BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.5. Kepercayaan Informan pada Pekerja Media melalui Tayangan Langit Tanpa
Penelitian ini berawal dari asumsi atau hipotesa peneliti tentang adanya fenomena krisis kepercayaan publik pada media. Media saat ini cenderung menghasilkan tayangan-tayangan yang tidak berkualitas. Peneliti menilai buruknya kuaitas tayangan inilah yang berperan dalam turunnya kepercayaan publik pada media. Di sisi lain ada sebuah program tayangan yaitu Langit Tanpa Batas milik NET TV yang berisi tentang program perekrutan
karyawan baru di media mereka. Dibalik tayangan-tayangan yang tidak berkualitas tadi pastinya ada tim atau kru yang memproduksi dari awal hingga akhirnya tayang di layar kaca. Jadi asumsi awal peneliti adalah, apakah ketika sebuah tayangan dinilai buruk oleh publik akan turut mempengaruhi penilaian publik terhadap kru di belakang tayangann tersebut yang pada akhirnya membuat image media dan pekerja di dalamnya menjadi buruk. Dengan adanya tayangan Langit Tanpa Batas peneliti ingin mengetahui bagaimana kepercayaan publik pada pekerja media dan bagaimana kepercayaan pada pekerja dan institusi media itu saling mempengaruhi satu sama lain.
Saat melakukan wawancara peneliti mendiskusikan beberapa hal tentang problematika apa yang informan lihat pada media saat ini. Dari situ muncullah jawaban-jawaban yang mengindikasikan bahwa mereka melihat banyak konten tayangan televisi saat ini yang dinilai tidak baik. Konten tidak baik menurut mereka termasuk sinetron-sinetron remaja yang mengajarkan percintaan namun tidak sesuai dengan usia mereka, sinetron yang mengandung unsur bullying, konten berita politik yang memihak, acara musik namun kontennya tidak ada hubungannya dengan musik, dan sejenisnya. Dari poin itu peneliti menanyakan “Apakah dengan konten yang dinilai buruk tersebut juga turut memperburuk pandangan informan terhadap pekerja media yang membuat konten tersebut?”. Hasilnya 7 dari 10 informan menjawab bahwa pekerja media atau kru tidak bisa dianggap jadi pihak yang bersalah karena dibalik itu ada peran serta atasan atau si pemilik media yang memiliki kuasa.
Hal tesebut mematahkan asumsi awal peneliti terkait konten buruk yang akan mempengaruhi pandangan penonton terhadap pekerja media yang membuatnya. Para informan menganggap konten yang mereka buat adalah hasil dari apa yang atasan (pemilik media) mereka instruksikan. Seperti yang digambarkan oleh Pandhu ‘Ibarat kata itu programnya motor pasti ada yang nyetirin’, sebuah program dibuat pastilah ada si pengambil keputusan, dalam hal ini adalah atasan mereka. Dengan pengalamannya bekerja di media Sari mengungkapkan bahwa sebagus atau sefakta apapun data yang ia kumpulkan di lapangan apa yang akan sampai ke khalayak semua akan bergantung pada
editor maupun redaktur yang mengolah berita tersebut :
Ya pekerja kalau dari sisi gue sih ya, mungkin kalau secara umumnya
tuh pasti kita mikir lo mempekerjakan orang yang ngga berkualitas, tapi kalau menurut gue balik lagi kan lo punya jobdesc dari atasan lo, itu mereka ngikutin sesuai itu, ngga mungkin dong gue, misalkan gue
sebagai wartawan gue mau buat apa yang gue mau, kan ngga mungkin.
Gue mau buat yang senetral, sefakta yang gue dapet kan ga mungkin,
tetep ada unsur yang, yang buat media gue juga ngga punya untung,
gitu loh. Masa gue kerja tapi media gue ngga untung, gue ngga bakalan bisa, bisa ngikutin jenjang karir dong kalau gitu, tetep kalau menurut gue sih balik lagi ke jobdescnya gitu dari apalahnya.. yang disuruh lah istilahnya gitu sih. (Sari, wawancara, 6 Oktoer 2017) Untuk pekerja media yang menghasilkan konten politik tidak berimbing secara lebih jauh Sufie menilai adanya motif atau alasan tertentu mengapa kru tetap melakukan atau membuat konten tersebut. Sufie menilai :
Ya karena kan yang ngerjain juga, mereka pasti dapet perintah dari atasan, mungkin juga ada kemungkinan tuh kalau yang ngerjain orang
kecil ya dia butuh pekerjaan, mau ngga mau. Kalau yang ngerjain
orang besar ya mungkin dia punya andil dalam politik itu sendiri. (Sufie, wawancara, 6 Oktoer 2017)
Informan lain yang juga setuju dengan pendapat ini menilai kebanyakan (pemilik) media saat ini hanya mementingkan rating dari program acara yang mereka buat. Mereka lebih memilih membuat konten yang sekiranya bisa disukai masyarakat meskipun seringkali tayangan tersebut tidak mengandung unsur pendidikan melainkan hanya hiburan yang terkadang dibumbui dengan hal-hal yang tidak sepantasnya ditayangkan seperti konten yang mengandung kekerasan, kata-kata kasar, maupun konten berpihak. Neli juga memandang demikian. Menurutnya pekerja di TV saat ini lebih dituntut untuk mengejar
rating :
Jadi karyawan-karyawan atau pekerja-pekerja itu ya kebanyakan sih yang dari atasannya ayo rating kita harus bagus tapi mereka bukan yang ayo kita harus hasilkan kualitas yang bagus. (Neli, wawancara, 1 Oktober 2017)
Pendapat berbeda disampaikan Dede dan juga Inas. Meskipun konten yang mereka hasilkan buruk Inas menganggap hal itu harus tetap dihargai ‘meskipun programnya jelek kan mereka udah berusaha,’ ungkapnya. Begitupun dengan Dede yang berpendapat :
Karena gua mengetahui layar belakang TV, gue sih ngga kaya gitu ya,
gue ngga under estimate kaya gitu. Karena gua tahu susahnya, gua
tahu sulitnya, jadi ya gue tetep menghargai walaupun itu jelek. (Dede, wawancara, 26 Oktober 2017)
Nunu justru mengaku tayangan yang dinilainya buruk turut membuat pandangannya terhadap pekerja media juga memburuk. Dengan tayangan yang buruk ia menjadi meragukan para kru seperti tim kreatif, ia mempertanyakan apakah para kru tersebut tidak memikirkan dampak dari tayangan mereka. Menurut peneliti, kebanyakan informan yang mengatakan adanya peran atasan dalam sebuah tayangan yang jelek memiliki kesamaan. Mereka adalah orang-orang yang sudah punya pengalaman bekerja, dimana mereka memiliki atasan dan tahu bagaimana sebuah siklus pekerjaan. Bahwa disetiap pekerjaan pasti ada yang bertugas sebagai pengambil keputusan dan yang bertugas sebagai eksekutor atau pelaksana kebijakan. Dan hampir dari mereka semua setuju bahwa sebenarnya kru di balik layar tersebut pastilah memiliki kualitas dalam hal pembuatan media. Kecuali Pandhu yang mengungkapkan :
Mungkin hal-hal di dalamnya saya tidak tahu ya, tapi saya juga ngga
mau suudzon ya. Mungkin bisa jadi memang dari ide karyawannya bagus terus pas dikoreksi sama atasannya jadi gini gini gini, koreksi koreksi koreksi, jadi akhirnya yang ide awalnya original dari segi karyawan bagus terus di ini ini ini dikurangin jadinya ngga ini lagi, bisa jadi gitu. Bisa jadi juga dari karyawannya emang jelek, ya masalah itu kan, rahasia dapur saya ngga tahu. Saya ngga pernah liat dapurnya. (Pandhu, wawancara, 8 Oktober 2017)
Dalam pernyataannya tersebut Pandhu juga tidak mau menutup kemungkinan jika sebenarnya karyawannya juga tidak memiliki kualitas yang baik. Karena realita sebenarnya di balik layar media tidak bisa dilihat secara langsung oleh khalayak.
Dibalik semua itu nyatanya dengan adanya tayangan Langit Tanpa Batas
berhasil membuat citra dari pekerja media khususnya NET TV menjadi semakin bagus. Hal itu dikarenakan melalui program ini mereka bisa melihat bagaimana sebenarnya proses untuk menjadi seorang pekerja media khususnya di NET TV, dimana para pelamar harus melalui proses seleksi yang ketat sampai akhirnya mereka resmi menjadi karyawan NET. Melalui proses seleksi yang ketat itu, mayoritas informan menilai kualitas dari para karyawan baru ini pastilah tidak diragukan. Seperti dikatakan Neli :
Dari 60 ribu orang sampe ke berapa orang sampe diterima cuma 200 orang, ya pasti mereka adalah pilihan-pilihan yang terbaik, dengan kualitas-kualitas yang terbaik, dan orang yang sudah diterima disitu sudah membuktikan sekarang mereka menciptakan acara-acara yang baik, bermutu, acara-acara yang bermutu. (Neli, wawancara, 1 Oktober 2017)
Bahkan menurut beberapa informan, wajib militer yang diterapkan oleh NET TV bisa dijadikan contoh untuk media lain atau bahkan lembaga-lembaga lain yang bukan media. Menurut mereka setelah menyaksikan tayangan ini, wajib militer mereka nilai penting untuk mengasah fisik, mental, kedisiplinan, kepemimpinan, dan kerjasama tim. Hal ini nantinya akan berguna saat para kru bekerja di lapangan seperti dikatakan Rifan ‘apalagi media kaya gini kan keliling entar kan jadi tuh fisiknya harus bener-bener kuat’. Namun ada juga informan yang tidak setuju dengan hal itu yaitu Sufie. Menurutnya dari program ini hanya kualitas fisik yang ditampilkan sedangkan baginya kualitas mereka baru bisa dinilai dari konten yang mereka hasilkan nantinya.
Dari semua pembahasan di atas peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa kepercayaan publik pada pekerja media sejak awal memang baik-baik saja dan tidak ada masalah. Program ini juga berhasil membuat pandangan terhadap pekerja media khususnya di NET TV semakin bagus. Hal itu karena keterbukaan pihak NET yang mempublikasikan proses perekrutan karyawannya ke publik, dan publik jadi dapat menilai bagaimana NET TV itu sebenarnya. Dengan penilaian yang bagus terhadap para pekerja media hal itu juga turut mempengaruhi kepercayaan mereka pada institusi dimana mereka bekerja yaitu NET TV. Untuk kepercayaan publik pada media secara keseluruhan akan peneliti bahas lebih lanjut di sub bab berikutnya.