• Tidak ada hasil yang ditemukan

PATTANGAN DAN FUNGSINYA

4.1. Kepercayaan Pattangan Marga Besar Simalungun di Saribudolok 1 Kepercayaan Marga Damanik terhadap Pattangan

4.1.2. Kepercayaan Marga Saragih terhadap Pattangan

Marga Saragih merupakan bagian dari suku bangsa Simalungun, dimana marga Saragih juga memiliki pattangan. Pattangan di Saragih berbeda dengan marga yang lain juga, yaitu burung perkutut atau bahasa Simalungun

mengatakan adduhur. Burung perkutut ini merupakan penolong bagi marga

69

Pada masa penjajahan di Simalungun, Saragih bersembunyi di semak- semak karena di kejar oleh musuh. Akan tetapi saat musuh mencari dan hampir menemukan Saragih, tiba-tiba ada burung perkutut singgah di atas semak-semak tersebut. Burung perkutut ini terlihat tenang dan tidak bersuara sama sekali, seakan tidak ada siapa-siapa disekitarnya.

Sehingga musuh pun melewati Saragih dan mencari terus, akhirnya Saragih selamat dari musuh yang ingin membunuhnya. Saragih pun menceritakan hal tersebut kepada keturunannya, sehingga sampai saat ini burung perkututlah yang menjadi pattangan pada marga Saragih.

Burung ini mungkin pada awalnya tidak sengaja hinggap di atas pohon akan tetapi burung ini sudah menyelamatkan satu nyawa. Burung perkutut masih sering ditemui pada saat sekarang. Burung ini juga tidak memiliki kelebihan, tetapi marga Saragih sangat berterimakasih kepada burung ini. Saragih beranggapan, seandainya burung ini tidak ada mungkin marga Saragih juga akan sedikit pada saat sekarang.

Perkutut merupakan burung yang tidak boleh di makan dan di buru, hal itu sebagai bukti penghormatan Saragih kepada burung perkutut. Ketika kita hanya berniat ingin membunuh pun sudah sama dengan mengabaikan masa lalu. Burung ini sama sekali tidak memiliki kelebihan seperti hewan lainnya. Alber Saragih menjelaskan hal tersebut, perkutut merupakan penolong bagi

70

Saragih. Seandainya musuh tersebut mendapati Saragih, tentu Saragih tidak akan memiliki keturunan lagi.

Akan tetapi, tidak ada ritual khusus untuk burung perkutut yang disebut adduhur. Saragih hanya sekedar bersahabat dengan burung perkutut, sehingga tidak ada hal khusus yang diberikan kepada perkutut. Hanya saja untuk menghormati, marga Saragih sering memberi makan burung tersebut.

“Seandainya pun di makan, itu karena betul- betullah tidak ada makanan. Dan sangat terpaksa memakannya karena tidak ada pilihan. Meskipun gitu, harus kita ganti namanya karena tidak boleh kita bilang makan burung perkutut tapi kita ganti misalnya namanya jadi si Bennet. Harus kita pikirkan di otak kita kalau itu bukan perkutut.karena tidak lah manusiawi kalau kita memakan burung yang sudah menyelamatkan

kita.” Ujar Alber Saragih (46 tahun) dalam

wawancara.

Alber mengetahui hal tersebut dari kakenya dan kakek tersebut mengetahui dari nenek moyang marga Saragih. Burung tersebut memang tidak dipelihara oleh nenek moyang saragih, tetapi ketika burung tersebut berada di sawah mereka tidak mengusir dan membiarkan. Nenek moyang dari Saragih mengatakan bahwa keturunannya harus tahu tentang sejarah perkutut ini.

Alber Saragih, mengatakan bahwa dia tidak menceritakan hal tersebut kepada anak-anaknya. Alasan yang diutarakan oleh Alber yaitu karena Alber merasa bahwa hal tersebut hanya kebetulan saja. Alber yang seorang sarjana sejarah memberi penjelasan, alasannya karena mungkin saja pada saat itu,

71

burung perkutut sendiri tidak tahu bahwa dibawahnya ada seseorang sedang bersembunyi.

Alber Saragih mengatakan mungkin saja itu hanya kebetulan dan merasa selamat karena ada burung sehingga dia bisa selamat dari musuh. Bukan hanya itu saja Alber Saragih berpandangan bahwa perkutut hanya kebetulan karena anaknya sendiri telah memakan burung perkutut itu dan tidak terjadi apa-apa.

Anak dari Alber ini melihat ada burung dan dia menangkapnya bersama mertua dari Alber Saragih. Nenek dari anak Alber inilah yang menangkap lalu mereka memasak dan memakannya. Nenek ini memang tidak mengetahui kalau itu adalah pantangan dari marga menantunya. Bahkan anak Alber ketika memakannya terlihat sangat senang dan ketagihan. Rasa enak dari burung perkutut inilah yang mebuat si anak ketagihan.

Pada saat itu Alber tidak tahu bahwa anaknya memakan burung perkutut, setelah memakan burung perkutut itu tidak ada keluhan dari anaknya. Saat itu juga Alber semakin teguh dengan pendiriannya tentang Perkutut. Meskipun demikian, Alber tetap tidak akan memakan burung Perkutut karena dia berpandangan bahwa dirinya menjadi keturunan terakhir yang percaya tentang burung Perkutut dan kakeknya. Alber juga menegaskan kalau hal tersebut tidak masuk di akal.

Bahkan pada masa sekarang, burung Perkutut sering memakan benih di sawah atau mengganggu tumbuhnya padi. Bahkan menrut Alber, burung

72

perkutut ini sangat merugikan tanaman padinya. Tetapi Alber hanya tidak akan memberi tahu kepada keturunannya saja bukan kepada keturunan Saragih lainnya. Alber juga mengaskan bahwa tidak semua Saragih berfikiran sama dengannya, apalagi seumuran orangtuanya.

Orangtua yang sudah tua memang masih berpandangan bahwa perkutut ini penolong. Tetapi melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, banyak marga Saragih yang tidak mempercayai. Padahal, sekalipun mereka tidak percaya tetap saja perkutut memiliki sejarah tersendiri bagi marga Saragih. Perkutut sudah membantu dan sebaliknya Saragih memberikan kebebasan bagi perkutut. Ini merupakan hubungan kekerabatan yang saling menguntungkan.

Pattangan dilakukan tentu karena ada sesuatu hal yang terjadi di masa lampau dan di bawa sampai masa kini. Teori fungsionalisme mengatakan bahwa di dalam kebudayaan tentu ada unsur yang saling berfungsi. Demikian halnya dengan sejarah burung Perkutut dan Saragih, Saragih beranggapan burung Perkutut sebagai penolongnya sehingga dia menghargai kehadiran burung Perkutut. Interpretasi budaya juga terlihat dari pandangan dan pengertian Alber Saragih tentang sejarah dari apa yang marga Saragih pantangkan.

Dokumen terkait