PATTANGAN
(Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)
SKRIPSI
Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik
Disusun Oleh:
MARK SINAR RAFAEL GIRSANG NIM: 100905034
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PERNYATAAN ORIGINALITAS
PATTANGAN
(Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah disajikan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap meninggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, September 2015 Penulis
ii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “PATTANGAN” (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)” disusun oleh Mark Sinar Rafael Girsang (100905034), 2015. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, tabel, daftar pustaka serta lampiran.
Penelitian ini membahas tentang pattangan bagi marga-marga pada Simalungun yang ada di Saribudolok. Pattangan merupakan bentuk dari totemisme, dimana hewan dianggap sakral sehingga tidak akan dibunuh, dimakan, disakiti dan digganggu habitat hewan tersebut. Ada empat marga besar di Simalungun yang menjadi objek penelitian ini yaitu marga Damanik, marga Saragih, marga Sinaga, dan marga Purba.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta mendeskripsikan kepercayaan Simalungun terhadap pattangan dan bagaimana fungsi pattangan
tersebut bagi kehidupan masyarakat Simalungun yang ada di Saribudolok. Disini penulis memaparkan bagaimana orang Simalungun meyakini bahwa hewan dianggap sebagai pattangan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat mendeskripsikan, dengan metode tersebut akan dilihat bagaimana kepercayaan marga simalungun terhadap hewan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fungsionalisme. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik observasi partisipasi. Wawancara dilakukan kepada masyarakat Simalungun di Saribudolok mengenai permasalahan yang terkait dengan penelitian.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa setiap marga besar Simalungun memiliki kepercayaan terhadap hewan yang disebut dengan pattangan.
Damanik, Saragih, Sinaga dan Purba merupakan marga besar dari suku Simalungun. Damanik mempercayai ular Sibaganding Tua, Saragih mempercayai Burung Perkutut, Sinaga mempercayai harimau, dan Purba mempercayai ular. Namun tidak semua masyarakat simalungun di Saribudolok mengetahui alasan mengapa mereka menganggap hewan tersebut menjadi pattangan bagi marga mereka.
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan Syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang mha Esa, karena kasih dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna melengkapi dan memenuhi
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Adapun judul skripsi ini adalah : PATTANGAN (Studi Etnografi
Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan,
dan nasehat dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada orang tua tercinta, Ayahanda Alm. Rohman Girsang, BBA
yang sekarang telah bersama dengan Bapa di Surga. Dan juga terlebih kepada Ibunda
Yuspita Meiliana br Sipayung yang selalu mengasihi dan memberikan semangat, doa dan
dana selama penulis melakukan perkuliahan, juga kepada kakak penulis yang tercinta
Evayani Yossefina Girsang, S.E, Catherine Natalia Girsang, A.Md dan adik penulis yang
sangat penulis kasihi Roy Michael Elmando Girsang yang selalu memberikan dukungan
dan bantuan dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih buat doa-doa dan semangat dari
keluargaku selama ini. Skripsi ini kupersembahkan untuk kalian.
Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada : Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU,
Drs. Agustrisno, MSP sebagai Sekretaris Departemen Antropologi Sosial FISIP USU dan
iv
skripsi ini. Banyak sekali masukan yang telah Bapak Agus berikan untuk kelangsungan
penulisan skripsi ini dan tetap sabar membimbing penulis walaupun penulis sering
kurang memahami maksud dan tujuan Bapak untuk penuis dan untuk kebaikan penulisan
skripsi ini semoga Tuhan memberkati Bapak beserta Keluarga.
Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing penulis Dra. Sabariah Bangun, M.Soc yang telah membimbing selama ini
dip roses akademik yang penulis ikuti. Terimakasih juga kepada seluruh dosen-dosen
Program Studi Antropologi Sosial yang telah mendidik dan mengajar penulis dalam
perkuliahaan selama ini. Terima kasih juga kepada Kak Nur sebagai Staf Departemen
antropologi Sosial yang senantiasa sabar melayani kebutuhan surat menyurat untuk
kelangsungan prosedur perkuliahan. Semoga Ibu dan keluarga diberi kesehatan untuk
tetap bisa memberikan yang terbaik untuk Program Studi Antropologi Sosial.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah banyak
memberikan semangat dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini: Iyan, Jop, Maryo,
Gorat, Christoper, Eki, Simson, Gintarius, Leo, Lamtiur, Amy, Fathia, Rini, Soraya dan
teman stambuk 2010 lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Dan juga
pasukan dari stambuk 2012: Winggou, Rizky, Puput bin Subur, Erwin, Riksen, Madun,
Ali, dan lainnya yang juga tidak dapat penulian sebutkan satu-persatu. Serta abangda
Carles gultom, Bastian, Adit, dkk. Penulis sangat banga bisa berteman dengan
kerabat-kerabat semua. Penulis tidak akan pernah melupakan pengalaman yang pernah kita lalui
bersama, semoga persahabatan ini dapat abadi sampai selamanya. Dan juga tidak lupa
v
yang selalu memberikan arahan, nasehat serta doa kepada penulis sehingga skripsi ini
bisa selesai.
Terima kasih khusus penulis ucapkan kepada Nora Evangeline Pasaribu yang
selama ini telah banyak memberikan bantuan, semangat, kasih sayang, perhatian, bantuan
dan doa-doa di dalam perkuliahan dan di dalam penulisan skripsi ini. Perjuangan untuk
tetap bersama sampai saat ini semoga Tuhan memberkati dan memberikan jalan yang
terbaik buat kita.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua orang yang
telah banyak membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini, yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu. Semoga Tuhan yang memberkati kalian semua. Penulis telah
banyak belajar mengenai arti kehidupan dari orang-orang yang telah banyak membantu
penulis selama ini, banyak cerita yang membukakan pikiran penulis untuk menjadi
manusia yang lebih baik ini semua penulis dapat karena penulis dapat melakukan
penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang
berguna bagi pengembangan disiplin ilmu, khususnya di Antropologi FISIP USU.
Medan, September 2015 Penulis
vi
RIWAYAT HIDUP
Mark Sinar Rafael Girsang, lahir pada tanggal 4 Desember 1992 di Saribudolok, kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun. Beragama Kristen Protestan, Anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda Alm.Rohman Girsang, BBA dan Ibunda Yuspita Meiliana Sipayung.
Riwayat Pendidikan formal penulis: SD RK Don Bosco Saribudolok (1997-2003), SMP Kristen Kalam Kudus Pematang Siantar (2003-2006), SMA Kristen kalam Kudus (2006-2007) dan pindah sekolah ke SMA CR DUYNHOVEN Saribudolok (2007-2009), Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (2010-2015).
Selama mengikuti pendidikan di Antropologi Sosial FISIP USU, penulis juga mengikuti berbagai kegiatan seperti kepanitiaan Inisiasi, seminar di kampus, dan kegiatan lainnya, berikut penjabarannya :
1. TOEFL Prediction, USU Language Center, Medan (2010)
2. Peserta inisiasi Antropologi Sosial FISIP USU tahun 2010, Danau Toba Parapat, Sumatera Utara (2010)
vii
5. Peserta TOF Matakuliah Pengembangan Masyarakat, Medan (2013)
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN PERSETUJUAN ...
PERNYATAAN ORGINALITAS ... i
ABSRTAK ... ii
UCAPAN TERIMAKASIH ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR TABEL. ... xi
BAB I PENDAHULUAN ...1
1.1. Latar Belakang Masalah ...1
1.2. Tinjauan Pustaka ...5
1.3. Rumusan Masalah ...14
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...15
1.5. Metode Penelitian ...15
BAB II MASYARAKAT DI SARIBUDOLOK ...19
2.1. Sejarah Singkat Saribudolok ...19
BAB III ORANG SIMALUNGUN ...39
3.1. Sejarah Simalungun ...39
3.1.1. Gelombang Pertama (Simalungun Proto) ...40
3.1.2. Gelombang Kedua (Simalungun Deutro) ...40
3.2. Marga Besar di Simalungun...42
x
3.2.2. Marga Saragih ...46
3.2.3. Marga Sinaga ...48
3.2.4. Marga Purba ...49
3.3. Sejarah Pattangan Pada Orang Simalungun ...55
BAB IV PATTANGAN DAN FUNGSINYA ...64
4.1. Kepercayaan Pattangan Marga Besar Simalungun di Saribudolok ...64
4.1.1. Kepercayaan Marga Damanik Terhadap Pattangan ...64
4.1.2. Kepercayaan Marga Saragih Terhadap Pattangan ...68
4.1.3. Kepercayaan Marga Sinaga Terhadap Pattangan ...72
4.1.4. Kepercayaan Marga Purba Terhadap Pattangan ...75
4.2. Fungsi Pattangan di Marga Simalungun ...77
4.2.1. Fungsi Pattangan Sebagai Pelindung ...77
4.2.2. Fungsi Pattangan dari Aspek Ekonomi ...84
4.2.3. Fungsi Pattangan sebagai Sistem Kepercayaan ...88
BAB V PENUTUP...95
5.1 Kesimpulan ...95
5.2 Saran ...97
DAFTAR PUSTAKA ...101
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Luas Wilayah Menurut Nagori/Kelurahaan di Kecamatan Silimakuta Tabel 2 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
Tabel 3 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan Kelompok Tenaga Kerja
Tabel 4 : Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel 5 : Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama
ii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “PATTANGAN” (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)” disusun oleh Mark Sinar Rafael Girsang (100905034), 2015. Skripsi ini terdiri dari 5 bab, halaman, tabel, daftar pustaka serta lampiran.
Penelitian ini membahas tentang pattangan bagi marga-marga pada Simalungun yang ada di Saribudolok. Pattangan merupakan bentuk dari totemisme, dimana hewan dianggap sakral sehingga tidak akan dibunuh, dimakan, disakiti dan digganggu habitat hewan tersebut. Ada empat marga besar di Simalungun yang menjadi objek penelitian ini yaitu marga Damanik, marga Saragih, marga Sinaga, dan marga Purba.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta mendeskripsikan kepercayaan Simalungun terhadap pattangan dan bagaimana fungsi pattangan
tersebut bagi kehidupan masyarakat Simalungun yang ada di Saribudolok. Disini penulis memaparkan bagaimana orang Simalungun meyakini bahwa hewan dianggap sebagai pattangan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat mendeskripsikan, dengan metode tersebut akan dilihat bagaimana kepercayaan marga simalungun terhadap hewan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori fungsionalisme. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik observasi partisipasi. Wawancara dilakukan kepada masyarakat Simalungun di Saribudolok mengenai permasalahan yang terkait dengan penelitian.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa setiap marga besar Simalungun memiliki kepercayaan terhadap hewan yang disebut dengan pattangan.
Damanik, Saragih, Sinaga dan Purba merupakan marga besar dari suku Simalungun. Damanik mempercayai ular Sibaganding Tua, Saragih mempercayai Burung Perkutut, Sinaga mempercayai harimau, dan Purba mempercayai ular. Namun tidak semua masyarakat simalungun di Saribudolok mengetahui alasan mengapa mereka menganggap hewan tersebut menjadi pattangan bagi marga mereka.
1 BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan dapat menunjukkan derajat dan tingkat peradaban
manusia. Kebudayaan juga bisa menunjukan ciri kepribadian manusia atau
masyarakat pendukungnya. Kebudayaan yang merupakan ciri pribadi manusia,
di dalamnya mengandung norma-norma, tatanan nilai atau nilai-nilai yang
perlu dimiliki dan dihayati oleh manusia atau masyarakat pendukungnya
(Sunjata, 1996:2).
Kepercayaan berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana dunia ini
berproses. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau
interpretasi-interpretasi tentang masa lampau, bisa berupa
penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa
depan, dan bisa juga berdasarkan akal sehat, kebijaksanaan suatu bangsa,
agama, ilmu pengetahuan, atau suatu kombinasi antara semua hal tersebut
(Maran, 2003:38).
Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi
maupun pengalaman sosial. Pattangan menyerupai Totem, yang dapat
dipercayai oleh manusia sebagai dasar dalam bertindak atau bersikap. Setiap
suku bangsa biasanya memiliki kepercayaan tersendiri terhadap totem. Para
penganut kepercayaan totemisme meyakini bahwa mereka diturunkan dari satu
2 sejenis merupakan “saudara”. Mereka menggunakan totem sebagai simbol
kelompok dan menganggapnya sebagai “pelindung” kelompok secara
keseluruhan. Totem dipercayai dapat membantu dan menjaga manusia dari
gangguan ataupun serangan, totem juga dijadikan sebagai simbol yang
menguntungkan1.
Pattangan merupakan kata yang menggambarkan bahwa manusia dan
hewan memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan kekeluargaan.
Masyarakat beranggapan bahwa ada hubungan istimewa antara manusia
dengan hewan. Hubungan yang terjadi antara hewan dan menusia adalah
saling menguntungkan.
Masyarakat Simalungun merupakan salah satu suku bangsa yang
berasal dari Sumatera Utara. Suku bangsa Simalungun memiliki berbagai
marga, dan marga pertama suku bangsa Simalungun yaitu marga Damanik2.
Sementara ada tiga marga pendatang yaitu Saragih, Sinaga, dan Purba.
Kemudian marga-marga inilah yang menjadi empat marga besar di
Simalungun.
Masyarakat Simalungun memiliki berbagai kepercayaan yang
berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari “Datu” atau dukun
disertai persembahan kepada nenek moyang yang selalu didahului panggilan
kepada tiga Dewa yang disebut Naibata.
Naibata Atas (dilambangkan warna putih), Naibata Tengah
(dilambangkan warna merah), dan Naibata bawah (dilambangkan warna
1
Dhavamony, Mariasusai. 2010. Fenomenologi Agama. (cet. ke-11) Yogyakarta: Kanisius
2
3 hitam). Bukan hanya itu saja, ajaran Hindu-Budha juga pernah mempengaruhi
kehidupan di Simalungun (Sinaga 2008 : 35).
Hal ini terbukti dari peninggalan berbagai patung dan arca yang
ditemukan di beberapa tempat di Simalungun yang menggambarkan makna
Trimurti (Hindu), sang Buddha yang menunggangi gajah (Budha). Akan
tetapi, jauh sebelum kepercayaan ini memperngaruhi masyarakat Simalungun,
mereka sudah percaya akan “Pattangan”3.
Pergaulan hewan dengan manusia telah membentuk suatu tanggapan
yang religius, hewan lebih banyak memiliki kelebihan dibanding manusia,
seperti mata hewan yang lebih tajam, pendengaran hewan yang lebih tajam
dibanding manusia. Masyarakat menganggap bahwa hewan tersebut adalah
nenek moyang mereka.
Masyarakat yang menganggap hewan adalah bagian dari dirinya, maka
dari situlah akan terdapat kekuatan dari hewan tersebut4. Hewan dipercayai
dapat membantu manusia di dalam kesusahan maupun kesulitan. Dari hewan
itulah manusia percaya dan menganggapnya sebagai kekuatan dari dewa. Di
India, sapi merupakan salah satu hewan yang dianggap suci dan sebagai
pelindung.
Menurut seorang antropolog Marvin Harris, alasan pragmatis untuk
tidak membunuh sapi adalah karena alasan ekonomis di mana sapi sangat
dibutuhkan untuk melalukan pekerjaan-pekerjaan berat, penghasil susu dan
sangat membantu dari sisi tenaga.
3
Pattangan merupakan istilah lain dari totem yang berasal dari suku bangsa Simalungun
4
4 Tetapi bagi umat Hindu sapi adalah hewan yang suci. India sebagai
negara dengan mayoritas pemeluk Hindu terbesar memberlakukan
perlindungan kepada hewan ini dengan mengesahkannya melalui peraturan
undang-undang yang melarang pembantain terhadap sapi dan anak sapi.
Pemimpin perjuangan India seperti Mahatma Gandhi sangat
menghormati hewan ini dan menganggap sapi sebagai hewan yang
merepresentasikan salah satu bentuk perlawanan yang diajarkan oleh Gandhi
yaitu Ahimsa. Pada perayaan Keagamaan Hindu, Krisna dilambangkan sedang
menunggang sapi maka dari itu Krisna adalah pelindung Sapi, sehingga sapi
harus dilindungi oleh manusia terkhusus bagi masyarakat India.5
Masyarakat Simalungun terbagi atas empat marga besar, setiap marga
di Simalungun memiliki hewan larangan karena di anggap nenek moyang
mereka. Damanik sebagai marga tertua memiliki pattangan yaitu Ular
Sibaganding Tua. Ular Sibaganding Tua ini tidak bisa di pelihara ataupun di
bunuh karena ular ini merupakan sumber keberuntungan bagi masyarakat
bermarga Damanik.
Saragih dipantangkan untuk memakan burung perkutut. Marga Sinaga
juga tidak dapat memilihara ataupun membunuh ular dan teringgiling, karena
hewan tersebut sangat berjasa bagi marga Sinaga. Demikian pula halnya
dengan marga Purba. Purba memiliki larangan untuk membunuh ular, karena
ular merupakan nenek moyang dari marga Simalungun. Purba dilarang
membunuh ular karena Purba pernah menikahi perempuan yang mengaku
sebagai anak ular dan dibesarkan oleh ular tersebut.
5
5 Kepercayaan masyarakat Simalungun ini memiliki pro-kontra, ada
yang mengatakan dongeng dan ada juga yang mengatakan bahwa cerita itu
adalah sejarah. Akan tetapi, penelitian ini bukan membahas kebenarannya
melainkan bagaimana pandangan masyarakat Simalungun terhadap totem
tersebut.
Peneliti untuk meneliti bagaimana pandangan masyarakat Simalungun
pada masa kini terhadap sistem kepercayaan masyarakat terhadap hewan dan
menjadikan hewan sebagai nenek moyang atau sebagai salah satu pelindung.
Dimana pada saat sekarang melihat bahwa teknologi semakin canggih serta
pemikiran manusia yang semakin berkembang, sehingga penelitian ini penting
untuk dilakukan.
1.2. Tinjauan Pustaka
Istilah totemisme berasal dari kata Ojibawa (suku bangsa Algonkin
dari Amerika Utara) ditulis secara beragam totem, tatam, dodaim. Durkheim
mengembangkan suatu defenisi mengenai religi yang dapat mengatasi segala
jenis aneka warna-warni ekspresi keagamaan yang di kenal manusia di muka
bumi ini (Thouless 1995 : 144).
Dalam hal itu Durkheim menentang konsep religi J.G Frazer yang
memandang religi dalam masyarakat manusia itu gejala-gejala yang
bersangkutan dengan suatu alam dunia yang ada di luar batas kemampuan akal
manusia, yang oleh Frazer disebut “dunia gaib” atau dunia supernatural. Hal
6 batas antara dunia yang ada di dalam batas akal manusia dan dunia gaib yang
ada di luarnya.
Banyak contoh di mana orang-orang Australia itu menghubungkan
benda-benda atau kekuatan-kekuatan yang dapat mereka kuasai penuh dengan
akal mereka sebagai benda-benda keagamaan. Durkheim juga tidak setuju
dengan M. Muller yang beranggapan bahwa agama berasal dari kebutuhan
azasi manusia untuk mencari masalah kekuatan hakiki apa yang menguasai
hidupnya dan alam sekitarnya itu, dan dari masalah itu timbulah
gagasan-gagasan mengenai dewa-dewa, roh-roh, dan Tuhan.
Keberatan Durkheim adalah bahwa walaupun manusia sekarang sudah
banyak menemukan kekuatan yang menguasai hidupnya dalam alam
sekitarnya, religi dan agama tetap belum terdesak dari hidupnya. Lagipula
banyak religi dalam berbagai kebudayaan di Dunia tidak mengenal adanya
dewa-dewa atau roh-roh. Namun, kata Durkheim ada satu hal yang selalu ada
dalam segala macam gagasan dan perilaku keagamaan makhluk manusia, yaitu
perasaan atau sentimen bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau
agama itu bersifat keramat, berbeda dengan hal-hal yang tidak bersangkutan
dengan religi atau agama yaitu bersifat profan.
Dengan demikian ia sampai pada suatu defenisi kerja mengnai religi,
yang berbunyi: “suatu religi itu adalah suatu sistem berkaitan dari
keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat artinya yang terpisah dan
pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorintasi kepada suatu
7 Dengan defenisi tersebut, Durkheim kemudian meninjau berbagai
macam teori yang ada tentang asal mula religi. Dalam hal itu ia tentu
pertama-tama membahas teori E.B Taylor tentang animisme. Seandainya memang
benar bahwa agama timbul karena pada suatu saat tertentu ada
makhluk-makhluk manusia salah menginterpretasikan mimpi, seperti apa yang
dikatakan oleh Taylor.
Maka sudah tentu religi itu sebagai ilusi sejak lama telah hilang dari
masyarakat manusia. Dan karena itu ada suatu sistem yang lebih azasi, dan
karena itu lebih tua dari animisme dan sistem religi, yaitu totemisme
(Koentjaraningrat 2007:95)
Durkheim mensurvei semua karangan yang pernah terbit mengenai
masalah totemisme, untuk kemudian mengkhususkan kepada totemisme
masyarakat penduduk pribumi Australi. Suatu gejala penting yang di
temukannya dalam data yang dipelajari itu adalah hubungan erat antara
organisasi sosial, sistem klan6, dan keyakinan kepada totem, yang sebenarnya
tidak lain dari sebutan dan lambang dari klan dan sekaligus juga merupakan
suatu jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda keramat.
Binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda yang dianggap totem sama
sekali bukan hal yang harus ditakuti atau yang mengesankan. Dan sering
sekali hanya berupa batu atau pohon biasa yang tidak berbeda sama sekali
dengan batu atau pohon lain, dan tanpa dijiwai oleh adanya suatu keyakinan
akan adanya roh yang menempatinya. Namun totem melambangkan solidaritas
klan, memberi nama yang merupakan identitas klan, timbul dalam
6
8 upacara klan dan seni hias mentato kulit, memberi nilai keramat kepada segala
halyang ada sangkut pautnya.
Dengan demikian bukan binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda itu
sendiri yang sebenarnya penting dalam konsep totem, melainkan suatu prinsip
yang menyebabkan dijadikan lambang dari suatu kesatuan sosial, yaitu prinsip
yang oleh Durkheim disebut “ prinsip totem” (Koentjaraningrat 2007:97).
Emosi keagamaan sebagai sebagai unsur elementer dalam kehidupan
keagamaan manusia bersumber pada kesadaran kolektif para warga klan, yang
sebaliknya dapat diintensifkan lagi oleh emosi keagamaan yang ditimbulkan
dalam upacara totem itu (Saifuddin 2005 : 12).
Kesadaran kolektif memberi semangat hidup baru yang dibutuhkan
oleh tiap warga klan apabila mereka nanti dalam musim berburu harus
kembali lagi kepada kehidupan mereka yang terpisah selama beberapa bulan
untuk berjuang mencari nafkah. Agama yang di anggap paling primitif
menurut Durkheim adalah totemisme.
Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada hubungan
organisasional khusus antara suatu suku bangsa dan suatu spesies tertentu
dalam wilayah hewan atau tetumbuhan. Hubungan ini diungkapkan sebagian
dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan khusus
perkawinan di luar suku bangsa.
Totemisme merupakan fenomena yang sangat beraneka ragam dan
luas. Hal ini dapat dilukiskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik
9 antara anggota-anggota kelompok sosial atau suatu jenis binatang atau
tumbuhan.
Fenomena tersebut mengandung perintah-perintah yang dijunjung
tinggi, seperti larangan membunuh atau makan daging binatang totem atau
menganggu tanaman totem. Para anggota dari kelompok sosial itu juga
percaya bahwa mereka diturunkan dari satu leluhur totem yang mistis, atau
bahwa mereka dan para anggota dari totem sejenis merupakan “saudara”.
Mereka menggunakan totem sebagai simbol kelompok dan
mengangapnya sebagai “pelindung” kelompok secara keseluruhan mereka
juga melakukan “upacara pengembangan” untuk menghasilkan perlipat
gandaan jenis totem itu.
Kebiasaan suku bangsa Indian Amerika, sebagai mana digariskan John
Long, menekankan aspek pengajaran dari totemisme untuk individu yang
nasibnya dihubungkan dengan nasib binatang totem itu. Roh penjaga suku
bangsa Indian Amerika menjadi milik orang yang telah melihatnya dalam
suatu penglihatan, bukan milik kelompok sosial. Totemisme tidak bisa
dicampur adukkan dengan binatang pemujaan, totem tidak dipuja.
Makhluk-makhluk totem tidaklah diseleksi atas dasar penampilan
mereka yang mengesankan. Kesucian mereka hanyalah sekunder, yang lebih
penting adalah lukisan makhluk-makhluk pada kayu dan batu. Dalam
tindakan dan upacara totem, kepentingan religius yang paling utama adalah
pengaktualisasian identitas antara totem dan kelompok.
Dalam upacara-upacara ini tanda totem dilukiskan pada tubuh, atau
10 ciri totem dan suku-suku Indian Amerika menghiasi diri mereka dengan
bagian-bagian dari binatang totem, misalnya bulu-bulu sebagai hiasan kepala.
Apakah makna religius dari fenomena totem, dimana manusia
menemukan dasar mutlak dari hidupnya. Tentu saja ada suatu pengartian
mencolok dari hubungan yang dekat antara manusia dan alam sekitarnya,
suatu pengartian mengenai ketunggalan tertentu dengan kosmos dan mengenai
partisipasi dengan totalitas kosmis.
Totemisme memainkan peranan penting dalam perkembangan teori
keagamaan abad 19 dan awal abad ke-20, terutama untuk pemikir seperti
Emile Durkheim, yang memusatkan studinya ke kebudayaan primitif. Emile
Durkheim dalam bukunya The elementary Forms of the Religious Life (1915).
Pandangannya bermula dari empat ide pokok, yaitu (a) bahwa agama primitif
adalah kultus marga (khan), (b) kultur tersebut adalah totemisme, (c) tuhan
marga adalah marga itu sendiri, dan (d) totemisme merupakan bentuk yang
paling dasar atau primitif, yaitu bentuk asli dari agama yang dikenal sekarang
ini.
Dengan mendasarkan diri pada ide-ide tersebut Durkheim berpendapat
bahwa totemisme itu terdapat dalam masyarakat yang memiliki kultur dan
struktur sosial yang paling sederhana. Agama menurutnya adalah suatu
kesatuan sistem kepercayaan dan ibadat dalam kaitannya dengan benda-benda
suci (sacred) dan terlarang, yaitu benda-benda yang disisihkan dari
lain-lainnya. Kepercayaan dan ibadat tadi menyatu kedalam kelompok moral yang
dinamakan jamaah, yakni semua mereka yang mengikutinya (Mariasusai,
11 Menurut Durkheim lebih lanjut, totemisme merupakan semacam
Tuhan yang tidak bersifat kemanusiaan, yang menetap di bumi dan
bersenyawa dengan benda-benda yang tak terbatas jumlahnya, dan erat
hubunganya dengan makna dan ide yang sejenis dengan masyarakat primitif.
Menurut Robertson Smith totemisme, religi tertua umat manusia dalam
tingkat kehidupan yang masih sederhana iyalah pemujaan terhadap totem.
Totemisme adalah suatu religi dimana kelompok manusia menganggap bahwa
diri mereka adalah keturunan dari suatu jenis binatang atau tumbuhan tertentu,
sehingga mereka memuja binatang atau tuumbuh-tumbuhan totemnya serta
membangun tiang totem sebagai tempat pemujaan. Binatang totem tabu untuk
di bunuh atau di makan.
Menurut P.P. Arnadit pada masyarakat flores terdapat sisa-sisa
totemisme. Hal ini terlihat misalnya dari nama suatu klan di Maumere yaitu
Kuat Era ( kuat artinya klan, sedangkan era artinya penyu) ada pula klan yang
bernama Kuat Higite7 (Razak, 2007:54).
Fungsional atau fungsi ditinjau dari segi etimologi adalah kegunaan
lawan dari disfungsi, sedangkan menurut terminologi adalah suatu metode
untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial
dalam suatu tataran masyarakat (Pius A. Partanto, M. Dahlan al-Barry,
Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994).
Para peneliti sosial, kata Durkheim harus dapat mengkombinasikan
penelitian untuk mencari asal-usul dan sebab (pendekatan historis), disatu
pihak dan penentuan fungsi-fungsi dari suatu fenomena sosial (pendekatan
7
12 fungsional) dari pihak lain.kita harus menentukan apakah ada satu hubungan
antara kenyataan sosial yang diteliti dengan kebutuhan umum organisme
sosial. Kalau ada maka hal tersebut terdiri dari hal-hal apa saja, dan bagaimana
prosesnya sehingga hubungan tersebut terjadi. Pendekatan fungsional di
peloporioleh dua peneliti inggris yang hidup sezaman, yaitu Radcliffe Brown
dan Malinowski.
Bronislaw Malinowski (1884 – 1942) merupakan salah satu tokoh
antropologi yang menggagas dan berhasil mengembangkan teori
fungsionalisme dalam ilmu antropologi. Dan yang paling penting untuk dicatat
adalah bahwa teorinya ia kembangkan dengan menekuni penelitian lapangan.
Teori Fungsionalisme dikembangkan selama Perang Dunia II mengisolir diri
bersama penduduk asli pulau Trobrian untuk mempelajari cara hidup mereka
dengan jalan melakukan observasi berperan serta (participant observation).
Ia mengajukan teori fungsionalisme, yang berasumsi bahwa semua
unsur kebudayaan merupakan bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat di
mana unsur-unsur tersebut terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsional
atas kebudayaan menekankan bahwa setiap pola tingkah-laku, setiap
kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu
masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan yang
bersangkutan (Baharrudin, 2011:45).
Malinowski mengacukan konsep budaya terhadap mikrokosmos
masyarakat tribe (masyarakat sederhana, primitive, dan sebagainya) yaitu
suatu masyarakat yang unsur-unsurnya berfungsi sebagai sebuah keseluruhan
13 sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi adalah sebuah pemikiran baru
dalam ilmu antropologi. Dari pandangan yang seperti inilah kemudian kita
mengenal istilah, “budaya Jawa”, “budaya Batak”, “budaya Simalungun”.
Malinowski menekankan betapa pentingnya mengkaji fungsi atau
guna, dari unsur-unsur suatu budaya terhadap budaya secara keseluruhan. Jadi
disini Malinowski juga mengacukan konsep fungsi terhadap suatu sistem,
bukan hanya pemenuhan terhadap pemenuhan atas kebutuhan psikobiologis
manusia.
Unsur-unsur penting dari budaya sebuah masyarakat adalah misalnya
sistem politik, sistem kepercayaan, sistem ekonomi, dan sistem kekerabatan.
Dalam hal ini Malinowski betapa pentingnya meneliti fungsi dari suatu sistem
tersebut di atas bagi keutuhan kerja masyarakat/ budaya secara keseluruhan.
Menurut Grabb Ada dua hal yang paling menonjol mengenai
fungsionalis:
1. Pengamat berkeyakinan bahwa jika struktural fungsionalis
menguraikan tugas-tugas masyarakat sebagai fungsi, maka
mereka sebenarnya mempromosikan pandangan bahwa
struktur-struktur dan institusi-institusi dari masyarakat yang ada
adalah baik dan ideal yang berfungsi dengan baik untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Implikasinya adalah, bahwa
setiap perubahan dalam tatanan yang sudah mantap dalam
konteks ini niscaya disfungional yakni terganggunya kerja
masyarakat yang setabil, jadi para pengeritik berkeyakinan
14 saja pandangan bahwa struktur sosial itu tidak berubah,
kadang-kadang dikombinasikan dengan diabaikannya
perubahan sosial.
2. Gagasan fungsi berkenaan dengan bagaimana kita
memutuskan, andai kata sesuatu berfungsi atau tidak berfungsi
struktur atau institusi atas dasar apakah struktur atau institusi
tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Bagi kritikus penilaian semata-mata atas dasar ini menyiratkan
bahwa suatu struktur atau sistem aturan dianggap fungsional
selama ini ia memenuhi tugas-tugas tertentu dalam masyarakat
yang terpenting tak soal konsekwensi-konsekuensinya.
Di dalam kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari banyak
interaksi baik interaksi sosial maupun interaksi bermasyarakat, secara garis
besarnya manusia akan selalu hidup dalam keadaan berinteraksi sosial. Karena
disamping itu manusia juga sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk
sosial.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah
1. Bagaimana kepercayaan masyarakat Simalungun terhadap pattangan di
Saribudolok.
2. Apa fungsi kepercayaan terhadap pattangan dalam kehidupan masyarakat
15 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat etnografi dengan
tujuan untuk mengetahui bagaimana kepercayaan masyarakat Simalungun
terhadap totem dan apa fungsi kepercayaan tersebut bagi masyarakat
Simalungun.
Hasil penelitian ini diharapkan nantinya dapat bermanfaat untuk
menambah wawasan keilmuan khususnya bagi bidang antropologi untuk
memperkaya literatur dan pengetahuan tentang kebudayaan Simalungun yang
saat ini dapat dikatakan semakin meredup dan kurang mendapatkan perhatian.
Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan bagi mahasiswa antropologi untuk mengetahui lebih dalam lagi
bagaimana sistem kepercayaan masyarakat Simalungun pada masa lampau.
Secara praktis bagi peneliti bermanfaat untuk mengaplikasikan ilmu
pengetahuan yang telah didapat selama masa perkuliahan.
1.5. Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian etnografi, yaitu dimana peneliti
menjelasakan mengenai “Totem”. Maka untuk mencapai tujuan tersebut,
penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2006:6)
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian.
Penelitian kualitatif ini menggunakan metode etnografi. Seperti yang
16 adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungan kehidupan, untuk
mendapatkan pandangan dengan dunianya.
Teknik Pengumpulan Data
a. Teknik Observasi
Pengamatan (observasi) adalah suatu tindakan untuk meneliti suatu
gejala (tingkah laku ataupun peristiwa) dengan cara mengamati. Peneliti
melakukan teknik observasi guna memperoleh gambaran penuh tentang gejala
tindakan, percakapan, tingkah laku, dan semua hal yang akan di tangkap panca
indera terhadap apa yang dilakukan masyarakat yang akan diteliti di lapangan.
Riduwan (2004:104)8 mendefenisikan observasi ataupun pengamatan yang
dilakukan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat
kegiatan yang di lakukan.
Pada dasarnya teknik observasi untuk melihat dan mengamati
perubahan fenomena-fenomena social yang tumbuh dan berkembang yang
kemudia dapat dilakukan perubahan atas penilaian tersebut bagi pelaksana
observasi untuk melihat obyek moment tertentu, sehingga mampu
memisahkan antara yang diperlukan dengan yang tidak diperlakukan
(Margono, 2007:159)9. Melalui observasi inilah diharapkan mampu membantu
peneliti dalam memahami permasalahan yang akan diteliti secara mendalam.
8
Riduwan, Metode dan Teknik Menyusun Thesis, (Bandung : Alfabeta, 2004), cet. Kedua, halaman 104
9
17 b. Teknik wawancara
Didalam penelitian ini, peneliti telah mencoba mengumpulkan data
melalui teknik wawancara. Wawancara ataupun interview adalah suatu
percakapan yang memiliki pertanyaan yang sudah terstruktur (formal) dan
dengan maksud tertentu antara pewawancara atau yang sering disebut dengan
interviewer dengan informan yaitu orang yang memberikan jawaban atas
pertanyaan yang diberikan. Wawancara yang akan dilakukan yakni melakukan
Tanya jawab secara langsung dan terbuka dengan individu ataupun kelompok
yang akan diteliti.
Dengan melakukan wawancara dalam penelitian, peneliti telah
mendapatkan keterangan secara lisan dari informan atau sering juga disebut
dengan responden. Responden adalah seseorang yang diwawancarai dan
diharapkan memberikan keterangan ataupun inforasi mengenai hal-hal yang
ingin diketahui oleh si peneliti. Ada beberapa tipe informan seperti informan
pangkal, informan kunci, dan juga informan biasa. Dalam penelitian
antropologi, biasanya menggunakan istilah informan ini kepada orang-orang
yang memberikan keterangan ataupun informasi.
Wawancara yang dilakukan peneliti diolah melalui
percakapan-percakapan sederhana dan biasa. Meskipun percakapan-percakapan biasa yang dilakukan,
peneliti tetap mengarahkan percakapan pada focus pertanyaan penelitian.
Teknik wawancara ini dilakukan agar komunikasi antara subjek peneliti
18 bosan. Selain itu, teknik ini dilakukan bertujuan untuk memperkuat data yang
sebelumnya di dapat dari hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti.
Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan beberapa alat
pendukung guna mengumpulkan data. Selain pedoman wawancara, yang mana
peneliti juga akan menggunakan alat perekam serta kamera digital untuk
mempermudah saat mengumpulkan data. Penggunaan alat ini bertujuan untuk
mencegah tidak terangkumnya data sewaktu melakukan wawancara, yang
19 BAB II
MASYARAKAT DI SARIBUDOLOK
2.1. Sejarah Singkat Saribudolok
Saribudolok berasal dari kata saribu artinya seribu dan dolok artinya
bukit. Jadi Saribudolok dapat diartikan sebagai suatu daerah yang terdiri dari
seribu bukit. Wilayah Saribudolok terbentuk sekitar tahun 1928 yang dipimpin
oleh Marga Girsang. Lokasi yang pertama sekali ditempati oleh Sipungka
Huta (pembuka kampung) disebut dengan Sardolok Atas. Dikatakan Sardolok
Atas karena letaknya berada ditempat yang paling tinggi.
Akibat pertumbuhan penduduk dan adanya orang-orang yang datang
merantau, dengan pertambahan penduduk yang banyak mengakibatkan
penduduk memperluas areal pemukiman yang akhirnya perluasan areal
pemukiman ini menyebabkan nama baru yaitu disebut dengan Kampung
Kristen karena yang menempati lokasi tersebut terdiri dari keluarga-keluarga
pendeta.
Selain nama Kampung Kristen, masih ada tempat yang dinamakan
dengan Kampung Toba, dan Kampung Kopi. Alasan dari pemberian nama
tersebut adalah di Kampung Toba ini dulunya yang menempati adalah para
20 bekerja sebagai Haroan (orang upahan yang bekerja khususnya di bidang
pertanian).
Seiring dengan perjalanan waktu maka jumlah penduduk di Kampung
Toba semakin bertambah dimana sampai saat ini sudah mencapai jumlah 437
jiwa. Jumlah ini hanya yang terdata di kelurahan Saribudolok, sementara
pendatang lainnya yang tidak menetap tidak dicatatkan di kantor kelurahan
karena biasanya mereka datang dan pergi tanpa ada waktu yang pasti. Mereka
yang memilih untuk hidup menetap di Kelurahan Saribudolok ini memiliki
alasan bahwa mereka berharap bisa mendapatkan kehidupan yang layak
dengan kesuburan tanah yang ada dan dapat mereka kelola.
Alasan mengapa dikatakan Kampung Kopi karena pada awalnya
kampung ini banyak ditanami kopi,namun pada saat sekarang tanaman ini
tidak ditemukan lagi di lokasi ini karena sudah berubah menjadi pemukiman
penduduk. Kepadatan penduduk Saribudolok ini mengakibatkan nama-nama
kampung yang disebutkan diatas menjadi kabur karena batas-batas perumahan
penduduk hampir tidak dapat dipastikan lagi. pada saat sekarang ini yang
menjadi tanda pembagian Kelurahan Saribudolok ini adalah adanya yang
disebut dengan Jalan Sutomo, Jalan Kartini, Jalan Merdeka, Jalan Singgalang,
21 2.1.1. Letak dan Keadaan Wilayah
2.1.1.1.Kondisi Iklim dan Letak Geografis
Ditinjau dari letak geografisnya, Kelurahan Saribudolok diapit oleh
dua pegunungan, yaitu sebelah utara pegunungan Sipiso-piso dan sebelah
barat pegunungan Singgalang. Oleh sebab itu Kelurahan Saribudolok terletak
di dataran tinggi derngan ketinggian tempat dari permukaan laut 1400 meter.
Dimana 59,99% (1440,25 Ha) keadaan topografinya merupakan daratan dan
39,99% (960,17 Ha) merupakan perbukitan/pegunungan. Rata-rata suhunya
sekitar 26-28 0C dan keadaan curah hujan 1.150 mm/tahun.
2.1.1.2. Batas Wilayah dan Luas Wilayah
Adapun batas-batas Kelurahan Saribudolok adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dolok Silau
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Purba
Berdasarkan topografi kemiringan tanah, Kelurahan Saribudolok
berada pada kawasan dataran tinggi sehingga menyebabkan masyarakat
cenderung lebih memilih menjadi petani dan pedagang (agen sayur-mayur).
22 Tabel 1
Luas Wilayah Menurut Nagori/Kelurahaan di Kecamatan Silimakuta Tahun 2006
No. Nagori/Kelurahan Luas (Km)
Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2014
Dari tabel di atas kita dapat melihat bahwa Kecamatan Silimakuta
terdiri dari 12 Kelurahan atau Nagori. Ditinjau dari Luasnya wilayah
Kecamatan Silimakuta dengan populasi yang cukup padat maka dalam hal ini
penulis membatasi lokasi penelitian yaitu di Nagori/Kelurahan Saribudolok.
Daerah Saribudolok dianggap mampu mewakili unit analisis penelitian yang
dibutuhkan dengan mayoritas penduduknya adalah suku Simalungun dan luas
23 2.2. Keadaan Penduduk
2.2.1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Suku
Mayoritas penduduk Kelurahan Saribudolok adalah Suku Simalungun.
Hal ini dikeranakan yang pertama-tama menempati daerah ini adalah Suku
Simalungun (penduduk Asli). Akan tetapi pada masa sekarang selain
penduduk asli banyak juiga suku perantauan yang datang seperti: Suku Karo,
Batak Toba, Jawa, dan Etnis Cina. Untuk lebih jelasnya perbandingan
daripada jumlah penduduk berdasarkan suku dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 2
Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
No. Suku Jumlah Jiwa Presentase
1 Simalungun 6.006 orang 78,0 %
2 Karo 914 orang 12,0 %
3 Toba 473 orang 6,0 %
4 Jawa 278 orang 3,5 %
5 China 21 orang 0,5 %
Jumlah 7692 orang 100 %
Sumber: Kantor Kelurahan Saribudolok, 2014
Dari tabel di atas, ada beberapa suku bangsa yang terdapat di daerah
Saribudolok yaiu: Simalungun sebesar 78 %, Batak Karo 12 %, Batak Toba 6
24 paling dominan adalah Suku Karo sekitar 12 % dibandingkan dengan suku
battak toba yang hanya 6 % saja.
Satu hal yang perlu di ketahui, diantara suku Batak Toba dan Karo
tidak ingin disebutkan sebagai pendatang. Hal ini dikarenakan mereksa sudah
menjadi bagian dari warga Saribudolok. Adapun yang menjadi alasannya
adalah karena mereka sudah turun temurun tinggal di daerah Saribudolok atau
dengan kata lain sudah lahir di Kelurahan Saribudolok.
2.2.2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Umur
Dengan memperhatikan data yang diperoleh peneliti dari data statistic
dari lapangan (Kantor Kelurahan Saribudolok) maka komposisi penduduk
terdidi dari beberapa klasifikasi menurut umur dan kelompok tenaga kerja.
Berdasarkan jumlah penduduk yang sebanyak 7.692 jiwa, maka jumlah
laki-laki adalah sebesar 3.659 jiwa dan perempuan 4.033 jiwa. Berdasarkan jumlah
ini jelas terlihat jumlah perbandingan antara penduduk laki-laki dengan
perempuan. Dimana jumlah yang paling banyak itu adalah perempuan.
Jumlah penduduk kelurahan Saribudolok yang dominan usia angkatan
kerja yaitu, 27 tahun sampai dengan 57 tahun. Hal ini dsebabkan oleh
penduduk yang berusia 4 tahun sampai dengan 25 tahun masih terikat dengan
pendidikan masing-masing, dan kebanyakan penduduk Saribudolok yang
masih bersekolah menempuh pendidikan di luar Kota misalnya, Medan,
25 Pada umumnya penduduk Saribudolok yang masih berusia 14 tahun
sudah melanjutkan pendidikan di luar daerah sampai bekerja. Tidak jarang
juga dari antara mereka yang tidak kembali kekampung halaman dan menetap
di kota. Sementara yang berumur 50 tahun ke atas mereka biasanya
menghabiskan masa tua mereka di Saribudolok.
Tabel 3
Komposisi Penduduk Berdasarkan Umur dan Kelompok Tenaga Kerja
No. Umur Laki-laki Perempuan Jumlah
1 0 – 12 bulan 65 72 137
2 1 – 4 tahun 102 115 217
3 5 – 6 tahun 205 211 416
4 7 – 12 tahun 354 365 719
5 13 – 15 tahun 537 606 1.133
6 16 – 18 tahun 429 503 932
7 19 – 25 tahun 328 375 703
8 26 – 35 tahun 496 536 1.032
9 36 – 45 tahun 457 496 953
10 46 – 50 tahun 312 378 690
11 51 – 60 tahun 247 246 493
12 61 – 75 tahun 103 98 201
13 76 tahun ke atas 45 51 96
26 2.2.3. Keadaan Penduduk Berdasarkaan Pendidikan
Masyarakat Saribudodlok sebenarnya adalah masyarakat yang sangat
peduli dengan pendidikan. Akan tetapi banyak sekali anak-anak sekolah yang
putus sekolah hanya samapi jenjang pendidikan SMA sederajat. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: keadaan ekonomi dan kurangnya minat
belajar pemuda setempat untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan
tinggi. Untuk lebih jelasnya melihat keadaan penduduk berdasarkan tingkat
pendidikan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4
Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Tidah/belum sekolah 760
2 Tidak tamat SD 1.031
Dilihat dari tabel di atas, keadaan penduduk berdasarkan pendidikan di
Kelurahan Saribudolok sudah tergolong penduduk yang berpendidikan atau
pendidikan pada masyarakat sudah mulai berkembang. Berkembangnya
pendidikan didaerah ini dikarenakan jarak daerah ini sudah dekat dengan
wilayah perkotaan. Selain itu, didukung juga oleh sarana prasarana dan
perekonomian di Saribudolok yang sangat mendukung khususnya dari sektor
27 studi diluar daerah Saribudolok bukan karena tidak adanya Gedung Sekolah
akan tetapi pemikiran orang tua yang menginginkan anaknya lebih baik
daripada pendidikan mereka terdahulu dan didukung juga orang keinginan
anak yang ingin bersekolah ke luar daerah Simalungun.
2.2.4. Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama
Kelurahan Saribudolok merupakan daerah yang penduduknya
mayoritas suku Simalungun. Sejak jaman dahulu suku bangsa Simalungun
adalah suku bangsa yang mayoritasnya menganut Agama Kristen dan Islam.
Sama halnya dengan Suku Simalungun yang ada di Kelurahan Saribudolok,
penduduknya menganut berbagai aliran kepercayaan baik itu agama Kristen
Protestan, Kristen Katolik, dan Islam. Tetapi berdasarkan hasil penelitian
maka penduduk adalah mayoritas menganut agama Kristen Protestan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5
Keadaan Penduduk Berdasarkan Agama
No. Agama Jumlah Presentase
1 Katolik 3.030 39,0 %
2 Protestan 4.052 52,0 %
3 Islam 589 7,6 %
4 Budha 21 0,4 %
5 Hindu - -
28 Dari tabel di atas dapat disimpulakn bahwa keadaan penduduk
berdasarkan agama di Kelurahan Saribudolok didomunasi oleh agama Kristen
Protestan, yakni sebanyak 4.052 % jiwa atau sekira 52 %. Berdasarkan data
tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa yang menganut agama Kristen
didominasi oleh suku Batak Toba, Karo, dan Simalungun.
Sementara untuk agama Islam sebanyakan dianut oleh etnis Jawa
sedangkan untuk agama Budha dianut oleh etnis China. Dari data ini juga
dapat kita lihat bahwa utnuk agama Budha 100 % dianut oleh etnis China
dimana hal ini dapat dilihat dari data penduduk. Artinya dari 21 jiwa
penduduk Cina, semuanya menganut agama Budha.
2.2.5. Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
Penduduk Kelurahan Saribudolok menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian. Selain sebagai petani, masyarakatnya juga ada yang hidup
dari sektor jasa, Guru, Pegawai dan Pedagang. Walaupun banyak mata
pencaharian yang lain akan tetapi penghasilan utama itu adalah dari hasil
pertanian. Ini terbukti bahwa rata-rata penduduk yang sudah berprofesi
menjadi pegawai baik swata maupun negeri termasuk juga pedagang tetap
juga memiliki lahan pertanian untuk digarap dan ditanami. Sebagai suatu
daerah yang strategi yakbi berada sekitar 1400 meter di atar permukaan laut
29 Dengan perbedaan temperature anatara siang dan malam mencapai 27
– 29 0C, lahan pertanian sangat subur untuk ditanami hortikultura dana
tanaman lainnya. Tanaman yang ada di daerah ini berbagai jenis diantaranya
ada tanaman keras dan tanaman muda, akan tetapi tanaman muda adalah
pilihan utama bagi penduduk.
Alasan tanaman muda dijadikan pilihan utama dalam pertanian adalah
karena pengurusannya lebih mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk
memperoleh hasil lebih cepat dan yang paling mendukung adalah tanahnya
yang subur untuk tanaman capcay (tanaman muda seperti sayur-mayur).
Tanah di Kelurahan Saribudolok ini dapat dikatakan sebagai tanah yang
tergolong subur.
Tanaman muda seperti kentang, cabe, kol, tomat, sayur-mayur dan
lainnya. Sedangkan tanaman tua seperti kopi, jeruk dan lainnya. Dari
hasil-hasil tanaman inilah penduduk Kelurahan Saribudolok dapat memenuhi
kebutuhan hidup baik kebutuhan sehari-hari. Seperti kebutuhan untuk makan,
kebutuhan pendidikan anak dan juga pemenuhan kebutuhan hidup seperti
kebutuhan barang-barang lainnya. Untuk lebih mengetahui mata pencaharian
30 Tabel 6
Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No. Mata Pencaharian Jumlah Presentase (%)
1 PNS 471 6,0
Sumber: Data Kelurahan Saribudolok, 2014
Berdasarkan tabel diatas, sebagian besar penduduk di Kelurahan
Saribudolok hidup dari sektor pertanian yaitu sekitar 49 %. Akan tetapi perlu
diketahui walaupun sebagian lagi penduduknya hidup di sektor jasa, pegawai,
dan sebagainya, mereka tetap merangkap sebagai petani. Hal ini terbukti pada
dasarnya atau setiap penduduk yang ada di Kelurahan Saribudolok rata-rata
memiliki juma (ladang) untuk digarap sebagai lahan pertaian. Oleh sebab itu,
Saribudolok dikenal sebagai daerah pertanian tanaman hortikultura.
2.3. Potensi Alam
Lahan pertanian yang subur dan luas menjadi modal utama
31 kedua Sumatera Utara setelah Kabupaten Deli Serdang. Terletak pada
ketinggian 369 meter di atas permukaan laut, Simalungun mampu menarik
perhatian masyarakat luar daerah sejak zaman kolonial.
Kehadiran pemerintahan kolonial memberi arti penting bagi
perkembangan pertanian. Irigasi yang bersumber dari bendungan, salah satu
bentuk pembangunan zaman kolonial, dimanfaatkan petani untuk mengairi
sawah. Lahan sawah, termasuk ladang, tersebar merata di setiap kecamatan.
Tahun 2001 misalnya, petani Simalungun memproduksi beras 293.179
ton, 190 persen dari kebutuhan lokal. Simalungun setiap tahun surplus beras
yang disalurkan ke daerah sekitarnya melalui Dolog maupun pasar tradisional.
Swasembada pangan Simalungun teruji puluhan tahun dan masih akan terus
berlangsung. Dalam beberapa kesempatan, niat petani menanam padi tidak
begitu kuat. Tahun 1995, petani bersemangat menanam kelapa sawit sehingga
tidak sedikit lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa
sawit. Alih fungsi lahan ini tidak mengganggu Simalungun sebagai penghasil
beras. Produksi beras Simalungun tahun 1995 surplus 149.255 ton.
Selain padi, daerah ini juga penghasil utama palawija. Jagung, ubi
jalar, ubi kayu, dan kacang tanah menempati urutan pertama dan kedua
produksi terbesar di Sumatera Utara. Dukungan tenaga kerja pertanian
tanaman pangan sangat besar. Kecamatan Dolok Panribuan dan Tanah Jawa
yang berbatasan dengan Kabupaten Asahan di timur serta delapan kecamatan
lainnya di barat merupakan daerah-daerah dengan tenaga kerja pertanian
32 dengan Kabupaten Karo di barat menjadi penyedia tenaga kerja pertanian
tanaman pangan terbesar (83,4 persen).
Sementara Kecamatan Tapian Dolok yang berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang menjadi daerah dengan sebaran penduduk merata
dalam lapangan pekerjaan: pertanian tanaman pangan, perkebunan, pertanian
lainnya, industri pengolahan, serta jasa. Potensi perkebunan semakin
memantapkan pertanian sebagai sektor unggulan. Kegiatan ekonomi daerah
tahun 2001 Rp 4,2 triliun, 62 persen disumbang oleh pertanian. Di sektor
pertanian, hampir 50 persen ditunjang hasil perkebunan. Kelapa sawit menjadi
komoditas utama. Tahun 2001 tak kurang 489.335 ton dihasilkan dari areal
24.787 hektar. Kelapa sawit merupakan produksi perkebunan rakyat terbesar
kedua di Sumut setelah Kabupaten Labuhan Batu.
Perkebunan besar dengan lahan hampir 70.000 hektar kelapa sawit
memproduksi sekitar satu juta ton tahun 2001. Karet dan cokelat menjadi
pendukung kontribusi perkebunan. Saat ini ada dua badan usaha besar yang
dikelola pemerintah dan swasta. Jumlah tenaga kerja perkebunan tidak merata
di setiap kecamatan. Ada tiga kecamatan dengan tenaga kerja setidaknya 20
persen, yakni Dolok Batu Nanggar, Jorlang Hataran, dan yang terbesar
Sidamanik (28,5 persen) berbatasan langsung dengan Danau Toba. Fluktuasi
produksi karet dialami oleh perkebunan yang dikelola pemerintah lima tahun
terakhir.
Setelah penurunan produksi tahun 1997, tahun 2001 meningkat 38
33 tajam juga terjadi pada komoditas cokelat. Tahun 2000 perkebunan hanya
memproduksi 2.076 ton kakao. Setahun berikutnya naik menjadi 13.630 ton.
Namun, ini masih di bawah produksi tahun 1999 yang mencapai
16.032 ton.Tanaman yang membuat prihatin adalah teh. Produksi teh yang
terpusat di Kecamatan Raya dan Sidamanik ini mulai anjlok. Penurunan
produksi secara tajam dimulai tahun 2000, dari 100.498 ton tahun sebelumnya
menjadi 75.796 ton, dan tinggal 15.340 ton tahun 2001.
Dalam menjual hasil panen, petani Simalungun sangat bergantung
pada pedagang dan tengkulak, yang sebagian besar dari luar daerah. Kehadiran
industri besar, seperti PT Good Year Sumatra Plantations yang didirikan tahun
1970, cukup membantu petani memasarkan hasil panen mereka. Meskipun
memiliki perkebunan sendiri, perusahaan pengolahan karet ini mampu
menampung karet hasil perkebunan rakyat. Setelah diolah menjadi bahan
setengah jadi, produknya dijual ke luar daerah dan ekspor. Melihat produksi
pertanian yang melimpah, sepantasnya Pemerintah Kabupaten Simalungun
memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan industri pengolahan.
Meski masih belum maksimal, aktivitasnya mampu memberikan
kontribusi Rp 721,6 miliar. Jumlah tenaga kerja yang terserap dalam bidang
ini di berbagai kecamatan memang masih sedikit, satu sampai empat persen.
Satu-satunya kecamatan dengan jumlah tenaga kerja besar dalam bidang ini
adalah Tapian Dolok, yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Deli
34 Perpaduan pengembangan antara pertanian sebagai sumber bahan
baku, industri sebagai wahana pemberi nilai tambah, dan perdagangan akan
menjadikan Simalungun sebagai daerah agroindustri, agrobisnis, dan juga
agrowisata.
2.4. Sarana dan Prasarana 2.4.1. Sarana Kesehatan
Jika dilihat dari tingkat kesehatannya, maka Kelurahan Saribudolok
dapat disebut sebagai masyarakat yang peduli akan tingkat kesehatan. Ini
dapat peneliti lihat dari sarana kesehatan yang tersedia. Demikian juga
masyarakatnya yang sudah berfikir logis mengenai kesehatan. Hal ini terbukti
dari jumlah bidan desa. Selain itu juga apabila masyarakat terserang penyakit,
langsung datang ke dokter untuk memeriksadan meminta resep obat. Begitu
juga dengan kaum ibu yang sedang mengandung sudah mau
mengkonsultasikan kandungannyake bidan-bidan yang ada.
Sampai pada proses persalinannya, para ibu sudah mempercayakan
keselamatan bayinya kepada bidan desa yang ada. Untuk lebih jelasnya,
menegnai sarana dan prasarana kesehatan yang ada di daerah Saribudolok
35 Tabel 7
Sarana Kesehatan
No. Sarana Kesehatan Jumlah
1 Rumah Sakit 1
2.4.2. Sarana Pendidikan
Sebagai daerah kelurahan dan merupakan Ibukota Kecamatan
Silimakuta, maka Saribudolok mempunyai sarana yang sudah cukup lengkap
karena mulai dari Sekolah Tingkat Dasar sampai dengan Sekolah Menengah
Atas sudah tersedia. Untuk lebih jelasnya akan disajikan pada tabel di bawah
ini.
Tabel 8
Sarana Pendidikan di Kelurahan Saribudolok
No. Jenis Sekolah Jumlah
1 Sekolah Dasar (SD) 5
2 Sekolah Menengah Pertama (SMP)
3
3 Sekolah Menengah Atas (SMA) 3
36 Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat jumlah sekolah yang paling
banyak adalah Sekolah Dasar (SD). Untuk gedung sekolah masih dapat dibagi
dalam beberapa kelompok. Untuk SD ada 5 gedung sekolah, yaitu: 2 SD
Swasta ( SD Khatolik dan SD GKPS) dan 3 SD Negeri. Untuk SMP ada 3
gedung sekolah, yaitu: SMP Khatolik Bunda Mulia, SMP Negeri 1, dan SMP
Negeri 2. Sedangkan untuk SMA ada 2 gedung sekolah, yaitu: SMA Swasta
Khatolik Duynhoven dan SMA Negeri 1.
2.4.3. Sarana Ibadah
Dilihat dari hubungan antara manusia dan Sang Penciptanya, maka
setiap daerah tentu mempunyai tempat untuk beribadah. Walaupun di
Kelurahan Saribudolok ini hanya ada 3 agama yang berkembang, tetapi tidak
semua agama tersebut mempunyai tempat untuk beribadah, misalnya agama
Budha. Adapun sarana yang ada di Kelurahan Saribudolok dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 9 Sarana Ibadah
No. Sarana Ibadah Jumlah
1 Masjid 1
2 Gereja 7
3 Vihara -
4 Pura -
37 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah sara ibadah untuk
agama Kristen lebih banyak di bandingkan dengan sarana ibadah untuk agama
Muslim. Hal ini dikarenakan Kristen masih dapat dikelompokkan lagi menjadi
dua agama yaitu agama Kristen Khatolik yang memiliki 2 rumah ibadah dan
agama Kriten Protestan yang memiliki 5 rumah ibadah.
Untuk Kristen Protestan gedung gereja lebih banyak dibandingkan
dengan Kristen Khatolik, karena agama Kristen Protestan terbagi lagi menjadi
beberapa aliran, seperti aliran gereja suku (GKPS) dan Gereja Sekte seperti:
Imanuel, GBI, GKII dan Pentakosta yang masing-masing memiliki gedung
ibadah.
2.4.4. Sarana Transportasi
Kelurahan Saribudolok mempunyai letak yang strategis, terletak di
antara Pematang Siantar, Kabupaten Karo dan juga Sidikalang. Hal ini
pastinya akan membuat wilayah Saribudolok sebagai jalur lintas untuk
Sidikalang, Kabupaten Karo dan juga Pematang Siantar. Oleh sebab itu, untuk
sarana angkutan umum menuju daerah lain, sarana angkutan yang ada sudah
lebih dari cukup. Sedangkan sarana angkutan untuk masyarakat setempat atau
antar nagori yang dimanfaatkan adalah kendaraan becak motor dan angkot.
Khusus untuk kendaraan becak motor di Saribudolok sekarang ini sudah
cukup menjamur dan lebih efisien bagi masyarakat setempat.
Adanya kendaraan becak motor yang setiap saat tersedia dan yang
38 pelosok tidak perlu khawatir lagi karena tukang becak kendaraan becak motor
siap untuk memberikan pelayanan setiap saat. Selain itu becak motor ini tidak
hanya melayani penduduk untuk bepergian ke tempat-tempat umum dan
pelosok saja, becak motor ini juga melayani para penduduk khususnya petani
untuk pergi ke ladang-ladang mereka, bahkan bersedia juga untuk mengangkut
39 BAB III
ORANG SIMALUNGUN
3.1. Sejarah Simalungun
Simalungun adalah salah satu suku bangsa asli yang mendiami
Sumatera Utara, tepatnya di timur Danau Toba(Kab. Sialungun). Orang Karo
menyebut mereka dengan sebutan Timur, karena letak mereka yang disebelah
timur Taneh Karo. Di dalam cakap (bahasa) Karo, “Simelungen” sendiri
bermakna “si sepi, si sunyi, yang dimana terdiri dari dua suku kata, yakni “si =
si, yang; dan me-lungun = sepi, sunyi”, jadi simalungen mengandung artian:
“wilayah (daerah) yang sepi”.
Hal ini dikarenakan dulunya daerah Simalungun ini masyarakatnya
hidup berjauhan(tidak berkumpul) sehingga tampak sepi. Sedangkan, orang
Batak menyebutnya dengan “Si Balungu”, ini berkaitan dengan legenda hantu
yang menimbulkan wabah penyakit di wilayah itu.
Dalam tradisi asal-usulnya, suku bangsa Simalungun diyakini berasal
dari wilayah di India Selatan dan India Timur yang masuk ke nusantara sekitar
abad ke-5 Masehi serta menetap di timur Danau Toba (Kab. Simalungun
sekarang), dan melahirkan marga Damanik yang merupakan marga asli
40 Dikemudian hari datang marga-marga dari sekitar Simalungun seperti:
Saragih, Sinaga, dan Purba yang menyatu dengan Damanik menjadi empat
marga besar di Simalungun.
3.1.1. Gelombang Pertama (Simalungun Proto)
Simalungun Proto( Simalungun Tua) diperkirakan datang dari Nagore
di India Selatan dan Assam dari India Timur, yang dimana diyakini mereka
bermigrasi dari India ke Myanmar selanjutnya ke Siam (Thailand) dan ke
Malaka hingga akhirnya ke Sumatera Timur mendirikan kerajaan Nagur
(kerajaan Simalungun kuno) dinasti Damanik (marga asli Simalungun).
Dalam kisah perjalanan panjang mengemban misi penaklukan
wilayah-wilayah sekitarnya, dikatakan mereka dipinpin oleh empat raja besar dari Siam
dan India yang bergerak dari Sumatera Timur menuju Langkat dan Aceh,
namun pada akhirnya mereka terdesak oleh suku bangsa asli setempat
(Aru/Haru/Karo) hingga ke daerah pinggiran Danau Toba dan Samosir.
3.1.2. Gelombang Kedua (Simalungun Deutro)
Pada gelombang kedua ini, atau dengan masuknya marga Saragih,
Sinaga, dan Purba, dikatakan Simalungun asli mengalami invasi dari suku
bangsa sekitar yang memiliki pertalian dengan Simalungun Tua. Jika ditelisik
dari tiga marga yang masuk itu, maka berdasarkan aspek ruang dan waktu
dapat kita indikasikan mereka datang dari Utara Danau Toba( Karo: Tarigan
Purba dan Ginting Seragih yang kemudian juga menjadi Saragih Munthe) dan
41 Hal ini juga sangat berkaitan jika kita meninjau apa yang ada di tradisi
merga di utara Danau Toba seperti Ginting(Pustaka Ginting: terkhususnya
Ginting Munthe yang mendapat konfirmasi dari marga Saragih, Saragih
Munthe di Simalungun dan Dalimunte di Labuhan Batu) dan
Tarigan(Legenda Danau Toba dan Si Raja Umang Tarigan) yang dimana
dalam tradisi dua merga ini menceritakan adanya migrasi dari
cabang(sub-)merga mereka ke wilayah Timur(Simalungun) dan sekitar Danau Toba.
Dalam Pustaha Parpandanan Na Bolag (kitab Simalungun kuno)
dikisahkan Parpandanan Na Bolag(cikal bakal daerah Simalungun)
merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari
Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain
menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga
perbatasan sungai Rokan di Riau.
Namun, kini populasi Simalungun sudah mengalami kemunduran
akibat beralih identitas menjadi Melayu(masuk Islam sama halnya dengan
Karo) dan terdesak akibat derasnya arus migrasi suku-suku disekitar
Simalungun (khususnya Toba dan Karo) yang membuat suku bangsa
Simalungun itu kini hanya menjadi mayoritas di wilayah Simalungun atas saja
42 3.2. Marga Besar di Simalungun
3.2.1. Marga Damanik
Damanik adalah satu marga di antara empat marga pada suku bangsa
Simalungun, Damanik merupakan marga pertama di Simalungun. Damanik
berarti Simada Manik (pemilik manik), yang mana dalam bahasa Simalungun
Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat,
berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Leluhur marga Damanik dan
marga-marga lain dalam Suku bangsa Simalungun berasal dari Nagore (India
Selatan) dan Pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5,
menyusuri Birma ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke
Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari raja dinasti Damanik.
Damanik disebut juga Parbapaan artinya seorang yang dituakan,
tempat bertanya hal-hal yang diperlukan tentang sesuatu dalam ilmu yang
terkandung pada alam semesta, dilihat dari Parhalaan, mempunyai ilmu
pengobatan dan sebagainya, pada zaman dulu disebut Datu (dukun). Karena
oknumya dianggap manusia yang mengetahui rahasia-rahasia alam semesta.
Sebagai Datu sering terlihat dalam pakaian jubah yang ditaburi manik-manik
(permata) pada waktu memanjatkan mantera dalam upacara kepercayaan yang
dianut pada masa itu. Bila dipertautkan dengan zaman kejadiaannya, dengan
suatu masa manurut pra-sejarah kira-kira 800-600 SM.
Pada zaman Kerajaan Sulaiman di Asia, pakaian jubah para Imam,
43 tentu Datu menganut suatu keyakinan di samping ilmu-ilmu yang lain yang
telah diuraikan di atas. Keyakinan di mana dalam masa pra-sejarah (1000
SM) berupa suatu ajaran yang berasal dari Nabi Musa terkenal dengan ajaran
Dasa Sila (sepuluh perintah Tuhan) yang menganggap bahwa manusia sama
adanya di hadapan Tuhan.
Dari fakta sejarah menurut peradaban Simalungun dapat disimpulkan
bahwa orang yang berketepatan sebagai Raja di wilayah masing-masing
ternyata berasal dari satu keturunan Nenek moyang yang tiba di Batubara.
Pada satu generasi yang sama, muncul 3 (tiga) orang bersaudara berkedudukan
sebagai Raja di wilayah masing-masing yang terdiri dari :
1. Raja Namartuah (Raja Siattar) dari jenis Marga Damanik
Barotbot anak keturunan Marahsilu (Raja Nagur yang terakhir).
2. Raja Jumorlang (Kerajaan Jumorlang) dari jenis Marga
Damanik (Bah Bolag) anak dari sorotilu (Kerajaan Manakasian).
3. Timoraja Damanik Nagur, sanak keluarga dari Raja-raja Nagur
terdahulu.
Dari 3 (tiga) jenis anak keturunan marga Damanik dalam peradaban
untuk mengetahui dari antaranya siapa yang tertua, yang tengah dan yang
bungsu, tidak terlihat lagi sebagai tanda-tanda pertalian dalam kekeluargaan
tarombo. Tetapi dari sudut hubungan persaudaraan satu sama lain masih