• Tidak ada hasil yang ditemukan

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

98 DAFTAR PUSTAKA

Baharrudin, M. Achwan. 2011. Research Metode dan Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama. Jakarta : Jakarta Press

Honig, A.G. 2005. Ilmu Agama. Diterjemahkan oleh M.D. Koesoemosoesastro & Soegiarto (cet. ke-11). Jakarta: Gunung Mulia

Jahutar Damanik, NPV: 2.029.293, Raja Sang Naualuh , Sejarah Perjuangan Kebangkitan Bangsa Indonesia , Medan, medio 1981 cetak ulang tahun 1987

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta

______________. 2007. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Maran, Rafael Raga. 2003. Manusia dan Kebudayaan. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Moleong, Lexy. J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosdakarya

Margono. (1997). Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Mariasusai, Dhavamany. 2010. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kansius

(2)

99 Saifuddin, Ahmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontremporer : Suatu

Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Edisi Pertama, Cetakan ke-1. Jakarta : Kencana Prenada Media.

Sinaga, Drs Salmon. 2008. Adat Ni Simalungun. Siantar : Presidium Partuha

Sunjata. 1996. Tradisi, Makna dan Simbolnya. Yogyakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Spardley, James. P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana

Thouless, Robert H. 1995. Pengantar Psikologi Agama terjemahan Machun Husein. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Sumber Lain :

www.tuanguru.com/2012/10/kepercayaan-totemisme.html

http://www.academia.edu/5002694/Asas-asas_Antropologi_Dr._Abdullah_Taib._DBP_1985

Pius A. Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:

Arkola, 1994

(3)

39 BAB III

ORANG SIMALUNGUN

3.1. Sejarah Simalungun

Simalungun adalah salah satu suku bangsa asli yang mendiami

Sumatera Utara, tepatnya di timur Danau Toba(Kab. Sialungun). Orang Karo

menyebut mereka dengan sebutan Timur, karena letak mereka yang disebelah

timur Taneh Karo. Di dalam cakap (bahasa) Karo, “Simelungen” sendiri bermakna “si sepi, si sunyi, yang dimana terdiri dari dua suku kata, yakni “si =

si, yang; dan me-lungun = sepi, sunyi”, jadi simalungen mengandung artian:

“wilayah (daerah) yang sepi”.

Hal ini dikarenakan dulunya daerah Simalungun ini masyarakatnya

hidup berjauhan(tidak berkumpul) sehingga tampak sepi. Sedangkan, orang

Batak menyebutnya dengan “Si Balungu”, ini berkaitan dengan legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di wilayah itu.

Dalam tradisi asal-usulnya, suku bangsa Simalungun diyakini berasal

dari wilayah di India Selatan dan India Timur yang masuk ke nusantara sekitar

abad ke-5 Masehi serta menetap di timur Danau Toba (Kab. Simalungun

sekarang), dan melahirkan marga Damanik yang merupakan marga asli

(4)

40 Dikemudian hari datang marga-marga dari sekitar Simalungun seperti:

Saragih, Sinaga, dan Purba yang menyatu dengan Damanik menjadi empat

marga besar di Simalungun.

3.1.1. Gelombang Pertama (Simalungun Proto)

Simalungun Proto( Simalungun Tua) diperkirakan datang dari Nagore di India Selatan dan Assam dari India Timur, yang dimana diyakini mereka

bermigrasi dari India ke Myanmar selanjutnya ke Siam (Thailand) dan ke

Malaka hingga akhirnya ke Sumatera Timur mendirikan kerajaan Nagur

(kerajaan Simalungun kuno) dinasti Damanik (marga asli Simalungun).

Dalam kisah perjalanan panjang mengemban misi penaklukan

wilayah-wilayah sekitarnya, dikatakan mereka dipinpin oleh empat raja besar dari Siam

dan India yang bergerak dari Sumatera Timur menuju Langkat dan Aceh, namun pada akhirnya mereka terdesak oleh suku bangsa asli setempat

(Aru/Haru/Karo) hingga ke daerah pinggiran Danau Toba dan Samosir.

3.1.2. Gelombang Kedua (Simalungun Deutro)

Pada gelombang kedua ini, atau dengan masuknya marga Saragih,

Sinaga, dan Purba, dikatakan Simalungun asli mengalami invasi dari suku bangsa sekitar yang memiliki pertalian dengan Simalungun Tua. Jika ditelisik

dari tiga marga yang masuk itu, maka berdasarkan aspek ruang dan waktu

dapat kita indikasikan mereka datang dari Utara Danau Toba( Karo: Tarigan

Purba dan Ginting Seragih yang kemudian juga menjadi Saragih Munthe) dan

(5)

41 Hal ini juga sangat berkaitan jika kita meninjau apa yang ada di tradisi

merga di utara Danau Toba seperti Ginting(Pustaka Ginting: terkhususnya

Ginting Munthe yang mendapat konfirmasi dari marga Saragih, Saragih

Munthe di Simalungun dan Dalimunte di Labuhan Batu) dan

Tarigan(Legenda Danau Toba dan Si Raja Umang Tarigan) yang dimana

dalam tradisi dua merga ini menceritakan adanya migrasi dari

cabang(sub-)merga mereka ke wilayah Timur(Simalungun) dan sekitar Danau Toba.

Dalam Pustaha Parpandanan Na Bolag (kitab Simalungun kuno) dikisahkan Parpandanan Na Bolag(cikal bakal daerah Simalungun) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari

Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga

perbatasan sungai Rokan di Riau.

Namun, kini populasi Simalungun sudah mengalami kemunduran

akibat beralih identitas menjadi Melayu(masuk Islam sama halnya dengan

Karo) dan terdesak akibat derasnya arus migrasi suku-suku disekitar

Simalungun (khususnya Toba dan Karo) yang membuat suku bangsa

Simalungun itu kini hanya menjadi mayoritas di wilayah Simalungun atas saja

(6)

42 3.2. Marga Besar di Simalungun

3.2.1. Marga Damanik

Damanik adalah satu marga di antara empat marga pada suku bangsa

Simalungun, Damanik merupakan marga pertama di Simalungun. Damanik

berarti Simada Manik (pemilik manik), yang mana dalam bahasa Simalungun

Manik berarti Tonduy, Sumangat, Tunggung, Halanigan (bersemangat,

berkharisma, agung/terhormat, paling cerdas). Leluhur marga Damanik dan

marga-marga lain dalam Suku bangsa Simalungun berasal dari Nagore (India

Selatan) dan Pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5,

menyusuri Birma ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke

Sumatera Timur dan mendirikan Kerajaan Nagur dari raja dinasti Damanik.

Damanik disebut juga Parbapaan artinya seorang yang dituakan,

tempat bertanya hal-hal yang diperlukan tentang sesuatu dalam ilmu yang

terkandung pada alam semesta, dilihat dari Parhalaan, mempunyai ilmu

pengobatan dan sebagainya, pada zaman dulu disebut Datu (dukun). Karena

oknumya dianggap manusia yang mengetahui rahasia-rahasia alam semesta.

Sebagai Datu sering terlihat dalam pakaian jubah yang ditaburi manik-manik

(permata) pada waktu memanjatkan mantera dalam upacara kepercayaan yang

dianut pada masa itu. Bila dipertautkan dengan zaman kejadiaannya, dengan

suatu masa manurut pra-sejarah kira-kira 800-600 SM.

Pada zaman Kerajaan Sulaiman di Asia, pakaian jubah para Imam,

(7)

43 tentu Datu menganut suatu keyakinan di samping ilmu-ilmu yang lain yang

telah diuraikan di atas. Keyakinan di mana dalam masa pra-sejarah (1000

SM) berupa suatu ajaran yang berasal dari Nabi Musa terkenal dengan ajaran

Dasa Sila (sepuluh perintah Tuhan) yang menganggap bahwa manusia sama

adanya di hadapan Tuhan.

Dari fakta sejarah menurut peradaban Simalungun dapat disimpulkan

bahwa orang yang berketepatan sebagai Raja di wilayah masing-masing

ternyata berasal dari satu keturunan Nenek moyang yang tiba di Batubara.

Pada satu generasi yang sama, muncul 3 (tiga) orang bersaudara berkedudukan

sebagai Raja di wilayah masing-masing yang terdiri dari :

1. Raja Namartuah (Raja Siattar) dari jenis Marga Damanik

Barotbot anak keturunan Marahsilu (Raja Nagur yang terakhir).

2. Raja Jumorlang (Kerajaan Jumorlang) dari jenis Marga

Damanik (Bah Bolag) anak dari sorotilu (Kerajaan Manakasian).

3. Timoraja Damanik Nagur, sanak keluarga dari Raja-raja Nagur

terdahulu.

Dari 3 (tiga) jenis anak keturunan marga Damanik dalam peradaban

untuk mengetahui dari antaranya siapa yang tertua, yang tengah dan yang

bungsu, tidak terlihat lagi sebagai tanda-tanda pertalian dalam kekeluargaan

(8)

44 Damanik Barotbot :

• Anak keturunan Raja Uluan, Pamatang Sipolha di negeri

Sijambur – Ajibata dan sebagainya.

• Anak keturunan Raja Namaringis Raja Siattar di Pematang

Siantar, Marihat.

• Anak keturunan Partuanon Pamatang Bandar • Anak keturunan Partuanon Pamatang Sidamanik

• Anak keturunan Parbapaan di Batubara (Damanik- Batubara)

Dolog Malele, Bangun, Naga Huta, dan seterusnya.

• Anak keturunan Parbapaan di Pulau Raja Damanik –

Simargolong.

Damanik Bah Bolag :

Anak keturunan Raja Jumorlang diberi nama Ariurung Oppu Barita

jabatan Bah Bolag (penguasa lautan) menjadi marga Damanik (Bah Bolag)

berada di sekitar Pamatang Siantar.

Damanik Nagur :

Anak keturunan Damanik Nagur, Damanik Usang, Damanik Sola,

Damanik Rappogos, Damanik Melayu, Damanik Bayu, Damanik Sarasa,

Damanik Rih d.l.l. Sejak Simalungun masih diriwayatkan sebagai Nagur ,

(9)

45 bangsawan awal, Damanik mengatur tatanan ke Simalungunan. Namun jika

dilihat dari perjalanan panjang marga Damanik dalam tinjauan habonaron,

maka sebuah kebenaran tidaklah boleh ditiadakan. Bukti dari “Perjalanan

Simalungun/ Damanik dalam Tinjauan Habonaron”, sebagai etnis/marga tua

yang berbudaya dan memiliki peradaban yang tinggi.

Pada masa sebelum Belanda masuk ke Simalungun, suku bangsa ini

terbagi ke dalam 7 daerah yang terdiri dari 4 Kerajaan dan 3 Partuanan.

Kerajaan tersebut adalah:

1. Siantar (menandatangani surat tunduk pada belanda tanggal 23

Oktober 1889, SK No.25)

2. Panei (Januari 1904, SK No.6)

3. Dolok Silou

4. Tanoh Djawa (8 Juni 1891, SK No.21)

Sedangkan Partuanan (dipimpin oleh seseorang yang bergelar "tuan")

tersebut terdiri atas:

1. Raya (Januari 1904, SK No.6)

2. Purba

3. Silimakuta

Kerajaan-kerajaan tersebut memerintah secara swaparaja. Setelah

Belanda datang maka ketiga Partuanan tersebut dijadikan sebagai Kerajaan

yang berdiri sendiri secara sah dan dipersatukan dalam Onderafdeeling

(10)

46 diperkuat lagi dengan Besluit tanggal 22 Januari 1908 nomor 57, Raja Siantar

Sang Nahualu dinyatakan dijatuhkan dari tahtanya selaku Raja Siantar oleh

pemerintah Hindia Belanda. Pemerintahan kerajaan Siantar, menunggu akil

baligh Tuan Kodim dipimpin oleh suatu Dewan Kerajaan terdiri dari Tuan

Marihat, Tuan Sidamanik dan diketuai oleh Kontelir Simalungun.

3.2.2. Marga Saragih

Saragih berasal dari Selatan India, yang melakukan perjalanan ke

Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke

Bandar Kalifah sampai Batubara. Secara Etimologis Saragih berasal dari

“simada ragih” dalam bahasa Simalungun, yang mana “ragih” berarti atur,

susun, tata, sehingga simada ragih berarti pemilik aturan atau pengatur,

penyusun atau pemegang undang-undang.

Marga Saragih pertama (Hasusuran-1) itu sendiri muncul saat salah

seorang Puanglima (Panglima) dari kerajaan Nagur dijadikan menantu oleh

Raja Nagur dan selanjutnya mendirikan satu kerajaan baru di Raya (disebut

Pematang Raya, Simalungun). Saragih terdiri dari banyak sub-marga, antara

lain: Garingging Dasalak, Dajawak, Munthe, Rumahorbo, Siallagan,

Sidabalok, Sidabukke, Sidabutar, Sidahuruk, Sigalingging, Sijabat,

Simanihuruk, Simarmata, Sitanggang, Sitio, Sumbayak, Tamba, Tinambunan,

(11)

47 Raja Kerajaan Raya:

1. Tuan Si Pinang Sori

2. Raja Raya, Tuan Lajang Raya

3. Raja Raya Simbolon

4. Raja Gukguk

5. Raja Unduk

6. Raja Denggat

7. Raja Minggol

8. Raja Poso

9. Raja Nengel

10. Raja Bolon

11. Raja Martuah

12. Raja Raya Tuan Morahkalim

13. Raja Raya Tuan Jimmahadim, Tuan Huta Dolog

14. Raja Raya Tuan Rondahaim

15. Raja Raya Tuan Sumayan (Kapoltakan)

16. Raja Raya Tuan Gomok (Bajaraya)

17. Tuan Yan Kaduk Saragih Garingging

Saragih merupakan marga poparan raja nai ambaton yang terdapat di

simalungun saat itu. Jika pakai "h" berarti merupakan gabungan poparan raja

nai ambaton (PARNA) masih ada lanjutannya mis: saragih sumbayak, saragih

(12)

48 adalah yang benar benar keturunan op. saragi tua (dari samosir) jadi Marga

Saragih simalungun bukan berarti keturunan op. Saragi Tua saja tetapi

gabungan marga poparan raja nai ambaton (PARNA).

3.2.3. Marga Sinaga

Sinaga merupakan salah satu dari empat marga asli suku bangsa

Simalungun saat terjadi “Harungguan Bolon” (permusyawaratan besar) antara

empat raja besar (Raja Nagur, Raja Banua Sobou, Raja Banua Purba, Raja

Saniang Naga) untuk tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan

(marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh).

Keturunan dari Raja Saniang Naga di atas adalah marga Sinaga di

Kerajaan Tanah Jawa, Batangiou di Asahan. Saat kerajaan Majapahit

melakukan ekspansi di Sumatera pada abad XIV, pasukan dari Jambi yang

dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan

mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga. Nenek moyang mereka ini kemudian

menjadi raja Tanoh Djawa dengan marga Sinaga Dadihoyong setelah ia

mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang marga Sinaga dari kerajaan Batangiou

dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon).

Keturunan raja Tanah Jawa berasal dari India, salah satunya adalah

menurut Tuan Gindo Sinaga keturunan dari Tuan Djorlang Hatara. Beberapa

keluarga besar Partongah Raja Tanoh Djawa menghubungkannya dengan

(13)

49 Myanmar yang memang memiliki banyak persamaan dengan adat kebiasaan,

postur wajah dan anatomi tubuh serta bahasa dengan suku bangsa Simalungun

dan Batak lainnya. Perbauran suku bangsa asli Simalungun dengan suku-suku

di sekitarnya menimbulkan marga-marga lain dengan Sinaga. Marga-marga

tersebut antara lain Sipayung, Sihaloho, Sinurat, dan Sitopu.

3.2.4. Marga Purba

Purba secara etimologi bermakna timur, kata ini serumpun dengan kata

"purwa" dalam bahasa Jawa. Kata ini berakar dari bahasa Sanskerta "purva".

Pengaruh budaya India yang kental dengan corak Hindu-Buddha melalui

bahasa Sanskerta dan huruf Pallawa pada awal abad Masehi sangat besar

peranannya dalam mewarnai kebudayaan nusantara. Pengaruh itu tentunya

tidak terelakkan oleh suku bangsa Simalungun, akibat dari pengaruh yang

berlangsung selama berabad-abad sehingga ditemukan cukup banyak budaya

Simalungun yang bernuansa Hindu-Buddha.

Purba merupakan salah satu marga dari empat marga besar di

Simalungun. Marga ini terbagi ke dalam beberapa cabang yaitu Tambak,

Sidasuha, Sidadolog, Sidagambir, Sigumonrong, Silangit, Tambun Saribu,

Tua, Tanjung, Pakpak, Siboro, Girsang, Tondang, Sihala, dan Manorsa.

Penamaan Purba sebagai marga dari suatu kelompok masyarakat Simalungun

dapat dideskripsikan bahwa nenek moyang mereka berasal dari arah timur

(14)

50 Leluhur awal marga Purba datang dari Siam bersamaan dengan

Saragih dan Sinaga, mereka berlayar ke Pulau Sumatera tepatnya ke Sumatera

Timur, jalur pelayarannya melalui India. Ada 2 lokasi yang diduga menjadi

tempat berlabuh dan pintu masuk mereka ke Sumatera Timur, yaitu pesisir

Serdang Bedagai dan Asahan sekarang. Mereka kemudian masuk ke

pedalaman dan berbaur dengan masyarakat setempat.

Purba Sigumondrong berasal dari Lokkung, keturunannya kemudian

menyebar ke Cingkes, Marubun, Togur, dan Raya, Simalungun. Marga ini

merupakan keturunan dari Purba Tambak yang lahir dari boru Simarmata.

Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Gerneng.

Adapun leluhur Purba Tondang berawal dari kampung Huta Tanoh di

Kecamatan Purba, marga ini merupakan saudara dari Purba Tambun Saribu.

Sebagian keturunannya meyakini leluhur mereka berasal dari Purba Parhorbo

di Humbang.

Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan

Tendang. Saudaranya, Purba Tambun Saribu berasal dari Harangan Silombu

dan Binangara di Kecamatan Purba, keturunannya yang pindah ke tanah Karo

beralih menjadi Tarigan Tambun. Tua. Cabang marga Purba lainnya yaitu

Purba Tua, marga ini adalah pendiri kampung Purba Tua yang berada di

Kecamatan Silimakuta, sebagian meyakini marga ini merupakan saudara dari

(15)

51 Keturunannya yang pindah ke tanah Karo beralih menjadi Tarigan Tua dan

banyak bermukim di Juhar.

Marga inilah yang menerima kehadiran salah seorang keturunan marga

Cibero di Juhar yang datang dari Tungtung Batu yang kemudian beralih

menjadi Tarigan Sibero. Kampung asal Purba Tanjung berada di Sipinggan

dekat simpang Haranggaol, sebagian keturunannya meyakini marga mereka

lahir dari Purba Pakpak. Sedang pendapat lain mengatakan leluhur mereka

adalah Purba Tambak, di mana salah seorang keturunannya pergi berdiam di

sebuah tanjung di pinggiran Danau Toba.

Adapun marga Girsang, dari hasil investigasi penulis beberapa waktu

yang lalu, di mana salah seorang pengetua adat Pakpak marga Cibero. Ia

menjelaskan bahwa Girsang adalah keturunan dari marga Cibero. Leluhur

marga ini tinggal di sebuah bukit di kampung Lehu, pemukimannya itu

diberikan oleh Raja Mandida Manik Karena menikahi puterinya.

Salah seorang keturunan si Girsang ada yang memiliki keahlian

meramu obat sehingga dikenal juga dengan sebutan Datu Parulas dan

menyumpit burung sehingga digelari juga dengan Pangultop. Adapun nama

leluhur pertama marga Girsang yg datang langsung dari Pakpak menurutnya

adalah 2 orang bersaudara yaitu Girsang Girsang dan Sondar Girsang, mereka

(16)

52 Keduanya melakukan perburuan terhadap seekor burung, karena

mengejar burung tersebut salah seorang di antara keduanya sampai ke

Simalungun dan memasuki kampung Naga Mariah tanah ulayat marga Sinaga.

Pada masa itu Tuan Naga Mariah tengah mendapat ancaman dari musuh yang

datang dari Kerajaan Siantar, berkat bantuan si Girsang musuh dari Siantar

dapat diatasi. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian menikahkannya

dengan puterinya dan menyerahkan tampuk kekuasaan padanya.

Adapun penduduk asli tempat itu yaitu marga Sinaga, setelah

kekuasaan beralih ke tangan si Girsang, mereka akhirnya banyak yang

mengungsi ke Batu Karang dan menjadi marga Peranginangin Bangun. Di

tempat itu, Si Girsang kemudian mendirikan kampung Naga Saribu sebagai

ibukota Kerajaan Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu

Rakutbesi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Nagamariah.

Marga ini terbagi lagi menjadi Girsang Jabu Bolon, Girsang Na

Godang, Girsang Parhara, Girsang Rumah Parik, dan Girsang Rumah Bolon.

Sebagian keturunannya pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Gersang,

kampung Sinaman di Kecamatan Tiga Panah merupakan salah satu kampung

yang didirikan keturunan Girsang yang pindah ke tanah Karo. Adapun

keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini

yang disebut dengan Girsang Silangit. Peristiwa yang sama juga dialami salah

(17)

53 Karena memburu seekor burung dari Tungtung Batu Kecamatan Silima

Punggapungga membawa dirinya sampai ke Simalungun dan memasuki

wilayah kekuasaan Tuan Simalobong salah satu partuanon dari Kerajaan

Panei. Karena kepiawaiannya ia berhasil merebut hati rakyat Simalobong saat

terjadi musim paceklik sehingga rakyat pun dengan sukarela memanggilnya

raja. Hal ini menimbulkan kemarahan dan kecemburuan Tuan Simalobong,

karena ia merasa ialah satu-satunya yang berhak menyandang titel tersebut.

Akibatnya Pangultopultop berurusan dengan pihak istana dan

berhadapan langsung dengan Tuan Simalobong, peristiwa ini berujung dengan

adu sumpah (marbija) antara keduanya yang akhirnya berhasil dimenangkan

oleh Pangultopultop. Kepemimpinan kemudian jatuh ke tangannya, di bekas

wilayah kekuasaan Tuan Simalobong, ia lalu mendirikan Kerajaan Purba dan

mengidentifikasi dirinya dengan sebutan Purba Pakpak.

Pengetua adat marga Cibero tersebut dengan tegas mengatakan bahwa

Pangultopultop, sang pendiri Kerajaan Purba dan nenek moyang pertama

Purba Pakpak juga bermarga Cibero. Nama asli Pangultopultop menurutnya

adalah Gorga, ia memiliki seorang saudara yg bernama Buah atau Suksuk

Langit, saudaranya inilah yg pindah ke Juhar dan menjadi Tarigan Sibero.

Mereka ini merupakan generasi ke 20 dari Raja Ghaib, generasi awal

marga Cibero. Kalau merujuk pada pendapat beliau, artinya lebih dahulu si

Girsang merantau ke Simalungun dibanding si Parultop, ada selisih 9 generasi

(18)

54 Pakpak ada yang membelah diri dan menyebut marganya dengan Purba Sihala

dan mendiami daerah Purba Hinalang, keturunannyalah yang pindah ke tanah

Karo menjadi Tarigan Purba atau Tarigan Cikala yang banyak ditemukan di

daerah Cingkes dan Tanjung Purba, Kecamatan Dolog Silou.

Daftar Raja Purba:

1. Tuan Pangultop Ultop (1624-1648)

2. Tuan Ranjiman (1648-1669)

3. Tuan Nanggaraja (1670-1692)

4. Tuan Batiran (1692-1717)

5. Tuan Bakkaraja (1718-1738)

6. Tuan Baringin (1738-1769)

7. Tuan Bona Batu (1769-1780)

8. Tuan Raja Ulan (1781-1769)

9. Tuan Atian (1800-1825)

10. Tuan Horma Bulan (1826-1856)

11.Tuan Raondop (1856-1886)

12.Tuan Rahalim (1886-1921)

13. Tuan Karel Tanjung (1921-1931)

(19)

55 3.3. Sejarah Pattangan Pada Orang Simalungun

Pattangan merupakan fenomena yang menunjukkan kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa dan suatu suatu spesies

tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. Hubungan ini diungkapkan

sebagian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan

khusus perkawinan di luar suku bangsa.

Pattangan merupakan fenomena yang sangat beraneka ragam dan luas. Hal ini dapat dilukiskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang

mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan mistik atau ritual antara

anggota-anggota kelompok sosial dan suatu jenis binatang atau tumbuhan. Di

dalam pattangan, ada tiga obyek yang dianggap kudus, yaitu pattangan, lambang pattangan dan para anggota suku bangsa itu sendiri. Fenomena tersebut mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, seperti larangan

membunuh atau makan daging binatang pattangan atau mengganggu tanaman

pattangan (Mariasuasai, 2010 : 54).

Batak Simalungun adalah salah sub Suku Bangsa Batak yang berada di

provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun

dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku bangsa ini

berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku bangsa ini terbagi ke

dalam beberapa kerajaan.

Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga

(20)

56 keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun. Orang Batak

menyebut suku bangsa ini sebagai suku bangsa "Si Balungu" dari legenda

hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang

Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka.

Terdapat berbagai sumber mengenai asal-usul Suku bangsa

Simalungun, tetapi sebagian besar menceritakan bahwa nenek moyang Suku

bangsa Simalungun berasal dari luar Indonesia, kedatangan ini terbagi dalam 2

gelombang (Damanik, 1987), Gelombang pertama (Simalungun Proto ),

diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India

Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk

selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur

dari Raja dinasti Damanik.

Gelombang kedua (Simalungun Deutero), datang dari suku-suku di

sekitar Simalungun yang bertetangga dengan suku bangsa asli Simalungun.

Pada gelombang Proto Simalungun, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan

bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam

dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah

Bangun Purba, hingga ke Bandar Kalifah sampai Batubara.

Kemudian mereka didesak oleh suku bangsa setempat hingga bergerak

ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir. Pustaha Parpandanan Na

(21)

57 Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke

Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo

dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.

Salah satu kepercayaan asli yang masih mempunyai masyarakat

pendukung di daerah Sumatera diantaranya adalah kepercayaan Habonaron

Do Bona10. Pendukung ajaran Habonaron Do Bona pada umumnya adalah masyarakat Simalungun yang juga dikenal dengan Halak Timur. Masyarakat

Simalungun merupakan salah satu dari enam subsuku bangsa Batak yang

secara geografis mendiami daerah induk Simalungun.

Ajaran Habonaron Do Bona bersatu padu dengan adat budaya

Simalungun atau Adat Timur, sebagai tata tuntunan laku dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat dalam menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Nilai-nilai

luhur dalam kepercayaan Habonaron Do Bona terkandung dalam ajarannya,

seperti ajaran tentang: Ketuhanan, manusia, alam serta ajaran-ajaran yang

mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan alam

semesta.

Ajaran tentang Tuhan, Manusia dan Alam menurut kepercayaan

Habonaron Do Bona, Tuhan Yang Maha Esa adalah awal dari segala sesuatu

yang ada. Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Naibata. Naibata adalah satu

10

(22)

58 (sada) dan Maha Kuasa (Namar Kuasa/Namar Huasa). Karena Naibata adalah

awal dari segala sesuatu yang ada, maka dunia beserta seluruh isinya adalah

ciptaan-Nya.

Sebagai Sang Pencipta, Naibata juga menjadi pembimbing, pemelihara

dan penyelamat bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Masyarakat pendukung

kepercayaan Habonaron Do Bona menghormati leluhur yang disebut Simagot,

Begu Jabu, Tua-Tua atau Bitara Guru. Menurut Habonaron Do Bona, leluhur

adalah penghubung untuk menyampaikan titah Tuhan Yang Maha Esa kepada

orang-orang tertentu yang berlangsung secara manunggal terhadap keturunan

yang disukainya. Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan

adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian

kekuasaan-Nya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh

leluhur dan kepada keramat-keramat maupun kepada hewan dan tumbuhan.

Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan

Yang Maha Esa, seperti: Namar Huasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Namam

Botoh atau Ne Pentar (Tuhan Yang Tau), Penolong (Tuhan Maha Pengasih),

Pangarak-arak (Tuhan Maha Penuntun), Bona Habonaron (Tuhan Sumber

Kebenaran) dan masih banyak sebutan lainnya. Kemudian ajaran Habonaron

Do Bona tentang manusia mengatakan bahwa manusia adalah diciptakan oleh

Tuhan yang terdiri dari laki-laki (dalahi) dan perempuan (daboru/naboru).

Selanjutnya ajaran Habonaron Do Bona tentang alam mengatakan

(23)

59 bencana, tumbuhan, hewan. Dalam alam ini penuh dengan kekuatan-kekuatan

gaib, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa maupun dari

arwah leluhur.

Bencana Banjir (halonglongan), gampa bumi (sohul-sohul), angin ribut

(aliogo doras), petir (porhas), kegagalan panen, wabah penyakit, hewan

sebagai penolong, hewan dapat memberikan keberkahan dan bahkan tidak

mendapat keturunan pun adalah merupakan perwujudan dari kekuatan gaib

Tuhan dan leluhur, yang diperkenakan kepada alam dan manusia.

Jauh sebelum Habonaron Do Bona di Simalungun sudah terdapat

kepercayaan totemisme. Suku bangsa di Simalungun percaya terhadap hewan

sebagai salah satu yang dapat membantu mereka di dalam kehidupannya. Ada

kepercayaan khusus terhadap hewan dan suku bangsa Simalungun percaya

bahwa hewan tersebut adalah titisan dari Pencipta bumi ini. Hewan ini banyak

ragamnya, di dalam setiap marga memiliki hewan tersendiri. Dari kepercayaan

ini lah suku bangsa Simalungun terbantu dengan kehidupan yang mereka

jalani.

Kepercayaan mereka tersebut telah menjadi satu acuan dalam mereka

melangsungkan kehidupan mereka. Disaat mereka membutuhkan suatu

pertolongan, mereka langsung mencari hewan tersebut dan meminta tolong.

Bahkan di antara mereka ada yang memilihara hewan serta memberikan

(24)

60 seperti dirinya. Hewan tersebut di beri makan, di rawat agar tetap hidup

dengan baik.

Bahkan dari suku bangsa Simalungun sendiri tidak jarang beranggapan

bahwa mereka berasal dari jelmaan hewan. Biasanya mereka menganggap

bahwa hewan tersebut adalah nenek moyang mereka. Mereka dahulunya

adalah jelmaan dari hewan sehingga saat ini mereka juga di bantu oleh hewan

untuk bertahan hidup. Jika di telaah lebih dalam, sebenarnya totemisme

merupakan sistem kepercayan pada zaman pra sejarah.

Suku bangsa Simalungun beranggapan bahwa hewan juga memiliki

roh, hal itu disebabkan karena ada hewan yang lebih kuat dari manusia seperti

harimau dan ada juga yang lebih cepat dari manusia. Banyak hewan yang

memiliki kelebihan dibandingkan manusia sehingga ada perasaan takut atau

juga menghargai binatang tersebut.

Tidak jarang hewan tersebut membantu suku bangsa Simalungun.

Dengan demikian, hubungan antara manusia dengan hewan dapat berupa

hubungan permusuhan atau hubungan baik, hubungan persahabatan, bahkan

hubungan keturunan. Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan

adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian

kekuasaan-Nya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh

leluhur dan kepada keramat-keramat. Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka

banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti; Namar Huasa (Tuhan

(25)

61 Pernolong (Tuhan Maha Pengasih), Pangarak-arak (Tuhan Maha Penuntun),

Bona Habonaron (Tuhan Sumber Kebenaran) dan masih banyak sebutan

lainnya.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, mempunyai

tugas dan kewajibannya, baik terhadap Tuhan, sesama maupun terhadap alam

sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Upacara menyembah kepada

Tuhan Yang Maha Esa tidak terpisahkan dengan upacara-upacara ritual adat.

Masyarakat Simalungun mengenal bermacam-macam upacara seperti:

• Upacara dauh hidup.

• Upacara membongkar tulang belulang.

• Upacara pesta tuan (Robu-robu/Harja Tuan), yaitu upacara berdoa kepada Tuhan dan kepada leluhur untuk memulai suatu usaha seperti kegiatan pertanian/bercocok tanam padi, agar memperoleh hasil yang memuaskan.

• Upacara memasuki rumah baru.

• Upacara menghormati roh leluhur pelindung desa (mambere tambunan/pagar parsakutuan).

• Upacara menghormati roh suci penjaga desa.

• Upacara menghormati keramat pelindung (mambere simumbah).

Tugas dan kewajiban manusia terhadap sesamanya menurut ajaran

Habonaron Do Bona ada dalam bentuk perintah-perintah dan

(26)

62 ketenteraman dalam masyarakat. Perintah-perintah dan larangan tersebut,

antara lain adalah sebagai berikut:

1. Menghormati orang tua dan orang lain sesuai dengan tata krama

tutur (hamat hubani urang tua oppa hasoman marihutkon turur).

2. Menghormati guru (hormat hubani guru/hormat hubani sibere ajar).

3. Membantu orang lain (manappati).

4. Tidak boleh membunuh sesama manusia, termasuk mengugurkan

kandungan.

5. Tidak boleh kimpoi semarga (ulang marboto-boto).

6. Tidak boleh membuat orang lain meneteskan air mata sampai

“berwarna kuning” (ulang iaben manetek iluhni halak magorsing).

7. Tidak boleh meminta-minta (ulang tedek-tedek).

8. Tidak boleh menyusahkan orang lain (ulang manusahi).

9. Tidak boleh berbohong (ulang marguak).

10. Tidak boleh memaki orang lain (ulang manurai).

11. Tidak boleh membungakan uang (ulang makhilang).

12. Tidak boleh menipu dan mengkhianatai orang lain (ulang magoto

otoi/ulang mangkhianat).

Tugas dan kewajiban manusia terhadap dan menurut ajaran Habonaron

(27)

63 massedai). Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Rasa syukur dan

permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berhubungan dengan alam,

misalnya dalam berbagai upacara yang dilakukan dalam kegiatan pertanian,

dimaksudkan agar alam bersahabat dengan manusia dan memberikan hasil

yang memuaskan.

Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah robu buang boro

(mendoakan agar padi jangan diserang hama), membere eme (mendoakan saat

padi sedang bunting), memutik (mendoakan saat padi sudah menguning),

menutup panjang (mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu tempat)

dan menutup hobon (mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen telah

terkumpul). Di samping mempunyai tugas dan kewajiban terhadap Tuhan,

manusia juga memiliki tugas dan kewajiban terhadap dirinya sendiri, seperti

jujur terhadap diri sendiri, harus ahu malu dan harus tahu diri. Sistem

kepercayaan telah berkembang pada masa manusia purba. Mereka menyadari

bahwa ada kekuatan lain di luar mereka. Oleh sebeb itu mereka berusaha

mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut dan kepercayaan tersebut salah

(28)

64 BAB IV

PATTANGAN DAN FUNGSINYA

4.1. Kepercayaan Pattangan Marga Besar Simalungun di Saribudolok

4.1.1. Kepercayaan Marga Damanik terhadap Pattangan

Pattangan merupakan sesuatu larangan untuk memakan, memelihara, menikah dan sebagainya. Salah satu dari pattangan tersebut yaitu pattangan terhadap hewan, baik membunuh, memakan, dan memelihara. Pada zaman dulu saat manusia belum memiliki agama, manusia memiliki pandangan di

dalam kepercayaan. Di dalam penelitian ini, peneliti akan membahas tentang pattangan dari kepercayaan marga Damanik.

Damanik merupakan marga tertua di Simalungun, dimana Raja

Damanik pertama bernama Raja Nagur Tengku Raul Dinasti Damanik. Kerajaan ini terletak di pesisir pantai Nagur 400 SM. Nagur yang artinya

tempat persembahan tentu memiliki alasan yang kuat, salah satu diantaranya yaitu Ular Sibaganding Tua. Ular ini merupakan ular yang sangat dihormati oleh masyarakat bermarga Damanik.

Ular Sibaganding Tua diyakini membawa rezeki yang melimpah bagi masyarakat Damanik. Ular ini dipercayai dapat memberikan keuntungan yang

(29)

65 Ketika petani ingin mendapatkan hasil yang maksimal maka petani membiarkan Ular tersebut berada di dalam lumbung padi bahkan petani

sengaja menaruh ular tersebut di dalam lumbung padi, sehingga besoknya padi tersebut akan bertambah banyak. Bahkan ular itu sendiri yang terkadang

datang dan tetap berada di dalam tumpukkan padi tersebut. Ular langka inilah yang dipercayai marga Damanik dapat mengabulkan permintaan mereka.

Bapak Khairuddin Damanik mengatakan bahwa Ular Sibaganding Tua

merupakan ular yang sangat langka, ular ini sebesar ular piton hanya saja ular ini memiliki panjang sekitar 70cm. Di bagian kepala ular ini terdapat sebuah

simbol seperti padi, ular ini sangat sulit untuk bergerak karena bentuk tubuhnya, ular ini berwarna putih kecoklatan.

Ular ini sangat dipantangkan oleh marga Damanik. Bapak yang berasal

dari keturunan Raja Bajao Galunggung Damanik mengatakan bahwa ular ini tidak boleh diperlihara maupun dibunuh oleh marga Damanik. Ketika marga

(30)

66 “orang zaman dulu itu kan sakti-sakti, biasanya

ada ritual untuk Sibaganding Tua itu. Ritualnya itu memberi napuran11, terus ada juga jeruk purut. Jeruk purut ini ada dua tujuannya, untuk yang jahat dan yang baik. Biasanya ada permintaan kita juga pas ngasih sesajen itu. Tapikan kalau yang baik kita lakukan, yang baik juga kita dapatkan. Makanya tergantung kita lah mau meminta apa, biasanya rezeki bertambah. Karena kalau zaman dulu hatinya masih banyak yang bersih, tidak seperti sekarang. Tidak hanya itu saja, biasanya kalau kita mau menjual padi kita harus memakannya dahulu baru dapat di jual.” Demikianlah penuturan dari Bapak Khairuddin Damanik (69 tahun).

Ular Sibaganding tua ini merupakan ular yang sangat dipercayai oleh marga Damanik, bahkan ular ini sudah turun temurun menjadi penolong bagi

keturunan Damanik. Tidak diketahui asal ular ini darimana, tetapi marga Damanik yakin ular ini adalah kiriman dari pencipta, jelas Bapak Khairuddin.

Pattangan terhadap ular Sibaganding Tua merupakan bagian dari masyarakat bermarga Damanik terdahulu karena mereka menganggap ular tersebut membantu mereka dalam bertahan hidup serta dalam mencari mata

pencaharian. Ular ini selalu datang di saat marga Damanik membutuhkan. Ular sama seperti hewan pada umumnya tidak memiliki akal dan pikiran,

tetapi Damanik percaya bahwa hewan ini memang penolong bagi marga Damanik. Ritual terhadap ular Sibaganding tua ini rutin dilakukan terus

11

(31)

67 menerus. Meskipun demikian, Khairuddin mengaku bahwa pada saat ini ritual itu sudah tidak ada lagi seiring perkembangan zaman. Pada masa sekarang

Ular yang dijadikan penolong di marga Damanik ini jarang ditemukan.

Bahkan, marga Damanik sendiripun sudah jarang menemukan ular

tersebut. Ular ini dipercayai sudah tidak ada lagi, menurut bapak Khairuddin karena manusia semakin tamak dan semakin banyak kejahatan sehingga ular tersebut tidak pernah terlihat lagi. Akan tetapi, bapak Khairuddin sebagai

keturunan Damanik tetap mengajarkan kepada anaknya untuk tidak membunuh ataupun menangkap ular tersebut. Karena Sampai saat ini bapak

Khairuddin percaya bahwa ular tersebut memberi keberuntungan kepada marga Damanik. Meskipun ular ini tidak terlihat bapak khairuddin percaya bahwa ular ini akan muncul saat Damanik membutuhkan.

Ular ini akan muncul ketika manusia tidak banyak lagi melakukan kejahatan karena ular ini selalu memberikan keberuntungan. Hal ini yang

dipercayai bapak Khairuddin keketurunannya agar mereka mengingat apa yang terjadi di sejarah marga Damanik. Bertahannya marga Damanik karena adanya campur tangan si ular, karena pertolongan ular jugalah marga Damanik

dapat bertahan hidup.

Ular Sibaganding Tua adalah hewan yang di anggap bersahabat dengan

(32)

68 kekerabatan antara ular dan marga Damanik harus tetap di jaga bahkan dilestarikan karena itu adalah salah satu sejarah marga Damanik. Bapak

Khairuddin juga menjelaskan bahwa dia selalu memantangkan anaknya untuk tidak membunuh ular dan terlebih ular Sibaganding Tua. Banyak manusia

takut dengan ular tetapi tanpa disangka ular jugalah yang membantu manusia.

Hubungan kekerabatan ini merupakan bagian dari kebudayaan. Peneliti melihat bahwa marga Damanik dan Ular saling memiliki tugas yang

berkesinambungan. Dimana marga Damanik tidak menganggu dan memberi makan ular Sibaganding Tua dan sebaliknya Sibaganding Tua memberikan

keberuntungan bagi marga Damanik.

Meskipun ular ini sekarang susah untuk ditemukan, marga Damanik tetap pada pattangan mereka untuk tidak menganggu ular Sibaganding Tua.

Hubungan kekerabatan yang terjadi anatara manusia dan hewan memang hal yang tabu pada saat masa sekarang. Tetapi pada saat dulu hubungan

kekerabatan inilah yang menguntungkan kedua jenis ciptaan Tuhan.

4.1.2. Kepercayaan Marga Saragih terhadap Pattangan

Marga Saragih merupakan bagian dari suku bangsa Simalungun,

dimana marga Saragih juga memiliki pattangan. Pattangan di Saragih berbeda dengan marga yang lain juga, yaitu burung perkutut atau bahasa Simalungun

(33)

69 Pada masa penjajahan di Simalungun, Saragih bersembunyi di

semak-semak karena di kejar oleh musuh. Akan tetapi saat musuh mencari dan hampir menemukan Saragih, tiba-tiba ada burung perkutut singgah di atas

semak-semak tersebut. Burung perkutut ini terlihat tenang dan tidak bersuara sama sekali, seakan tidak ada siapa-siapa disekitarnya.

Sehingga musuh pun melewati Saragih dan mencari terus, akhirnya

Saragih selamat dari musuh yang ingin membunuhnya. Saragih pun menceritakan hal tersebut kepada keturunannya, sehingga sampai saat ini

burung perkututlah yang menjadi pattangan pada marga Saragih.

Burung ini mungkin pada awalnya tidak sengaja hinggap di atas pohon akan tetapi burung ini sudah menyelamatkan satu nyawa. Burung perkutut

masih sering ditemui pada saat sekarang. Burung ini juga tidak memiliki kelebihan, tetapi marga Saragih sangat berterimakasih kepada burung ini.

Saragih beranggapan, seandainya burung ini tidak ada mungkin marga Saragih juga akan sedikit pada saat sekarang.

Perkutut merupakan burung yang tidak boleh di makan dan di buru, hal

itu sebagai bukti penghormatan Saragih kepada burung perkutut. Ketika kita hanya berniat ingin membunuh pun sudah sama dengan mengabaikan masa

(34)

70 Saragih. Seandainya musuh tersebut mendapati Saragih, tentu Saragih tidak akan memiliki keturunan lagi.

Akan tetapi, tidak ada ritual khusus untuk burung perkutut yang disebut adduhur. Saragih hanya sekedar bersahabat dengan burung perkutut, sehingga tidak ada hal khusus yang diberikan kepada perkutut. Hanya saja untuk menghormati, marga Saragih sering memberi makan burung tersebut.

“Seandainya pun di makan, itu karena betul-betullah tidak ada makanan. Dan sangat terpaksa memakannya karena tidak ada pilihan. Meskipun gitu, harus kita ganti namanya karena tidak boleh kita bilang makan burung perkutut tapi kita ganti misalnya namanya jadi si Bennet. Harus kita pikirkan di otak kita kalau itu bukan perkutut.karena tidak lah manusiawi kalau kita memakan burung yang sudah menyelamatkan kita.” Ujar Alber Saragih (46 tahun) dalam wawancara.

Alber mengetahui hal tersebut dari kakenya dan kakek tersebut

mengetahui dari nenek moyang marga Saragih. Burung tersebut memang tidak dipelihara oleh nenek moyang saragih, tetapi ketika burung tersebut berada di sawah mereka tidak mengusir dan membiarkan. Nenek moyang dari Saragih

mengatakan bahwa keturunannya harus tahu tentang sejarah perkutut ini.

Alber Saragih, mengatakan bahwa dia tidak menceritakan hal tersebut

(35)

71 burung perkutut sendiri tidak tahu bahwa dibawahnya ada seseorang sedang bersembunyi.

Alber Saragih mengatakan mungkin saja itu hanya kebetulan dan merasa selamat karena ada burung sehingga dia bisa selamat dari musuh.

Bukan hanya itu saja Alber Saragih berpandangan bahwa perkutut hanya kebetulan karena anaknya sendiri telah memakan burung perkutut itu dan tidak terjadi apa-apa.

Anak dari Alber ini melihat ada burung dan dia menangkapnya bersama mertua dari Alber Saragih. Nenek dari anak Alber inilah yang

menangkap lalu mereka memasak dan memakannya. Nenek ini memang tidak mengetahui kalau itu adalah pantangan dari marga menantunya. Bahkan anak Alber ketika memakannya terlihat sangat senang dan ketagihan. Rasa enak

dari burung perkutut inilah yang mebuat si anak ketagihan.

Pada saat itu Alber tidak tahu bahwa anaknya memakan burung

perkutut, setelah memakan burung perkutut itu tidak ada keluhan dari anaknya. Saat itu juga Alber semakin teguh dengan pendiriannya tentang Perkutut. Meskipun demikian, Alber tetap tidak akan memakan burung

Perkutut karena dia berpandangan bahwa dirinya menjadi keturunan terakhir yang percaya tentang burung Perkutut dan kakeknya. Alber juga menegaskan

kalau hal tersebut tidak masuk di akal.

(36)

72 perkutut ini sangat merugikan tanaman padinya. Tetapi Alber hanya tidak akan memberi tahu kepada keturunannya saja bukan kepada keturunan Saragih

lainnya. Alber juga mengaskan bahwa tidak semua Saragih berfikiran sama dengannya, apalagi seumuran orangtuanya.

Orangtua yang sudah tua memang masih berpandangan bahwa perkutut ini penolong. Tetapi melihat perkembangan zaman yang semakin pesat, banyak marga Saragih yang tidak mempercayai. Padahal, sekalipun mereka

tidak percaya tetap saja perkutut memiliki sejarah tersendiri bagi marga Saragih. Perkutut sudah membantu dan sebaliknya Saragih memberikan

kebebasan bagi perkutut. Ini merupakan hubungan kekerabatan yang saling menguntungkan.

Pattangan dilakukan tentu karena ada sesuatu hal yang terjadi di masa lampau dan di bawa sampai masa kini. Teori fungsionalisme mengatakan bahwa di dalam kebudayaan tentu ada unsur yang saling berfungsi. Demikian

halnya dengan sejarah burung Perkutut dan Saragih, Saragih beranggapan burung Perkutut sebagai penolongnya sehingga dia menghargai kehadiran burung Perkutut. Interpretasi budaya juga terlihat dari pandangan dan

pengertian Alber Saragih tentang sejarah dari apa yang marga Saragih pantangkan.

4.1.3. Kepercayaan Marga Sinaga terhadap Pattangan

(37)

73 halnya dengan Sinaga, Marga Sinaga juga memiliki pattangan sendiri di keturunan Sinaga. Sinaga berasal dari India yang datang ke kerajaan Nagur.

Pantangan awal di marga Sinaga adalah Lembu, dimana pada saat itu anak dari Sinaga lahir di sebelah Lembu. Pada saat istri Sinaga yang datang

dari India melahirkan, Sinaga sedang tidak ada di tempat malahirkan dan hanya ada Lembu yang menemani istri Sinaga tersebut.

Informan peneliti menguraikan bahwa Sinaga berasal dari India pada

masa kerajaan Nagur dan selanjutnya keturunan Sinaga juga berasal dari Padang, Chaniago. Karena itulah raja di Tanah Jawa beragama muslim. Pada

tahun1761 Sinaga hanya ada delapan di daerah Sondi Raya sampai Merek.

Tujuh orang laki-laki dan satu orang perempuan, tiga diantara mereka memiliki pattangan yaitu hewan Teringgiling dan empat orang adalah ular. Pattangan terbagi lagi menjadi dua karena mereka menyembah hewan tersebut. Mereka beranggapan bahwa ketika menyembah hewan tersebut

mereka akan mendapat kekuatan seperti filosofi dari Ular dan Teringgiling.

Hewan yang di sembah tentu menjadi pantangan untuk di makan akan tetapi dapat di pelihara tanpa disakiti. Biasanya di dalam menyembah tentu

ada sesajen diantaranya, sirih, jeruk purut, tebu merah, pisang emas dan pasir. Sesajen tersebut diberikan kepada ular dan Teringgiling dan memiliki tujuh

(38)

74 Beda halnya dengan Lembu, Lembu merupakan hewan kesatuan dari awal Sinaga karena setia menjaga istri Sinaga saat Sinaga tidak ada. Akan

tetapi pada masa sekarang hampir seluruh Sinaga memakan lembu. Pada saat sekarang ini, bapak Sinaga tidak percaya dengan hal tersebut seperti yang Dia

katakan;

“dulu saya percaya tetapi sekarang ya tidak saya percayai lagi, karena di atas kekuatan masih ada kekuatan yang jauh lebih besar yaitu Tuhan. Dari lahir saya beragama, orangtua saya juga beragama. Tetapi karena masih kental dengan adat, tentu keluarga saya percaya dan sejalan semuanya dengan agama.”

Bapak Sinaga dulu menyembah Ular, tetapi dia tidak lagi menyembah pada saat ini karena agamanya. Bapak Sinaga mengetahui sejarah tentang pantangannya dari orangtuanya, meskipun demikian bapak Sinaga lebih

percaya dengan ajaran agama yang dia anut.

Bapak Sinaga juga mengatakan bahwa hewan yang kita sembah harus

sesuai dengan yang di sembah leluhur kita. Menurut pandangan Bapak Sinaga, hal yang tidak mungkin kita menyembah ketika tidak sesuai dengan keturunan kita. Itu terjadi karena adanya pembagian sesembahan di marga Sinaga.

Marga Sinaga, Lembu, Ular, Teringgiling memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Marga Sinaga membutuhkan Ular dan Teringgiling

(39)

75 fungsionalisme. Dimana unsur kebudayaan dan manusia berhubungan dan memiliki fungsi yang saling mendukung.

4.1.4. Kepercayaan Marga Purba terhadap Pattangan

Marga Purba merupakan marga yang tidak hanya ada di Simalungun,

melainkan di Karo, Pakpak Dairi. Marga Purba Simalungun memiliki kepercayaan kepada hewan sebagai nenek moyang mereka. Kepercayaan itu muncul melalui cerita turun temurun dari nenek moyang Purba.

Asal Marga Purba tidak lepas kaitannya dengan hewan yaitu ular. Dahulu marga Purba menikah dengan perempuan yang sangat cantik. Ternyata

perempuan itu adalah bidadari dimana ibunya seekor ular dan ayahnya seeokor burung kakak tua. Konon ceritanya ular itu di kutuk oleh seseorang sehingga mereka tinggal di sebuah hutan yang sangat lebat. Hutan tersebut berada

antara Simalungun dan Tanah Karo.

Purba yang dibuang oleh keluarganya dari Simalungun terpaksa

bertahan hidup selama tujuh tahun di tengah hutan. Sampai pada akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari hutan tersebut. Tetapi saat diperjalanan dia bertemu dengn seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itulah yang menjadi

keturunan ular dan burung kakak tua.

Akhirnya, mereka berdua menikah dan keluar dari hutan yang lebat itu.

(40)

76 Purba sangat mengetahui jelas tentang sejarah marga purba karena neneknya sering bercerita. Bapak yang berusia 56 tahun ini yakin bahwa memang benar

marga Purba menikah dengan bidadari.

“Cobalah kau lihat, pasti perempuan boru purba cantik-cantik semua. Wajahnyapun berbeda dengan yang lain, mereka cantik terus enak di pandang. Kebanyakan perempuan purba ini cantik dan lembut, tapi cantiknya inilah dulu. cobalah lihat baik-baik pasti kayak bidadari, meskipun kita nggak pernah lihat bidadari”, kata bapak Purba meyakinkan peneliti.

Bapak Purba sangat percaya dengan hal terebut sehingga dia menuruti apa yang diperintahkan ibunya dulu. Bapak purba tidak pernah sekalipun

memakan atau membunuh ular.

“ Taunya kau di tempat tuak itu selalu jual ular ? tapi itulah sedikitpun nggak pernah kusentuh itu. Haram itu samaku, makanya minum tuak pun aku nggak kumakan tambulnya kalau ular. Padahal kata orang enak ular itu, lebih enak dari ayam katanya kan ? tapi aku tidak mau memakan itu, aku kuhargai kalinya apa yang dibilang orangtuaku”. Bapak Purba menjelaskan dengan semangatnya.

Bapak Purba juga mengajarkan kepada anak-anaknya untuk tidak memakan ular. Bapak Purba juga menjelaskan bahwa bukan hanya dia saja yang memiliki keyakinan seperti itu, melainkan marga purba lainnya. Marga

Purba kebanyakan percaya bahwa ular adalah nenek moyang mereka. Ular yang di maksud sebagai nenek moyang memang hanya satu ular saja. Ular

(41)

77 Sehingga melalui kejadian itu semua ular merupakan pattangan dari marga Purba. Marga Purba yang masih kental dengan adat pasti tahu bahwa

mereka tidak boleh menyakiti ular apalagi memakannya. Mereka tidak akan membunuh dan memakan karena hal yang sederhana tetapi merupakan sebuah

prinsip.

Meskipun ular hanya kutukan tetapi sebagai ularpun ia tetap melindungi anaknya yaitu nenek moyang purba sampai menemukan pasangan

hidup. Kepercayaan tersebut tentu memiliki ritual khusus untuk memperingati ular tersebut, bahkan tidak jarang marga Purba meminta sesuatu kepada ular.

Ritual yang dilakukan seperti pada umumnya, sirih dan jeruk purut. Sirih dan jeruk purut ini diletakkan di sarang ular tersebut, ada tidaknya ular mereka tetap menyembah dan meninggalkan sesembahannya. Pada saat dulu

upacara ritual ini merupakan rutinitas dari marga Purba.

Ritual ini merupakan bentuk solidaritas marga Purba terhadap asal

usul dari nenek moyang mereka. Kepercayaan pada masa lampau memang sudah semakin berkurang seiring perkembangan zaman. Akan tetapi, marga Purba tetap harus mengetahui sejarah mereka.

4.2. Fungsi Pattangan di Marga Simalungun

4.2.1. Fungsi Pattangan Sebagai Pelindung

Pelindung artinya tempat untuk berlindung, tempat untuk bersembunyi,

(42)

78 dimaksudkan pattangan sebagai pelindung. Dimana Hewan tersebut melindungi manusia dari orang lain atau dari ketakutan-ketakutan manusia itu

sendiri.

Pattangan merupakan salah satu alasan seseorang dalam menentukkan sikap apa yang ingin manusia lakukan. Ketika manusia mengerti apa yang menjadi pantangan maka manusia tersebut akan berfikir bahkan akan menghindarinya.

Pantangan Damanik untuk menganggu dan membunuh ular Sibaganding Tua tentu dijalankan. Karena marga Damanik tidak ingin

mendapat imbasnya dan ingin mendapatkan berkat dari ular tersebut. Pada saat sekarang ini, manusia tentu lebih banyak menganggap ular Sibaganding Tua hanya sekedar cerita nenek moyang tanpa meyakini itu pernah terjadi, ujar

bapak Khairuddin.

Seiring perkembangan zaman, wajar saja masyarakat apalagi marga

Damanik sebagian tidak menjalankan karena mereka belum merasakan bahkan belum melihat ular tersebut. Pernyataan bapak Khairuddin ini sesuai dengan pengalamannya. Tetapi disini peneliti tidak hanya sekedar membahas

kepercayaan masyarakat Simalungun saja. Peneliti juga membahas bagaimana fungsi dari pattangan yang mereka jalankan.

(43)

79 masyarakat banyak menganut totemisme. Sehingga manusia hanya melakukan sesuai dengan kepercayaan dan kegunaan bagi manusia itu sendiri.

Ular Sibaganding Tua dinggap sebagai pelindung karena ular ini memang termasuk ular langka yang tidak memangsa manusia. Pada dasarnya

semua ular dalam posisi terjepit pasti akan mencatok manusia karena ketakutan. Tetapi ular sibaganding tua ini justru hannya diam ketika ada gerak gerik dari sekitarnya. Fisik ular ini memang tidak memungkinkan untuk

bergerak cepat hal ini juga lah yang membedakan dengan ular pada umumnya.

Ular ini tidak pernah merugikan marga Damanik, justru hewan ini

banyak menguntungkan dan melindungi marga Damanik. Konon kata bapak Khairuddin ular ini tidak segesit ular pada umumnya. Tetapi ketika ada orang lain ingin menyerang marga Damanik ular ini muncul dan orang lain tersebut

tidak jadi menyerang. Menurut prnuturan bapak Damanik Orang lain tersebut adalah bangsa lain yang tidak tahu tentang kesaktian ular ini.

Ular yang berukuran kecil tetapi memiliki diameter besar ini memang pantas dikatakana pelindung. Marga Damanik beranggapan ular ini memiliki roh yang sama dengan manusia. Ular yang memiliki sifat untuk melindungi

marga Damanik dari ancaman.

Perkutut adalah hewan yang bernilai lebih di marga Saragih, perkutut

(44)

80 unggas ini. Tidak banyak keuntungan yang didapatkan dari Saragih, bahkan Perkutut sering menganggu tanaman yang di tanam oleh petani.

Peneliti melihat bahwa burung Perkututlah yang lebih beruntung di banding Saragih seperti memakan benih padi di sawah, biji-bijian yang di

jemur oleh petani. Akan tetapi, Saragih menganggap perkutut adalah penolong sehingga hal ini dapat disebut dengan totemisme. Pertolongan yang di alami Saragih menjadi perintah yang harus dituruti oleh keturunannya.

Setelah meneliti dengan wawancara mendalam, peneliti tidak menemukan banyak jasa yang diberikan oleh perkutut. Melainkan, hanya

cerita kecil yang pada saat sekarang ini keturunan dari Saragih yaitu Alber Saragih sendiri mengusir Perkutut jika menganggu padi yang ditanamnya.

Perkutut tidak pernah di sembah oleh Saragih, baik memberi

sesembahan ataupun meminta kepada Perkutut. Pada masa lampau, tentu Saragih yang mengalami hal tersebut memiliki bentuk ucapan terimakasih

dengan cara setiap bertemu perkutut Saragihpun memberi hormat dengan tunduk.

Fungsi dari burung ini memang tidak begitu jelas terlihat tetapi burung

ini tetap dikatakan memiliki sifat melindungi. Seperti yang sudah dijelaskan di bab sebelumnya bahwa perkutut ini melindungi marga Saragih dari para

(45)

81 Fungsi yang berarti berguna memang benar dirasakan oleh marga Saragih. Burung ini memang terlihat tidak sekuat hewan besar, bahkan burung

ini sangat gampang untuk di bunuh. Tetapi tanpa disadari burung ini memiliki fungsi yang sangat berguna bagi marga Saragih.

Sinaga memiliki pattangan yang lebih banyak dari marga Simangun lainnya. Sinaga memiliki tiga pantangan bahkan bisa lebih ketika marga Sinaga menginginkan keberuntung yang lebih. Seperti yang dijelaskan

sebelumnya ada tiga hewan yang marga Sinaga hargai yaitu Lembu sebagai hewan pertama dan ular serta teringgiling. Pemahan Sinaga terhadap hewan

sebagai kerabat lebih kaya dibanding ketiga marga lainnya yang ada di Simalungun. Hewan yang marga Sinaga sembah tentu memiliki kegunaan yang penting bagi mereka.

Lembu yang awalnya berada di dekat istri Sinaga ternyata tidak memiliki kegunaan yang banyak. Marga Sinaga mengharagai lembu hanya

sebatas pernah melindungi akan tetapi tidak didewakan. Alasannya diperjelas oleh bapak Sinaga.

“kan kalau lembu itu terbawa dari India dan lagian menurutku nggak ada itu karena nggak ada lebihnya dia. Lembu itu tidak pernah menunjukkan kekuatannya, bahkan lembu pun tidak ada memberi berkat. Hanya saja nenek moyang dulu kan memperistri dari India juga, jadi itu hanya ajaran mereka. Kalau sekarang lembu itu makanan yang enak, harganya pun mahal.”

Menurut kutipan wawancara tersebut diyakini bahwa lembu bukanlah

(46)

82 merupakan sumber kekuatan bagi marga Sinaga. Ular dan teringgiling pun tidak bisa disembah sekaligus karena harus sesuai dengan keturunannya.

Hewan ini di percaya dapat memberikan rezeki bahkan kekuatan. Sinaga terkenal dengan ilmu peletnya, sehingga wajar lah ketika mereka

sangat mempercayai hewan dapat memberikan yang mereka inginkan.

Sinaga mengatakan bahwa ketika dia menyembah ular dan memberikan sesajen sesuai dengan syarat yang diberikan oleh leluhur maka

permintaannya akan dipenuhi. Jika lembu tidak ada hubungannya dengan hal gaib maka beda halnya dengan ular dan teringgiling.

Bapak Sinaga yang menyembah ular ternyata menyembah harimau juga. Harimau ini lah yang menemani bapak Sinaga sampai 20 tahun yang lalu. Tujuan bapak Sinaga agar dia terlindungi demikian dengan keluarganya.

Bapak Sinaga meminta perlindungan kepada hewan karena hal itu sudah menjadi rutinitas dari nenek moyang bapak Sinaga.

Sementara Purba memiliki pattangan yaitu tidak boleh membunuh atau memakan ular, karena ular dan marga Purba memiliki hubungan kekerabatan. Hubungan kekerabatan sudah dijelaskan di bab sebelumnya. Bahwa nenek

moyang dari marga Purba berasal dari anak Ular. Hal tersebutlah yang menjadi alasan dari marga Purba untuk tidak membunuh ular.

(47)

83 cukup lebat dan tidak terjamah oleh manusia. Saat itu Purba yang juga di buang dari keluarganya berada di hutan yang sama dengan bidadari itu.

Akan tetapi Purba tidak pernah tahu dengan keberadaan bidadari. Hingga pada suatu ketika saat Purba ingin pergi dan memulai hidupnya,

diapun bertemu dengan perempuan itu. Saat itu juga perempuan tersebut mengajak Purba untuk datang kerumahnya.

Ketika sampai kerumah perempuan itu, Purba melihat ada ular dan

burung kakak tua. Purba menerima keadaan itu karena si Ular tersebut dapat berbicara layaknya manusia. Saat Purba memiliki keturunan diapun

menceritakan tentang asal usul mereka. Hal inilah yang menjadi alasan untuk marga Purba tentang kepercayaan terhadap ular sebagai pattangan mereka.

Disini dapat dilihat bahwa marga Purba menghormati ular dan burung

kakak tua karena mereka adalah pelindung dari nenek moyang mereka. Nenek moyang mereka memiliki orangtua dari hewan tentu tugas orangtua adalah

melindungi anaknya. Marga Purba percaya kalau hewan tersebut akan tetap melindungi keturunan Purba. Demikian penjelasan dari bapak Purba.

Fungsi pattangan sebagai pelindung memang jelas terlihat dari keseluruhan informan. Setiap informan memiliki hewan yang dapat melindungi mereka dan keturunannya. Pelindung yang berarti tempat

(48)

84 4.2.2. Fungsi Pattangan dari Aspek Ekonomi

nusia sebagai makhluk sosial dan makhluk ekonomi pada dasarnya

selalu menghadapi masalah ekonomi. Inti dari masalah ekonomi yang dihadapi manusia adalah kenyataan bahwa kebutuhan manusia jumlahnya tidak

terbatas, sedangkan alat pemuas kebutuhan manusia jumlahnya terbatas.

Didalam prinsip ekonomi yaitu untuk melakukan tindakan ekonomi yang didalamnya terkandung asas dengan pengorbanan tertentu dan dengan

mendapatkan hasil yang maksimal sehingga tercapailah semua tujuan. Jika dilihat dari penjelasan di atas tentu erat hubungannya dengan pattangan. Suku

bangsa Simalungun berkorban dengan hal terkecil untuk mendapatkan hasil yang mmaksimal. Semua manusia ingin memenuhi kebutuhan mereka meskipun kebutuhan selalu ada dan selalu bertambah.

Sibaganding Tua memiliki fungsi yang sangat menguntungkan, apapun alasannya marga Damanik percaya dengan keberuntungan ular karena mereka

telah melihat hasilnya. Dari segi pendapatan masyarakat tentu sudah pasti bertambah.

Sibaganding Tua bukan hanya ada di sejarah Damanik, melainkan ular

ini pun terkenal di Dairi. Keberadaan Sibaganding Tua baik di Dairi dan di Simalungun sama-sama menguntungkan. Khairuddin mengatakan bahwa

(49)

85 Marga Damanik pun tidak mengetahui bahwa ular ini membawa keberuntungan, hanya saja ular itu sendiri yang memberi keberuntungan. Jika

Marvin Harris mengatakan ada alasan ekonomis ketika sapi dilarang untuk di bunuh, maka beda halnya dengan Sibaganding Tua. Pola pikir masyarakat

yang masih minim dan apa yang dilihat yang membuat marga Damanik percaya.

“Sebenarnya rasa terimakasihlah yang membuat kami tidak membunuh ular itu, bukan hanya itu saja tetapi sifat manusia yang tidak pernah puas juga yang membuat kami tidak mengusir ataupun menganggu supaya kami dapat untung lagi. Lagian ular itu tidak akan menyakiti, karena bergerak aja dia sulit. Sulit kali dia bergerak jadi bagaimana mau mengejar, terus nggak mungkin juga dia melilit kami karena badannya pun tidak panjangnya.”

Khairuddin menjelaskan petikan kata diatas adalah alasan utama untuk tidak membunuh Sibagandung Tua. Hubungan erat antara makhluk sosial dan hewan tidak bisa terlepas dari pandangan manusia tentang adanya roh atau

dewa yang ada di dalam hewan tersebut.

Marga Damanik sendiri menghormati hewan yang derajatnya lebih rendah dari manusia karena adanya keuntungan. Keyakinan marga Damanik

sendiri lah yang membuat ritual khusus untuk ular tersebut, bahkan ular tersebut tidak pernah meminta untuk di sembah.

(50)

86 mereka, tentu mereka akan melakukan apapun selagi yang mereka lakukan masih jauh dari kata rugi.

Pada kenyataannya kebutuhan mereka terpenuhi tanpa harus menanam padi yang lebih banyak lagi. Hanya dengan semalam rezeki mereka dapat

berlimpah ruah dari hewan langka ini. Marga Damanik mendapatkan banyak kegunaan dari ular ini, tidak hanya melindungi tetapi memberi rezeki untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Berbeda halnya dengan burung perkutut, hewan yang satu ini tidak memiliki kelebihan selain melindungi. Bahkan menurut informan, hewan ini

sangat merugikan panen mereka. Karena perkutut ini sering mengambil biji tanaman mereka. Meskipun demikian Saragih tidak mengusir perkutut tersebut karena dipengaruhi oleh pola pikir mereka.

Perkutut ini memang tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi marga Saragih. Oleh karena itu burung ini tidak terlalu memiliki ritual khusus.

Burung ini bahkan pernah di makan oleh anak informan. Alasannya karena si anak tersebut tidak mengetahui tentang sejarah burung ini. Rasa enak yang hanya dapat diceritakan oleh anak informan dan tidak mendatangkan wabah.

Bahkan anak informan jauh lebih sehat dari sebelumnya.

Sinaga memiliki hewan lebih banyak di banding semua marga suku

(51)

87 lainya. Selain memiliki kelebihan untuk melindungi hewan pantangan marga Saragih ini juga membantu dari aspek ekonomi.

Pengakuan bapak Sinaga saat dia menyembah ular dia mendapatkan rezeki yang melimpah, tetapi bapak Sinaga juga mencari hewan yang sesuai

dengan tubuhnya yaitu harimau. Karena hewan yang Sinaga pantangkan harus sesuai dengan keturunannya. Pembagian hewan berdasarkan keturunannya bisa di lihat di bab sebelumnya.

Ketika ingin memenuhi kebutuhan ekonominya marga Sinaga harus mengadakan upacara agar kebutuhan terpenuhi. Harimau tersebut di beri sirih,

jeruk purut seperti biasanya. Lalu kita hanya menunggu hasil panen jadi bertambah bahkan berlipat-lipat ganda. Ritual ini harus dilakukan untuk memenuhi keinginan Sinaga, demikian halnya dengan teringgiling dan lembu.

Ular merupakan penolong bagi marga Purba karena banyak memberikan bantuan kepada mereka. Tidak dipungkiri bahwa saat ini

kepercayaan terhadap ular sebagai kerabat sudah mulai punah. Fungsionalisme yang berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan merupakan bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat .

Begitu pula halnya dengan marga Purba, Ular yang mereka percayai ternyata masih memberikan keberuntungan terhadap hasil panen mereka.

(52)

88 Semua ritual12 yang dilakukan setiap marga di Simalungun adalah sama. Akan tetapi apa yang mereka sembah lah yang berbeda, mereka

menyembah sesuai dengan apa yang mereka pantangkan. Mereka beranggapan bahwa hewan yang mereka mereka sembah memiliki roh yang berasal dari

pencipta bumi bahkan hewan tersebut adalah titisan dari pencipta.

4.2.3. Fungsi Pattangan sebagai Sistem Kepercayaan

Kepercayaan adalah suuatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat

ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena kepercayaan merupakan suatu sikap, maka kepercayaan

seseorang tidak selalu benar atau keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran.

Kepercayaan adalah suatu keadaan psikologis pada saat seseorang

menganggap suatu premise benar. Jika kita yakin dalam suatu hal maka kepercayaan akan muncul. Kepercayaan terhadap hewan yang di pantangkan

terlihat dari kedua aspek di atas.

Hubungan erat antara makhluk sosial dan hewan tidak bisa terlepas dari pandangan manusia tentang adanya roh atau dewa yang ada di dalam

hewan tersebut. Marga Damanik sendiri menghormati hewan yang derajatnya lebih rendah dari manusia karena adanya keuntungan.

12

(53)

89 Keyakinan marga Damanik sendiri lah yang membuat ritual khusus untuk ular tersebut, bahkan ular tersebut tidak pernah meminta untuk di

sembah. Menurut Peneliti memberikan sirih dan sesajen lainnya tentu tidak di butuhkan ular, karena pada umumnya ular tidak akan memakan sirih, jeruk

purut. Bahkan, ular tidak akan mengerti ketika manusia meminta kepada ular tersebut.

Akan tetapi, peneliti juga melihat adanya keterbatasan pengetahuan

tentang agamalah yang mempengaruhi pola pikir manusia pada masa lampau. Saat peneliti melakukan wawancara, Khairuddin Damanik mengatakan bahwa

apa yang di katakannya pun dia tidak mengerti. Khairuddin menjelaskan bahwa ada roh nenek moyang yang menuntunnya bercerita.

Pattangan yang merupakan bagian dari totemisme menurut marga Damanik bukan karena hal yang direkayasa. Marga Damanik menginginkan hidup yang lebih sejahtera, ekonomi yang memadai, sehingga

menginterpretasikan ular sebagai hewan yang memberi keuntungan.

Seperti yang dikatakan oleh Malinowski (1884-1942) dalam teori fungsionalisme bahwa semua unsur kebudayaan merupakan bagian yang

berguna bagi masyarakat. Setiap kepercayaan dan sikap merupakan bagian dari kebudayaan dan memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan tersebut.

(54)

90 dengan marga Damanik. Mereka hanya berpatokan pada alam, kondisi yang terbatas yang menjadi halangan bagi mereka.

Bahkan menurut bapak Khairuddin Damanik, kepercayaan terhadap ular Sibaganding Tua ini sudah ada sebelum masehi. Sehingga dari sini bisa

kita lihat bahwa kepercayaan ini memang ada sebelum kepercayaan animisme. Kepercayaan ini dapat terlihat dari pola pikir manusia yang secara rutin mengadakan upacara.

Kepercayaan berasal dari adanya pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Pengalaman dari Saragihlah yang

mendasari kepercayaan seluruh marga Saragih bahwa Perkutut adalah penolong.

Penelitian kualitatif tidak untuk di generalisasikan, sehingga tidak

semua marga Saragih telah meninggalkan kepercayaan itu dan sebaliknya. Alber Saragih tidak percaya lagi karena anaknya sendiri telah memakan tanpa

Alber ketahui. Bahkan Alber mengatakan bahwa anaknya bertambah sehat dan menjadi makanan favorit anaknya.

Peneliti melihat bahwa Saragih menganggap Perkutut sebagai

penolong karena adanya interpretasi bahwa Perkutut adalah titisan Tuhan untuk menolong Saragih dan sebelum adanya agama sudah ada kepercayaan

Gambar

Tabel 1
Tabel 2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku
Tabel 4 Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tabel 5
+4

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi, faktor ekonomi dan kesadaran para orang tua yang menganggap pendidikan di sekolah belum tentu menjamin masa depan membuat mereka memutuskan tidak

Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengambil judul “pengaruh pengalaman, reputasi, privasi, dan keamanan terhadap kepercayaan (trust) pengguna