• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORANG SIMALUNGUN

3.1. Sejarah Simalungun

3.2.4. Marga Purba

Purba secara etimologi bermakna timur, kata ini serumpun dengan kata "purwa" dalam bahasa Jawa. Kata ini berakar dari bahasa Sanskerta "purva". Pengaruh budaya India yang kental dengan corak Hindu-Buddha melalui bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa pada awal abad Masehi sangat besar peranannya dalam mewarnai kebudayaan nusantara. Pengaruh itu tentunya tidak terelakkan oleh suku bangsa Simalungun, akibat dari pengaruh yang berlangsung selama berabad-abad sehingga ditemukan cukup banyak budaya Simalungun yang bernuansa Hindu-Buddha.

Purba merupakan salah satu marga dari empat marga besar di Simalungun. Marga ini terbagi ke dalam beberapa cabang yaitu Tambak, Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir, Sigumonrong, Silangit, Tambun Saribu, Tua, Tanjung, Pakpak, Siboro, Girsang, Tondang, Sihala, dan Manorsa. Penamaan Purba sebagai marga dari suatu kelompok masyarakat Simalungun dapat dideskripsikan bahwa nenek moyang mereka berasal dari arah timur pulau Sumatera.

50 Leluhur awal marga Purba datang dari Siam bersamaan dengan Saragih dan Sinaga, mereka berlayar ke Pulau Sumatera tepatnya ke Sumatera Timur, jalur pelayarannya melalui India. Ada 2 lokasi yang diduga menjadi tempat berlabuh dan pintu masuk mereka ke Sumatera Timur, yaitu pesisir Serdang Bedagai dan Asahan sekarang. Mereka kemudian masuk ke pedalaman dan berbaur dengan masyarakat setempat.

Purba Sigumondrong berasal dari Lokkung, keturunannya kemudian menyebar ke Cingkes, Marubun, Togur, dan Raya, Simalungun. Marga ini merupakan keturunan dari Purba Tambak yang lahir dari boru Simarmata. Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Gerneng. Adapun leluhur Purba Tondang berawal dari kampung Huta Tanoh di Kecamatan Purba, marga ini merupakan saudara dari Purba Tambun Saribu. Sebagian keturunannya meyakini leluhur mereka berasal dari Purba Parhorbo di Humbang.

Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tendang. Saudaranya, Purba Tambun Saribu berasal dari Harangan Silombu dan Binangara di Kecamatan Purba, keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tambun. Tua. Cabang marga Purba lainnya yaitu Purba Tua, marga ini adalah pendiri kampung Purba Tua yang berada di Kecamatan Silimakuta, sebagian meyakini marga ini merupakan saudara dari Purba Tanjung yang mendiami daerah Sipinggan, simpang Haranggaol.

51 Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tua dan banyak bermukim di Juhar.

Marga inilah yang menerima kehadiran salah seorang keturunan marga Cibero di Juhar yang datang dari Tungtung Batu yang kemudian beralih menjadi Tarigan Sibero. Kampung asal Purba Tanjung berada di Sipinggan dekat simpang Haranggaol, sebagian keturunannya meyakini marga mereka lahir dari Purba Pakpak. Sedang pendapat lain mengatakan leluhur mereka adalah Purba Tambak, di mana salah seorang keturunannya pergi berdiam di sebuah tanjung di pinggiran Danau Toba.

Adapun marga Girsang, dari hasil investigasi penulis beberapa waktu yang lalu, di mana salah seorang pengetua adat Pakpak marga Cibero. Ia menjelaskan bahwa Girsang adalah keturunan dari marga Cibero. Leluhur marga ini tinggal di sebuah bukit di kampung Lehu, pemukimannya itu diberikan oleh Raja Mandida Manik Karena menikahi puterinya.

Salah seorang keturunan si Girsang ada yang memiliki keahlian meramu obat sehingga dikenal juga dengan sebutan Datu Parulas dan menyumpit burung sehingga digelari juga dengan Pangultop. Adapun nama leluhur pertama marga Girsang yg datang langsung dari Pakpak menurutnya adalah 2 orang bersaudara yaitu Girsang Girsang dan Sondar Girsang, mereka ini keturunan ke 11 dari Raja Ghaib, leluhur pertama marga Cibero.

52 Keduanya melakukan perburuan terhadap seekor burung, karena mengejar burung tersebut salah seorang di antara keduanya sampai ke Simalungun dan memasuki kampung Naga Mariah tanah ulayat marga Sinaga. Pada masa itu Tuan Naga Mariah tengah mendapat ancaman dari musuh yang datang dari Kerajaan Siantar, berkat bantuan si Girsang musuh dari Siantar dapat diatasi. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian menikahkannya dengan puterinya dan menyerahkan tampuk kekuasaan padanya.

Adapun penduduk asli tempat itu yaitu marga Sinaga, setelah kekuasaan beralih ke tangan si Girsang, mereka akhirnya banyak yang mengungsi ke Batu Karang dan menjadi marga Peranginangin Bangun. Di tempat itu, Si Girsang kemudian mendirikan kampung Naga Saribu sebagai ibukota Kerajaan Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu Rakutbesi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Nagamariah.

Marga ini terbagi lagi menjadi Girsang Jabu Bolon, Girsang Na Godang, Girsang Parhara, Girsang Rumah Parik, dan Girsang Rumah Bolon. Sebagian keturunannya pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Gersang, kampung Sinaman di Kecamatan Tiga Panah merupakan salah satu kampung yang didirikan keturunan Girsang yang pindah ke tanah Karo. Adapun keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini yang disebut dengan Girsang Silangit. Peristiwa yang sama juga dialami salah seorang keturunan marga Cibero yang bergelar Pangultopultop.

53 Karena memburu seekor burung dari Tungtung Batu Kecamatan Silima Punggapungga membawa dirinya sampai ke Simalungun dan memasuki wilayah kekuasaan Tuan Simalobong salah satu partuanon dari Kerajaan Panei. Karena kepiawaiannya ia berhasil merebut hati rakyat Simalobong saat terjadi musim paceklik sehingga rakyat pun dengan sukarela memanggilnya raja. Hal ini menimbulkan kemarahan dan kecemburuan Tuan Simalobong, karena ia merasa ialah satu-satunya yang berhak menyandang titel tersebut.

Akibatnya Pangultopultop berurusan dengan pihak istana dan berhadapan langsung dengan Tuan Simalobong, peristiwa ini berujung dengan adu sumpah (marbija) antara keduanya yang akhirnya berhasil dimenangkan oleh Pangultopultop. Kepemimpinan kemudian jatuh ke tangannya, di bekas wilayah kekuasaan Tuan Simalobong, ia lalu mendirikan Kerajaan Purba dan mengidentifikasi dirinya dengan sebutan Purba Pakpak.

Pengetua adat marga Cibero tersebut dengan tegas mengatakan bahwa Pangultopultop, sang pendiri Kerajaan Purba dan nenek moyang pertama Purba Pakpak juga bermarga Cibero. Nama asli Pangultopultop menurutnya adalah Gorga, ia memiliki seorang saudara yg bernama Buah atau Suksuk Langit, saudaranya inilah yg pindah ke Juhar dan menjadi Tarigan Sibero.

Mereka ini merupakan generasi ke 20 dari Raja Ghaib, generasi awal marga Cibero. Kalau merujuk pada pendapat beliau, artinya lebih dahulu si Girsang merantau ke Simalungun dibanding si Parultop, ada selisih 9 generasi antara Girsang dan Parultop, leluhur Purba Pakpak. Di antara keturunan Purba

54 Pakpak ada yang membelah diri dan menyebut marganya dengan Purba Sihala dan mendiami daerah Purba Hinalang, keturunannyalah yang pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Purba atau Tarigan Cikala yang banyak ditemukan di daerah Cingkes dan Tanjung Purba, Kecamatan Dolog Silou.

Daftar Raja Purba:

1. Tuan Pangultop Ultop (1624-1648) 2. Tuan Ranjiman (1648-1669) 3. Tuan Nanggaraja (1670-1692) 4. Tuan Batiran (1692-1717) 5. Tuan Bakkaraja (1718-1738) 6. Tuan Baringin (1738-1769) 7. Tuan Bona Batu (1769-1780) 8. Tuan Raja Ulan (1781-1769) 9. Tuan Atian (1800-1825)

10. Tuan Horma Bulan (1826-1856) 11.Tuan Raondop (1856-1886) 12.Tuan Rahalim (1886-1921) 13. Tuan Karel Tanjung (1921-1931) 14. Tuan Mogang (1933-1947)

55 3.3. Sejarah Pattangan Pada Orang Simalungun

Pattangan merupakan fenomena yang menunjukkan kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa dan suatu suatu spesies tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. Hubungan ini diungkapkan sebagian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan khusus perkawinan di luar suku bangsa.

Pattangan merupakan fenomena yang sangat beraneka ragam dan luas. Hal ini dapat dilukiskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan mistik atau ritual antara anggota-anggota kelompok sosial dan suatu jenis binatang atau tumbuhan. Di dalam pattangan, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu pattangan, lambang pattangan dan para anggota suku bangsa itu sendiri. Fenomena tersebut mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, seperti larangan membunuh atau makan daging binatang pattangan atau mengganggu tanaman

pattangan (Mariasuasai, 2010 : 54).

Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku bangsa ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku bangsa ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan.

Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga (nama

56 keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun. Orang Batak menyebut suku bangsa ini sebagai suku bangsa "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.

Terdapat berbagai sumber mengenai asal-usul Suku bangsa Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku bangsa Simalungun berasal dari luar Indonesia, kedatangan ini terbagi dalam 2 gelombang (Damanik, 1987), Gelombang pertama (Simalungun Proto ), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik.

Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku bangsa asli Simalungun. Pada gelombang Proto Simalungun, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.

Kemudian mereka didesak oleh suku bangsa setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir. Pustaha Parpandanan Na

Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na

57 Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.

Salah satu kepercayaan asli yang masih mempunyai masyarakat pendukung di daerah Sumatera diantaranya adalah kepercayaan Habonaron Do Bona10. Pendukung ajaran Habonaron Do Bona pada umumnya adalah masyarakat Simalungun yang juga dikenal dengan Halak Timur. Masyarakat Simalungun merupakan salah satu dari enam subsuku bangsa Batak yang secara geografis mendiami daerah induk Simalungun.

Ajaran Habonaron Do Bona bersatu padu dengan adat budaya Simalungun atau Adat Timur, sebagai tata tuntunan laku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai luhur dalam kepercayaan Habonaron Do Bona terkandung dalam ajarannya, seperti ajaran tentang: Ketuhanan, manusia, alam serta ajaran-ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta.

Ajaran tentang Tuhan, Manusia dan Alam menurut kepercayaan Habonaron Do Bona, Tuhan Yang Maha Esa adalah awal dari segala sesuatu yang ada. Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Naibata. Naibata adalah satu

10

Habonaron Do Bona adalah sebuah filosofi hidup masyarakat Simalungun yang artinya adalah dasar dari segala sesuatu yaitu mereka menganut aliran pemikiran dan kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran, sehingga baik bagi semua pihak, di mana mereka dituntut senantiasa harus menjaga kejujurannya di hadapan semua manusia

58 (sada) dan Maha Kuasa (Namar Kuasa/Namar Huasa). Karena Naibata adalah awal dari segala sesuatu yang ada, maka dunia beserta seluruh isinya adalah ciptaan-Nya.

Sebagai Sang Pencipta, Naibata juga menjadi pembimbing, pemelihara dan penyelamat bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Masyarakat pendukung kepercayaan Habonaron Do Bona menghormati leluhur yang disebut Simagot, Begu Jabu, Tua-Tua atau Bitara Guru. Menurut Habonaron Do Bona, leluhur adalah penghubung untuk menyampaikan titah Tuhan Yang Maha Esa kepada orang-orang tertentu yang berlangsung secara manunggal terhadap keturunan yang disukainya. Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaan- Nya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh leluhur dan kepada keramat-keramat maupun kepada hewan dan tumbuhan.

Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti: Namar Huasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Namam Botoh atau Ne Pentar (Tuhan Yang Tau), Penolong (Tuhan Maha Pengasih), Pangarak-arak (Tuhan Maha Penuntun), Bona Habonaron (Tuhan Sumber Kebenaran) dan masih banyak sebutan lainnya. Kemudian ajaran Habonaron Do Bona tentang manusia mengatakan bahwa manusia adalah diciptakan oleh Tuhan yang terdiri dari laki-laki (dalahi) dan perempuan (daboru/naboru).

Selanjutnya ajaran Habonaron Do Bona tentang alam mengatakan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan baik itu

59 bencana, tumbuhan, hewan. Dalam alam ini penuh dengan kekuatan-kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa maupun dari arwah leluhur.

Bencana Banjir (halonglongan), gampa bumi (sohul-sohul), angin ribut (aliogo doras), petir (porhas), kegagalan panen, wabah penyakit, hewan sebagai penolong, hewan dapat memberikan keberkahan dan bahkan tidak mendapat keturunan pun adalah merupakan perwujudan dari kekuatan gaib Tuhan dan leluhur, yang diperkenakan kepada alam dan manusia.

Jauh sebelum Habonaron Do Bona di Simalungun sudah terdapat kepercayaan totemisme. Suku bangsa di Simalungun percaya terhadap hewan sebagai salah satu yang dapat membantu mereka di dalam kehidupannya. Ada kepercayaan khusus terhadap hewan dan suku bangsa Simalungun percaya bahwa hewan tersebut adalah titisan dari Pencipta bumi ini. Hewan ini banyak ragamnya, di dalam setiap marga memiliki hewan tersendiri. Dari kepercayaan ini lah suku bangsa Simalungun terbantu dengan kehidupan yang mereka jalani.

Kepercayaan mereka tersebut telah menjadi satu acuan dalam mereka melangsungkan kehidupan mereka. Disaat mereka membutuhkan suatu pertolongan, mereka langsung mencari hewan tersebut dan meminta tolong. Bahkan di antara mereka ada yang memilihara hewan serta memberikan makan juga. Suku bangsa Simalungun memperlakukan hewan tersebut sama

60 seperti dirinya. Hewan tersebut di beri makan, di rawat agar tetap hidup dengan baik.

Bahkan dari suku bangsa Simalungun sendiri tidak jarang beranggapan bahwa mereka berasal dari jelmaan hewan. Biasanya mereka menganggap bahwa hewan tersebut adalah nenek moyang mereka. Mereka dahulunya adalah jelmaan dari hewan sehingga saat ini mereka juga di bantu oleh hewan untuk bertahan hidup. Jika di telaah lebih dalam, sebenarnya totemisme merupakan sistem kepercayan pada zaman pra sejarah.

Suku bangsa Simalungun beranggapan bahwa hewan juga memiliki roh, hal itu disebabkan karena ada hewan yang lebih kuat dari manusia seperti harimau dan ada juga yang lebih cepat dari manusia. Banyak hewan yang memiliki kelebihan dibandingkan manusia sehingga ada perasaan takut atau juga menghargai binatang tersebut.

Tidak jarang hewan tersebut membantu suku bangsa Simalungun. Dengan demikian, hubungan antara manusia dengan hewan dapat berupa hubungan permusuhan atau hubungan baik, hubungan persahabatan, bahkan hubungan keturunan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaan- Nya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh leluhur dan kepada keramat-keramat. Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti; Namar Huasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Namam Botoh atau Ne Pentar (Tuhan Yang Tau),

61 Pernolong (Tuhan Maha Pengasih), Pangarak-arak (Tuhan Maha Penuntun), Bona Habonaron (Tuhan Sumber Kebenaran) dan masih banyak sebutan lainnya.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, mempunyai tugas dan kewajibannya, baik terhadap Tuhan, sesama maupun terhadap alam sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Upacara menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak terpisahkan dengan upacara-upacara ritual adat. Masyarakat Simalungun mengenal bermacam-macam upacara seperti:

• Upacara dauh hidup.

• Upacara membongkar tulang belulang.

• Upacara pesta tuan (Robu-robu/Harja Tuan), yaitu upacara berdoa kepada Tuhan dan kepada leluhur untuk memulai suatu usaha seperti kegiatan pertanian/bercocok tanam padi, agar memperoleh hasil yang memuaskan.

• Upacara memasuki rumah baru.

• Upacara menghormati roh leluhur pelindung desa (mambere tambunan/pagar parsakutuan).

• Upacara menghormati roh suci penjaga desa.

• Upacara menghormati keramat pelindung (mambere simumbah).

Tugas dan kewajiban manusia terhadap sesamanya menurut ajaran Habonaron Do Bona ada dalam bentuk perintah-perintah dan larangan- larangan. Apabila perintah dan larangan tersebut dipatuhi dapat menjadikan

62 ketenteraman dalam masyarakat. Perintah-perintah dan larangan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Menghormati orang tua dan orang lain sesuai dengan tata krama tutur (hamat hubani urang tua oppa hasoman marihutkon turur). 2. Menghormati guru (hormat hubani guru/hormat hubani sibere ajar). 3. Membantu orang lain (manappati).

4. Tidak boleh membunuh sesama manusia, termasuk mengugurkan kandungan.

5. Tidak boleh kimpoi semarga (ulang marboto-boto).

6. Tidak boleh membuat orang lain meneteskan air mata sampai “berwarna kuning” (ulang iaben manetek iluhni halak magorsing). 7. Tidak boleh meminta-minta (ulang tedek-tedek).

8. Tidak boleh menyusahkan orang lain (ulang manusahi). 9. Tidak boleh berbohong (ulang marguak).

10. Tidak boleh memaki orang lain (ulang manurai). 11. Tidak boleh membungakan uang (ulang makhilang).

12. Tidak boleh menipu dan mengkhianatai orang lain (ulang magoto otoi/ulang mangkhianat).

Tugas dan kewajiban manusia terhadap dan menurut ajaran Habonaron Do Bona ialah bahwa manusia tidak boleh membunuh tumbuhan dan hewan liar secara sembarangan karena perbuatan ini dapat merusak alam (ulang

63

massedai). Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan

manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berhubungan dengan alam, misalnya dalam berbagai upacara yang dilakukan dalam kegiatan pertanian, dimaksudkan agar alam bersahabat dengan manusia dan memberikan hasil yang memuaskan.

Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah robu buang boro (mendoakan agar padi jangan diserang hama), membere eme (mendoakan saat padi sedang bunting), memutik (mendoakan saat padi sudah menguning), menutup panjang (mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu tempat) dan menutup hobon (mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen telah terkumpul). Di samping mempunyai tugas dan kewajiban terhadap Tuhan, manusia juga memiliki tugas dan kewajiban terhadap dirinya sendiri, seperti jujur terhadap diri sendiri, harus ahu malu dan harus tahu diri. Sistem kepercayaan telah berkembang pada masa manusia purba. Mereka menyadari bahwa ada kekuatan lain di luar mereka. Oleh sebeb itu mereka berusaha mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut dan kepercayaan tersebut salah satunya adalah pattangan.

64 BAB IV

Dokumen terkait