• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II Tinjauan Pustaka

2.2. Perlawanan

Scott (2000:381) menjelaskan tidak mudah untuk menentukan di mana kerelaan berakhir dan perlawanan di mulai, karena keadaan menjadikan banyak orang miskin menyelubungi perlawanan mereka dalam bahasa konformitas

publik. Arti kata kerja ‘melawan’ (to resist) sebagaimana tertera di kamus adalah ‘mengusahakan sekuat tenaga untuk menahan atau membalas kekuatan atau efek dari’. Perlawanan kelas memuat tindakan-tindakan apapun yang dilakukan oleh kaum yang kalah, yang ditujukan untuk mengurangi atau menolak klaim (misalnya: sewa, pajak, gengsi ) yang dibuat oleh kelas atas ( tuan tanah, petani kaya, negara) berhadapan dengan kaum yang kalah itu. Perlawanan berfokus pada basis materi hubungan antar kelas dan pertarungan antar kelas, berlaku baik sebagai tindakan perlawanan perorangan maupun kolektif, juga bentuk-bentuk perlawanan ideologi yang menentang definisi situasi yang dominan menuntut berbagai standar keadilan dan kewajaran. Akhirnya, perlawanan berfokus pada maksud ketimbang pada konsekuensi, sehingga di mana ada bukti kuat untuk maksud di balik aksi, maka perlawanannya, sesuai dengan itu, diperkuat.

Perlawanan menurut Zubir (2002) dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas, frustasi, dan hadirnya situasi ketidakadilan di tengah-tengah mereka. Jika situasi ketidakadilan dan rasa frustasi ini mencapai puncaknya, akan menimbulkan apa yang disebut sebagai gerakan sosial atau

social movement, yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi menjadi kondisi yang berbeda dengan sebelumnya.

Timbulnya perlawanan menurut Alisjahbana (2005:167-169) terurai ketika menggambarkan bagaimana pertarungan antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang tidak berkuasa, antara mereka yang memiliki aksesbilitas dengan mereka yang tidak memiliki, antara mereka yang memiliki modal kecil, terus terjadi dalam setiap kebijakan yang dirumuskan pemerintah dalam pengembangan kota. Pada dasarnya sektor informal lebih suka berdialog dibandingkan harus

melakukan perlawanan (resistensi). Resistensi dilakukan ketika mereka harus dihadapkan pada sebuah perlakuan yang menurut mereka keterlaluan atau diluar batas kewajaran. Keberanian kelompok ini melakukan perlawanan (resistensi) adalah proses akumulasi dari berbagai fenomena yang melatarbelakangi, antara lain:

1. Adanya model penataan sektor informal yang selalu menggunakan pendekatan represif, bukan persuasif.

2. Adanya sikap ketidakpedulian pemerintah kota terhadap keberadaan sektor informal sehingga selalu dimarginalkan.

3. Terbungkamnya suara sektor informal. Budaya top down dalam setiap pembuatan kebijakan yang mengatur sektor informal menyebabkan terjadinya resistensi terhadap kebijakan pemerintah kota.

4. Adanya kesan negatif yang ditempelkan pemerintah terhadap keberadaan sektor informal.

5. Berhembusnya era reformasi, era reformasi memberikan ruang kepada sektor informal untuk mengadakan resistensi.

Resistensi rakyat menurut Scott dalam Alisjahbana (2005:39-41) dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu, resistensi yang disebabkan oleh penyebab secara langsung dan penyebab tidak langsung. Resistensi rakyat karena penyebab secara langsung seperti penindasan, ancaman, tekanan, paksaan yang dilakukan oleh tuan tanah, pemerintah, pemilik modal atau pihak lain. Resistensi yang secara tidak langsung dilakukan melalui perlawanan secara sembunyi-sembunyi.

Resistensi secara sembunyi-sembunyi mampu mencapai hasil yang lebih besar dibandingkan resistensi yang dilakukan secara terang-terangan.

Alisjahbana (2005:130) mengatakan perlawanan yang dilakukan oleh sektor informal berdasarkan perlawanannya dapat ditipologikan menjadi dua :

a) Resistensi (perlawanan) secara terang-terangan.

Ini identik dengan perlawanan secara terbuka dalam artian sektor informal siap untuk berhadap-hadapan secara langsung dengan pemerintah, resistensi ini bersifat konfrontatif. Bentuk-bentuk melawan petugas secara langsung saat akan ditertibkan seperti eker-ekeran, memblokade jalan dan membakar alat peraga, mengintimidasi dengan senjata tajam, resistensi dengan kekerasan, kemudian dengan sengaja berjualan ditempat-tempat terlarang, menolak relokasi, melakukan demonstrasi, yang terakhir mendatangi camat dan meminta izin secara paksa

b) Resistensi (perlawanan) tersembunyi,

Perlawanan yang dilakukan dalam bentuk siasat-siasat untuk menghindari konfrontasi langsung dengan aparat pemerintah kota, resistensi ini bersifat menghindar. Bentuk resistensi dengan tipe seperti ini ditemukan dalam resistensi main kucing-kucingan dengan aparat penertiban, kongkalikong

dengan “orang dalam”, menebus barang dagangan untuk berjualan lagi, mencari tempat yang agak tersembunyi, membatasi jumlah sektor informal oleh sektor informal “senior”, membetuk paguyuban sektor informal dan mengumpulkan iuran untuk ‘keamanan’, mencari dukungan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) dan mahasiswa, dan melawan kekuatan modal.

Scott dalam Alisjahbana (2005:130) menjelaskan resistensi secara terang-terangan tersebut dikategorikan sebagai resistensi yang sungguh-sungguh karena : (1) terorganisasi, sistematis, dan kooperatif, (2) berprinsip atau tanpa pamrih, (3) mempunyai akibat-akibat revolusioner, (4) mengandung gagasan atau tujuan untuk meniadakan dasar dari dominasi itu sendiri. Bentuk resistensi lainnya adalah resistensi sehari-hari, yaitu melahirkan bentuk resistensi yang khas dan digunakan dengan cara yang paling praktis demi mengatasi permasalahan secara seketika, cepat, dan bisa selamat. Resistensi sehari-hari bersifat insidental atau epifenomenal bercirikan : (1) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (2) bersifat untung-untungan dan berpamrih (nafsu akan kemudahan, (3) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner dan (4) dalam maksud dan logikanya mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominasi yang ada. Contoh perlawanan bersifat insidental adalah petani Asia Tenggara yang menyembunyikan padi dan harta miliknya dari pandangan mata sang kolektor pajak, memprotes pengenaan pajak yang tinggi, tetapi ia juga berupaya untuk memastikan bahwa untuk keluarganya ada cukup banyak padi.

Scott (2000:51-52) mengatakan bahwa perlawanan sebagai pemikiran dan simbol. Scott berusaha memahami perlawanan “binatang yang berpikir” dan berjiwa sosial yang namanya petani itu, tidak berhasil mengesampingkan kesadaran mereka yaitu makna yang mereka berikan pada tindak tanduk mereka. Simbol, norma, dan bentuk-bentuk ideologis yang mereka ciptakan merupakan

latar belakang yang tidak dapat dihilangkan dari perilaku mereka. Betapapun parsialnya atau tidak sempurnanya pemahaman mereka tentang situasi itu, namun mereka diilhami oleh itikad, nilai dan tujuan yang mengkondisikan aksi-aksi mereka. Hubungan antara pemikiran dan aksi, untuk mengatakannya dengan halus adalah suatu isu yang kompleks. Dua hal yang jelas dan tegas adalah pertama, baik invensi maupun aksi bukanlah “penggerak yang tidak digerakkan” (unmoved movers). Aksi yang dilahirkan dari intensi berputar kembali, sebagaimana adanya untuk mempengaruhi kesadaran, dan dari sinilah timbul intensi dan aksi selanjutnya. Aksi perlawanan dan pemikiran tentang (atau makna dari) perlawanan adalah selalu berkomunikasi, selalu dalam dialog. Kedua, itikad atau kesadaran intensi tidak dikaitkan dalam bentuk yang seluruhnya sama dengan dunia materi sebagaimana perilaku. Akhirnya bagaimana kita dapat memahami bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari itu tanpa merujuk pada itikad (intensi), gagasan, dan bahasa manusia-manusia yang mempraktekkannya.

Gerakan perlawanan wong cilik atau pedagang berbeda dengan gerakan perlawanan yang dilakukan oleh petani ataupun buruh. Banyak perlawanan yang diakhiri dengan kekerasan berhadapan dengan aparat negara. Perlawanan yang ditimbulkan oleh pedagang memang tidak jarang menimbulkan kekerasan. Semakin represif model penataan yang dilakukan oleh pemerintah, semakin keras pula perlawanan yang diberikan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL). Sebaliknya, semakin keras sikap PKL terhadap pemerintah, semakin keras pula tindakan pemerintah. Dari sudut kebijakan, perlawanan yang dilakukan PKL meliputi tiga kategori:

1) Perlawanan yang dikembangkan utuk menolak lahirnya peraturan daerah, dilakukan dengan cara demonstrasi, memimta izin secara paksa kepada camat dan lurah, membentuk paguyuban PKL, dan mencari dukungan dan mahasiswa.

2) Perlawanan terhadap program relokasi berupa melakukan demonstrasi, membentuk paguyuban dan mencari dukungan LSM dan mahasiswa.

3) Perlawanan terhadap penggusuran, dilakukan dengan adu mulut, memblokade jalan, mengintimidasi aparat dan melakukan

demonstrasi.

Untuk kejadian sektor informal, kasus di Kodya Malang sebagian menunjukkan hal tersebut. Di mana sektor informal bekerja sama dengan mahasiswa, lewat ormas kemahasiswaan seperti: HMI, PMII, PEMKRI dan GMKI, (yang tergabung dalam kelompok Cipayung) memeperjuangkan nasibnya kepada walikota Malang, bahkan LSM pun turut bekerja sama dengan mereka. Destabilistas sosial tersebut bisa terjadi apabila bentuk kerja sama tersebut telah mencapai tahap dimana masing-masing pihak tersebut merasa bahwa artikulasi-artikulasi keinginan dan kepentingan mereka tidak pernah didengar dan diwadahi secara proporsional oleh pengambil kebijakan, Yustika (2000 : 203).

Balridge dalam Alisjahbana (2005:54-57) mengklasifikasikan gerakan perlawanan akan mengalami serangkaian kondisi atau fase-fase tertentu yaitu :

1. Fase Pragerakan (Premovement Stage )

Fase ini muncul karena ada tekanan dan diskriminasi sosial. Kondisi ini bersinergi dengan meningkatnya harapan. Fase pragerakan adalah suatu fase merasakan adanya tekanan struktur atau kondisi sosial yang tidak memuaskan yang dialami oleh individu.

2. Fase Membangun Kesadaran (Awakening Stage)

Pada fase ini sedikitnya ada dua faktor yang mampu membantu membangunkan kesadaran untuk melakukan mobilisasi, yaitu para pemimpin yang kharismatik dan proses resosialisasi. Resosialisasi diperlukan sebab kelompok terhimpit sering menerima begitu saja dan benar-benar percaya bahwa mereka lebih rendah dan tidak berharga. Usaha ini untuk membawa kelompok tertindas menghargai kekuatan sendiri dan dengan begitu, mereka tergugah serta mampu melakukan gerakan resistensi

3. Fase Membangun Gerakan (Movement Building Stage)

Fase ini meliputi pengorganisasian gerakan, perumusan tujuan, dan strategi mobilisasi aksi. Dalam proses pengorganisasian diusahakan terwujud perilaku yang terstruktur, kepemimpinan semakin jelas, tujuan semakin konkret, serta kegiatan terencana secara rutin.

4. Fase Mempengaruhi Kelompok Sasaran (Influence Stage)

Pada fase ini diharapkan terbentuk semacam ideologi atau cita-cita perubahan. Pada fase ini tugas gerakan adalah mengubah “publik lawan” menjadi partisipan dan mendorong partisipan pasif menjadi kekuatan aktif serta melakukan proses perekrutan dan anggota simpatisan tambahan

5. Fase Capaian/ Keluaran (Outcome Stage)

Fase ini dilakukan pengkonsolidasian atau pelestarian hasil capaian. Fase ini akan muncul apabila gerakan yang dilakukan berhasil dan mampu diintegrasikan ke dalam sejumlah struktur sosial masyarakat.

Hobshawn dalam Alsijahbana (2005:139) menjelaskan tujuan resistensi adalah untuk menjalankan sistem demi kerugian minimal bagi dirinya. Resistensi dengan tujuan bisa memukul balik, kemudian bisa menghasilkan negoisasi tentang Pemerintah Kota dan dalam waktu tertentu dapat mempengaruhi kebijakan sistem yang berjalan.

Dokumen terkait