebas Amerika Utara yang beranggotakan tiga Negara yaitu, Amerika Serikat, Kanada dan Mexico.Didirikan pada 1994 bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan.
9
serta Kamboja pada 2010 (Wuryandari ed. 2000, h. 120; lihat juga ASEAN
Secretariat). Seperti yang dikemukakan oleh Pangestu (dalam Weatherbee et al.
2005, h. 191), pengurangan tarif dalam AFTA ini hanya dapat diaplikasikan pada
produk-produk yang memenuhi persyaratan kandungan muatan lokal (rules of
origin) sebesar 40 persen dari negara-negara anggota.
CEPT dirancang untuk mewujudkan AFTA. Sehingga, isinya merupakan
aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam
melaksanakan AFTA. Menurut Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 28), produk yang
diatur dalam CEPT adalah seluruh produk manufaktur dan produk pertanian.
Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 29-32; ASEAN Secretariat 1999)
menjelaskan bahwa klasifikasi produk dalam CEPT dapat dikelompokkan menjadi
4 golongan, yaitu:
1.Inclusion List (IL)
Produk yang terdapat dalam IL adalah produk-produk yang harus
mengalami liberalisasi dengan dikenai pengurangan tarif secepatnya secara
terjadwal di bawah program CEPT, hingga harus turun maksimal 0-5 persen pada
2002 untuk ASEAN-6. Sedangkan bagi negara-negara CMLV (Cambodia,
Myanmar, Laos dan Vietnam) diberikan kelonggaran waktu yang berbeda untuk
menerapkannya yaitu 2006 untuk Vietnam, 2008 untuk Laos dan Myanmar, serta
2010 untuk Kamboja. Kelompok barang dalam IL ini dibagi lagi menjadi dua
kelompok, seperti: normal track dan fast track.
2.Temporary Exclusion List (TEL)
TEL adalah daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara
produk dalam TEL pada akhirnya harus ditransfer ke dalam Inclusion List paling
lambat 1 Januari 2002.
3.Sensitive List (SL)
Produk yang masuk dalam kategori ini terdiri dari produk-produk
pertanian yang belum diproses atau produk pertanian bukan olahan (Unprocessed
Agricultural Products). Produk dalam SL ini harus dimasukkan ke dalam IL
dengan jangka waktu 2003 untuk ASEAN-6, Vietnam pada 2013, Laos dan
Myanmar 2015, sedangkan Kamboja pada 2017. Contoh produk dalam SL adalah:
beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh.
4.General Exception List (GEL)
GEL adalah daftar produk yang dikecualikan secara permanen dari
program CEPT oleh suatu Negara karena dianggap penting dengan alasan
perlindungan terhadap keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan
kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, serta barang-barang yang
mengandung nilai sejarah, seni, dan arkeologis. Ketentuan yang termasuk dalam
GEL ini sesuai dengan pasal 10 dari GATT, seperti senjata api, amunisi, narkotika
dan sebagainya.
Pada perkembangannya, AFTA berhasil meningkatkan intensitas jumlah
perdagangan intra ASEAN, akibat penurunan hambatan tarif maupun non-tarif di
antara anggotanya. Namun, peningkatan perdagangan tersebut masih dianggap
kurang berarti atau dengan kata lain perkembangan perdagangan intra ASEAN
sangatlah lambat. Volume perdagangan dalam AFTA ini masih dianggap kurang
mampu menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap negara-negara di luar
perdagangan intra ASEAN mengalami peningkatan, namun peningkatan itu belum
mampu menggeser ketergantungan ekspor ASEAN ke luar kawasan Asia
Tenggara.
Tabel II.1
Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 (dalam juta US$)
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total
Intra 206.731 260.697 304.893 352.771 401.920 470.112 376.207 2.373.331
Extra 617.807 811.150 919.996 1.052.034 1.208.867 1.427.015 1.160.635 7.197.504
Total 824.538 1.071.847 1.224.889 1.404.805 1.610.787 1.897.127 1.536.842 9.570.835
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010
Menurut Luhulima ( et al. 2008, h. 122) rendahnya perdagangan intra
ASEAN ini antara lain dikarenakan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan
standar produk dan belum harmonisnya prosedur bea cukai. Persoalan lain yang
sama pentingnya adalah kurang populernya skema CEPT-AFTA di kalangan
swasta, kurang jelasnya aturan kandungan lokal dan belum kuatnya mekanisme
penyelesaian masalah perdagangan. Oleh karena itu, ASEAN memperbolehkan
negara anggota yang belum siap berintegrasi untuk menyusul di kemudian hari
agar tidak memperlambat anggota yang lebih siap. Hal inilah yang menyebabkan
penerapan program ini berjalan tidak bersamaan antara satu negara dengan negara
lainnya.
Selain itu Ariff (dalam Yue dan Pacini eds. 1997, h. 68) menambahkan
bahwa minimnya perdagangan intra ASEAN ini mungkin disebabkan karena
beberapa alasan. Pertama, negara-negara ASEAN memiliki sumber daya alam
yang relatif sama sehingga tidak adanya saling melengkapi di antara anggota,
namun justru terjadi persaingan. Sebagai contoh; Indonesia, Malaysia dan
Malaysia, Singapura dan Filipina sama-sama pengekspor produk-produk
elektronik. Jadi perekonomian ASEAN lebih cenderung untuk berkompetisi antara
satu negara dengan negara lain dalam memperebutkan pasar. Kedua,
negara-negara ASEAN lebih banyak melakukan hubungan dagang dengan negara-negara-negara-negara
di luar ASEAN daripada antar anggota ASEAN. Perdagangan negara-negara
ASEAN lebih banyak dilakukan dengan negara-negara di luar kawasan, seperti
Amerika Serikat, Uni Eropa dan juga Jepang. Hal ini disebabkan karena
negara-negara tersebut adalah daerah utama pemasaran komoditi ekspor dari negara-negara
ASEAN, selain juga merupakan sumber investasi bagi negara ASEAN.
Kemudian, sebagai bentuk lanjutan dari integrasi ekonomi ASEAN,
seiring dengan pemberlakuan AFTA maka disepakatilah gagasan yang lebih besar
lagi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-8 di Phnom Penh,
November 2002. Pada saat itu, menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 1), para pemimpin
ASEAN menyetujui prakarsa Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong
mengenai pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) sebagai bentuk
lanjutan dari proses integrasi ekonomi ASEAN. Kemudian pada KTT ASEAN
ke-9 di Bali tahun 2003, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk
Komunitas Ekonomi ASEAN yang ditargetkan dicapai pada 2020. Pada KTT
inilah dihasilkan ketetapan Bali Concord II yang menjadi cikal bakal
pembentukan AEC. Lebih jauh Elisabeth (ed. 2009, h. 2) menyatakan bahwa,
pembentukan AEC ini sesuai dengan tujuan pembentukan komunitas ASEAN
yang ditetapkan dalam ASEAN Vision 2020 pada 1997, yaitu pembentukan tiga
pilar utama ASEAN; ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN
Menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 2), pada tahap selanjutnya dalam KTT
ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina Januari 2007, para peserta pertemuan
menyepakati untuk mempercepat jadwal pembentukan Komunitas ASEAN yang
semula ditetapkan pada 2020 menjadi 2015. Namun, target pembentukan ketiga
pilar utama tersebut tidak bersamaan. Target pencapaian disesuaikan dengan
kondisi ekonomi dan politik masing-masing negara anggota ASEAN. Misalnya,
Singapura dan Brunei menargetkan ASEAN Community (AC) pada 2010,
sedangkan Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand pada 2015, sedangkan CMLV
tetap pada 2020.
Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 117) menambahkan bahwa,
percepatan pembentukan AC ini terjadi dikarenakan adanya kekhawatiran
ASEAN terhadap perkembangan ekonomi dunia. Dalam situasi persaingan
ekonomi yang semakin tajam, ada kekhawatiran bahwa Asia Tenggara akan
tertinggal jauh dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kawasan atau negara lain
seperti pertumbuhan ekonomi Cina dan India. Gagasan membentuk ASEAN
Economic Community (AEC) diharapkan bisa mengalirkan semangat baru untuk
berintegrasi ke dalam, dan meningkatkan daya saing kawasan agar dapat merebut
investasi asing.
Elisabeth (ed. 2009, h. 3) menambahkan, dalam rangka perwujutan AEC
ini, pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura November 2007 disahkan langkah
kerja untuk mempercepat integrasi ekonomi dan realisasi pembentukannya, yaitu
dengan menjadikan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan
ekonomi yang relatif setara (equitable), serta kawasan yang terintegrasi penuh
dengan ekonomi global (lihat juga ASEAN Secretariat 2008).
Intinya, komunitas ekonomi ASEAN ingin membentuk suatu pasar dan
basis produksi tunggal di mana di dalamnya terdapat pembebasan terhadap
barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan liberalisasi modal. AEC juga
dimaksudkan untuk membantu mengurangi kemiskinan dan juga mempersempit
jurang ekonomi dan pembangunan bagi negara ASEAN-6 dan CMLV pada tahun
2020 mendatang (ASEAN Secretariat 2008).
Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 129) walaupun tidak mudah
untuk mencapai tingkat integrasi ekonomi yang lebih tinggi, sebenarnya saat ini
kerjasama ekonomi ASEAN bukan pada tahap paling awal dari integrasi ekonomi.
ASEAN sudah meletakkan landasan dan menjalani proses integrasi ekonomi
seperti, ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on
Services (AFAS), yang ditetapkan dalam ASEAN Summit ke-5 di Bangkok pada
Desember 1995. Untuk memperkuat kerjasama sektor jasa antar anggota ASEAN
dengan penghapusan hambatan perdagangan jasa intra-regional.
Selain itu, juga disepakati pembentukan ASEAN Investment Area (AIA)
pada tahun 1998 (ASEAN Secretariat). Selain kemudahan dalam perdagangan di
bidang barang dan jasa, sektor investasi ini merupakan bagian penting dalam
peningkatan investasi intra-ASEAN yang masih cukup rendah (lihat Tabel II.2).
Penanaman modal asing (Foreign Direct Investment) bagi negara-negara ASEAN
sebagian besar masih berasal dari negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara.
Jadi, dalam perjalanan menuju Komunitas Ekonomi ASEAN, ASEAN dapat
langkah-langkah baru untuk memperkuat implementasi kerjasama ekonomi yang
sedang berlangsung.
Tabel II.2
Investasi Asing Langsung (FDI) Menuju ASEAN: 2003-2009
(dalam juta US$)
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total
Intra 2.702 2.958 4.060 7.755 9.682 10.461 4.428 42.046
Extra 21.364 32.242 35.980 47.002 63.746 38.729 35.052 274.115
Total 24.066 35.200 40.040 54.757 73.428 49.190 39.480 316.161
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010
Oleh karena itu, menurut Arbi (dalam Sungkar ed. 2005, h. 21) ASEAN
telah mengesahkan sebelas sektor prioritas proyek percontohan percepatan
integrasi pasar tunggal ASEAN yang direncanakan akan tercapai menjelang 2020.
Tujuan ini akan dicapai melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan
intra-ASEAN. Kesebelas sektor yang dipilih di antaranya: elektronika, e-ASEAN,
perawatan kesehatan, produk-produk berbasis kayu, otomotif, produk-produk
berbasis karet alam, tekstil dan pakaian jadi, produk-produk agro-industri,
perikanan, penerbangan dan pariwisata. Sektor-sektor ini dipilih berdasarkan
tingkat keunggulan kompetitif masing-masing negara dalam hal ketersediaan
sumber daya alam, keterampilan pekerja, daya saing dalam hal biaya produksi dan
kontribusi nilai tambah bagi perekonomian ASEAN.
Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 134), dalam usaha menuju
integrasi ekonomi yang lebih tinggi, selain melalui program-program yang
disepakati sepuluh negara anggota, sebenarnya ada juga usaha-usaha yang dijalani
sebagian negara anggota yang dikenal dengan kerjasama sub-regional. Kerjasama
contoh; Segitiga pertumbuhan “Sijori” (Singapura-Johor-Riau) adalah bentuk
kerjasama sub-regional yang sudah berlangsung secara resmi sejak 1992. Dengan
semakin bertambahnya wilayah di Malaysia dan Indonesia yang ikut dalam
kerjasama segitiga pertumbuhan tersebut, maka “sijori” diubah menjadi
Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT).
Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 135) lebih jauh menjelaskan bahwa,
pendekatan sub-regional ini telah diikuti oleh tiga bentuk kerjasama sub-regional
lainnya. Pertama, Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) pada
1993 yang meliputi wilayah utara Sumatera dan Riau di Indonesia, negara bagian
Johor dan Penang di Malaysia, dan wilayah selatan Thailand. Kedua,
Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) pada
1994 yang meliputi Brunei, Kalimantan dan Sulawesi Utara di Indonesia,
Malaysia timur dan wilayah Filipina bagian selatan. Ketiga, wilayah sepanjang
West-East Corridor (WEC) di Mekong Basin, yang meliputi Vietnam, Laos,
Cambodia dan timur laut Thailand yang dibentuk sejak 1996. Dari penjelasan di
atas, dapat dikatakan bahwa AEC lebih merupakan proses pendalaman dari
integrasi ekonomi ASEAN (AFTA, AFAS, AIA), ataupun pengembangan sektor
prioritas dan kerjasama sub-regional.
Dalam penerapan AEC, sebenarnya ASEAN mencontoh integrasi ekonomi
yang dilakukan Uni Eropa (Elisabeth ed. 2009, h. 21). Namun, perlu dilihat
kembali apakah gagasan ini dapat terlaksana seperti harapan para pemimpin
ASEAN, mengingat banyaknya perbedaan yang dimiliki negara-negara anggota
ASEAN, baik dari segi ekonomi, politik, dan lainnya. Sebagai gambaran, Uni
membutuhkan waktu 35 tahun (Perjanjian Roma 1957-Perjanjian Maastricht
1992). Integrasi ekonomi ASEAN memang berbeda dengan EU, namun dengan
pencanangan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar utama (politik dan
keamanan, ekonomi, sosial dan budaya), ASEAN mencontoh model Traktat
Maastricht untuk membangun masyarakat ASEAN sebagaimana hasil KTT
ASEAN di Bali Pada tahun 2003 (Bali Concord II). Oleh karena itu, perlu dilihat
kembali alternatif dalam meningkatkan perekonomian negara-negara ASEAN,
seperti negara lain yang dianggap mampu memacu pertumbuhan integrasi
ekonomi tersebut, di antaranya bekerjasama dengan Cina membentuk
(ASEAN-China Free Trade Area). Setelah membahas tentang kerjasama ekonomi yang
terjadi dalam ruang lingkup intra ASEAN, pada bagian selanjutnya, penulis akan
mencoba memaparkan hambatan yang menyertai integrasi ekonomi ASEAN.
B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN
Proses integrasi di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara tergolong
sangat lambat. Ketika terjadi regionalisasi di kawasan Eropa dan Amerika Utara,
kawasan Asia Tenggara belum memiliki kesadaran untuk melakukan kerjasama
atau integrasi ekonomi regional. Regional Trading Agreements (RTA) tidak
muncul di Asia Tenggara, hingga tahun 1977 ketika ASEAN mencapai
kesepakatan dalam hal Preferential Trading Arrangements (PTA) (Prabowo &
Wardoyo 2004, h. 2). Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 51; Sinaga
dalam Elisabeth ed. 2009, h. 118), setidaknya ada beberapa alasan yang dapat
menyebabkan keterlambatan hadirnya integrasi regional di kawasan Asia
Alasan pertama, secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara
memiliki latar belakang budaya, sistem politik, agama, bahasa, dan tingkat
perekonomian yang berbeda. Adanya perbedaan tingkat kemajuan ekonomi ini
juga menyebabkan sulitnya menetapkan suatu penerapan kebijakan yang seragam
antara satu negara dengan negara lainnya, sebagai contoh dalam penerapan AFTA
dan ACFTA; terdapat perbedaan dalam penerapan skema ini, hal ini disebabkan
oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang jauh berbeda, sehingga ada negara yang
dianggap telah siap menghadapi perdagangan bebas (Singapura dan Brunei) dan
ada juga negara yang memerlukan waktu persiapan yang lebih panjang (Kamboja,
Laos, Myanmar, Vietnam).
Selain itu, perbedaan sistem politik dan pemerintahan juga dianggap
sebagai penghalang, banyak negara yang menjalankan pemerintahan dengan
demokratis dan terbuka, namun ada juga beberapa negara seperti Laos dan
Vietnam yang merupakan negara dengan sistem komunis sehingga lebih tertutup
terhadap perkembangan dan pengaruh asing. Selain itu, Myanmar yang
pemerintahannya dikuasai oleh junta militer juga menyebabkan perkembangan
demokrasi cukup terhambat sehingga berpengaruh pada perkembangan ekonomi.
Alasan kedua, negara-negara ASEAN ini cenderung untuk melakukan
kerjasama perdagangannya dengan negara-negara di luar kawasan Asia, yaitu
dengan AS dan Eropa. Kedua kawasan tersebut berperan sebagai pasar ekspor
terbesar negara-negara Asia Tenggara dan juga sebagai sumber investasi asing
bagi mayoritas negara ASEAN. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Uni Eropa,
di mana mayoritas perdagangan dan investasi yang terjadi di kawasan Eropa justru