• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan ASEAN-CINA Free Trade Area (ACFTA) dan hubungan ekonomi ASEAN-CINA (2003-2009)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembentukan ASEAN-CINA Free Trade Area (ACFTA) dan hubungan ekonomi ASEAN-CINA (2003-2009)"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE AREA

(ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA

(2003-2009)

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana

Pada Jurusan Hubungan Internasional

Oleh

Ali Fikri Wibowo

NIM : 106083003757

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 27 juli 2011

(3)

LEMBAR PERSETUJUAN

PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE

AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI

ASEAN-CINA (2003-2009)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hubungan Internasional

Oleh: Ali Fikri Wibowo

NIM: 106083003757

Dosen Pembimbing Dosen Penasehat Akademik

Dina Afrianty, Ph.D. Ali Munhanif, Ph.D.

NIP: 197304141999032002 NIP: 196512121992031004

Jurusan Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PEMBENTUKAN ASEAN–CINA FREE TRADE AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA (2003-2009)

telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan

Hubungan Internasional.

Jakarta, 5 Agustus 2011

Sidang Munaqasyah

Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan

Dina Afrianty, Ph.D. Agus Nilmada Azmi, M.Si.

NIP: 197304141999032002 NIP: 197808042009121002

Pembimbing

Dina Afrianty, Ph.D. NIP: 197304141999032002

Penguji I Penguji II

Friane Aurora, M.Si. Arisman, M.Si.

(5)

ABSTRAK

Penelitian ini melihat hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina hingga kedua belah pihak menyepakati pembentukan ASEAN-Cina Free Trade Area. Oleh karena itu, penulis mencoba menjabarkan kepentingan ASEAN dan Cina di balik pembentukan perjanjian ini. Kepentingan tersebut dipengaruhi dinamika internal dan eksternal yang terjadi baik dalam lingkup ASEAN maupun Cina, sehingga hubungan ekonomi ini sangat mencerminkan adanya interdependensi. Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan dalam skripsi ini maka ACFTA bagi ASEAN dan Cina harus diwujudkan.

Oleh karena itu, secara umum penulis melihat kerjasama ini dari perspektif neoliberal. Kemudian mencoba mengkhususkannya lagi melalui dua varian lain dalam perspektif tersebut, yaitu interdependensi yang dapat menjelaskan bahwa masing-masing pihak sangat membutuhkan perjanjian ini, dan neoliberal institusionalis yang mencoba menggambarkan peran dari sebuah rezim yang dalam hal ini adalah ACFTA.

Metode Penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yang didasarkan pada pengumpulan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber. Data-data ini kemudian penulis olah dengan bantuan kerangka pemikiran untuk mempermudah penulis dalam menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis memaparkan ataupun mendeskripsikan fakta-fakta terkait dengan pembahasan skripsi ini, lalu kemudian mencoba menganalisa fakta ataupun data tersebut pada bagian selanjutnya dalam penulisan.

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pada jurusan

Hubungan Internasional.

Penulis bersyukur atas segala rintangan dan kemudahan yang menyertai

penulisan skripsi ini, hingga dapat diselesaikan. Hal ini tentunya terjadi bukan

hanya dari usaha penulis seorang diri, melainkan juga karena karuniaNya dan

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa

terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam

proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya: Kedua orang tua yang telah

memberikan dukungan. Terutama Mama yang telah memberikan dukungan

finansial dan tekanan moral, sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

Selain itu juga, terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dina Afrianty

Ph.D. selaku dosen pembimbing dan Ketua Jurusan Hubungan Internasional yang

sudah sangat membantu proses penulisan skripsi ini. Terima kasih karena selama

ini sudah rela meluangkan waktu dan membagi ilmunya, sehingga sangat-sangat

membantu penulis. Ibu telah memberikan arahan, motivasi dan benar-benar

membimbing, suatu kehormatan bagi penulis bisa berada di bawah bimbingan Ibu.

Terimaka kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ali Munhanif Ph.D.

selaku Penasehat Akademik, Bapak Agus Nilmada Azmi M.Si. selaku Sekretaris

Jurusan Hubungan Internasional, serta seluruh staf Dosen pada jurusan Hubungan

Internasional yang sudah mendedikasikan ilmunya selama ini kepada penulis.

Terima kasih juga untuk seluruh keluarga, Uni Yeni, Uni Dila dan

keponakanku satu-satunya Nazla Kamilah yang sudah memberikan keceriaan, di

tengah kepenatan selama ini. Terima kasih kepada Bang Marbawi yang sudah

meminjamkan beberapa bukunya sehingga memudahkan penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Tidak lupa juga terima kasih kepada seluruh rekan-rekan seperjuangan

(7)

eksplorasi bersama pencarian bahan-bahan skripsi, ataupun dengan sukarela

meminjamkan bukunya; Christa, Acyd, Kis, Dian, Nia, Qori, Ayu. Selain itu juga

teman-teman lainnya di HI 2006, sebagai rekan diskusi selama ini; Nanda, Beben,

Firman, Insan, Wer, Irfan, Adnan, Bojay, Zubir, Ibnu.

Terima kasih juga kepada teman-teman di UKM FORSA khususnya divisi

Basket, yang sudah menumbuhkan jiwa sportifitas dan semangat pantang

menyerah dalam diri penulis. Selain itu terima kasih juga kepada teman-teman di

kosan Graha Cendekia yang sudah menemani penulis selama beberapa tahun

dalam menempuh pendidikan di Universitas ini. Dan semua pihak yang sudah

membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu per satu,

terima kasih.

Akhirnya, penulis berharap agar semua kebaikan yang telah diberikan

mendapatkan balasan dariNya. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi

orang lain yang membacanya, terlepas dari banyaknya kekurangan yang termuat

di dalamnya. Terima Kasih.

(8)

DAFTAR ISI B.1 Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN………...……...20

B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN….………...32

C. Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN C.1 Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN………..35

C.2 ASEAN+3 (Cina, Jepang, Korea Selatan)….………...37

C.3 Hubungan Awal Kerjasama ASEAN-Cina…………...41

C.4 ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)…………...43

(9)

B.2 Perluasan Akses Pasar……….64

C. Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA

C.1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin…………67

C.2 Masuknya Cina menjadi anggota WTO……….…...69

C.3 Membendung Pengaruh Jepang di Kawasan Asia

Tenggara……….…..…...73

BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA

A. Permasalahan Penerapan ACFTA………..…………...80

B. Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina

B.1 Aspek Perdagangan Luar Negeri………...83

B.2 Aspek Investasi………...86

C. Dampak Terbentuknya ACFTA Terhadap Hubungan

Ekonomi ASEAN-Cina………..…..………...90

BAB V PENUTUP

(10)

DAFTAR SINGKATAN

AC : ASEAN Community

ACFTA : ASEAN-China Free Trade Area

AEC : ASEAN Economic Community

AFAS : ASEAN Framework Agreement on Services

AFTA : ASEAN Free Trade Area

AIA : ASEAN Investment Area

AMM : ASEAN Ministerial Meeting

APEC : Asia-Pasific Economic Cooperation

APSC : ASEAN Political-Security Community

APT : ASEAN Plus Three

ARF : ASEAN Regional Forum

AS : Amerika Serikat

ASA : ASEAN Swap Arrangement

ASCC : ASEAN Socio-Cultural Community

ASEAN : Association of Southeast Asian Nations

BIMP-EAGA : Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN

Growth Area

CEP : Comprehensive Economic Partnership

CEPT : Common Effective Preferential Tariff

CIA : Central Intelligence Agency

CITIC : China International Trust and Investment Company

CMI : Chiang Mai Initiative

CMLV : Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam

CNOOC : China National Offshore Oil Corporation

EAC : East Asian Community

EHP : Early Harvest Program

EU : European Union

FDI : Foreign Direct Investment

FTA : Free Trade Area

(11)

GDP : Gross Domestic Product

LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Mercosur : Southern Common Market, Mercado Común del Sur

MFN : Most Favoured Nation

MoP : Margin of Preference

NAFTA : North American Free Trade Area

NICs : New Industrialized Countries

NT : Normal Track

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PKC : Partai Komunis Cina

PRC : People’s Republic of China

PTA : Preferential Trading Arrangements

RoO : Rules of Origin

RRC : Republik Rakyat Cina

RTA : Regional Trading Agreements

SEATO : Southeast Asia Treaty Organization

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 ...26

Tabel II.2 Investasi Asing Langsung Menuju ASEAN: 2003-2009…………..…30

Tabel II.3 Skema Penurunan tarif ACFTA ………...……46

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Transkrip Wawancara

Lampiran 2: Framework Agreement on Comprehensive Economic

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skripsi ini membahas tentang faktor-faktor, baik internal maupun eksternal

yang membuat Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dan Cina

meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi, serta dampaknya terhadap hubungan

ekonomi tersebut. Namun, pembahasan tidak akan melihat hubungan

masing-masing negara anggota ASEAN dengan Cina secara terpisah, melainkan

hubungan ASEAN secara keseluruhan sebagai suatu institusi formal di kawasan

Asia Tenggara dengan Cina. Selain itu, penulis juga membatasi periode jangka

waktu penelitian, yaitu antara tahun 2003 sampai dengan 2009. Dikarenakan pada

tahun 2003 skema perjanjian kerjasama ini secara bertahap mulai diberlakukan

dan pada 2009 mengingat keterbatasan data primer sehingga pembatasan jangka

waktu harus dilakukan.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II timbul satu gagasan untuk

mengintegrasikan perekonomian negara-negara di dunia. Salah satunya melalui

kerjasama bilateral ataupun dalam ruang lingkup regional. Dengan bersatunya

ekonomi negara-negara di dunia, diharapkan akan tercipta situasi saling

ketergantungan (interdependensi) dan akan memperkecil resiko timbulnya

perselisihan yang bisa mengakibatkan kembali timbulnya perang. Selain itu,

setelah Perang Dunia II berakhir negara-negara di dunia ingin kembali

(15)

diwujudkan tanpa adanya bantuan ataupun kerjasama dari negara lainnya. Maka

pada tahap selanjutnya timbullah bentuk-bentuk kerjasama regional di dunia ini.

Salah satu bentuk kerjasama regional yang lahir setelah berakhirnya PD II

adalah Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) pada 1954 yang merupakan

organisasi bentukan Amerika Serikat yang lebih bertujuan untuk membendung

berkembangnya komunisme di Asia Tenggara dengan mengutamakan kerjasama

di bidang pertahanan (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h. 187). Pada

perkembangannya, SEATO inilah yang melatarbelakangi pembentukan dari

ASEAN pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Awal pembentukan ASEAN

juga bertujuan untuk membendung penyebaran komunisme di Asia Tenggara yang

dipelopori oleh Cina (Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 59).

Selain karena alasan politik dan pertahanan tersebut, tujuan dari

pembentukan ASEAN, salah satunya seperti yang tertuang dalam Deklarasi

Bangkok tahun 1967, adalah untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan

ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan kebudayaan di kawasan ASEAN

(ASEAN Secretariat 1967; Prabowo & Wardoyo2004, h. 1). Meskipun sampai

saat ini kemapanan dari segi ekonomi yang dicita-citakan oleh ASEAN masih

belum terwujud, akibat keberagaman tingkat ekonomi dari negara-negara

anggotanya. ASEAN sendiri dihadapkan atas berbagai pilihan, yaitu antara

mengembangkan kerjasama dengan negara ASEAN (intra ASEAN) atau

kerjasama ekonomi dengan negara di luar anggota ASEAN. Salah satu negara di

luar ASEAN yang dianggap mampu untuk memacu ataupun mengembangkan

(16)

perkembangan ekonomi Cina pada dua dekade terakhir yang mengalami

peningkatan cukup pesat.

Secara historis, hubungan antara Cina dengan ASEAN memang sudah

berlangsung sejak lama, namun secara resmi baru dimulai pertengahan tahun

1990-an (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 167). Hubungan kerjasama Cina

dengan ASEAN ditandai dengan adanya perubahan-perubahan pada tingkat

global. Pasca perang dingin, Cina memutuskan untuk lebih mempererat

hubungannya pada bidang ekonomi dengan ASEAN sekaligus melepaskan

ketergantungan hubungannya dengan negara-negara maju seperti Amerika

Serikat (AS).

Bagi Cina, memang tidak ada pilihan lain kecuali menerima kenyataan

akan adanya interdependensi dan globalisasi secara antusias dan terbuka sebagai

kebutuhan dari pembangunan perekonomiannya (Inayati ed. 2006, h. 21). Cina

sebenarnya sudah lama berusaha untuk meningkatkan perekonomiannya, tetapi

perekonomian berdikari yang dicanangkan oleh pendiri negara ini yaitu Mao

Zedong1 gagal membawa pertumbuhan bagi perekonomian Cina. Keinginan

untuk menjadikan Cina sebagai kekuatan besar dalam sistem hubungan antar

1

Mao Zedong adalah tokoh pendiri Republik Rakyat Cina (RRC) yang juga pemimpin Partai Komunis Cina (PKC), ia memimpin Cina pada periode 1949 hingga 1976. Mao Zedong dianggap pemimpin yang revolusioner dan juga kejam karena sering sekali menyingkirkan lawa-lawan politiknya. Jasa terbesarnya adalah keberhasilannya memimpin PKC dalam perang saudara melawan Kuomintang yang beraliran nasionalis (1927-1949), serta keberhasilannya dalam memimpin perang gerilya melawan Jepang (1937-1945). Namun, kegagalan terbesarnya saat

memimpin Cina adalah berupa kebijakannya yaitu “Lompatan Jauh Ke Depan” yang justru

mengakibatkan kesengsaraan rakyat banyak, dan “Revolusi Kebudayaan” yang dipandang hanya

(17)

negara di dunia ini tidak hanya menjadi obsesi Mao Zedong, tetapi juga menjadi

cita-cita pemimpin Cina pasca Mao Zedong yaitu Deng Xiaoping2.

Menurut Inayati (ed. 2006, h. 23), Deng Xiaoping dalam usaha

menjadikan Cina sebagai negara yang kuat lewat peningkatan kekuatan ekonomi

mencanangkan program reformasi yang dinamakan “Empat Modernisasi” (singe

xiandaehua). Gagasan program empat modernisasi ini dikemukakan oleh Deng

Xiaoping dalam pidato utama di pleno ketiga sidang komite sentral kesebelas

Partai Komunis Cina (PKC) pada tanggal 13 Desember 1978, empat program

modernisasi tersebut meliputi bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan

teknologi serta pertahan keamanan. Untuk mendorong program empat

modernisasi tersebut, Deng Xiaoping memprakarsai kebijakan pintu terbuka (open

door policy). Pada dasarnya kebijakan pintu terbuka adalah kebijakan yang

disusun untuk mempromosikan ekspansi hubungan ekonomi dengan negara lain,

termasuk di dalamnya beberapa kebijakan dalam hal perdagangan luar negeri,

investasi asing, serta pinjaman luar negeri. Hal inilah yang menyebabkan Cina

membuka diri terhadap hubungan ekonomi dengan negara lainnya, kebijakan

inilah yang terus mendasari hubungan ekonomi Cina dengan negara lainnya.

Salah satu kerjasama ekonomi yang dinilai penting adalah kerjasama

dengan ASEAN. Menjalin kerjasama dan hubungan ekonomi yang baik dengan

2

Deng Xiaoping dianggap sebagai pemimpin Cina pasca Mao Zedong, ia memimpin Cina pada periode 1978 hingga 1992. Pada masa revolusi kebudayaan di Cina, ia juga termasuk lawan politik yang diasingkan oleh Mao. Pada masa kepemimpinannya, Cina justru mengalami kemajuan yang pesat di bidang ekonomi, karena keterbukaannya dengan pihak asing. Kebijakan ekonomi yang diterapkan Deng sering dianggap bertentangan dengan prinsip pokok Marxisme, namun Deng

tetap membangun Cina dengan “sosialisme baru”, ungkapan yang cukup terkenal dari pernyataan Deng adalah “Tidak peduli apakah kucing itu berwarna putih atau hitam, yang penting adalah

(18)

ASEAN berarti menimbulkan penciptaan lingkungan regional yang damai, yang

merupakan salah satu inti sari dari empat program modernisasi Cina (Inayati ed.

2006, h. 38). Meskipun Cina bukan negara utama dari penyebaran komoditi

ekspor negara ASEAN, karena jumlah nilai ekspor yang dihasilkan masih kalah

jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang, namun peningkatan nilai

tersebut secara terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun, bahkan sebenarnya

telah melampaui persentase kenaikan nilai ekspor ASEAN ke AS dan Jepang

(Danyang dalam Hock, Jun & Wah eds. 2005, h. 209).

Pada 4 November 2002 saat ASEAN-Cina Summit ke-6 di Kamboja, para

pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menandatangani

Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation. Kerangka ini

merupakan landasan bagi kerjasama perdagangan dalam sebuah kawasan

perdagangan bebas ASEAN-Cina yang ditargetkan bisa dicapai pada tahun 2010

untuk ASEAN-6 (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand) dan

pada tahun 2015 untuk ASEAN-CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam)3

(Yu dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 45).

Masing-masing pihak baik ASEAN maupun Cina sebenarnya saling

membutuhkan kawasan perdagangan bebas ini untuk meningkatkan

perekonomiannya. Bagi negara-negara ASEAN sendiri, Cina dianggap mampu

menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap Amerika Serikat dan Jepang

3

(19)

yang perekonomiannya sering menghadapi goncangan. Dengan kedekatan

ASEAN dan Cina tersebut maka akan meningkatkan stabilitas ekonomi dan

keamanan regional sendiri, karena banyaknya alternatif kerjasama yang dimiliki

ASEAN dan masing-masing pihak juga membutuhkan lingkungan regional yang

aman untuk mengoptimalkan nilai investasi yang ada. Atas latar belakang inilah,

peningkatan kerjasama di bidang ekonomi antara ASEAN dan Cina dapat

disepakati, sehingga membentuk ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA), yang

selanjutnya menjadi pokok pembahasan utama dalam penulisan skripsi ini.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang akan dibahas adalah:

1. Faktor internal maupun eksternal apa saja yang membuat ASEAN dan Cina

meningkatkan hubungan kerjasama di bidang ekonomi melalui ACFTA?

2. Bagaimana pembentukan ACFTA ini berimplikasi pada hubungan ekonomi

ASEAN dan Cina?

C. Kerangka Pemikiran

Globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia telah memberikan

peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonominya, serta mampu mengubah struktur dan pembangunan sosial

masyarakatnya. Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 266) globalisasi berarti

meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi, sosial dan budaya yang melewati

batas-batas internasional. Globalisasi yang dicirikan dengan adanya saling

(20)

untuk mempertahankan kebijakannya yang independen dan otonom (Perwita &

Yani 2005, h. 77). Kebijakan yang diambil oleh suatu negara baik yang bersifat

domestik terlebih lagi luar negeri, harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan

yang cepat terjadi pada lingkungan internasional. Oleh karena itu, globalisasi telah

membuka peluang yang tidak terbatas bagi negara-negara untuk melakukan

kerjasama dan integrasi ekonomi yang saling menguntungkan dalam bidang

perdagangan barang, jasa, maupun investasi. Penulis akan berkonsentrasi pada

aspek ekonomi dari globalisasi, karena aspek ekonomi ini berkaitan dengan saling

ketergantungan (interdependensi) yang terjadi di antara negara-negara di dunia

ini. Selain dari konsep interdependensi, penulisan skripsi ini juga akan dilihat dari

perspektif neoliberal institusionalis, agar dapat menggambarkan peran institusi

ataupun rezim (serangkaian peraturan) yang terjadi dalam pembentukan

ASEAN-Cina Free Trade Area ini.

Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 147) interdependensi berarti

ketergantungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lainnya. Jadi suatu

negara dipengaruhi oleh apa yang terjadi di manapun, oleh tindakan rekannya di

negara lain. Dengan adanya interdependensi, maka yang terjadi bukan hanya

keterkaitan dari segi ekonomi, namun interdependensi antar negara dapat

mengurangi konflik kekerasan antar negara. Keohane dan Nye (dalam Jackson &

Sorensen 2005, h. 151) menambahkan bahwa, dalam interdependensi (complex

interdependence) kekuatan militer merupakan instrumen kebijakan yang kurang

bermanfaat. Oleh karena itu, sumber daya kekuatan selain dari militer semakin

penting, seperti keahlian bernegosiasi. Akhirnya negara-negara menjadi lebih

(21)

menghiraukan dengan isu keamanan (high politics). Dalam interdependensi ini,

hubungan yang terjadi menjadi lebih bersahabat dan kooperatif.

Lebih jauh, Jackson dan Sorensen menyatakan (2005, h. 65) bahwa, ketika

terdapat derajat interdependensi yang tinggi, negara-negara akan sering

membentuk institusi-institusi internasional untuk menghadapi masalah-masalah

bersama. Institusi-institusi itu dapat berupa organisasi internasional formal (Uni

Eropa,WTO,ASEAN), atau dapat berupa serangkaian persetujuan (sering disebut

rezim) yang menghadapi aktivitas-aktivitas atau isu-isu bersama, seperti

perjanjian tentang perdagangan, komunikasi, penerbangan, atau lingkungan. Peran

institusi dalam bentuk ini akan dilihat dari perspektif neoliberal institusionalis.

Ada banyak varian dalam liberalisme, neoliberal institusionalis adalah

salah satunya. Namun, yang membedakan neoliberal institusionalis dengan jenis

liberalisme lainnya, menurut Keohane (dalam Hobson 2003, h. 95-98; lihat juga

Grieco dalam Baldwin ed. 1993, h. 123) adalah tanggapannya yang menerima

sejumlah asumsi dari pemikiran realis (struktural realis) mengenai anarkinya

hubungan internasional. Menurut Keohane, negara secara rasional adalah egois

dengan berusaha memaksimalkan keuntungan masing-masing, namun kehadiran

sebuah rezim sangatlah penting dan efektif, meskipun dalam kondisi yang secara

rasional memaksimalkan keuntungan masing-masing tersebut. Neoliberal

institusionalis menurutnya juga bertentangan dengan pemikiran normatif dari

liberal institusionalis sebelumnya. Keohane menolak pendapat dari liberalisme

klasik, yang menyatakan bahwa kerjasama terjadi secara alami. Menurut

Keohane, kerjasama tidak akan terjadi secara alami, kerjasama harus dirancang

(22)

Menurut Keohane, sistem politik dunia tidak didominasi oleh harmoni dan

kerjasama, tetapi dari perselisihan yang sering terjadi, seperti pendekatan

neorealis. Secara fakta, perselisihan sangatlah penting, karena dapat menciptakan

kebutuhan akan suatu rezim. Tanpa adanya konflik maka kerjasama tidak akan

dibutuhkan. Negara dapat bernegosiasi atau merancang sebuah institusi, karena

nilai dari keuntungan jangka panjang dari sebuah rezim. Rezim dapat

mengusahakan negara untuk menyelesaikan permasalahan bersama dari situasi

yang anarki. Kerjasama tidak terjadi karena alasan moral atau motivasi idealisme,

tetapi karena menjanjikan kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, dalam

perspektif neoliberal institusionalis masih terdapat optimisme dalam melakukan

kerjasama, dan institusi memiliki peran dalam mewujudkan kerjasama tersebut.

Jackson dan Sorensen (2005, h. 158) menambahkan bahwa institusi

internasional membantu memajukan kerjasama antara negara-negara, selain itu

juga membantu mengurangi ketidakpercayaan dan rasa takut di antara negara satu

dengan yang lainnya yang dianggap menjadi masalah tradisional yang dikaitkan

dengan anarki internasional. Steans dan Pettiford (2009, h. 132) menjelaskan

bahwa negara-negara tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan warga negara

mereka yang beranekaragam tanpa bekerja sama dengan negara-negara lain.

Institusi-institusi dan rezim-rezim internasional diperlukan untuk mengatur

kekuatan interdependensi yang ada. Meskipun konflik itu selalu ada, namun

institusi-institusi atau rezim-rezim menyediakan acuan bagi negara-negara untuk

menyelesaikan berbagai perbedaan.

Menurut Steans dan Pettiford (2009, h. 135), keberhasilan neoliberal

(23)

pada keberadaan suatu negara yang berhegemoni (dominan). Namun, ada

kepentingan-kepentingan bersama yang bisa dicapai melalui kerjasama. Pada

pandangan ini, negara-negara masih menjadi aktor dominan meskipun bukan

satu-satunya, tetapi aturan-aturan institusi berpengaruh penting terhadap hasil-hasil

dalam berbagai permasalahan. Mingst (2003, h. 65) menambahkan, bagi

neoliberal institusionalis, kerjasama muncul karena setiap aktor mempunyai

interaksi terus-menerus (kontinuitas) dengan yang lainnya. Institusi menyediakan

jaminan kerjasama, di mana ada harapan untuk interaksi di masa selanjutnya.

Mengenai keuntungan yang akan diperoleh dengan melakukan kerjasama,

Steans dan Pettiford (2009, h. 135; Keohane dalam Hobson 2003, h. 98)

mengungkapkan bahwa bagi neoliberal institusionalis, umumnya negara-negara

merupakan aktor yang berusaha memaksimalkan keuntungan yang absolut,4 bukan

memaksimalkan keuantungan relatif. Keuntungan Absolut berarti perolehan

mutlak yang didapatkan negara, tanpa membandingkan dengan seberapa besar

yang didapatkan oleh negara lain. Oleh karena itu, kerjasama menjadi hal yang

lebih masuk akal (rasional), dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi

keuntungan absolut. Dalam hal inilah tersimpan penjelasan tentang kemunculan

dan daya tahan berbagai organisasi, institusi dan rezim internasional. Jackson dan

Sorensen (2005, h. 169) menambahkan, jika negara-negara memiliki kepentingan

yang sama maka mereka tidak akan mencemaskan tentang keuntungan relatif.

Dalam situasi tersebut institusi dapat membantu meningkatkan kerjasama.

4

(24)

Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, pandangan neoliberal

institusionalis dapat dikaitkan dengan peran ASEAN sebagai organisasi formal di

kawasan Asia Tenggara yang sedang berusaha untuk lebih memajukan

pertumbuhan ekonomi negara-negara anggotanya, melalui berbagai hubungan

kerjasama ekonomi yang dilakukan baik intra ASEAN maupun dengan

lingkungan eksternalnya. Dalam perspektif ini juga dapat dilihat peran institusi

dalam menerapkan berbagai aturan ataupun program yang diharapkan dapat

memacu pertumbuhan ekonomi negara anggotanya. Institusi dianggap mampu

memberikan pedoman kerjasama bagi negara-negara yang memiliki banyak

perbedaan baik dari segi ekonomi, politik dan lainnya.

Selain peran ASEAN sebagai suatu institusi, melalui perspektif neoliberal

institusionalis juga dapat dilihat mengenai perjanjian pembentukan ACFTA.

Keberadaan rezim atau perjanjian kerjasama ini bisa dikaitkan dengan anggapan

anarkinya hubungan internasional, dalam hal ini misalnya, perkembangan

ekonomi Cina yang dianggap menjadi pesaing dari perekonomian ASEAN baik

dalam segi perdagangan maupun investasi, selain itu makin

terkelompok-kelompoknya berbagai negara dalam suatu bentuk regionalisme (Uni Eropa,

NAFTA, Mercosur) menjadikan hal yang lebih sulit bagi suatu negara di luar

kawasan tersebut untuk melakukan kerjasama, dengan kata lain masing-masing

negara berusaha memaksimalkan keuntungannya. Oleh karena itu, ASEAN dan

Cina menanggapinya dengan lebih mendekatkan diri dengan membentuk ACFTA.

Terlebih lagi Cina, karena dalam wilayah Asia Timur sendiri hampir tidak adanya

kemungkinan bagi Cina untuk membentuk suatu institusi formal terkait

(25)

Oleh karena itu, optimisme Cina dan ASEAN dalam melakukan kerjasama

di bidang ekonomi tertuang dalam pembentukan ACFTA. Kedua belah pihak

menganggap keberadaan perjanjian ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan

ekonomi bagi keduanya. Meskipun dalam pembentukannya juga banyak menuai

protes, terkait dengan komoditi ekspor Cina yang luar biasa melimpah, namun

sesuai dengan pandangan neoliberal institusionalis tentang keuntungan absolut

yang akan diperoleh, maka perjanjian ini dapat diwujudkan, dengan harapan

manfaat jangka panjang dari hubungan yang akan terjadi bagi keduanya termasuk

dari segi investasi.

Fenomena globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia tidaklah

mungkin untuk dihindari, yang menjadi persoalan adalah sejauh mana

negara-negara di dunia ini mampu mengambil keuntungan dari proses globalisasi ini.

Salah satu bentuk nyata dari interdependensi yang juga disebabkan oleh proses

globalisasi, adalah terbentuknya ACFTA. Saling ketergantungan yang terjadi di

antara kedua belah pihak baik ASEAN maupun Cina menyebabkan terbentuknya

perjanjian ini. Perjanjian kawasan perdagangan bebas ini tentunya dapat terwujud

jika setiap negara anggotanya mau menerima semua aturan ataupun perjanjian

yang telah disepakati bersama. Hubungan interdependensi yang terjadi antara

ASEAN dan Cina sehingga menyebabkan terbentuknya ACFTA akan lebih

dijelaskan dalam bagian selanjutnya pada skripsi ini.

Kerjasama ekonomi yang terjadi dalam ACFTA haruslah dapat

menguntungkan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya. Eksploitasi dalam

bentuk ekspansi ekonomi sangatlah dihindari dalam kerangka kerjasama ini. Salah

(26)

pemberlakuan skema ACFTA bagi anggota ASEAN-CMLV (Cambodia,

Myanmar, Laos, Vietnam) hingga pada 2015 (Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h.

42). Hal ini dimaksudkan agar ke-empat anggota baru ASEAN ini tidak menjadi

sasaran empuk dalam penyebaran komoditi ekspor negara lainnya, khususnya oleh

Cina. Dengan melakukan penundaan ini, maka diharapkan dapat memperpanjang

waktu persiapan bagi negara-negara tersebut untuk lebih menguatkan lagi kondisi

perekonomian domestiknya. Sehingga nantinya lebih mampu bersaing di dalam

skema kawasan perdagangan bebas ini.

Integrasi ekonomi yang terjadi di dalam skema ACFTA ini diharapkan

mampu memberikan manfaat bagi seluruh negara anggotanya, meskipun

keuntungan dari segi ekonomi yang diperoleh antara satu negara dengan negara

lainnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini terjadi akibat dari tingkat

kemampuan ataupun kesiapan yang berbeda-beda dari setiap negara yang

bekerjasama dalam sistem ini. Pada dasarnya, setiap negara yang terlibat dalam

perjanjian ini memiliki posisi yang setara, karena masing-masing pihak memang

membutuhkan kerjasama ekonomi ini. Sehingga diharapkan tidak ada negara yang

merasa dirugikan. Saat ini tidak ada satu negarapun di dunia ini yang betul-betul

dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil produksi negaranya sendiri. Langsung

atau tidak langsung negara-negara tersebut membutuhkan hubungan ekonomi

sehingga masing-masing negara sudah berada pada situasi yang saling

ketergantungan. Untuk mewujudkan hal itu maka instrumen kerjasama ekonomi

menjadi sesuatu yang harus dilakukan.

Pada pelaksanaannya hubungan kerjasama ekonomi antara Cina dengan

(27)

Faktor internal:

perspektif Cina pertumbuhan ekonomi yang pesat hasil dari program empat

modernisasi yang sukses dan interaksi Cina dengan ekonomi global, telah

membuka mata negara itu akan pentingnya interdependensi dan keterbukaan

dengan pihak asing. Interdependensi Cina telah mentransformasikan peran negara

itu dan sikap seluruh dunia dalam berhubungan dengan Cina ke arah yang lebih

baik. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah membuka mata dunia, dan

berpaling ke negeri itu. ASEAN sendiri juga sangat menyadari hal ini, sehingga

membuat negara-negara di kawasan Asia Tenggara menyambut baik tawaran dari

Cina dalam pembentukan ACFTA. Keinginan ASEAN di satu sisi dan kebijakan

Cina di sisi lain yang sangat membuka diri untuk melakukan hubungan ekonomi,

mengakibatkan upaya-upaya membentuk ACFTA dapat diwujudkan.

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran

pada bagian sebelumnya, maka penulis mencoba menggambarkan penelitian ini di

dalam sebuah model, yang dapat dilihat seperti di bawah ini:

ASEAN

CINA

(28)

D. Metode Penelitian

Pembuatan skripsi ini menggunakan metode kualitatif. Meskipun di

dalamnya tetap menampilkan data yang berbentuk angka, tetapi data tersebut tidak

didapat melalui penghitungan secara langsung oleh penulis, oleh karena itu masih

tergolong dalam penelitian kualitatif. Selain itu jenis penelitian skripsi ini bersifat

deskriptif. Penulis akan memaparkan atau mendeskripsikan sejumlah fakta-fakta

terkait dengan pembahasan skripsi ini.

Dalam memudahkan penulisan skripsi ini, penulis memperoleh data-data

primer dan sekunder, diantaranya yang berupa buku-buku, jurnal hubungan

internasional, wawancara dengan salah seorang peneliti pada Pusat Penelitian

Politik (P2P) LIPI , internet, dokumen resmi ASEAN Secretariat dan

bahan-bahan tertulis lainnya. Data yang didapat, digunakan untuk memudahkan penulis

dalam memahami permasalahan mengenai peningkatan hubungan kerjasama

ekonomi antara ASEAN dengan Cina.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini nantinya akan di bagi dalam beberapa bab dan setiap

bab mempunyai sub-bab tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan tentang latar belakang

permasalahan yang menjadi alasan pemilihan topik untuk penulisan skripsi ini.

Kemudian dilanjutkan pertanyaan penelitian, kerangka pemikiran, metode

penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN. Bab ini

(29)

dalam intra ASEAN maupun dengan lingkungan eksternalnya. Dimulai dari PTA,

AFTA, ASEAN+3,ASEAN Economics Community, sampai pembentukan

ASEAN-Cina FTA. Bab ini juga membahas faktor yang menyebabkan

terbentuknya ACFTA, yang dilihat dari perspektif ASEAN sebagai organisasi

regional di Asia Tenggara.

BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN

ACFTA. Bab ini berisikan tentang gambaran umum kebijakan ekonomi luar

negeri Cina, mulai dari era pendirinya yaitu Mao Zedong dan dilanjutkan pada era

Deng Xiaoping, hingga pembentukan ASEAN-Cina FTA. Dalam bab ini juga

akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan Cina melakukan peningkatan

hubungan ekonomi dengan ASEAN dan berupaya melihat

kepentingan-kepentingan Cina dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas tersebut.

Termasuk diantaranya, kebangkitan ekonomi Cina, faktor politik domestik,

ekonomi, dan sistem ekonomi internasional yang menyebabkan Cina melakukan

peningkatan kerjasama dengan ASEAN.

BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA. Bab ini

menganalisa peningkatan hubungan kerjasama ASEAN-Cina dalam bidang

ekonomi. Selain itu, juga akan menggambarkan tentang peluang-peluang dan

hambatan yang akan dihadirkan dari terbentuknya ACFTA ini bagi kedua belah

pihak yang terlibat di dalamnya. Bab ini juga memaparkan bagaimana ACFTA

berimplikasi terhadap hubungan ekonomi ASEAN dan Cina.

BAB V PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan mengenai pembahasan

(30)

BAB II

HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN

Bab ini akan memaparkan perkembangan hubungan ekonomi yang terjadi

di kawasan Asia Tenggara. Khususnya kerjasama yang terjadi di dalam ruang

lingkup ASEAN, baik kerjasama ekonomi intra ASEAN maupun antara ASEAN

dengan lingkungan eksternalnya. Kerjasama ekonomi yang dilakukan ASEAN

merupakan bentuk kerjasama ekonomi yang pertama kali disepakati di kawasan

Asia, hal ini menandakan keinginan ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan

ekonominya. Mengingat begitu pentingnya posisi ASEAN, maka pada bagian ini

penulis juga akan memaparkan kebutuhan ASEAN untuk meningkatkan

perekonomiannya sehingga mendorong ASEAN untuk melakukan kerjasama

dengan lingkungan eksternalnya. Salah satu Negara yang dianggap memiliki

potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ASEAN adalah Cina.

A. Latar Belakang Kerjasama Ekonomi ASEAN

Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967 merupakan awal bersejarah bagi

pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Deklarasi

tersebut mendasari terbentuknya ASEAN. Pada awal pembentukannya, ASEAN

hanya memiliki lima anggota, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan

Filipina (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 2). Salah satu tujuan pembentukan

ASEAN tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan bersama antara

(31)

kesejahteraan bangsanya. Bahkan sejak pembentukannya hingga saat ini, ASEAN

senantiasa mengedepankan agenda-agenda ekonomi dalam setiap interaksinya.

Salah satu tujuan dari pembentukan ASEAN seperti yang tertuang dalam

Deklarasi Bangkok tahun 1967 adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi,

kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ASEAN.

Tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan

dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat

bangsa-bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 1;

ASEAN Secretariat 1967). Deklarasi ini mempersatukan negara anggota ASEAN

dalam usaha bersama untuk mengembangkan kerjasama ekonomi dan

meningkatkan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Deklarasi ini merupakan

dasar yang menjadi rujukan bagi setiap aktifitas ASEAN dalam mewujudkan

segala tujuannya.

Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, negara-negara anggota ASEAN

sebenarnya telah mengalami kemajuan ekonomi, namun krisis ekonomi yang

terjadi telah mengakhiri masa perkembangan ekonomi tersebut. Krisis ekonomi

yang berawal di Thailand, memberi efek domino bagi negara-negara tetangganya

di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Laos dan Filipina. Kejadian ini

membuktikan adanya saling keterkaitan ekonomi antara negara-negara di kawasan

tersebut. Menurut Sungkar (ed. 2005, h. 36), krisis ekonomi 1997 adalah krisis

yang telah memukul sistem ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara dan Korea

Selatan. Krisis ini diawali dengan tingginya pinjaman jangka pendek dari

(32)

menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang (depresiasi)5 seperti; Rupiah di

Indonesia atau Bath di Thailand terhadap Dollar AS, sehingga mengakibatkan

hilangnya kepercayaan investor dan kreditor asing sehingga terjadi pelarian modal

dalam jumlah yang sangat besar. Dengan demikian banyak negara Asia yang

kekurangan aset mata uang asing (Dollar AS) dan mengalami kesulitan dalam

membayar hutang yang menumpuk.

Ketika jangka waktu peminjaman hutang tersebut telah jatuh tempo,

perusahaan-perusahaan di negara-negara tersebut tidak mampu untuk membayar

karena jumlah hutang yang meningkat, akibat naiknya nilai tukar Dollar AS.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Bankrutnya

perusahaan-perusahaan tersebut juga menyebabkan pinjaman yang dikucurkan

oleh perbankan menjadi macet. Belum cukup sampai disitu, permasalahan

perbankan ini juga memicu dampak lainnya dari krisis ekonomi ini, seperti

bergejolaknya sistem politik di beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara,

misalnya Indonesia.

Menurut Purwanto (dalam Yaumidin ed. 2008, h. 82) krisis ekonomi

tersebut juga menunjukkan kelemahan fundamental perekonomian kawasan

ASEAN. Ini dapat dilihat dari ketergantungan negara-negara ASEAN pada modal

dari luar negeri seperti yang berasal dari Amerika Serikat dan Jepang. Purwanto

(dalam Yaumidin ed. 2008, h. 83) juga menambahkan bahwa sejak krisis ekonomi

tersebut, anggota ASEAN berusaha keras untuk dapat segera keluar dari

bayang-bayang krisis dengan melakukan perbaikan-perbaikan kinerja perekonomian dan

5

(33)

juga meningkatkan kerjasama intra regional bagi pertumbuhan ekonomi yang

lebih maju. Akan tetapi dengan adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki

oleh negara-negara ASEAN menyebabkan perlunya upaya untuk memperluas

kerjasama ekonomi kawasan dengan negara lain, termasuk dengan mitra

dialognya seperti dengan Cina, Jepang, India, Korea Selatan, Kanada, Australia,

dan Selandia Baru.

Selain itu, pada KTT ASEAN kedua di Kuala lumpur pada 1977

dikemukakan mengenai perlu ditingkatkannya kerjasama ekonomi dengan pihak

lain baik negara, kelompok negara, dan organisasi internasional di luar ASEAN

untuk menjalin hubungan yang saling bersahabat serta saling menguntungkan bagi

semua pihak (ASEAN Secretariat 1977). Hal ini menunjukkan bagaimana

ASEAN sangat menginginkan kerjasama dalam bidang ekonomi baik dengan

lingkungan internalnya maupun dengan negara lain di luar kawasan Asia

Tenggara. Pada bagian berikutnya, penulis akan memaparkan perkembangan

kerjasama ekonomi Intra ASEAN.

B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN

B.1. Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN

Preferential Trading Arrangements (PTA) merupakan bentuk kerjasama

ekonomi yang pertama kali terjalin antar negara ASEAN, selain juga merupakan

yang pertama kali terjadi di kawasan Asia. PTA pertama kali diperkenalkan pada

tahun 1977 sebagai bentuk komitmen awal negara-negara ASEAN untuk

melaksanakan perdagangan bebas (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h.

(34)

bagi barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari negara-negara anggota

ASEAN.

Dalam PTA ini diterapkan preferensi tarif yang dikenal dengan istilah

MoP (Margin of Preference) (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 9). Lebih jauh

Prabowo dan Wardoyo menjelaskan, aturan yang termuat dalam MoP bahwa

semua barang komoditi yang berasal dari ASEAN akan dikenakan tarif preferensi

yang besarnya lebih rendah dari tarif Most Favoured Nation (MFN)6 dari

negara-negara anggota ASEAN. Jadi pada intinya pengenaan tarif dalam sistem MoP ini

harus lebih rendah dari segala bentuk pemotongan tarif yang telah berlaku di

negara anggota ASEAN.

MoP sendiri dihitung berdasarkan persentasi tertentu dari tingkat tarif

yang berlaku di negara-negara anggota ASEAN (Prabowo & Wardoyo 2004, h.

9). Selain itu dalam skema PTA juga berlaku keharusan kandungan muatan lokal

(rules of origin) sebesar 50 persen. Oleh karena itu, setiap komoditi yang

diperdagangkan dalam skema PTA harus memiliki kandungan yang benar-benar

berasal dari negara anggota ASEAN yaitu sebesar 50 persen. Menurut Pangestu

(dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188) setiap negara dalam skema PTA ini juga

mempunyai daftar pengecualian (exclusion list), yaitu daftar barang yang tidak

diperdagangkan atau dikecualikan yang diajukan oleh setiap negara.

6

(35)

Pada perkembangannya implementasi dari PTA ini berjalan kurang efektif,

di antaranya akibat terlalu banyak barang-barang yang dimasukkan dalam

exclusion list” atau daftar pengecualian, sehingga tidak memperoleh penurunan

tarif. Selain itu, terdapat kesulitan dalam membuktikan kandungan muatan lokal

barang dan kurangnya penyebaran informasi tentang PTA terhadap para

pengusaha di negara-negara anggota ASEAN. Hal inilah yang menjadi penyebab

tidak berjalannya program ini secara efektif. Akibat sistem PTA yang tidak begitu

efektif, maka pada ASEAN Summit ke-4 di Singapura pada Januari 1992

disepakatilah pembentukan program baru, khususnya di bidang perdagangan yaitu

ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau kawasan Perdagangan Bebas ASEAN

(Singh 1997, h. 47).

Pembentukan AFTA ini juga mencerminkan perkembangan situasi

ekonomi dan politik yang terjadi bukan hanya di lingkungan ASEAN tetapi juga

dinamika yang terjadi pada lingkungan internasional. Faktor eksternal itu di

antaranya seperti yang diungkapkan oleh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 18),

yaitu keprihatinan terhadap lambatnya pencapaian kesepakatan Putaran Uruguay7

tentang negosiasi perdagangan multilateral, kemajuan yang cepat dari

pembentukan Pasar Tunggal Eropa (European Common Market), serta karena

lahirnya NAFTA (North American Free Trade Area)8 (lihat juga Weatherbee et

7

(36)

al. 2005, h. 190). Dinamika ini dianggap menjadi tantangan yang serius bagi

ASEAN dalam menarik investasi asing ke dalam lingkungan ASEAN. Oleh

karena itu, pembentukan AFTA ini dinilai sangatlah penting untuk meningkatkan

daya tarik ASEAN dalam dunia perdagangan dan investasi internasional.

Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 20) menyatakan bahwa ASEAN Free

Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan Negara-negara ASEAN

untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan

daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN

sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta

penduduknya. Dengan adanya AFTA diharapkan perekonomian menjadi lebih

efisien, bersaing, dan menarik bagi penanaman modal ke kawasan ini. Menurut

Sungkar (ed. 2003, h. 1), AFTA merupakan kawasan perdagangan bebas ASEAN

di mana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan nontarif9

bagi Negara-negara anggota ASEAN, melalui Common Effective Preferential

Tariff Scheme (CEPT)-AFTA. CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan

penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh anggota ASEAN.

Awalnya AFTA ditargetkan akan dicapai dalam waktu 15 tahun yaitu pada

2008, namun dipercepat menjadi 2003, dan dipercepat lagi menjadi 2002 bagi

ASEAN-6. Sedangkan untuk Vietnam pada 2006, bagi Laos dan Myanmar 2008,

8

NAFTA (North American Free Trade Area) Organisasi perdagangan bebas Amerika Utara yang beranggotakan tiga Negara yaitu, Amerika Serikat, Kanada dan Mexico.Didirikan pada 1994 bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan.

9

(37)

serta Kamboja pada 2010 (Wuryandari ed. 2000, h. 120; lihat juga ASEAN

Secretariat). Seperti yang dikemukakan oleh Pangestu (dalam Weatherbee et al.

2005, h. 191), pengurangan tarif dalam AFTA ini hanya dapat diaplikasikan pada

produk-produk yang memenuhi persyaratan kandungan muatan lokal (rules of

origin) sebesar 40 persen dari negara-negara anggota.

CEPT dirancang untuk mewujudkan AFTA. Sehingga, isinya merupakan

aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam

melaksanakan AFTA. Menurut Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 28), produk yang

diatur dalam CEPT adalah seluruh produk manufaktur dan produk pertanian.

Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 29-32; ASEAN Secretariat 1999)

menjelaskan bahwa klasifikasi produk dalam CEPT dapat dikelompokkan menjadi

4 golongan, yaitu:

1.Inclusion List (IL)

Produk yang terdapat dalam IL adalah produk-produk yang harus

mengalami liberalisasi dengan dikenai pengurangan tarif secepatnya secara

terjadwal di bawah program CEPT, hingga harus turun maksimal 0-5 persen pada

2002 untuk ASEAN-6. Sedangkan bagi negara-negara CMLV (Cambodia,

Myanmar, Laos dan Vietnam) diberikan kelonggaran waktu yang berbeda untuk

menerapkannya yaitu 2006 untuk Vietnam, 2008 untuk Laos dan Myanmar, serta

2010 untuk Kamboja. Kelompok barang dalam IL ini dibagi lagi menjadi dua

kelompok, seperti: normal track dan fast track.

2.Temporary Exclusion List (TEL)

TEL adalah daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara

(38)

produk dalam TEL pada akhirnya harus ditransfer ke dalam Inclusion List paling

lambat 1 Januari 2002.

3.Sensitive List (SL)

Produk yang masuk dalam kategori ini terdiri dari produk-produk

pertanian yang belum diproses atau produk pertanian bukan olahan (Unprocessed

Agricultural Products). Produk dalam SL ini harus dimasukkan ke dalam IL

dengan jangka waktu 2003 untuk ASEAN-6, Vietnam pada 2013, Laos dan

Myanmar 2015, sedangkan Kamboja pada 2017. Contoh produk dalam SL adalah:

beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh.

4.General Exception List (GEL)

GEL adalah daftar produk yang dikecualikan secara permanen dari

program CEPT oleh suatu Negara karena dianggap penting dengan alasan

perlindungan terhadap keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan

kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, serta barang-barang yang

mengandung nilai sejarah, seni, dan arkeologis. Ketentuan yang termasuk dalam

GEL ini sesuai dengan pasal 10 dari GATT, seperti senjata api, amunisi, narkotika

dan sebagainya.

Pada perkembangannya, AFTA berhasil meningkatkan intensitas jumlah

perdagangan intra ASEAN, akibat penurunan hambatan tarif maupun non-tarif di

antara anggotanya. Namun, peningkatan perdagangan tersebut masih dianggap

kurang berarti atau dengan kata lain perkembangan perdagangan intra ASEAN

sangatlah lambat. Volume perdagangan dalam AFTA ini masih dianggap kurang

mampu menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap negara-negara di luar

(39)

perdagangan intra ASEAN mengalami peningkatan, namun peningkatan itu belum

mampu menggeser ketergantungan ekspor ASEAN ke luar kawasan Asia

Tenggara.

Tabel II.1

Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 (dalam juta US$)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total

Intra 206.731 260.697 304.893 352.771 401.920 470.112 376.207 2.373.331

Extra 617.807 811.150 919.996 1.052.034 1.208.867 1.427.015 1.160.635 7.197.504

Total 824.538 1.071.847 1.224.889 1.404.805 1.610.787 1.897.127 1.536.842 9.570.835

Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010

Menurut Luhulima ( et al. 2008, h. 122) rendahnya perdagangan intra

ASEAN ini antara lain dikarenakan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan

standar produk dan belum harmonisnya prosedur bea cukai. Persoalan lain yang

sama pentingnya adalah kurang populernya skema CEPT-AFTA di kalangan

swasta, kurang jelasnya aturan kandungan lokal dan belum kuatnya mekanisme

penyelesaian masalah perdagangan. Oleh karena itu, ASEAN memperbolehkan

negara anggota yang belum siap berintegrasi untuk menyusul di kemudian hari

agar tidak memperlambat anggota yang lebih siap. Hal inilah yang menyebabkan

penerapan program ini berjalan tidak bersamaan antara satu negara dengan negara

lainnya.

Selain itu Ariff (dalam Yue dan Pacini eds. 1997, h. 68) menambahkan

bahwa minimnya perdagangan intra ASEAN ini mungkin disebabkan karena

beberapa alasan. Pertama, negara-negara ASEAN memiliki sumber daya alam

yang relatif sama sehingga tidak adanya saling melengkapi di antara anggota,

namun justru terjadi persaingan. Sebagai contoh; Indonesia, Malaysia dan

(40)

Malaysia, Singapura dan Filipina sama-sama pengekspor produk-produk

elektronik. Jadi perekonomian ASEAN lebih cenderung untuk berkompetisi antara

satu negara dengan negara lain dalam memperebutkan pasar. Kedua,

negara-negara ASEAN lebih banyak melakukan hubungan dagang dengan negara-negara-negara-negara

di luar ASEAN daripada antar anggota ASEAN. Perdagangan negara-negara

ASEAN lebih banyak dilakukan dengan negara-negara di luar kawasan, seperti

Amerika Serikat, Uni Eropa dan juga Jepang. Hal ini disebabkan karena

negara-negara tersebut adalah daerah utama pemasaran komoditi ekspor dari negara-negara

ASEAN, selain juga merupakan sumber investasi bagi negara ASEAN.

Kemudian, sebagai bentuk lanjutan dari integrasi ekonomi ASEAN,

seiring dengan pemberlakuan AFTA maka disepakatilah gagasan yang lebih besar

lagi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-8 di Phnom Penh,

November 2002. Pada saat itu, menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 1), para pemimpin

ASEAN menyetujui prakarsa Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong

mengenai pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) sebagai bentuk

lanjutan dari proses integrasi ekonomi ASEAN. Kemudian pada KTT ASEAN

ke-9 di Bali tahun 2003, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk

Komunitas Ekonomi ASEAN yang ditargetkan dicapai pada 2020. Pada KTT

inilah dihasilkan ketetapan Bali Concord II yang menjadi cikal bakal

pembentukan AEC. Lebih jauh Elisabeth (ed. 2009, h. 2) menyatakan bahwa,

pembentukan AEC ini sesuai dengan tujuan pembentukan komunitas ASEAN

yang ditetapkan dalam ASEAN Vision 2020 pada 1997, yaitu pembentukan tiga

pilar utama ASEAN; ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN

(41)

Menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 2), pada tahap selanjutnya dalam KTT

ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina Januari 2007, para peserta pertemuan

menyepakati untuk mempercepat jadwal pembentukan Komunitas ASEAN yang

semula ditetapkan pada 2020 menjadi 2015. Namun, target pembentukan ketiga

pilar utama tersebut tidak bersamaan. Target pencapaian disesuaikan dengan

kondisi ekonomi dan politik masing-masing negara anggota ASEAN. Misalnya,

Singapura dan Brunei menargetkan ASEAN Community (AC) pada 2010,

sedangkan Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand pada 2015, sedangkan CMLV

tetap pada 2020.

Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 117) menambahkan bahwa,

percepatan pembentukan AC ini terjadi dikarenakan adanya kekhawatiran

ASEAN terhadap perkembangan ekonomi dunia. Dalam situasi persaingan

ekonomi yang semakin tajam, ada kekhawatiran bahwa Asia Tenggara akan

tertinggal jauh dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kawasan atau negara lain

seperti pertumbuhan ekonomi Cina dan India. Gagasan membentuk ASEAN

Economic Community (AEC) diharapkan bisa mengalirkan semangat baru untuk

berintegrasi ke dalam, dan meningkatkan daya saing kawasan agar dapat merebut

investasi asing.

Elisabeth (ed. 2009, h. 3) menambahkan, dalam rangka perwujutan AEC

ini, pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura November 2007 disahkan langkah

kerja untuk mempercepat integrasi ekonomi dan realisasi pembentukannya, yaitu

dengan menjadikan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan

(42)

ekonomi yang relatif setara (equitable), serta kawasan yang terintegrasi penuh

dengan ekonomi global (lihat juga ASEAN Secretariat 2008).

Intinya, komunitas ekonomi ASEAN ingin membentuk suatu pasar dan

basis produksi tunggal di mana di dalamnya terdapat pembebasan terhadap

barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan liberalisasi modal. AEC juga

dimaksudkan untuk membantu mengurangi kemiskinan dan juga mempersempit

jurang ekonomi dan pembangunan bagi negara ASEAN-6 dan CMLV pada tahun

2020 mendatang (ASEAN Secretariat 2008).

Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 129) walaupun tidak mudah

untuk mencapai tingkat integrasi ekonomi yang lebih tinggi, sebenarnya saat ini

kerjasama ekonomi ASEAN bukan pada tahap paling awal dari integrasi ekonomi.

ASEAN sudah meletakkan landasan dan menjalani proses integrasi ekonomi

seperti, ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on

Services (AFAS), yang ditetapkan dalam ASEAN Summit ke-5 di Bangkok pada

Desember 1995. Untuk memperkuat kerjasama sektor jasa antar anggota ASEAN

dengan penghapusan hambatan perdagangan jasa intra-regional.

Selain itu, juga disepakati pembentukan ASEAN Investment Area (AIA)

pada tahun 1998 (ASEAN Secretariat). Selain kemudahan dalam perdagangan di

bidang barang dan jasa, sektor investasi ini merupakan bagian penting dalam

peningkatan investasi intra-ASEAN yang masih cukup rendah (lihat Tabel II.2).

Penanaman modal asing (Foreign Direct Investment) bagi negara-negara ASEAN

sebagian besar masih berasal dari negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara.

Jadi, dalam perjalanan menuju Komunitas Ekonomi ASEAN, ASEAN dapat

(43)

langkah-langkah baru untuk memperkuat implementasi kerjasama ekonomi yang

sedang berlangsung.

Tabel II.2

Investasi Asing Langsung (FDI) Menuju ASEAN: 2003-2009

(dalam juta US$)

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total

Intra 2.702 2.958 4.060 7.755 9.682 10.461 4.428 42.046

Extra 21.364 32.242 35.980 47.002 63.746 38.729 35.052 274.115

Total 24.066 35.200 40.040 54.757 73.428 49.190 39.480 316.161

Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010

Oleh karena itu, menurut Arbi (dalam Sungkar ed. 2005, h. 21) ASEAN

telah mengesahkan sebelas sektor prioritas proyek percontohan percepatan

integrasi pasar tunggal ASEAN yang direncanakan akan tercapai menjelang 2020.

Tujuan ini akan dicapai melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan

intra-ASEAN. Kesebelas sektor yang dipilih di antaranya: elektronika, e-ASEAN,

perawatan kesehatan, produk-produk berbasis kayu, otomotif, produk-produk

berbasis karet alam, tekstil dan pakaian jadi, produk-produk agro-industri,

perikanan, penerbangan dan pariwisata. Sektor-sektor ini dipilih berdasarkan

tingkat keunggulan kompetitif masing-masing negara dalam hal ketersediaan

sumber daya alam, keterampilan pekerja, daya saing dalam hal biaya produksi dan

kontribusi nilai tambah bagi perekonomian ASEAN.

Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 134), dalam usaha menuju

integrasi ekonomi yang lebih tinggi, selain melalui program-program yang

disepakati sepuluh negara anggota, sebenarnya ada juga usaha-usaha yang dijalani

sebagian negara anggota yang dikenal dengan kerjasama sub-regional. Kerjasama

(44)

contoh; Segitiga pertumbuhan “Sijori” (Singapura-Johor-Riau) adalah bentuk

kerjasama sub-regional yang sudah berlangsung secara resmi sejak 1992. Dengan

semakin bertambahnya wilayah di Malaysia dan Indonesia yang ikut dalam

kerjasama segitiga pertumbuhan tersebut, maka “sijori” diubah menjadi

Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT).

Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 135) lebih jauh menjelaskan bahwa,

pendekatan sub-regional ini telah diikuti oleh tiga bentuk kerjasama sub-regional

lainnya. Pertama, Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) pada

1993 yang meliputi wilayah utara Sumatera dan Riau di Indonesia, negara bagian

Johor dan Penang di Malaysia, dan wilayah selatan Thailand. Kedua,

Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) pada

1994 yang meliputi Brunei, Kalimantan dan Sulawesi Utara di Indonesia,

Malaysia timur dan wilayah Filipina bagian selatan. Ketiga, wilayah sepanjang

West-East Corridor (WEC) di Mekong Basin, yang meliputi Vietnam, Laos,

Cambodia dan timur laut Thailand yang dibentuk sejak 1996. Dari penjelasan di

atas, dapat dikatakan bahwa AEC lebih merupakan proses pendalaman dari

integrasi ekonomi ASEAN (AFTA, AFAS, AIA), ataupun pengembangan sektor

prioritas dan kerjasama sub-regional.

Dalam penerapan AEC, sebenarnya ASEAN mencontoh integrasi ekonomi

yang dilakukan Uni Eropa (Elisabeth ed. 2009, h. 21). Namun, perlu dilihat

kembali apakah gagasan ini dapat terlaksana seperti harapan para pemimpin

ASEAN, mengingat banyaknya perbedaan yang dimiliki negara-negara anggota

ASEAN, baik dari segi ekonomi, politik, dan lainnya. Sebagai gambaran, Uni

(45)

membutuhkan waktu 35 tahun (Perjanjian Roma 1957-Perjanjian Maastricht

1992). Integrasi ekonomi ASEAN memang berbeda dengan EU, namun dengan

pencanangan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar utama (politik dan

keamanan, ekonomi, sosial dan budaya), ASEAN mencontoh model Traktat

Maastricht untuk membangun masyarakat ASEAN sebagaimana hasil KTT

ASEAN di Bali Pada tahun 2003 (Bali Concord II). Oleh karena itu, perlu dilihat

kembali alternatif dalam meningkatkan perekonomian negara-negara ASEAN,

seperti negara lain yang dianggap mampu memacu pertumbuhan integrasi

ekonomi tersebut, di antaranya bekerjasama dengan Cina membentuk

(ASEAN-China Free Trade Area). Setelah membahas tentang kerjasama ekonomi yang

terjadi dalam ruang lingkup intra ASEAN, pada bagian selanjutnya, penulis akan

mencoba memaparkan hambatan yang menyertai integrasi ekonomi ASEAN.

B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN

Proses integrasi di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara tergolong

sangat lambat. Ketika terjadi regionalisasi di kawasan Eropa dan Amerika Utara,

kawasan Asia Tenggara belum memiliki kesadaran untuk melakukan kerjasama

atau integrasi ekonomi regional. Regional Trading Agreements (RTA) tidak

muncul di Asia Tenggara, hingga tahun 1977 ketika ASEAN mencapai

kesepakatan dalam hal Preferential Trading Arrangements (PTA) (Prabowo &

Wardoyo 2004, h. 2). Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 51; Sinaga

dalam Elisabeth ed. 2009, h. 118), setidaknya ada beberapa alasan yang dapat

menyebabkan keterlambatan hadirnya integrasi regional di kawasan Asia

(46)

Alasan pertama, secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara

memiliki latar belakang budaya, sistem politik, agama, bahasa, dan tingkat

perekonomian yang berbeda. Adanya perbedaan tingkat kemajuan ekonomi ini

juga menyebabkan sulitnya menetapkan suatu penerapan kebijakan yang seragam

antara satu negara dengan negara lainnya, sebagai contoh dalam penerapan AFTA

dan ACFTA; terdapat perbedaan dalam penerapan skema ini, hal ini disebabkan

oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang jauh berbeda, sehingga ada negara yang

dianggap telah siap menghadapi perdagangan bebas (Singapura dan Brunei) dan

ada juga negara yang memerlukan waktu persiapan yang lebih panjang (Kamboja,

Laos, Myanmar, Vietnam).

Selain itu, perbedaan sistem politik dan pemerintahan juga dianggap

sebagai penghalang, banyak negara yang menjalankan pemerintahan dengan

demokratis dan terbuka, namun ada juga beberapa negara seperti Laos dan

Vietnam yang merupakan negara dengan sistem komunis sehingga lebih tertutup

terhadap perkembangan dan pengaruh asing. Selain itu, Myanmar yang

pemerintahannya dikuasai oleh junta militer juga menyebabkan perkembangan

demokrasi cukup terhambat sehingga berpengaruh pada perkembangan ekonomi.

Alasan kedua, negara-negara ASEAN ini cenderung untuk melakukan

kerjasama perdagangannya dengan negara-negara di luar kawasan Asia, yaitu

dengan AS dan Eropa. Kedua kawasan tersebut berperan sebagai pasar ekspor

terbesar negara-negara Asia Tenggara dan juga sebagai sumber investasi asing

bagi mayoritas negara ASEAN. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Uni Eropa,

di mana mayoritas perdagangan dan investasi yang terjadi di kawasan Eropa justru

Gambar

Tabel IV.1 ASEAN Ekspor dan Impor ke Cina: 2003-2009……………...……..84
Tabel II.2
Tabel II.3
Tabel IV.1

Referensi

Dokumen terkait

2011.Model – Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru .Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.. Kurniawan, Deni.dkk.2012.Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi

Pemahaman Konsep Matematika dalam

8 | Husein Tampomas, Soal dan Solusi Try Out Matematika SMA IPS Dinas Kabupaten Bogor,

Pendidik kesehatan di FK Unud selalu memperhatikan kesehatannya dengan melakukan pola hidup sehat namun masih ada pendidik kesehatan yang tidak melakukan pemeriksaan

Jawapan: (1 Markah).. Apakah output akhir bagi atur cara di atas.. Pembolehubah berat telah diisytiharkan. Data tinggi merupakan suatu pemalar. Rajah 8 di bawah menunjukkan antara

Kajian pengembangan wisata di dua kecamatan ini perlu dilaksanakan agar pengembangan kawasan wisata pantai di daerah Kulon Progo semakin ramai dan populer,

Penerapan konsinyasi dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dapat dilakukan dengan tiga alasan, yaitu pertama, kegiatan

The characteristic of flash flood by initially defining it as a rapid flooding of low-lying areas, rivers and streams that are caused by the intense rainfall also occur when