• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepentingan Dinas Perumahan Dan Permukiman

BAB IV Deskripsi Dan Interpretasi Data Penelitian

4.3. Kepentingan Dinas Perumahan Dan Permukiman

Pada tahun 2012, Pemko Medan melalui Dinas Perkim sebagai pelaksana teknis berencana merelokasi kembali pedagang buku bekas dan buku murah di sisi Timur Lapangan Merdeka. Pemko Medan menjelaskan kepada pedagang bahwa pada kawasan tersebut akan dibangun proyek sky bridge, city check in dan lahan parkir yang akan terintegrasi dengan Bandara Kuala Namu. Pembangunan ini menggunakan lahan dengan panjang 244 meter dan lebar 39 meter yang saat itu masih berdiri kios pedagang buku. Hal ini seperti yang dikatakan Pak Chairul Abidin dari Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan :

“Karena adanya bandara Kuala Namu dibangun, jadi dari Kota Medan lah pusat Kota untuk akses ke Bandara Kuala Namu salah satu alternatif roda transportasi itu kan di kereta api. Ada pihak dari kementerian dan program dari pusat meminta untuk terintegrasi sarana transportasi tadi dimohon ke pihak Pemko Medan untuk segera dibangun jembatan penyeberangan sekaligus city check in. City check in itu kita mau ke bandara Kuala Namu jadi sebelum ke Kuala Namu kita bisa check in keberangkatan dulu itu sebenarnya tujuan pertama. Untuk menghubungkan kan diperlukan areal parkir yang mau berangkat ke kuala namu atau untuk menurunkan penumpang jadi integrasinya itu disitu”.

Pihak dari Kementrian menginstruksikan kepada Pemko Medan agar dengan segera menyelesaikan proyek Sky bridge, city check in dan lahan parkir di karenakan Bandara Kuala Namu International akan segera dioperasikan. Pedagang berjualan berdasarkan aset Pemko berdasarkan pemerintahan Walikota sebelumnya yaitu, Bapak Drs. Abdillah. Program pembangunan tersebut merupakan program dari pusat dan harus terintegrasi semua sarana transportasi untuk mendukung Bandara Kuala Namu. Sinergitas transportasi pembangunan nasional menjadi dasar bagi pihak pemerintah Kota Medan wajib melaksanakan program tersebut di sisi timur Lapangan Merdeka. Lokasi tersebut merupakan tempat berjualan pedagang buku bekas. Pemerintah memiliki design lokasi relokasi yaitu, masterplan untuk merelokasi pedagang buku awalnya ke Jl. Mandala dan merupakan tanah dari PT.KAI. Program pembangunan tersebut terkendala dengan keengganan pedagang buku untuk pindah ke lokasi tersebut. Terdapat beberapa allternatif lokasi yang juga ditawarkan kepada pedagang buku seperti ke Taman Budaya, Perisan hingga ke Jl. Pegadaian.

Pedagang buku tidak ingin pindah ke Jl. Mandala dikarenakan lokasi tersebut jauh dari pusat inti kota. Tidak seperti di Lapangan Merdeka yang merupakan pusat kota dan lokasi di Jl. Mandala sulit untuk dijangkau masyarakat. Penolakan relokasi ini ditanggapi sebagai hal yang wajar dalam proses pembangunan. Mengenai aspek legalitas hukum mengapa pedagang buku yang notabene berjualan buku sah secara hukum direlokasi dari sisi timur Lapangan Merdeka harus direlokasi, pihak dari Dinas Perkim menyatakan semua ada aturan dan landasan. RTRWK bisa dirubah dengan persetujuan anggota dewan. Ini sesuai dengan pernyataan Pak Mukhyar :

Sky bridge udah dibuat di perda kita dibangun disitu masalahnya sekarang harus menelusuri Bapeda. Masterplan kereta api orang tu bangunnya dimana kadang-kadang masterplan kami disini, kereta apai disini kan kami harus bersinergi jadi bukan kitab suci yang tidak bisa dirubah, tiap saat bisa berubah namanya produk manusia, siapa bilang RTRWK gak bisa dirubah, ya boleh boleh aja. Kita kan harus ikuti orang itu kereta api. Saya sekedar melanjutkan, di dalam buku perdanya kami bangun disitu, kalo gak kami bangun ngelanggar perda, APBD Kota Medan yang harus kita kerjakan dibahas di anggota dewan. Kalo dia gak tau berarti kan dia gak baca” (Wawancara, Januari 2015)

Dinas Perkim tidak ingin menjawab pertanyaan secara detail landasan hukum pembangunan sky bridge yang seharusnya di Jl. Jawa, Kecamatan Medan Timur karena bukan merupakan bagian tugas dari mereka, Dinas Perkim ditegaskan hanya sebagai pelaksana teknis. Pemerintah melakukan pendekatan dengan cara sosialisasi dengan surat peringatan sebanyak 3 kali dan melakukan pertemuan untuk mengakomodasi keinginan pedagang. Keinginan untuk pindah ke Jl. Pegadaian adalah merupakan keinginan dari pihak pedagang melalui organisasi Asosiasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (ASPEBLAM). ASPEBLAM dikatakan sebagai pedagang yang menurut dan mengikuti kemauan pemerintah. Pedagang yang bertahan dan menolak relokasi diberikan label negatif oleh pihak pemerintah. Stigmatisasi ini bertujuan untuk mendiskreditkan Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM) terisolasi secara sosial. Kekerasan kultural yang termasuk didalamnya adalah streotipe mengenai gerakan perlawanan pedagang buku bahwa ketua dari P2BLM hanya ingin mendapatkan kios yang banyak untuk keuntungan secara pribadi. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Pak Muhkyar:

“Itu Sainan anggapannya semua kios nanti milik dia itu, semua lahan dia yang punya, dia yang jamin sama pedagang lain bahwa itu hak mereka, amanlah itu. Itu dia yang bilang hasil perjuangan dia itu, kan gak bisa gitu, bisa jadi dijual nanti atas nama Sainan” (Wawancara, Januari 2015)

Penggusuran secara paksa dilakukan untuk mempercepat proses pembangunan tersebut. Dinas Perkim menyatakan tidak bisa lagi melakukan penggusuran secara paksa karena melanggar Hak Asasi Manusia. Batalnya penggusuran secara paksa untuk menjadi kekondusifan masyarakat karena berkaitan dengan Pemilu Legislatif untuk menjaga keamanan masyarakat Kota Medan dan dipilih dengan cara negoisasi. Pada saat proses pembangunan pekerja proyek pembangunan dipukul oleh pedagang buku. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Pejabat Pembuat Komitmen Pak Mukhyar :

Kita ajaklah berembuk, kan jamannya pemilu legislatif suasana politik kan memanas, jadi lurah camat dinas perkim satpol pp kan menjaga suasana tetap kondusif. Berapa kali kita mau menggusur gak jadi. Pedagang yang mukuli pekerja yang disitu dipukulin perempuan yang mukul diadu ke polisi asin ceritanya. Indonesia kan ini boleh petugas dipukuli tapi coba masyarakat dipukuli, ini orang gak tau hak dan kewajiban pada saat sedang dibangun. pakar-pakar hukum kita membela itu. Datang satpol pp digusur disorot media dibilang Pemerintah kejam kan jadi dilema kita antara hak dan kewajiban”.(Wawancara, januari 2015)

4.4 Proses Terbentuknya Organisasi Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (P2BLM)

Pedagang buku pada saat berjualan di Titi Gantung memiliki paguyuban sesama pedagang buku bekas. Paguyuban tersebut dibentuk dengan tujuan untuk melakukan perlawanan menolak relokasi dari Titi Gantung ke sisi timur lapangan merdeka. Pedagang buku direlokasi dikarenakan Titi Gantung merupakan cagar budaya Kota Medan yang harus dijaga dan dilestarikan keindahannya.

Mendengar adanya rencana Pemko Medan akan kembali merelokasi, pedagang buku bekas akhirnya sepakat untuk membentuk organisasi pedagang

buku bekas yaitu Asosiasi Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka (ASPEBLAM). ASPEBLAM dibentuk juga berdasarkan paguyuban yang berasal dari Titi Gantung dan merubah nama karena lokasinya yang juga sudah berbeda yaitu di sisi timur lapangan merdeka. Pedagang menolak di relokasi dengan alasan Jl. Mandala by pass bukan merupakan pusat inti kota Medan dan lokasinya sangat jauh yang dikhawatirkan akan menurunkan omset penjualan buku bekas. Sainan mengatakan :

“Di tahun 2012 itu ada respon dari Pemko Medan untuk merelokasi kami ke Jl. Mandala by pass. Kami tidak menerima relokasi tersebut. Sejak itulah kami pedagang buku melakukan musyawarah dan rembukan untuk membentuk kelompok pedagang buku yang namanya ASPEBLAM yaitu, Asosiasi Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka Medan. Itu terbentuk karena adanya Pemko Medan mau merelokasi kami ke Jl. Mandala. Tujuan dibentuknya ASPEBLAM yang itu untuk melakukan satu penelitian maksud dan tujuan Pemko Medan merelokasi apakah itu menguntungkan pedagang atau tidak”. (Wawancara, 24 Januari 2015).

ASPEBLAM adalah organisasi yang dibentuk oleh pedagang buku bekas untuk menolak relokasi yang akan dilakukan Pemerintah Kota Medan dan memiliki tugas untuk melakukan kajian apakah relokasi tersebut menguntungkan pihak pedagang atau tidak. Keinginan semua pedagang pada saat akan direlokasi yaitu, mengambil komitmen untuk tetap bertahan di sisi timur Lapangan Merdeka.

Hal ini di sepakati pada rapat pedagang buku di Parapat. Hasil rapat tersebut memutuskan bahwa pedagang buku akan bertahan dan menolak relokasi oleh Pemko Medan. Alasan pedagang menolak adalah lokasi tersebut kurang strategis dan merupakan pinggiran kota Medan. Pedagang juga mengatakan karena lahan tersebut merupakan lahan PT. KAI bukan aset dari Pemko Medan ada kemungkinan kios tersebut menggunakan sistem sewa dan pedagang dibebankan untuk membayar uang sewa kios sebesar Rp850 ribu per tahun.

Setelah mendapatkan hasil keputusan hasil rapat di Parapat, para pedagang yang awalnya menolak relokasi, namun akhirnya pengurus menyetujui untuk di relokasi tanpa memberitahukan kepada anggota pedagang buku bekas lainnya. Dengan alasan pedagang buku harus mengikuti aturan Pemko Medan. Hal ini karena sesuai dengan aspirasi anggota ASPEBLAM dan lokasi tempat yang akan digunakan sudah representatif serta Pemko Medan menyetujui hal tersebut. Ukuran kios 2 x 2 meter lebih besar dibandingkan di Lapangan Merdeka. Ukuran tempat dan lokasi usaha sejajar, berbeda dengan yang ada di Lapangan Merdeka, kios ada yang bertempat di belakang dan ada yang berada di depan. Kesepakatan syarat yang diajukan pengurus adalah :

1) Biaya relokasi dan pembangunan kios di lokasi baru ditanggung oleh Pemko Medan atau pihak yang ditunjuk Pemko.

2) Perpindahan dilaksanakan secara bersamaan.

3) Lokasi baru bagi pedagang harus sah secara hukum.

Usulan dan syarat disepakati oleh Pemko Medan dan Dinas Perumahan dan Permukiman agar menyiapkan dengan segera alas hukum lokasi yang akan di tempati pedagang buku bekas. Kebijakan pengurus yang awalnya menolak dan tiba-tiba sepakat untuk pindah mulai menimbulkan kecurigaan dan kekecewaan dari beberapa pedagang buku karena telah mengingkari hasil keputusan di rapat. Berdasarkan penuturan Bapak Fadli Syahputra sebagai berikut :

Setelah pulang dari Parapat terjadi perbedaan kebijakan yang menyatakan kepengurusan rela di relokasi, karena alasan pengurus sudah sesuai dengan kebijakan pemerintah jadi kita harus mengikuti pemerintah, kita awalnya bertahan nah kenapa tiba-tiba jadi kita setuju sama relokasi itu, awalnya disinyalir adalah sesuatu yang tidak bisa kita pastikan . Yang jelas komitmen itu berubah dari awalnya bertahan hingga setuju untuk pindah”. (Wawancara, tanggal 15 Januari 2015).

Kesepakatan tersebut ternyata hanya janji-janji belaka, karena Pemko Medan dianggap mengingkari hasil kesepakatan dengan pedagang, dikarenakan tidak kunjung jelas alas hukum lokasi kios yang akan dipakai dan sudah diberi surat pemberitahuan untuk mengosongkan kios. Hal ini menimbulkan amarah dan kekecewaan pedagang. Realisasi dari kekecewaan pedagang buku untuk kembali menolak relokasi yaitu, adanya aksi turun ke jalan dan melakukan demonstrasi. Aksi tersebut diikuti oleh pedagang buku, agar aspirasi mereka didengarkan pedagang memblokir Jalan. Stasiun, seputaran Lapangan Merdeka, Medan. Aksi ini dengan membakar ban bekas serta kayu untuk dibakar. Aksi ini untuk menolak relokasi ke Jl. Pegadaian dan segera membuat alas hukum bagi pedagang jika akan di relokasi.

Aksi pada tanggal 29 Oktober 2012 ini mendapat perhatian dari pengguna arus lalu lintas dan mengundang perhatian media massa untuk meliput mereka. Aksi ini sempat terjadi keributan antara Satpol PP dengan pedagang, hal ini dikarenakan Satpol PP berusaha untuk memadamkan api. Untuk menghindari bentrok Satpol PP akhirnya membiarkan aksi tersebut dan tidak jadi melakukan pemadaman api tersebut. Aksi bakar ban bekas dan kayu ini berada di 3 titik sepanjang Jalan Stasiun. Tumpukan kayu dan ban bekas ditumpuk untuk dibakar hingga menciptakan asap hitam mengepul ke udara. Pedagang juga mengeluarkan spanduk bertuliskan “Kami Menolak Relokasi, Jangan Gadaikan Kami Dengan Lapangan Parkir”. Kemacetan tak terhindarkan karena lokasi pedagang buku melakukan aksi di pusat kawasan kota tepat di depan stasiun kereta api.

Kecurigaan dan ketidakpercayaan anggota terhadap pengurus memuncak dengan adanya rencana Pemko Medan untuk membangun pondasi di lapangan

merdeka. Bangunan pondasi tersebut harus menghancurkan tempat pedagang sebanyak 20 kios. Pengurus pada saat itu menyepakati hak tersebut dengan syarat perusahaan pengembang menyatakan akan membayar ganti rugi biaya harian yaitu sebesar Rp.50.000, - (lima puluh ribu rupiah) perhari kepada 20 pedagang yang kiosnya akan dirusak, dan apabila pada tanggal tersebut pelaksanaan pembangunan 180 kios belum selesai maka perusahaan akan memberikan tambahan biaya harian tersebut sebanyak 10 kali lipat dari biaya harian yang telah disepakati yaitu menjadi Rp.500.000, - (lima ratus ribu rupiah) per hari.

Namun, para pedagang 20 kios tersebut hanya menerima biaya harian selama 21 hari sebanyak Rp.700.000, (tujuh ratus ribu rupiah) yaitu 19 Desember 2012 s/d 10 Januari 2013, selebihnya yaitu sampai dengan Maret 2013 para pedagang ini tidak lagi menerima uang harian tersebut. Sampai dengan 18 Maret 2013 dan lokasi berjualan mereka belum kunjung selesai juga dibangun di Jl. Pegadaian serta alas hukum yang belum jelas. Hal ini beradasarkan penuturan dari Bapak M. Hasrah Siregar yang kiosnya termasuk dihancurkan di awal menyatakan :

“Awalnya 20 kios ini akan dijanjikan dengan ganti rugi Rp.50.000 per hari oleh pihak developer (pengembang) dan dibantu oleh kepengurusan masa itu. Alasan kami untuk meminta ganti rugi ya mau makan apa kami, belum lagi anak, istri kami, kalo cuman segitunya pendapatan kami. Maka dari itu, kami terima kios kami dihancurkan dengan catatan, apabila sampai dengan 21 hari kios kami belum selesai dan seluruh pedagang belum juga pindah maka ganti ruginya 10 kali lipat per hari jadi nya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) per hari. Logikanya kan gini gak mungkin kami bisa cari makan di pegadaian 20 kios ini sedangkan yang rame itu di masih di Lapangan Merdeka”. (Wawancara, 16 Januari 2015). Pedagang yang 20 kiosnya dihancurkan mengadukan nasib mereka kepada pengurus, tetapi tidak di respon dengan baik. Pedagang dijanjikan oleh pengurus

apabila dalam jangka waktu yang dekat tidak juga dibayar maka pedagang buku akan melakukan demonstrasi. Hal itu tidak kunjung terjadi, tuntutan ganti rugi pedagang buku berlalu begitu saja tanpa ada kejelasan dari pihak pengembang. Berdasarkan kejadian tersebut memicu pedagang buku untuk membuat organisasi baru, karena merasa aspirasi mereka sudah tidak di dengarkan lagi oleh pengurus ASPEBLAM. Awal pertemuan anggota yang tidak sepakat berawal di Taman Sri Deli dengan diam-diam tanpa diketahui oleh pengurus ASPEBLAM. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Bapak Didi Siswanto yang mengatakan bahwa :

Pengurus aspeblam ini udah gak betul, karena udah melanggar kesepakatan yang ada di aspeblam itu. Berarti ini ada udang di balik peyek kan gitu istilahnya kan pada saat itulah kami dan kawan-kawan yang tidak sepaham dengan aspeblam mengadakan pertemuan di Taman Sri Deli dengan tujuan membicarakan ketidaksetujuan kami dengan keputusan ASPEBLAM tadi. Itulah awal mulanya terbentuk (Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka) P2BLM”. (Wawancara, Januari 2015).

Kondisi ini sesuai dengan apa yang dikatakan Balridge sebagai fase pragerakan (premovement stage). Pedagang buku sebagai individu merasakan adanya tekanan sruktur dari Pemko Medan dan dari pengurus ASPEBLAM agar segera setuju untuk di relokasi. Fase pragerakan ditandai dengan berkumpulnya beberapa pedagang yang memiliki minat yang sama untuk berkumpul, yang merasakan kebencian, diskriminasi dan membentuk organisasi P2BLM sebagai awal gerakan. Terdapat dua penyebab terbentuknya Persatuan Pedagang Buku Bekas Lapangan Merdeka yaitu :

1) Kecewa dengan kebijakan pengurus Aspeblam yang menyetujui relokasi ke Jl. Pegadaian. Kelurahan Aur, Kecamatan Medan Maimun, serta mengingkari hasil rapat di Prapat.

2) Anggota menganggap pengurus tidak bertanggung jawab atas ganti rugi terhadap penghancuran 20 kios awal yang diperuntukkan untuk pondasi awal sky bridge.

3) Anggota pedagang buku ingin tetap berjualan di sisi timur Lapangan Merdeka

Kondisi ini di pertegas dengan pernyataan Ibu Isdawati yang mengatakan kecewa terhadap pengurus ASPEBLAM dan tidak ada tanggung jawab dari pengurus untuk mengakomodir suara anggota pedagang buku. Berikut kutipan pernyataan beliau :

“Pengurus selalu mengambil keputusan sendiri, tidak ada kompromi dengan anggota. Pengurus semacam punya ambisi dan membodohi anggota yang lainnya. Seharusnya setiap dia ketemu dengan siapapun kalo mengambil suatu keputusan dan lain-lain mereka tidak berhak mengambil keputusan sendiri harus melalui keputusan anggota kalau sudah keputusan anggota kan berarti keputusan yang akurat ketidakcocokan pemikiran. Karena kita kan organisasi, itu yang membuat kita pecah, karena sebenarnya yang anggota mau bagaimana organisasi ini berjalan dengan prosedur yang ada tanpa ada embel-embel dan maksud tertentu. Karena ada keganjalan-keganjalan dalam organisasi itu maka kami memisahkan diri. Karena kita positif kalau kita lihat (pengurus) keluar jalur kita lebih bagus membangun organisasi yang baru dari hati ke hati bukan dari ambisi. Tidak ada kecocokan pengurus dan anggota lainnya. Dibentuknya P2BLM itu adalah wadah yang betul-betul menjalankan wadah organisasi itu yang sebenarnya. ” (Wawancara, 17 Januari 2015).

Dokumen terkait