• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III Kepentingan Nasional Indonesia dalam Konvensi ASEAN tentang

3.3. Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme ( ASEAN Convention On

3.3.2. Konvensi ASEAN tentang Pemberantasan Terorisme ( ASEAN

Convention on Counter Terrorism) sebagai wujud kerjasama

Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community)

Ancaman terorisme merupakan ancaman yang berasal

dari non-state actor, dan ancaman ini berasal dari dalam negeri masing-masing

negara anggota ASEAN yaitu kelompok-kelompok terorisme yang berkembang dari gerakan-gerakan radikal dan separatisme yang muncul di masing-masing negara. Ancaman terorisme yang bersifat lintas negara mengharuskan adanya tindakan bersama negara-negara anggota ASEAN sebagai komunitas keamanan.

Dan hal ini telah dilakukan dengan adanya “mutual aid” security yaitu kerjasama

keamanan melalui Konvensi Asean Tentang Pemberantasan Terorisme (ASEAN

Convention on Counter Terrorism).

Isu terorisme yang telah berkembang sejak tahun 2001, yaitu setelah tragedi 9/11 dan kampanye AS tentang “Perang Global Melawan Terorisme” menjadi sangat penting. Kecurigaan AS sebagai pemimpin terdepan dalam melawan terorisme terhadap kawasan Asia Tenggara sebagai sarang teroris ditunjukkan dengan menjadikan Asia Tenggara sebagai daerah “front kedua”, yaitu daerah perang AS terhadap terorisme setelah Afghanistan. Asia Tenggara

menjadi target kampanye terorisme karena dua hal. Pertama, mayoritas penduduk

di kawasan ini beragama Islam, yakni agama yang sama dengan yang dipeluk

115

Osama Bin Laden yang dituduh Amerika berada di balik serangan di New York

dan Washington D.C. Kedua, di kawasan ini memang terdapat beberapa

kelompok minoritas Islam yang cenderung keras dalam menyampaikan aspirasi

mereka yang tersebar di Indonesia, Malaysia, dan Filipina.116

116

Bambang Cipto, Op. Cit., hal 237.

Kecurigaan AS tentang keberadaan terorisme di kawasan Asia Tenggara memang terbukti, karena aktivitas kelompok-kelompok Islam radikal yang berada di kawasan Asia Tenggara memang beberapa kelompok memiliki tujuan yang sama yaitu menentang dominasi barat, tetapi sebagian kelompok lainnya seperti MILF dan MNLF yang berada di Filipina, serta kelompok separatisme Pattani di Thailand Selatan lebih cenderung memiliki tujuan untuk memisahkan diri dari negara yang bersangkutan akibat kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memenuhi kepentingan kelompoknya. Lain halnya dengan JI yang merupakan jaringan teroris regional memiliki tujuan untuk mendirikan khalifah Islam di Asia Tenggara. keterkaitan JI dengan kelompok islam radikal lainnya adalah JI memberikan pelatihan dan dana untuk melakukan berbagai aksi teror, bantuan yang diberikan JI terhadap kelompok-kelompok teroris di beberapa negara tersebut adalah berkat bantuan jaringan teroris Al-Qaeda yang bermitra dengan JI. Hal ini terbukti dari hasil penangkapan yang dilakukan unit anti-teror oleh negara- negara yang mengalami serangan terorisme, mendapatkan laporan ada keterkaitan JI dan Al-Qaeda dalam serangan tersebut.

Sebelum terungkapnya keterkaitan kelompok-kelompok teroris yang berada di kawasan Asia Tenggara berkaitan dengan jaringan teroris internasional Al-Qaeda, tuduhan AS tidak mudah diterima baik oleh pemerintah-pemerintah di Asia Tenggara maupun oleh para pengamat yang sudah cukup lama memahami Asia Tenggara. Alan Collins, misalnya menanggapi tuduhan pemerintahan Bush sebagai pernyataan yang salah. Menurut Collins, penduduk Islam di Asia Tenggara adalah kaum muslimin yang moderat dan toleran. Di Indonesia bahkan ada dua organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah dan Nahdhlatul Ulama, yang menentang tindakan-tindakan ekstrim yang disertai kekerasan dalam mensyiarkan

agama Islam.117

117

Ibid., hal 237.

Walaupun pernyataan yang menyatakan bahwa tidak mungkin kawasan Asia Tenggara sebagai sarang teroris, pernyataan tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan. Terungkapnya rencana untuk menabrak bandara Changi Internasional di Singapura, Peristiwa Bom Bali I pada tahun 2002, Bom Bali II (tahun 2005), Bom JW Marriot, dan Bom Kuningan di Jakarta dan aksi-aksi terorisme lainnya di kawasan Asia Tenggara tidak dapat disangkal lagi oleh pemimpin-pemimpin di kawasan Asia Tenggara di kawasan Asia Tenggara telah terjadi peningkatan aksi teror, kelompok-kelompok ekstrimis yang ada di kawasan ini juga telah disusupi oleh jaringan terorisme internasional Al-Qaeda dan telah

Tabel 3.1

Daftar Peringkat Negara yang Terkena Dampak Serangan Terorisme

Sumber: Global Terrorism Index 2012, Capturing the Impact of Terrorism for the

Pada Tabel 3.1 merupakan daftar tabel yang berisikan urutan negara yang mengalami serangan teroris yang tertinggi, yang dirilis oleh Global Terrorist Index. Serangan teroris yang dimaksud dalam laporan Global Terrorist Index disini adalah serangan atau paksaan dengan kekerasan oleh non-state actor untuk mencapai tujuan politik, ekonomi, agama,atau kepentingan tujuan sosial dengan

cara menebar ketakutan, paksaan dan intimidasi.118

Sumber: Global Terrorism Index 2012, Capturing the Impact of Terrorismfor the

Last Decade, hal 12.

Melalui data yang dirilis oleh GTI tersebut, negara-negara di kawasan Asia Tenggara berada pada urutan sebagai berikut, Thailand (8), Filipina (10), Indonesia (29), Myanmar (33) dari 89 peringkat teratas negara yang terkena serangan teroris. Serangan terorisme sejak tahun 2011 meningkat di kawasan Asia Tenggara.

Tabel 3.2

10 negara yang paling banyak mengalami kejahatan terorisme 2011

Tabel 3.2 menunjukkan juga bahwa dari 10 negara yang paling terkena serangan teroris. Dua negara yang berada di kawasan Asia Tenggara masuk dalam 10 peringkat tersebut, yaitu Thailand (8) dan Filipina (10). Dari data tersebut yang

118

telah dirilis oleh GTI, maka negara-negara anggota ASEAN harus sigap dalam menangani dan memberantas aksi terorisme yang telah terjadi di kawasan Asia Tenggara. Untuk mengatasi isu terorisme tentu dibutuhkan kerja sama keamanan di antara negara-negara anggota ASEAN. Hal ini memang telah ditunjukkan oleh ASEAN melalui berbagai forum untuk membicarakan dan mencari solusi dalam menangani isu terorisme dan isu kejahatan transnasional lainnya.

Respon ASEAN terhadap isu terorisme yang mengancam keamanan nasional masing-masing negara dan juga keamanan regional telah dilakukan

dengan mengambil langkah dalam penandatanganan ASEAN Declaration on Joint

Action to Counter Terorrism pada 5 November 2001. Setelah deklarasi ini, keinginan negara-negara anggota ASEAN untuk melakukan kerja sama dalam memberantas terorisme juga telah semakin ditingkatkan dapat dilihat dalam berbagai forum yang diadakan ASEAN. Isu terorisme merupakan isu yang tidak pernah dilewatkan untuk dibicarakan oleh pemimpin-pemimpin di kawasan Asia Tenggara. Pencapaian utama ASEAN dalam kampanye perang melawan

terorisme adalah dideklarasikannya ASEAN Convention on Counter Terrorism

tahun 2007. ACCT ini adalah konvensi yang mengikat negara-negara anggota ASEAN dalam komitmennya untuk melakukan perang melawan terorisme.

Kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan isu terorisme sehingga tercipta kestabilan keamanan kawasan di Asia Tenggara. Keamanan yang terjaga merupakan kepentingan nasional masing-masing negara, keamanan merupakan hal yang mendasar untuk

menjalankan pemerintahan dan membangun pertumbuhan ekonomi, politik dan sosial budaya setiap negara.

Istilah kerja sama (collaboration),dapat menimbulkan satu citra akan suatu

organisasi internasional yang bekerja keras menyelesaikan masalah-masalah yang mengganggu kepentingan nasional masing-masing negara. Pada dasarnya tujuan utama suatu negara melakukan hubungan internasional adalah untuk memenuhi kepentingan nasionalnya yang tidak dimiliki di dalam negeri. Untuk itu, negara tersebut perlu memperjuangkan kepentingan nasional di luar negeri. Dalam kaitan itu, diperlukan suatu kerjasama untuk mempertemukan kepentingan nasional antarnegara. Apabila kepentingan-kepentingan nasional tadi mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dan tidak dipertemukan, maka hal itu dapat menimbulkan konflik. Oleh karena itu, sering dianggap bahwa kerjasama dan

konflik menempati posisi yang cukup penting dalam politik internasional.119

Dalam melakukan kerja sama internasional, sekurang-kurangnya harus

memiliki dua syarat utama. Pertama, adanya keharusan untuk menghargai

kepentingan nasional masing-masing anggota yang terlibat. Tanpa adanya penghargaan, tidak mungkin dapat dicapai suatu kerja sama seperti yang diharapkan semula, bahkan sebaliknya akan menimbulkan konflik yang tidak

diharapkan. Kedua, adanya keputusan bersama dalam mengatasi setiap persoalan

yang timbul. Untuk mencapai keputusan bersama (komitmen) diperlukan komunikasi dan konsultasi secara berkesinambungan. Bahkan, komunikasi dan

119

Sjamsumar Dam dan Riswandi, Kerjasama ASEAN: Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, hal 15.

konsultasi malahan lebih penting daripada komitmen yang biasanya dilakukan sewaktu-waktu saja bila sangat diperlukan. Dengan kata lain, frekuensi

komunikasi dan konsultasi lebih tinggi daripada komitmen.120

ACCT sebagai kerangka kerja sama dalam memberantas terorisme berisikan hal-hal yang disetujui oleh negara-negara anggota ASEAN. Adapun kerja sama yang dimuat dalam konvensi ini diharapkan selaras dengan hukum nasional masing-masing negara. Bidang kerjasama yang dimaksud termuat dalam ASEAN Convention On Counter Terrorism pasal IV ayat 1, adapun beberapa kerangka kerja sama tersebut adalah sebagai berikut:

Kesadaran bahwa akar terorisme global adalah kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan global, maka upaya menangkal terorisme global harus menciptakan sebuah tatanan global yang bersendikan keadilan baik di bidang politik, ekonomi, begitu juga di bidang kehidupan sosial lainnya. Dalam menyelesaikan isu terorisme tidak akan selesai dengan cara represif (kekerasan), akan tetapi untuk menyelesaikan masalah terorisme harus dilakukan penyelesaian sampai menyentuh akar masalah penyebab terjadinya aksi terorisme ini. Negara- negara anggota ASEAN menyetujui adanya kerjasama dalam menangani terorisme secara bersama-sama melalui ACCT sebagai kerangka kerja sama untuk menangani isu terorisme yang terjadi di Asia Tenggara.

121

120

Ibid., hal 16.

121

1. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya tindakan teroris, termasuk pemberian peringatan dini kepada pihak-pihak lain melalui pertukaran informasi;

2. Mencegah siapaun yang mendanai, merencanakan, memfasilitasi, atau

melakukan tindakan teroris dari penggunaan wilayah masing-masing untuk tujuan-tujuan melawan pihak-pihak lain;

3. Mencegah dan menindak pendanaan tindakan teroris;

4. Mencegah pergerakan para teroris atau kelompok-kelompok teroris

dengan pengawasan perbatasan yang efektif dan pengawasan penerbitan surat-surat identitas dan dokumen-dokumen perjalanan dan melalui langkah-langkah untuk mencegah pemalsuan, penjiplakan, atau penyalahgunaan surat-surat identitas dan dokumen-dokumen perjalanan;

5. Memajukan pengembangan kapasitas termasuk pelatihan dan kerjasama

teknis dan penyelenggaraan pertemuan-pertemuan regional;

6. Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk

memberantas terorisme, serta mengembangkan dialog antar kepercayaan dan dalam satu kepercayaan serta dialog antar peradaban;

7. Meningkatkan kerja sama lintas batas;

8. Meningkatkan pertukaran data intelijen dan tukar menukar informasi;

9. Meningkatkan kerja sama yang telah ada untuk pengembangan bank data

10.Memperkuat kapabilitas dan kesiapsiagaan untuk menangani terorisme dengan bahan kimia, biologi, radiologi, nuklir, terorisme dunia maya dan setiap bentuk terorisme baru;

11.Melakukan penelitian dan pengembangan langkah-langkah untuk

memberantas terorisme;

12.Mendorong penggunaan fasilitas videon-konferensi atau telekonferensi

untuk proses peradilan, apabila dimungkinkan;

13.Memastikan bahwa siapapun yang terlibat dalam pendanaan, perencanaan,

persiapan atau yang melakukan tindakan teroris atau membantu tindakan teroris akan diajukan ke persidangan.

Dalam konvensi ini juga masing-masing negara anggota ASEAN menghormati yurisdiksi masing-masing negara ketika terjadi proses peradilan terhadap tersangka pelaku teror yang berasal dari negara-negara tetangga yang termasuk dalam ASEAN yang telah melakukan kejahatan terorisme di salah satu negara, dan mengijinkan adanya ekstradisi yang dilakukan oleh negara yang warganya telah melakukan kejahatan terorisme di negara lain. Dalam konvensi ini juga masing-masing negara anggota ASEAN memberikan perlakuan adil bagi tersangka pelaku terorisme dan pemenuhan semua hak dan jaminan, termasuk dalam hal ini adalah bantuan hukum yang diterima oleh tersangka pelaku terorisme tersebut.

Pasal XI dalam ACCT juga memuat sebuah program rehabilitasi ataupun deradikalisasi dengan tujuan mencegah terjadinya tindakan kejahatan terorisme.

Adapun program rehabilitasi ini adalah dengan membina kembali para teroris yang telah ditangkap dan diadili untuk kembali ke masyarakat. Upaya dalam menangkal terorisme maka dibutuhkan peranan tokoh agama (Islam), karena para tokoh agama dapat memberikan pencerahan pemikiran dan pengubahan pola pikir keagamaan umat islam yang radikal yang telah melakukan berbagai aksi terorisme sehingga kembali menjadi umat islam yang toleran. Sehingga dengan adanya program rehabilitasi ini dapat menjadi duta untuk menolak ajakan dalam melakukan aksi terorisme sebagai jihad kepada pemuda-pemuda terutama pemuda yang berada di pesantren dan mendalami ilmu agama.

3.4. Kepentingan Nasional Indonesia dalam Konvensi ASEAN Tentang

Dokumen terkait