• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepentingan Nasional Indonesia dalam Konvensi ASEAN Tentang

BAB III Kepentingan Nasional Indonesia dalam Konvensi ASEAN tentang

3.4. Kepentingan Nasional Indonesia dalam Konvensi ASEAN Tentang

Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN Convention on Counter Terrorism/ACCT) merupakan sebuah kebijakan politik luar negeri yang dibuat oleh pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan isu terorisme di dalam negeri dan regional (kawasan Asia Tenggara). Isu-isu terorisme yang yang telah terjadi sejak tahun 2001 pasca tragedi 9/11 menjadikan isu terorisme menjadi salah satu isu keamanan global, sehingga hal ini juga membuat terjadinya arus perubahan politik global. Pemahaman konstelasi politik dan kemampuan merespon secara tepat isu-isu yang berkembang di dunia sangat diperlukan oleh negara dalam formulasi dan implementasi kebijakan luar negerinya, tidak terkecuali Indonesia. Karakteristik dan dimensi hubungan antar- negara yang juga menjadi rumit menuntut politik luar negeri Indonesia untuk

memiliki kemampuan adaptif, antisipatif dan efektif yang berpijak kepada

kekuatan ide, pemikiran dan penuh prakarsa.122

Banayak defenisi yang ditawarkan mengenai politik luar negeri, dalam

buku Understanding international Relations, Chris Brown memberikan

pemahaman secara sederhana mengenai politik luar negeri. Menurut Brown, politik luar negeri dapat dipahami sebagai cara untuk mengartikulasikan dan memperjuangkan kepentingan nasional terhadap dunia luar.

Kemampuan untuk melakukan hal-hal tersebut sangat penting, agar politik luar negeri Indonesia bisa terus berfungsi dengan optimal untuk memperjuangkan kepentingan nasional, dalam zaman yang terus mengalami perubahan dan perkembangan dengan pesat, baik di tataran domestik maupun internasional.

123

Landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945, hal ini berarti bahwa, pasal-pasal UUD 1945 yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara memberikan garis-garis besar Berangkat dari defenisi tersebut maka kepentingan nasional Indonesia terdapat dalam landasan negara Indonesia, sehingga Politik luar negeri Indonesia mempunyai landasan- landasan yang tetap sifatnya yang lahir dari cita-cita hidup dan falsafah bangsa Indonesia. UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar dan prinsip-prinsip pokok politik luar negeri Indonesia yang akan relatif tetap tidak berubah.

122

Gamewati Wuryandari dan Ikrar nusa Bhakti, “Kendala Yang dihadapi Politik Luar Negeri Indonesia”, di Ratna Shofi Inayati (Ed.), Peluang dan Kendala Politik Luar Negeri RI, Jakarta, PPW, 1998, hal 99 seperti yang dikutip oleh Ganewati Wuryandari, Dhurorudin Mashad, Tri Nuke Pujiastuti, Athiqah Nur Alami,

Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 4. 123

Chris Brown, Understanding International Relations, 2nd edition, London, Palgrave, 2001, hal 68-66, seperti yang dikutip oleh Ganewati Wuryandari, Dhurorudin Mashad, Tri Nuke Pujiastuti, Athiqah Nur Alami, Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hal 14.

dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dengan demikian, semakin jelas bahwa politik luar negeri Indonesia merupakan salah satu upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia, yang termuat dalam UUD 1945. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia diposisikan sebagai landasan Idiil dalm politik luar negeri Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu factor yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan

bernegara yang ideal mencakup seluruh sendi kehidupan manusia.124

Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang garis- Garis Besar Haluan Negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004, dalam Tap MPR ini menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:

125

1. Menegaskan kembali pelaksanaan politk bebas dan aktif menuju

pencapaian tujuan nasional;

2. Ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama

untuk kepentingan rakyat Indonesia;

3. Memperbaiki performa/penampilan diplomat Indonesia dalam rangka

suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang;

4. Menigkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan

ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerjasama regional dan internasional; 124 Ibid., hal 28. 125 Ibid., hal 35.

5. Mengintesifikasi kesiapan Indonesia memasuku era perdagangan bebas;

6. Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;

7. Mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam

kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.

Ketetapan MPR di atas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dan berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antar negara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerja sama internasional bagi kesejahteraan rakyat.

Politik luar negeri suatu negara yang merupakan perpaduan antar kepentingan nasional, tujuan nasional bangsa, kedudukan atau konfigurasi geopolitik dan sejarah nasionalnya, dipengaruhi oleh faktor domestik (internal) dan faktor internasional (eksternal). Dengan kata lain politik luar negeri merupakan suatu upaya untuk mempertemukan kepentingan nasional, khususnya rencana pembangunan nasional dengan perkembangan dan perubahan lingkungan internasional. Isu terorisme yang terjadi di dalam negeri Indonesia merupakan salah satu faktor domestik yang mana serangan terorisme yang terjadi di kawasan Asia Tenggara tidak luput dari campur tangan kelompok-kelompok terorisme yang ada di Indonesia yaitu JI dan kelompok-kelompok teroris lainnya.

Serangan terorisme yang terjadi di Indonesia tentu mengganggu rencana pembangunan dalam negeri dan juga rencana terwujudnya visi ASEAN 2015

untuk membentuk ASEAN Community. Ancaman terorisme telah mengganggu

stabilitas keamanan kawasan. Indonesia juga telah dicap oleh dunia internasional sebagai sarang teroris sehingga hal ini merusak citra Indonesia, maka sebagai salah satu negara yang mencetuskan terbentuknya ASC, Indonesia mengajukan untuk membuat dan menandatangani ACCT sebagai kerangka kerja sama negara- negara anggota ASEAN untuk memberantas terorisme di Asia Tenggara.

ACCT ditandatangani di Cebu, Filipina pada tanggal 13 Januari 2007. Saat ini semua negara yang tergabung dalam ASEAN telah meratifikasi ACCT, Indonesia telah meratifikasi ACCT sebagai Undang-undang No. 5 Tahun 2012. Kebijakan politik luar negeri pemerintah Indonesia untuk meratifikasi ACCT tentu memperhatikan kepentingan nasional yang didapat dalam konvensi tersebut. Adapun kepentingan nasional Indonesia yang diperoleh dalam konvensi tersebut adalah sebagai berikut.

3.4.1. Menjaga Keamanan Nasional dan Integritas Teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, tujuan terbentuknya Pemerintah Negara Republik Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dilihat dari tujuan tersebut maka Indonesia sebagai sebuah negara untuk menghadapi ancaman terorisme yang telah berkembang di dalam negeri dan kawasan Asia Tenggara tentu saja mengambil sikap dan membuat sebuah kebijakan di dalam dan luar negeri yang dapat untuk

menjaga agar tujuan dan cita-cita yang telah ditetapkan para founding fathers

Indonesia.

Kejahatan terorisme yang bersifat lintas batas negara telah memakan banyak korban jiwa, dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, hilangnya kemerdekaan akibat rasa takut dari teror yang dilakukan oleh jaringan terorisme yang melakukan pengeboman di tempat-tempat umum, akibatnya yang menjadi korban adalah warga negara Indonesia dan juga warga negara asing yang tinggal ataupun berkunjung ke Indonesia menjadi korban serangan kejahatan terorisme. Tidak hanya itu dampak kejahatan terorisme juga berimbas ke pertumbuhan ekonomi Indonesia terganggu.

Aksi bom bunuh diri yang dilakukan di Bali pada tahun 2002 dan tahun 2005 menjadikan Indonesia sebagai negara yang berbahaya untuk dikunjungi. Warga negara Australia yang paling banyak menjadi korban dalam peristiwa Bom Bali I pada tahun 2002. Pemerintah Australia dan negara-negara barat juga menggangap respon pemerintah Indonesia dalam memberantas terorisme sangat lamban akibatnya pemerintah Australia menjadikan Indonesia sebagai daerah travel warning bagi warga Australia. Akibat travel warning tersebut sumber devisa bagi Indonesia dalam sektor pariwisata berkurang.

ACCT yang telah diratifikasi oleh negara-negara anggota ASEAN merupakan langkah yang maju untuk memberantas terorisme di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang dijadikan oleh kelompok-kelompok teroris yang ada di Asia Tenggara (JI) sebagai daerah tempat operasi terorisme dilakukan. Untuk menangkal aksi terorisme tersebut maka melalui ACCT ini, Indonesia melakukan kerja sama pengawasan perbatasan yang efektif dan pengawasan penerbitan surat- surat identitas dan dokumen-dokumen perjalanan dan melalui langkah-langkah untuk mencegah pemalsuan, penjiplakan, atau penyalahgunaan surat-surat identitas dan dokumen-dokumen perjalanan.

Pengawasan perbatasan memang sangat penting bagi Indonesia, pentingnya pengawasan ini karena di Asia Tenggara Indonesia merupakan negara yang memiliki teritorial yang paling luas dan bentuk teritorial Indonesia merupakan kepulauan, sehingga pulau-pulau terluar Indonesia sangat memiliki potensi sebagai tempat persembunyian dan dijadikan sebagai kamp pelatihan kelompok-kelompok teroris dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara.

Salah satu hal yang paling diawasi untuk mencegah masuknya terorisme regional maupun internasional ke wilayah NKRI adalah melalui pengawasan maritim. Dalam pengawasan maritim ada satu wilayah yang memiliki kerentanan khusus karena sering digunakan sebagai jalur keluar-masuk teroris dari Indonesia ke Filipina, Malaysia, dan juga jalur penyelundupan senjata. Wilayah ini disebut

sebagai Tri-Border Area (TBA) atau segitiga transit teroris yang berada di sekitar

Laut Sulawesi dan Selat Makassar.126

Selain kerja sama lintas batas dalam mengawasi perbatasan yang diatur dalam ACCT, kerja sama ini memberikan bantuan bagi Indonesia dalam mengawasi dan mendeteksi dini kelompok teroris yang mau masuk ke Indonesia,

Wilayah di Laut Sulawesi ini tercatat sebagai wilayah transit teroris yang terdiri dari berbagai rute. Rute terpanas saat ini adalah yang menghubungakan Manado di Indonesia dan General Santos City di Filipina. Rute ini disoroti setelah pecahnya konflik Poso di Sulawesi Tengah pada tahun 2007. Senjata yang dimiliki oleh kelompok fundamentalis Islam didatangkan dari Filipina. Melihat dari kurangnya pengawasan perairan laur Indonesia tentu saja memudahkan kelompok-kelompok teroris yang aktif di Indonesia untuk mendapatkan senjata ataupun untuk masuknya para anggota-anggota teroris lainnya yang berasal dari luar negeri masuk ke dalam wilayah NKRI.

Adanya ACCT ini sebagai kerangka kerja sama dalam mengawasi daerah perbatasan sehingga membantu Indonesia untuk mencegah masuknya terorisme, ataupun penyelundupan senjata yang digunakan untuk melakukan serangan terorisme di Indonesia. Adanya pengawasan dalam penertiban dokumen-dokumen perjalanan juga akan membantu Indonesia dalam mendeteksi dini anggota- anggota kelompok teroris yang bukan WNI masuk ke wilayah Indonesia untuk melakukan operasi serangan teror di NKRI.

126

Charles Comer, The Parting of The Sulawesi Sea: How U.S. Strategy in the Region is Slowly Transforming the Multinational Environment in Southeast Asia’s terrorist transit Triangle, 10 November 2012,

kerja sama tersebut juga membantu Indonesia untuk lebih serius dalam mengawasi perbatasan maritimnya. Dengan adanya pengawasan daerah perbatasan Indonesia termasuk juga pengawasan terhadap pulau-pulau terluar Indonesia maka pemerintah Indonesia dapat menjaga keutuhan integritas teritorial NKRI sehingga sengketa wilayah khususnya pulau-pulau terluar Indonesia dengan negara-negara tetangga dapat dihindari, dengan pengawasan yang rutin dan ketat melalui kerangka kerja sama pengawasan perbatasan dalam ACCT ini.

Kerja sama pertukaran data intelijen yang disepakati dalam ACCT ini juga memberikan manfaat yang baik bagi Indonesia dan juga bagi negara-negara anggota ASEAN lainnya. Sehingga dengan pertukaran data intelijen dan peringatan dini dari negara-negara tetangga tentang adanya pergerakan teroris dalam negara, sehingga aparat keamanan dapat mengambil langkah-langkah sebagai upaya preventif untuk mengatasi rencana serangan yang ingin dilakukan oleh kelompok teroris.

3.4.2. Menunjukkan Indonesia Sebagai Negara Anti Terorime dalam Dunia Internasional

Kepentingan Indonesia yang diperoleh dari ACCT ini juga adalah untuk mendapatkan kepercayaan dunia internasional bahwa Indonesia bukan merupakan negara sarang teroris. Menurut Beny Roelyawan (Deputi III BIN) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI bahwa melalui ACCT ini Indonesia

akan mendapat beberapa keuntungan, adapun beberapa keuntungan yang

dikatakan oleh Deputi III BIN adalah sebagai berikut:127

1. Indonesia akan memberikan keuntungan, antara lain homoginasasi

Undang-Undang Terorisme di tingkat ASEAN akan member peluang bagi Indonesia untuk dapat menekan secara politik terhadap anggota ASEAN lainnya dalam penanggulangan terorisme.

2. Dapat menepis anggapan bahwa Indonesia sebagai negara yang

melindungi atau sebagai sarang terorisme.

3. Membangun platform dan meningkatkan kerja sama counter terrorism

melalui operasi-operasi terpadu di kawasan ASEAN di luar kerja sama intelijen yang sudah terbangun selama ini.

4. Membuka kesempatan bertukar pengalaman dan keahlian dalam

penanggulangan terorisme.

Jadi melalui ACCT Indonesia merupakan sebagai penggagas utama untuk membuat konvensi kerja sama antar negara ASEAN dalam memberantas terorisme, adalah untuk menepis anggapan dunia internasional tentang Indonesia sebagai sarang teroris. Karena sebelum peristiwa Bom Bali I terjadi pada tahun 2002, Indonesia dianggap lamban oleh AS dan sekutunya dalam membentuk UU anti terorisme, sehingga AS sebagai pelopor dalam kampanye perang global terhadap terorisme menekan Indonesia dan mengganggap Indonesia sebagai pelindung teroris (sarang teroris).

127

Paparan Deputi III BIN (Beny Roelyawan) dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI pada 5 Maret 2012 dalam acara mendapatkan masukan terhadap RUU tentang pengesahan ASEAN Convention on Counter Terrorism (Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme) , paparan tersebut dikutip dari Risalah Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI oleh Sekretaris Rapat Suprihartini, S.IP. hal 7.

Ungkapan Indonesia sebagai sarang teroris mengemuka di dunia internasional adalah akibat dari bantahan yang disampaikan oleh pemerintah Indonesia terhadap laporan intelijen yang diberikan oleh Pemerintah Singapura dan Malaysia yang menyatakan bahwa ulama Indonesia (Abu Bakar Ba’asyir) dan para pengikut mereka adalah tokoh utama dalam perencanaa serangan-serangan

terhadap instalasi-instalasi Amerika dan target lainnya di kawasan tersebut.128

Tidak hanya akibat pengabaian informasi intelijen yang telah diberikan oleh pemerintah Malaysia dan Singapura, akan tetapi Indonesia juga dicap sebagai sarang teroris oleh negara-negara tetangga, dan negara-negara barat akibat dari tindakan pemerintah Indonesia sampai setahun pasca tragedi 11 September 2001 pemerintah Indonesia dinilai tidak pernah memberikan sinyal yang jelas dan tegas terhadap kampanye anti terorisme yang dipelopori oleh AS. Bahkan Wakil Presiden RI Hamzah Haz saat itu dianggap “pasang badan” dengan terus Dilaporkan bahwa walaupun pemerintah Malaysia dan Singapura telah menyebutkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir (Ketua Majelis Mujahidin Indonesia) dan Riduan Ismuddin alias Hambali sebagai “tokoh penggerak” dari jaringan teroris transnasional, Ba’asyir terus bergerak dengan bebas di Indonesia sementara Hambali dipercaya tinggal di negara tersebut. Indonesia sering dianggap menagabaikan informasi intelijen yang telah diberikan oleh pemerintah Malaysia atau Singapura tentang aktivitas kelompok yang dicurigai.

128

Barry Desker, Islam and Society in Southeast Asia after Sptember 2001”, Singapura: IDSS Working Paper No. 33, 2002, hal. 11, seperti dikutip oleh Landry Haryo Subianto, “Perang Melawan terorisme: Tantangan bagi Hubungan Bilateral Indonesia Australia,” Indonesia-Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral, ed. Chusnul Mar’iyah, PhD, Jakarta: Granit, 2004, hal 45.

melakukan “counter opini” Hamzah Haz dalam berbagai kesempatan bahkan menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada teroris. Hamzah Haz bahkan semakin

dekat dengan tokoh-tokoh Islam yang dicurigai AS sebagai “fundamentalis”.129

Hal ini menunjukkan Indonesia memiliki komitmen dalam memberantas terorisme dan bukan merupakan negara tempat persembunyian terorisme. Sehingga sejak peristiwa Bom Bali I terjadi pada tahun 2002 Indonesia telah mengubah cap yang disematkan oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan

Terjadinya peristiwa Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 membuat pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas dalam memberantas terorisme yang terjadi di Bali. Sehingga pemerintah Indonesia pun langsung membentuk Perpu No. 1 Tahun 2002 yang berlaku pada 18 Oktober 2002. Perppu ini juga mengadopsi UU anti teror yang dikampanyekan oleh AS untuk diadopsi negara- negara lain yang berkomitmen dalam melakukan pemberantasan terorisme secara global. Pemerintah Indonesia pada akhirnya juga harus memperbaharui kebijakan keamanannya, salah satunya adalah dengan membentuk Detasemen Khusus untuk memberantas teroris di Indonesia. Dengan membentuk UU anti teror yaitu melalui

UU No. 15 Tahun 2003, UU No. 6 Tahun 2006 ratifikasi International

Convention For The Supression of The Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme), UU. No 5 Tahun 2012 ratifikasi ACCT serta diikuti dengan dibentuknya UU No. No. 9 Tahun 2013 terkait tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme.

129

Singapura serta negara-negara barat seperti AS dan sekutunya termasuk di dalamnya Australia, yang merupakan negara yang warga negaranya merupakan korban terbanyak dalam kejahatan terorisme di Bali (2002), kini Indonesia berubah menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki kemampuan anti teror terbaik dalam memberantas terorisme di Indonesia.

Melalui ACCT ini Indonesia sebagai leads apart yang menginginkan

adanya kerja sama kawasan dalam memberantas terorisme serta mempelopori dan menggagas dibentuknya ACCT sebagai kerangka kerja sama dalam memberantas terorisme di tingkat regional menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang anti terhadap kejahatan terorisme di Asia Tenggara. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan negara-negara tetangga yaitu negara-negara anggota ASEAN terutama Malaysia dan Singapura yang telah menyatakan Indonesia melindungi teroris dan merupakan tempat persembunyian bagi teroris di Asia Tenggara.

Sejak pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya dalam memberantas terorisme, hal ini menambah kepercayaan luar negeri untuk memperbaiki kerja sama dengan negara-negara ASEAN dan juga Australia yang

pernah menjadikan Indonesia sebagai daerah travel warning bagi warga negara

Australia yang ingin melakukan liburan. Terjalinnya kembali hubungan baik dengan negara-negara tetangga dapat membantu perbaikan ekonomi Indonesia. Dalam forum ASEAN, Indonesia juga mendapatkan kepercayaan dalam memimpin berbagai forum yang membahas isu-isu masalah kejahatan

transnasional dan terorisme. melalui kepercayaan ini maka Indonesia kembali dapat mengangkat derajat kepemimpinannya dalam organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yaitu dalam ASEAN, serta untuk mewujudkan visi ASEAN Security Community yang merupakan gagasan masyarakat keamanan ASEAN yang disampaikan pemerintah Indonesia bahwa dengan kestabilan keamanan di kawasan Asia Tenggara akan menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi dan politik masing-masing negara anggota ASEAN.

Tabel 3.3

Negara-Negara Yang Mengalami Pertambahan Dan Pengurangan Serangan Terorisme Dari 2002-2011

Sumber: Global Terrorism Index 2012, Capturing the Impact of Terrorism for the

Last Decade, hal. 21.

Grafik 3.1

Grafik Peningkatan Dan Penurunan Serangan Terorisme Dalam Data GTI

Sumber: Global Terrorism Index 2012, Capturing the Impact of Terrorismfor the

Dalam tabel 3.3 dan Grafik 3.1 yang dilaporkan oleh Global Terorism Index merupakan gambaran keberhasilan dalam statistic Indonesia sebagai negara kelima yang berhasil dalam mengurangi dampak terorisme di dalam negeri. Adapun empat negara lain yang berada di atas Indonesia adalah AS (1), Algeria (2), Columbia (3), dan Israel (4). Keberhasilan Indonesia dalam mengurangi dan memberantas terorisme tidak lain akibat bantuan yang diberikan AS dan Australia yang telah memberikan bantuan dana dan pelatihan anti teror bagi Detasemen Khusus 88 Polri. Keberhasilan Densus 88 sebagai garda terdepan dalam memberantas terorisme tentu saja membuat Indonesia semakin dihargai dan dihormati dalam forum regional dan Indonesia dianggap memiliki kemampuan dalam memimpin ASEAN untuk membahas isu-isu terorisme di kawasan Asia Tenggara.

Sehingga dalam ACCT melalui kerja sama dalam pengembangan kapasitas yaitu pelatihan dan kerja sama teknis serta penyelenggaraan pertemuan-pertemuan regional, membuat Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan diri dalam memimpin forum-forum internasional dan menjadi modalitas untuk memperbaiki citra diri dan meningkatkan peran Indonesia dalam dunia internasional. Sebelumnya Indonesia yang telah menghadapi krisis moneter 1998 dan pasca lengsernya Presiden Soeharto 1998. Pasca reformasi Indonesia tahun 1998 tiga masa kepemimpinan yang menggantikan rezim Soeharto, dimulai dari masa kepemimpinan Habibie, Gusdur, dan Megawati. Pada ketiga masa kepemimpinan tersebut Indonesia sangat lemah dalam pergaulan internasional, lemahnya

Indonesia dalam forum internasional membuat Indonesia melepaskan Timor Timur, Pulau Sipadan dan Ligitan. Akan tetapi melalui keberhasilan pemerintah Indonesia yang mampu memberantas terorisme menjadikan Indonesia memiliki citra positif dalam forum internasional, khususnya dalam forum-forum ASEAN.

Salah satu bukti nyata Indonesia telah mampu memimpin dalam forum ASEAN adalah pada September 2013, lebih dari 300 personel kontra terorisme dari 18 negara berkumpul pada 9-13 September 2013 di Indonesia untuk berbagi Informasi, dalam mebicarakan upaya kerja sama masa depan, dan membangun

keselarasan.130

130

STAF FORUM, “Melawan Terorisme: Menteri Pertahanan Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara memimpin Perlawanan Terhadap Ancaman Antarbangsa di kawasan ini”, Asia Pacific Defense Forum Vol. 39, Terbitan ke-2, 2014, hal. 57.

Indonesia sebagai tuan rumah dalam menyelenggarakan latihan

bersama ASEAN dalam pemberantasan terorisme, dalam pertemuan ASEAN

Defense Minister Meeting Plus (ADMM+) yang diadakan di Sentul-Bogor adalah untuk berbagi informasi dan pendekata-pendekatan kerja sama untuk mengamankan jaringan ekspor dan impor gas alam cair, dan untuk menangkal

ancaman sistem pertahanan udara mudah alih atau man-portable air defense

systems (MANPADS) pada penerbangan udara komersial dan melawan perangkat peledak rakitan. Dalam pertemuan itu juga Kepala BNPT memberikan gambaran

Dokumen terkait