• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Mamele Untuk Mendapatkan Status (Studi Deskriptif Tentang Kepercayaan Masyarakat Batak Toba terhadap Mamele di Desa Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Mamele Untuk Mendapatkan Status (Studi Deskriptif Tentang Kepercayaan Masyarakat Batak Toba terhadap Mamele di Desa Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir)"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

Perilaku Mamele Untuk Mendapatkan Status

(Studi Deskriptif Tentang Kepercayaan Masyarakat Batak Toba terhadap Mamele di Desa Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mula-Mula,

Kabupaten Samosir)

SKRIPSI

DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA (S-1) ILMU SOSIAL DAN

ILMU POLITIK

Disusun oleh:

060905036

ENNY E SITANGGANG

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMUTERA UTARA

MEDAN

(2)

PERNYATAAN

PERILAKU MAMELE UNTUK MENDAPATKAN STATUS

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan,22 Maret 2011

(3)

ABSTRAKSI

Enny E Sitanggang.2010. "Perilaku Mamele Untuk Mendapatkan Status (Studi Deskriptif Tentang Kepercayaan Masyarakat Batak Toba Terhadap Mamele di desa Hutaurat dan Hutabalian). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 110 halaman, tabel dan beberapa lampiran yang terdiri dari surat penelitian, pedoman wawancara, angket dan gambar.

Tulisan ini menjelaskan bagaimana perilaku mamele yang dipercaya oleh masyarakat untuk mendapatkan status, tempat-tempat yang pernah dilakukan mamele serta sesajian apa yang dipakai dalam melaksanakan upacara tersebut. Kepercayaan terhadap mamele pada masyarakat Batak Toba adalah fenomena ini sudah ada sejak zaman nenek moyang dulu. Fenomena ini ternyata masih berlanjut hingga saat ini,

Penelitian ini dikaji melalui pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pengumpulan data, dilakukan dengan menggunakan observasi tanpa partisipasi dan wawancara mendalam dengan informan kunci, biasa dan pangkal. Informan kunci ditujukan pada raja bius, kepala desa dan beberapa pelaku yang pernah melakukan mamele. Observasi dilakukan untuk mengamati tempat-tempat yang pernah dilakukan mamele, tempat keramat yang tidak boleh sembarangan didatangi atau tidak boleh berbicara kata kotor dan keadaan lingkungan di sekitar desa Hutaurat dan Hutabalian. Untuk pengumpulan data, peneliti menggunakan pedoman wawancara yang dilengkapi foto, dan catatan lapangan. Raja bius yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah seseorang yang dapat berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan roh leluhur yang sudah meninggal.

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam hal ini, penulis sebagai makhluk sosial yang tidak lepas dari bantuan dan pertolongan orang lain. Secara umum penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh jajaran civitas akademik USU, khususnya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang kiranya telah banyak memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis. Pada saat ini penulis bias menuai atau merasakan buah kebaikan tersebut di penghujung masa studi penulis di kampus USU, khususnya di Departemen Antropologi Sosial tercinta. Petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan oleh Bapak dan Ibu Dosen FISIP – USU, terutama di Departemen Antropologi Sosial, merupakan kenangan yang tidak penulis lupakan dalam perjalanan hidup penulis, sekalipun di sana terdapat pahit dan manis perjalanan proses belajar mengajar, akan tetapi penulis menikmati masa-masa itu.

(5)

mahasiswa di Departemen Antropologi Sosial dan juga telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga karena Bapak telah banyak membantu penulis dalam proses dari mulai penelitian di lapangan hingga penyelesaian skripsi ini. Bapak telah membimbing penulis dengan baik dan penuh kesabaran.

Seluruh dosen FISIP USU khususnya di Departemen Antropologi Sosial yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan di Departemen Antropologi Sosial FISIP USU. Bapak dan Ibu dosen dan staf Departemen FISIP USU tercinta yang dengan ketulusan hati memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis, sehingga mampu menyelesaikan studi sampai menjadi seorang sarjana.

(6)

Selain itu, tanpa bantuan dari para informan di lapangan, skripsi ini hanya akan menjadi diskusi teoritis. Penulis juga berterima kasih kepada semua informan yang telah memberikan semua informasi yang penulis butuhkan dan telah menyempatkan waktu bagi penulis. Kebaikan hati mereka yang terlihat dengan menghidangkan makanan terbaik yang mereka punya dan selalu memberikan semangat bagi penulis untuk melanjutkan penelitian di lapangan. Rasa terima kasih ini penulis sampaikan yang sebesar-besarnya kepada mereka.

Tidak lupa pula penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Kepala Desa, yang telah mengizinkan peneliti untuk meneliti di daerah tersebut. Terima kasih juga kepada Sekretaris Desa yang telah memberikan data (jumlah penduduk, distribusi penduduk berdasarkan umur, distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin, distribusi penduduk berdasarkan agama, distribusi penduduk berdasarkan mata pencaharian, distribusi penduduk berdasarkan pendidikan, dan lain-lain) dan informasi tentang desa ini.

(7)

Semua kebaikan orang-orang yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini akan tetap penulis kenang selama-lamanya, hingga akhir hayat penulis. Segala dukungan yang diberikan keluarga penulis baik dukungan moral dan cinta kasih keluarga penulis, membuat penulis selalu bersemangat untuk menyelesaikan studi ini. Saudara-saudara penulis dan teman-teman penulis baik di kuliah, gereja, dan sebagainya, serta orang-orang yang tidak disebutkan penulis ucapkan selain TERIMA KASIH yang sebesar-besarnya.

Penulis menyadari tulisan ini jauh dari kesempurnaan, terdapat kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, penulis sangatlah berterima kasih apabila ada kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dalam penyempurnaan tulisan ini.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Enny E Sitanggang, lahir pada tanggal 23 Februari 1988 di Pematangsiantar, beragama Katolik, anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan ayahanda Maralo Sitanggang dan Ibunda Bungarus Naibaho.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta karunia-Nya yang dilimpahkan dengan memberikan kesehatan, ketabahan, serta ketekunan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini mulai dari awal sampai selesai. Penulisan skripsi yang berjudul, “Perilaku

Mamele Untuk Mendapatkan Status (Studi Deskriptif Tentang Kepercayaan

Masyarakat Terhadap Mamele di Desa Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan

Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir)” ini merupakan bagian dari prosedur

yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar sarjana dalam bidang Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini terdiri dari 5 bab. Bab pertama, membahas tentang alasan mengapa saya tertarik memilih untuk meneliti judul ini, yaitu Perilaku Mamele Untuk Mendapatkan Status.

(10)

informasi dan komunikasi; olahraga, kesenian, dan rekreasi; dan umum); dan sistem kekerabatan.

Bab ketiga, membahas tentang konsep mamele pada batak toba. Dalam bab ini, dapat menjelaskan tentang pengertian mamele; jenis-jenis mamele; tempat-tempat mamele yang pernah mereka lakukan; upacara-upacara ritual yang pernah mereka lakukan; dan manfaat pelaksanaan upacara mamele ini.

Bab empat, membahas tentang perilaku mamele untuk mendapatkan status. Dalam bab ini, menjelaskan apa-apa saja yang termasuk dalam mamele untuk mendapatkan status baik dari ekonomi, budaya dan sosial; faktor-faktor yang mendorong terjadinya perilaku mamele; dampak negatif dari perilaku mamele; dan pandangan masyarakat tentang mamele.

(11)

Semoga dengan tulisan ini dapat menjadi studi perbandingan bagi orang yang masih mempertahankan adat istiadatnya. Selain itu penulis berharap sikripsi ini dapat berguna khususnya bagi mahasiswa antropologi untuk memperluas wawasan tentang Mamele.

Penulis sadar tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan maka penulis berharap pembaca dapat memberi kritik dan masukan, agar skripsi ini dapat lebih baik lagi. Atas kritik dan sarannya diucapkan terimakasih.

Penulis,

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK. ... ii

UCAPAN TERIMAKASIH... iii

RIWAYAT HIDUP + FOTO ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Lokasi Penelitian ... 6

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1. Tujuan Penelitian ... 7

1.4.2. Manfaat Penelitian... 7

1.5. Tinjauan Pustaka ... 8

1.6. Metode Penelitian1 ... 4

1.6.1. Data Primer ... 15

1.6.1.a. Observasi ... 15

1.6.1.b. Wawancara ... 16

1.6.1.c. Informan ... 16

1.6.2. Data Sekunder ... 18

(13)

BAB II : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1.Sejarah Desa Hutaurat dan Hutabalian ... 20

2.2.Letak Lokasi dan Iklim Desa Hutaurat dan Hutabalian ... 25

2.3.Pola Pemukiman ... 28

2.4.Kependudukan ... 31

2.4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk... 31

2.4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur ... 32

2.4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 32

2.4.4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa ... 33

2.4.5. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kepercayaan atau Agama ... 34

2.4.6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan ... 35

2.4.7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian... 37

2.5. Sarana dan Prasarana ... 37

2.5.2. Sarana Pendidikan ... 37

2.5.3. Sarana Ibadah ... 38

2.5.4. Sarana Pemerintahan ... 39

2.5.5. Sarana Transportasi dan Jalan ... 40

2.5.6. Sarana Kesehatan Masyarakat ... 41

2.5.7. Sarana Informasi dan Komunikasi... 41

2.5.8. Sarana Olahraga, Kesenian, dan Rekreasi ... 43

2.5.9. Sarana Umum ... 44

2.6. Sistem Kekerabatan ... 44

BAB III : KONSEP MAMELE PADA BATAK TOBA 3.1. Pengertian Mamele ... 49

3.2. Jenis-Jenis Mamele ... 50

3.2.1. Tondi ... 50

3.2.2. Sumangot ... 51

(14)

3.2.4. Sombaon / Tempat Keramat ... 54

3.4.1. Mangongkal Holi... 62

3.4.2. Pomparan Guru Tatea Bulan ... 64

3.4.3. Sumangot Ni Ompung ... 68

3.5. Manfaat Pelaksanaan Upacara Mamele Pada Batak Toba ... 69

BAB IV : PERILAKU MAMELE UNTUK MENDAPATKAN STATUS 4.1. Mamele Untuk Mendapatkan Status ... 71

4.1.1. Status Budaya ... 72

4.1.2. Status Sosial ... 75

4.1.3. Status Ekonomi ... 78

4.2. Faktor-Faktor yang Mendorong Terjadinya Perilaku Mamele 79 4.2.1. Tradisi... 79

4.2.2. Ucapan Terima Kasih ... 79

4.2.3. Masalah Ekonomi ... 80

4.2.4. Malapetaka ... 80

4.3. Dampak Negatif dari Perilaku Mamele Terhadap Agama Kristen ... 80

4.4. Pandangan Masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian tentang Perilaku Mamele ... 82

BAB V : PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 84

(15)

Daftar Pustaka ... 88 Lampiran-Lampiran

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.4.2: Distribusi penduduk berdasarkan umur di Hutaurat dan Hutabalian ... 32 Tebel 2.4.3: Distribusi penduduk berdasarkan jenis kelamin di Hutaurat

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Aek Bintatar ... 44 Gambar 2 : Pomporan Ompu Guru Tatea Bulan ... 56 Gambar 3 : Batu Hobon ... 58 Gambar 4: Tulang Belulang nenek moyang yang akan dimasukkan ke dalam

tugu dan dilakukan dalam Upacara Mangongkal Holi ... 63

Gambar 5 : Upacara Tatea Bulan ... 64 Gambar 6 : Persembahan yang sudah dibawa akan diletakkan ke Batu Hobon 64 Gambar 7 : Para pengetua adat Negeri Limbong di Perkampungan Guru

Tatea Bulan (Pusuk Buhit) Kecamatan Sianjur Mula-Mula Kabupaten Samosir merestui pencalonan

Raja H. Syamsul Arifin Silaban, SE yang Bupati Langkat dan Ketua Umum PB MABMI itu untuk menjadi Gubsu

(18)

ABSTRAKSI

Enny E Sitanggang.2010. "Perilaku Mamele Untuk Mendapatkan Status (Studi Deskriptif Tentang Kepercayaan Masyarakat Batak Toba Terhadap Mamele di desa Hutaurat dan Hutabalian). Skripsi ini terdiri dari 5 bab, 110 halaman, tabel dan beberapa lampiran yang terdiri dari surat penelitian, pedoman wawancara, angket dan gambar.

Tulisan ini menjelaskan bagaimana perilaku mamele yang dipercaya oleh masyarakat untuk mendapatkan status, tempat-tempat yang pernah dilakukan mamele serta sesajian apa yang dipakai dalam melaksanakan upacara tersebut. Kepercayaan terhadap mamele pada masyarakat Batak Toba adalah fenomena ini sudah ada sejak zaman nenek moyang dulu. Fenomena ini ternyata masih berlanjut hingga saat ini,

Penelitian ini dikaji melalui pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pengumpulan data, dilakukan dengan menggunakan observasi tanpa partisipasi dan wawancara mendalam dengan informan kunci, biasa dan pangkal. Informan kunci ditujukan pada raja bius, kepala desa dan beberapa pelaku yang pernah melakukan mamele. Observasi dilakukan untuk mengamati tempat-tempat yang pernah dilakukan mamele, tempat keramat yang tidak boleh sembarangan didatangi atau tidak boleh berbicara kata kotor dan keadaan lingkungan di sekitar desa Hutaurat dan Hutabalian. Untuk pengumpulan data, peneliti menggunakan pedoman wawancara yang dilengkapi foto, dan catatan lapangan. Raja bius yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah seseorang yang dapat berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan roh leluhur yang sudah meninggal.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

(20)

Seperti halnya dengan masyarakat Batak Toba di Hutaurat dan Hutabalian terdapat berbagai bentuk upacara yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional mereka, yaitu upacara penyembahan terhadap roh leluhur yang masih dilakukan sampai sekarang ini. Upacara yang masih berkembang di Hutaurat dan Hutabalian adalah mamele. Mamele ini dilakukan dengan tujuan untuk menghormati roh leluhur yang sudah meninggal dan juga meminta restu supaya keinginannya dapat tercapai atau terkabulkan.

Upacara ini juga mempunyai kekuatan gaib atau kekuatan yang luar biasa yang tidak dapat dilihat oleh manusia. Para pelaku dan pendukung upacara ini akan mendapat perasaan aman dan merasa puas apabila melakukannya. Upacara ini juga merupakan sarana pembentukan norma kemasyarakatan khususnya bagi masyarakat pendukungnya. Masyarakat setempat masih menyakininya sampai sekarang, meskipun sudah zaman modern upacara ini masih tetap mereka percayai. Mamele ini dapat dilakukan di berbagai tempat, misalnya di dalam kamar, di kuburan, di batu sawan, di batu hobon dan tempat mamele lainnya.

(21)

Perilaku mamele untuk mendapatkan status merupakan kajian yang akan dibahas dalam penelitian ini. Peneliti merasa tertarik untuk menggkaji lebih dalam mengapa masyarakat setempat dan masyarakat dari luar daerah ini masih saja percaya dan yakin terhadap mamele. Peneliti juga nerasa tertarik untuk mengkaji apakah ada akibat atau bahaya jika tidak dilakukannya mamele (penyembahan terhadap roh-roh leluhur) di Hutaurat dan Hutabalian dan juga apakah yakin dengan melakukan mamele dapat berhasil.

Perilaku mamele untuk mendapatkan status ini dapat berupa status sosialnya, ekonominya, budayanya, dan sebagainya. Status sosial disini merupakan kedudukan atau posisi, peringkat seseorang dalam kelompok masyarakatnya. Kedudukan atau posisi yang ingin mereka capai adalah ingin menjadi seorang pemimpin yang lebih baik. Status ekonomi merupakan suatu harapan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang tidak terbatas. Status budaya merupakan suatu aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya. Aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat.

(22)

mereka berhasil di dalam pekerjaan, meningkatkan ekonomi keluarga, memperoleh keturunan, kesehatan, dan sebagainya.

Perilaku kepercayaan terhadap mamele secara tidak langsung menjadi salah satu cara untuk memperlihatkan sinkretisme, walaupun tidak semua masyarakat memiliki kepercayaan yang sama. Selain itu, perilaku ini juga secara tidak langsung menunjukkan pelestarian kebudayaan ataupun pelestarian nenek moyang untuk keturunan yang datang. Bukan berarti mereka meninggalkan agama atau tidak percaya dengan agama yang dimilikinya, melainkan mereka hanya ingin meneruskan dan menghargai tradisi yang telah diturunkan oleh nenek moyangnya.

Berangkat dari pedoman dasar dalam kehidupan manusia secara umum di atas, struktur yang berlaku di masyarakat secara langsung menerima keberadaan

mamele sebagai kepercayaan tradisionalnya. Mamele ini sudah disakralkan oleh

masyarakat setempat. Bahkan para pengurus gereja juga pernah menyaksikan langsung dan juga pernah melakukan mamele tersebut. Hal ini dikarenakan,

mamele merupakan warisan yang diturunkan oleh nenek moyang untuk tidak

dihilangkan oleh masyarakat setempat.

Berbicara mengenai mamele bahwa persembahan, mantra, benda keramat, dan sebagainya sangatlah penting saat upacara berlangsung. Pemberian persembahan ini biasanya dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat dan memiliki nilai magic yang tinggi.

(23)

adalah kerajaan dewa tertinggi, Ompu Mula Jadi Na Bolon, dan roh-roh leluhur yang sudah meninggal. Dunia tongah (tengah) adalah tempat manusia sebagai pengusaha dunia ini adalah Silaon Nabolon. Sedangkan dunia toru (bawah) adalah tempat tinggal untuk para hantu dan setan (dalam bahasa Batak Toba disebut dengan parbeguan) yang diperintah oleh Naga Padoha, yakni: sang ular

naga. Masyarakat akan mempercayai kekuatan dan kekuasaan dari roh-roh dan

dewa tersebut, sehingga mereka menyembah dan menghormatinya sebagai kekuatan yang membawa kebahagiaan. Masyarakat Batak Toba menganggap bahwa hal di atas memiliki kekuatan supranatural yang harus disembah dan dihormati. Sebab itu di dalam pengetahuan religius, warga mengakuinya kekuatan gaib dan tondi (roh) itu kembali ke dunia ginjang (atas) bersama dengan dewa

tertinggi, Ompu Mula Jadi Na Bolon. Dan tondi (roh) itu dapat menempati sebuah

benda yang dimilikinya ketika masih hidup, atau berada di atas puncak-puncak gunung dan pohon-pohon besar. Karena kekuatan gaib yang berada di dalam benda-benda atau tempat-tempat yang dihuni tondi (roh) sehingga masyarakat menyembah dan mempercayainya sebagai sumber berkat bagi masyarakatnya (Tambunan, 1982:48,49,68).

(24)

1.2. Perumusan Masalah

Upacara mamele merupakan upacara adat yang masih bertahan atau tetap dijalankan hingga saat ini. Bagi orang Batak Toba di Hutaurat dan Hutabalian keberadaan upacara tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupannya baik diri sendiri maupun orang lain. Atas dasar tersebut maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian adalah kenapa masyarakat masih percaya terhadap

mamele untuk mendapatkan status. Berdasarkan latar belakang yang telah

diuraikan, maka yang menjadi fokus dari masalah yang hendak dikaji dalam penelitian adalah:

1. Faktor-faktor pendorong terjadinya perilaku mamele!

2. Dampak negatif dari perilaku mamele untuk mendapatkan status terhadap ajaran agama Kristen!

3. Bagaimana pandangan masyarakat sekitarnya terhadap mamele!

1.3. Lokasi Penelitian

(25)

juga masyarakat dari luar desa ini. Mamele ini dapat dilakukan masyarakat setempat di Gunung Pucuk Buhit, dalam kamar, kuburan, batu hobon, dan tempat mamele lainnya.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan perilaku mamele untuk mendapatkan status yang masih dilakukan dan memiliki arti penting bagi masyarakat Batak Toba di desa Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) sampai sekarang ini.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah diharapkan secara akademis dapat menambah wawasan keilmuan terutama dalam melihat realita dan permasalahan di tengah masyarakat untuk dijadikan sebagai kajian dan pembelajaran. Dalam hal ini tentu saja akan menambah khasanah keilmuan terutama Antropologi dalam kaitannya dengan judul penelitian ini yakni menggambarkan tentang kepercayaan masyarakat setempat dan juga masyarakat dari luar daerah ini terhadap mamele yang mereka yakini dapat mengabulkan segala permintaannya. Selain itu juga, secara akademis peneliti memperoleh gelar sarjana dari Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

(26)

untuk mendapatkan status secara arif dan positif serta agar nantinya tradisi ini terdepannya dapat dilestarikan sesuai dengan hakekat mamele yang tidak merugikan dirinya ataupun orang lain.

1.5. Tinjauan Pustaka

Masyarakat adalah pendukung suatu kebudayaan, baik itu masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan. Kebudayaan mempunyai arti penting dalam mempengaruhi perilaku dan cara berpikir para anggotanya. Suparlan, menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapinya serta untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya kelakuan. Sikap pada dasarnya berada pada diri seseorang individu, namun meskipun demikian sikap biasanya juga dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya tersebut (Koentjaraningrat, 1981:26).

Nilai-nilai budaya yang terpengaruh kepada masyarakat adalah nilai-nilai budaya yang hidup dalam pikiran sebagian besar suatu masyarakat mengenai sesuatu yang dianggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman tinggi bagi perilaku manusia yang memberikan arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1979:186).

(27)

kepercayaan tradisional terdapat pada kalangan masyarakat pedesaan berkaitan peristiwa alam dan kepercayaan mereka. Upacara tradisional merupakan upacara yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sejak dahulu kala sampai sekarang dalam bentuk yang relatif. Upacara tradisional merupakan kegiatan nasional yang melibatkan para warga masyarakat, dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan kesalamtan bersama. (Koentjaraningrat, 1989:225).

Dalam kaitannya dapat terbaca melalui tingkah laku resmi warga masyarakat yang dilakukan dalam peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan kekuatan supranatural atau gaib. Kekuatan ini dapat berupa kekuatan roh-roh, makhluk halus, dan kekuatan sakti. Terutama pada manusia yang lebih banyak percaya kepada sesuatu kekuatan yang lebih tinggi daripadaNya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dan cara-cara beranekaragam untuk mencari hubungan dengan kekuatan yang dipercayainya (Koentjaraningrat,1981:251).

Dalam hal ini, upacara tradisional menjadi ikatan utama antar orang dan antar kelompok dan juga keperluan simbolik manusia yang mengharapkan keselamatan. Upacara juga timbul karena adanya dorongan perasaan manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib. Semua unsur yang ada di dalamnya baik itu saat upacara, benda-benda yang digunakan, juga orang-orang yang terlibat di dalamnya dianggap keramat (Koentjaraningrat, 1977:241).

(28)

sifat-sifat yang sebenarnya tidak mungkin dapat dicakup oleh pikiran dan akal manusia. Walaupun demikian, dalam semua masyarakat dan kebudayaan di dunia ini, ”hal yang gaib dan keramat” tadi yang menimbulkan sikap kagum terpesona, selalu akan menarik perhatian manusia dan mendorong timbulnya hasrat untuk menghayati rasa bersatu dengannya (Koentjaraningrat, 1987:80).

Robertson Smith tentang kepercayaan bersaji. Mengatakan bahwa asas religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Dalam gagasannya ada 3 (tiga) komponen penting yang menambah pengertian kita mengenai asas-asas dari religi dan agama pada umumnya. Gagasan pertama mengenai sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara yang merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi dan analisa yang khusus. Gagasan kedua adalah upacara religi yang biasanya dilaksanakan banyak warga masyarakat pemeluk religi yang bersangkutan bersama-sama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Gagasan ketigs adalah teorinya mengenai fungsi upacara bersaji. Selain itu Smith mengatakan bahwa upacara bersaji sebagai suatu upacara yang gembira meriah tetapi juga keramat dan tidak sebagai suatu upacara yang khidmat (Kontjaraningrat, 1980).

(29)

tindakan, dan malahan seringkali tampak bahwa ia menganggap upacara religi biasanya memang bersifat ilmu gaib (Koentjaraningrat,1987:69).

Sedangkan menurut Durkheim bahwa semua sistem religi di dunia ada suatu hal yang ada di luarnya, suatu hal in foro externo dalam arti bahwa hal itu tetap akan ada dalam sistem religi, lepas dari wujud, isi, atau materinya yaitu kebutuhan azasi dalam tiap masyarakat manusia yang mengikuti sistem religi tadi untuk mengintensifkan kembali kesadaran kolektifnya dengan upacara yang keramat. Kebutuhan ini menurut Durkheim akan tetap ada, juga bila ilmu pengetahuan telah menggantikan kosmologi dan kosmogoni agama. Dalam hal ini menerangkan azas-azas kekuatan alam, dan juga bila ajaran agama telah menyesuaikan diri dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta otonomi moral individual yang semakin lama semakin meluas. Walaupun demikian, manusia sebagai warga masyarakat masih tetap membutuhkan keyakinan-keyakinan, sentimen-sentimen, dan kesadaran kolektif yang memberi identitas kepadanya dan yang memperkuat kebutuhan moralnya. Hal-hal itu sebaliknya memerlukan upacara-upacara yang ditentukan oleh gagasan-gagasan kolektif yang tidak pernah akan hilang dari kehidupan masyarakat manusia (Koentjaraningrat,1987:97-98).

(30)

masyarakat (diberi rejeki, kesehatan, kekayaan, jabatan yang lebih tinggi, dan lain-lain). Dalam arti mempersembahkan sesajian itu kepada Tuhan, dewa, atau makhluk-makhluk halus penghuni alam gaib lainnya manusia dan bermaksud berkomunikasi dengan makhluk halus itu. Dengan kata lain, persembahan ini memiliki nilai sakral yang tinggi, karena tanpa adanya persembahan maka upacara ini tidak dapat berlangsung. Persembahan tersebut digunakan masyarakat sebagai alat komunikasinya kepada dewa-dewa atau roh-roh halus.

Terkait dengan hal itu, Koentjaraningrat (1987:42), menyatakan bahwa upacara bersaji dan upacara-upacara lainnya juga merupakan sebuah tindakan yang penuh symbol of communication (lambang untuk berkomunikasi). Koentjaraningrat lebih jauh menjelaskan bahwasanya semua unsur-unsur kecil yang tersusun dalam sesajian itu, masing-masing merupakan lambang yang mengandung arti yang baik dalam bentuknya, maupun dalam tempat asal bahan mentahnya, jumlahnya ataupun warnanya. Ini adalah bagian komunikasi antara manusia kepada para dewa atas makhluk halus yang menghuni alam gaib. Upacara ini biasanya terdiri dari beberapa tindakan, yaitu: berdoa, bersujud, bersaji, makan bersama, manari, bersemedi, dan sebagainya. Upacara ini merupakan penghubung manusia dengan keramat. Ada 5 aspek yang terkandung dalam upacara tradisional, yaitu:

1) Tempat upacara keagamaan dilakukan 2) Saat upacara dilakukan atau dijalankan 3) Benda-benda dan alat upacara

(31)

5) Emosi keagamaan

Dalam hal ini, pemberian sesajian dapat diartikan sebagai ’pemberian’ kepada kekuatan gaib yang berada pada tempat-tempat keramat, yang mana fungsi pemberian ini mengandung arti untuk menguku hkan hubungan antara pemberi dan penerima.

Di dalam pelaksanaan upacara religi akan terkandung 2 (dua) aspek yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena sifatnya sakral atau magis atau gaib, yaitu:

1) Aspek Ketuhanan (Keagaiban)

Dengan mengadakan upacara ini bahwa manusia dalam kehidupannya tidak dapat melepaskan diri dari kekuatan-kekuatan Tuhan (kekuatan gaib). Di balik kekuatan-kekuatan lahir, pasti ada kekuatan gaib yang menguasai kehidupan manusia.

2) Aspek Keduniawian (Lahiriah)

Di dalam aspek ini, manusia dapat menciptakan atau mencapai sesuatu seperti: keselamatan, kekuasaan, kesehatan, dan sebagainya melalui upacara religi.

(32)

barangkali juga sama pada budaya lain, yakni doa permohonan, syukur dan doa pemulihan.

Hal ini tidak berarti orang Batak Toba percaya bahwa sukses yang bergantung pada doa. Banyak faktor yang diakui termasuk sikap dan tingkah laku orang yang bersangkutan turut menentukan kesuksesan. Lebih menarik lagi bahwa permohonan dapat disampaikan melalui atau lewat makna-makna persembahan.

1.6. Metode Penelitian

Penelitian ini bertipekan deskriptif dengan pendekatan penelitian kualitatif. Suatu penelitian yang bermaksud dapat membantu dalam menggali informasi secara mendalam serta mendapatkan gambaran yang lebih detail dan komperhensif mengenai perilaku mamele untuk mendapatkan status yang masih dilakukan di Kecamatan Sianjur Mula-Mula di lapangan, supaya mendapat data yang diinginkan (diharapkan) yang berdasarkan observasi (pengamatan) dan wawancara di lapangan.

(33)

sampel yang dimaksud adalah masyarakat yang mengadakan upacara mamele, masyarakat yang menginginkan upacara mamele atau si pemohon, serta masyarakat yang pernah diundang pada saat upacara mamele berlangsung.

1.6.1. Data Primer

Data primer merupakan bentuk data utama yang diperoleh melalui observasi dan wawancara. Melalui observasi dan wawancara telah mempermudah peneliti untuk meneliti suatu permasalahan yang ada di daerah tersebut.

1.6.1.a. Observasi

Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipasi. Dalam hal ini, peneliti mengadakan pengamatan pada saat diperlukan untuk memperoleh data. Peneliti terlibat secara aktif dengan arti kata peneliti hanya berada dalam arena kegiatan subjek untuk mengamati dan mempelajari realitas yang berhubungan dengan masalah yang ingin dikaji dengan terlibat aktif atau terintegrasi ke dalam hidup mereka. Adapun yang di observasi adalah kondisi kehidupan mereka, di mana biasanya mereka melakukan mamele, apa-apa saja yang mereka bawa, permintaan apa saja yang mereka minta, kenapa mereka lebih memilih melakukan mamele ketimbang percaya kepada Tuhan, dan lainnya.

1.6.1.b. Wawancara

(34)

informasi yang dimilikinya. Melalui teknik ini dapat diperoleh data tentang pengalaman hidup individu (life history) secara mendalam. Dengan demikian, data dapat diperoleh secara mendetail tentang pengalaman hidup setelah mereka berhasil melakukan mamele dan selama mereka melakukannya tidak membahayakan dirinya atau tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain, serta latar belakang kepercayaan mereka terhadap mamele.

Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam (depth interview), yang tujuan untuk menggali informasi yang didapat dari informan. Kegiatan wawancara ini dapat memperoleh data sebanyak mungkin tentang kepercayaan mereka terhadap mamele. Seperti biasanya wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan alat bantu pedoman wawancara (interview guide) sebagai panduan yang berisi seperangkat pertanyaan terbuka sesuai dengan aspek-aspek yang ingin didapatkan informasinya, yakni: mulai kapan mereka melakukan mamele, apa-apa saja yang mereka minta, mamele ini dilakukan dimana saja, apa yang mendorong mereka untuk melakukan mamele, apakah ada dampak negatifnya jika mamele tidak dilakukan, serta perasaan mereka setelah melakukan mamele tersebut.

1.6.1.c. Informan

(35)

individu-individu yang terkait dengan perilaku mamele untuk mendapatkan status (penyelenggara acara mamele, masyarakat setempat, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan masalah penelitian ini).

Adapun informan yang digunakan dan diwawancarai dalam penelitian ini adalah

a) Informan Pangkal

Informan pangkal dalam penelitian ini adalah seseorang yang memberikan informasi awal dari penelitian yang akan dilakukan peneliti. Adapun yang menjadi informan pangkal adalah kepala desa, karena peneliti menganggap bahwa kepala desa banyak mengetahui siapa-siapa saja anggota warga masyarakat yang mengetahui tentang mamele untuk mendapatkan status dan juga dapat memberi masukan-masukan pada saat di lapangan yang sangat diperlukan oleh peneliti termasuk kriteria-kriteria informan yang ditetapkan oleh peneliti.

b) Informan Kunci

Informan kunci adalah orang yang mengetahui secara mendalam suatu informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Dari merekalah data dari informasi yang dibutuhkan ditelusuri. Informan kunci adalah orang yang pernah melakukan

mamele untuk mendapatkan status, seperti: pengetua adat, juru kunci (pawang),

(36)

diketahui permintaan apa saja yang pernah diminta oleh masyarakat dan apa-apa saja yang mendorong mereka untuk melakukan ”mamele”. Dengan mengetahui hal tersebut dapat terungkap bahwa kenapa masyarakat masih percaya terhadap roh leluhur ketimbang percaya kepada Tuhan yang sesuai dengan ajaran agama yang dimilikinya.

c) Informan Biasa

Informan biasa adalah informasi yang memberikan informasi sesuai dengan pengetahuannya terhadap masalah penelitian. Adapun yang menjadi informan biasa adalah masyarakat setempat yang berada di sekitar lokasi penelitian.

1.6.2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan pendukung yang dapat dikumpulkan melalui perpustakaan seperti, melalui buku, hasil-hasil penelitian, informasi dari internet dan sebagainya. Data sekunder sangat penting dalam memberikan penyempurnaan hasil observasi dan wawancara. Data sekunder juga bisa di dapat dari hasil penelitian orang lain dan refrensi berbagai sumber yang relefan seperti koran, jurnal, artikel, buku-buku, dan sebagainya.

1.7. Analisa Data

(37)

status. Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data hasil observasi dan

(38)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Desa Hutaurat dan Hutabalian

Berdasarkan cerita leluhur, Sianjur Mula-Mula adalah tempat pertama sekali leluhur Suku Batak Toba bermukim. Sejarah si Raja Batak merupakan leluhur pada Suku Batak Toba. Alasan mengapa saya membahas si Raja Batak adalah karena si raja Batak pertama kali sekali bermukim di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), kecamatan Sianjur Mula-mula.

Adapun kawasan Hutaurat adalah kawasan dusun 1 (Batu-batu, Lingkungan Kode; Siattar-attar; dan Parhobon), dusun 2 (Hutalobu, Lumban Ganda dan Simanampang), sedangkan Hutabalian adalah dusun 3 (Balian Galung, Banjar, dan Bagas Limbong). Sebenarnya ada 3 cerita yang membahas tentang sejarah berdirinya Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), akan tetapi masyarakat memilih sejarah berdirinya Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) dengan membahas cerita tentang si Raja Batak. Dengan demikian, cerita inilah yang paling dipercayai oleh masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), dan cerita inilah yang membuat ada nama desa Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula).

(39)

keturunan Bius Tahe Sagala (umur 63 tahun) tokoh adat Batak yang berada di Jakarta, mengatakan bahwa:

Sejarah si Raja Batak itu sangat panjang. Secara detail (keseluruhan) menceritakannya bisa sampai berbulan-bulan, dan kalau dituliskan bisa sampai puluhan buku tebal yang dihasilkan. Secara singkat, sejarah si Raja Batak dapat dijelaskan dalam skema garis keturunan berikut ini :

RAJA ODAP-ODAP / SIBORU DEAK PARUJAR

RAJA IHAT / SIBORU ITAM

PATUNDAL BEGU AJULAPAS / R.MIOK-MIOK

RAJA ENGBANUA / (istri nya tak diketahui)

R. UJUNG R. JAU R.BONAGIG-BONAGIG

R. TANTAN DEBATA

RAJA BATAK

(40)

Guru Tatea Bulan adalah leluhur dari marga Sagala yang berada di kawasan Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, di mana Guru Tatea Bulan ini memiliki anak sepuluh (10). Anak Guru Tatea Bulan memiliki anak yang masing-masing kembar sepasang (laki-laki dan perempuan, dimana masing-masing-masing-masing memiliki kemampuan dan keahlian). Mereka tinggal di ”Simanampang” salah satu nama lokasi di Hutaurat. Pada cerita sejarah ini, perempuan tidak terlalu diceritakan, karena garis keturunan berasal dari laki-laki.

Mereka adalah :

 Raja buneleng atau dikenal dengan nama raja uti atau raja bias-bias kembar dengan Biding laut yang pergi ke laut pantai selatan, Jawa.

 Saribu Raja kembar dengan Si Boro Pareme.

 Limbong Mulana kembar dengan Si Pinta Haomason.

 Sagala Raja kembar dengan Si Anting Sabungan.

 Silau Raja atau Malau Raja kembar dengan Natinjo Nabolon “Banci”. Sejarah Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) ini berawal dari Sagala Raja, karena Raja Buneleng yang dikenal ilmunya paling sakti. Pewaris harta kekayaan keluarga yang paling banyak seharusnya jatuh ke tangan anak sulung (pertama). Akan tetapi, dia tiba-tiba menghilang dan keberadaannya sampai saat ini tidak begitu jelas. Saribu Raja yang seharusnya menggantikan Raja Buneleng untuk mengelola harta keluarga, dia mengawini saudara kembarnya sendiri.

(41)

Sagala). Akibatnya, tanah yang ditempati menjadi milik Sagala Raja (rumah keluarga beserta tanahnya), karena saudara-saudaranya lebih memilih tinggal di daerah lain dan mereka merasa sudah betah hidup di perantauan mereka.

Sagala Raja dikabarkan mempunyai dua istri, akan tetapi masyarakat setempat tidak jelas mengetahui siapa saja istri-istri dari Sagala Raja. Sagala Raja dulunya dikabarkan susah untuk memiliki keturunan. oleh karena itu, dia memilih untuk menikah lagi. Anak pertamanya lahir dari istri kedua, yang bernama “Hutaruar” (yang artinya adalah anak dari istri kedua yang diambil dari luar), anak kedua lahir dari istri pertama, anak tersebut bernama “Hutabagas” (yang artinya hádala masih di “Bagas” atau masih dalam perut ibunya). Masyarakat tidak mengetahui dengan jelas umur berapa “Hutaruar” ketika “Hutabagas” dilahirkan.

Menurut kedua sumber ini, yaitu ”Buhit Sagala” (Bius atau Raja adat atau

Raja kampung) dan Tahe Sagala (tokoh adat Batak di Jakarta yang juga keturunan

Bius di Sianjur Mula-Mula) mengatakan bahwa, sebelum ”Hutabagas” dilahirkan (ketika masih di dalam kandungan). Nama anak ketiga sudah diberikan, yaitu ”hutaurat” (yang artinya adalah masih diurat nadi ayahnya). Hal ini dilakukan, karena Sagala Raja yang juga salah seorang yang mempunyai ilmu mistik atau meramal yang tinggi, sudah meramalkan anak laki-lakinya kelak hanya 3 orang saja.

(42)

mengalah sama abangnya ”Hutaruar”. Sehingga, sebagian besar tanah keluarganya diberikan kepada ”Hutaruar”.

Akan tetapi, karena kelakuan buruk dari ”Hutaruar” yang suka berjudi dan menjual tanah sebagai taruhannya dengan diam-diam, ”Hutabagas” membeli (Balian Galung, Banjar dan Bagas Limbong) tanah keluarganya sendiri yang diwakili oleh orang lain untuk membeli tanah keluarganya dari abangnya ”Hutaruar”. Akhirnya, tanah tersebut menjadi milik ”Hutabagas”. Sedangkan ”Hutaruar” karena tingkah laku buruknya dia di usir dari kampung tersebut ”Simanampang”.

Adapun ”Hutaurat”, setelah menikah dia memilih tinggal di Simanampang lalu dia pernah pindah ke Simaibang dekat Hutabagas tapi hanya sebentar, kemudian dia kembali menetap di tanah abangnya ”Hutabagas”, yaitu ”Hutalobu”. Secara singkat, dia meminta pembagian tanah kepada abangnya. Lalu ”Hutabagas” memberikan syarat kepada adiknya. ”Hutaurat” yaitu apabila dia berhasil mengusir ”Burung pemakan manusia” yang bertempat di sekitar sumber mata air ”Sungai Bintangor”, maka dia akan memberikan tanahnya seperti: Si Batu-batu, Lumban Gambir, Siatar-atar, Parhobon, Hutalobu, Lumban Ganda, dan Simanampang, yang akan menjadi milik ”Hutaurat”.

(43)

berada didekat sungai ”Bintangor”, karena pada zaman dahulu sumber mata air sangat penting. Makanya dia tidak mau melepaskan tanah yang memiliki sumber mata air kepada adiknya. Tanah tersebut adalah (Balian Galung, Banjar, dan Bagas Limbong).

Akhirnya, keturunan mereka hidup ditanah masing-masing yang sesuai dengan perjanjian yang mereka buat. Adapun nama ”Hutaurat” dan ”Hutabagas” diberikan oleh keturunan mereka ”yang bermarga Sagala”. Tujuannya untuk menghormati nama leluhur mereka. Desa Hutabagas adalah tanah si Hutabagas yang berada di dekat ”Simanampang”. Adapun ”Hutabalian” dinamakan karena tanah tersebut di beli dari ”Hutaruar” dan nama itu diambil dari nama salah satu anak laki-laki Hutabagas yaitu ”Hutabalian”.

2.2. Letak Lokasi dan Iklim Desa Hutaurat dan Hutabalian

Penelitian ini dilakukan di desa Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir. Kabupaten Samosir memiliki luas wilayah 2.547,15 km². Letak geografis Kabupaten Samosir adalah 2°LU 24’LU - 2°LU 45’

(44)

99°BT 45’ permukaan laut.

Kecamatan Sianjur Mula-Mula juga memiliki beberapa kampung di dalamnya. Salah satunya adalah Hutaurat dan Hutabalian. Hutaurat dan Hutabalian merupakan desa yang digabungkan menjadi satu desa (dapat disebut dengan nama desa Sianjur Mula-Mula), yang disebabkan karena jumlah penduduk per KK (Kepala Keluarga) Hutaurat belum mencapai 100 KK begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, desa tersebut digabungkan menjadi satu desa dan juga satu kepala desa.

Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) terdiri dari beberapa dusun, antara lain:

DUSUN 1 = LUMBAN GAMBIR SIATTAR-ATTAR PARHOBON SIBATU-BATU SITABO-TABO SOK-SOK DUSUN 2 = HUTALOBU

LUMBAN GANDA SIMANAMPANG DUSUN 3 = BALIAN GALUNG

BANJAR

(45)

Pembagian dusun Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), yaitu dusun 1 dan dusun 2 termasuk nama desa Hutaurat, sedangkan dusun 3 termasuk nama desa Hutabalian. Secara geografis Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) berbatasan dengan dengan desa-desa disekitarnya yaitu

Sebelah Utara berbatasan dengan Limbong atau Pangururan.

Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Pucuk Buhit.

Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Boho atau Desa Tanjung Bunga dekat

Kawasan hutan Dairi.

Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ginolat dan Hutabagas

Hutaurat dan Hutabalian adalah satu desa yang disebut dengan desa Sianjur Mula-Mula, yang berada di kawasan Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir. Adapun sejarahnya mengapa dinamakan desa Sianjur Mula-Mula sama dengan nama kecamatannya adalah karena Hutaurat dulu adalah kampung asal mula orang Batak pertama (kampung pertama si Raja Batak). Mengapa “Sagala”?, karena “Sagala” adalah cucu si Raja Batak dari Ompu Guru Tatea Bulan. Mengapa ”Hutaurat dan Hutabalian”?, karena nama itu diambil dari nama-nama anak “Sagala”. Hutabagas adalah nama anak yang ke-2 dari istri pertama, sedangkan Hutaurat adalah nama anak yang ke-3 dari istri yang pertama, sedangkan anak pertama bernama Hutaruar dari istri kedua.

(46)

”Hutaurat”, karena desa tersebut diberikan kepada ”Hutaurat” oleh ”Hutabagas.” Pemberian nama ini dibuat pada tahun 1930. Sedangkan penyatuan kedua desa atau daerah menjadi desa Sianjur Mula-Mula yaitu sekitar tahun 1957.

Kondisi jalan dari simpang Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) menuju ke rumah-rumah penduduk jalannya belum diaspal, tetapi saat masuk ke dalam desa jalannya sudah diaspal. Jalan menuju dari simpang desa ke dalam desa sangat berliku-liku dan harus hati-hati, karena di pinggir jalan terdapat batu besar, jurang, pohon – pohon besar dan berlubang (tidak terlalu dalam).

Iklim adalah keadaan cuaca pada suatu tempat yang relatif luas dalam waktu yang cukup lama. Iklim pada suatu tempat berbeda-beda, tergantung pada letak lintangnya. Daerah Hutaurat dan Hutabalian memiliki iklim tropis, berhawa sejuk, angin kencang pada malam hari dan dingin pada malam hari. Desa ini memiliki musim hujan, musim kemarau dan angin kencang. Musim hujan terjadi pada bulan 5–8 dan bulan 1–4, angin kencang terjadi pada bulan 5 dan, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan 5–10.

2.3. Pola Pemukiman

Jika dilihat dari bentuk rumah, pola pemukiman di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) dapat dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu tipe rumah sederhana, tipe rumah setengah permanen, dan tipe rumah permanen.

Rumah tipe sederhana, pada dasarnya tidak jauh berbeda dari rumah tipe

(47)

yang dipakai. Rumah tipe sederhana ini pada umumnya terbuat dari bahan kayu dan papan dari kualitas sedang, sedangkan atapnya umumnya telah memakai bahan dari seng, namun lantai rumah ada yang memakai bahan dari papan (memiliki kolong) dan juga terbuat dari lantai semen.

Rumah tipe setengah sederhana, ditandai dengan sepertiga badan rumah

bagian bawah terbuat dari bahan semen dan dua pertiga badan rumah bagian atas terbuat dari bahab papan yang baik, sedangkan atap rumah pada umumnya telah memakai bahan dari seng.

Sedangkan, Rumah tipe permanen, dindingnya telah terbuat dari semen yang dicat dengan warna hiaju, putih, dan lain-lain, memakai pintu, memiliki ruang tamu, beberapa ruang untuk kamar tidur, ruang dapur sekaligus ruang makan, sudah memiliki aliran listrik dan atap rumah terbuat dari bahan seng.

Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah satu desa yang dikelilingi perbukitan dan terletak di bawah kaki gunung Pucuk Buhit. Pola pemukiman penduduk adalah mengelompok. Rumah penduduk setempat memiliki pintu depan yang saling berhadap-hadapan dengan rumah penduduk setempat yang lainnya dan memiliki halaman yang luas. Adapun beberapa rumah yang tidak “mengelompok” adalah rumah yang rata-rata baru dibangun. Alasan rumah penduduk yang saling berhadapan dengan rumah lain adalah karena rumah penduduk setempat harus mengikuti arah gunung Pucuk Buhit dan Sumber Mata Air (aliran sungai).

(48)

atau setinggi-tingginya. Sedangkan rumah penduduk yang mengahap ke arah sumber mata air (aliran sungai), maksudnya adalah rezeki yang diperoleh masyarakat setempat dapat mengalir seperti aliran air sungai atau rezeki yang diperoleh akan semakin bertambah banyak.

Halaman rumah penduduk setempat berfungsi sebagai tempat pesta. Apabila ada pesta pernikahan atau pesta adat, biasanya dibuat tenda dan tikar di halaman untuk tempat duduk para tamu undangan dan kerabat lainnya. Adapun batas kampung ditandai dengan pohon bambu, jika tidak ada ini dapat dibuat bentuknya seperti jembatan kecil dipinggir jalan. Adapun bambu ditanam di perbatasan kampung adalah karena selain berfungsi sebagai pembatas kampung, juga sebagai penahan angin yang kencang supaya rumah-rumah penduduk setempat tidak cepat roboh (hancur) dan diterbangkan oleh angin.

Bambu pada zaman dahulu berfungsi sebagai senjata bagi penduduk setempat, apabila penduduk kampung sebelah menyerang mereka dapat menggunakan alat tersebut. Sedangkan jembatan kecil dibangun di perbatasan kampung berfungsi juga sebagai tempat duduk bagi orang luar (orang kota yang kesasar), supaya mengetahui bahwa tempat duduk yang terbuat dari batu bata, pasir dan semen yang seperti jembatan kecil itulah yang menjadi perbatasan antara dua kampung.

(49)

tidak memiliki kamar mandi, biasanya mereka pergi ke tempat pancuran, kolam, dan sungai. Kegiatan yang dapat dilakukan di tempat tersebut adalah mandi, mencuci pakaian, mencuci piring dan membuang kotoran.

Adapun aliran pembuangannya dapat dialirkan melalui parit-parit menuju persawahan.. Pancuran ini tidak jauh letaknya dari setiap kampung. Biasanya, setiap kampung memiliki pancuran atau tempat permandian umum masing-masing. Adapun sungai Bintangor memang airnya bersih, akan tetapi penduduk menggunakannya sebagai tempat untuk memandikan ternak, seperti: kerbau, kuda lembu, dan lain-lain.

2.4. Kependudukan

2.4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk

Penduduk merupakan modal dasar pembangunan suatu daerah, maka peranan penduduk pada suatu daerah sangat penting juga sebagai tenaga kerja dalam pembangunan sebab salah satu prinsip berdirinya suatu negara haruslah ada penduduk atau rakyat. Jika penduduk tidak ada, maka negara pun tidak akan terbentuk dan sumber daya yang tersedia tidak akan berfungsi.

(50)

yang saling menghadiri walaupun dalam dusun yang berbeda. Selain itu didukung oleh pertalian darah diantara sesama penduduk sehingga sifat gotong royong dan saling bersahabat masih kuat pada penduduk yang tinggal di desa Hutaurat dan Hutabalian.

2.4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur

Dalam mengembangkan kemajuan daerah, distribusi penduduk sering digunakan menjadi pedoman seperti dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dalam pendidikan, penyediaan lapangan pekerjaan serta kebijakan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang dikembangkan oleh pemerintah saat ini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat secara rinci pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.4.2: Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur

No Umur Jumlah ( orang ) ( % )

1 0 – 10 Tahun 100 16,08

2 11 – 20 Tahun 135 21,70

3 21 – 30 Tahun 163 26,21

4 31 tahun ke atas 224 36,01

Jumlah 622 100

(Sumber : Sekretaris Desa “Hutaurat” dan “Hutabalian”)

2.4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.

(51)

orang. sedangkan jumlah jenis kelamin laki- laki 327 orang. Sehingga dapat dibuat kesimpulan bahwa di daerah ini penduduk paling banyak adalah penduduk berjenis kelamin laki-laki. Perbedaan tersebut hanya berselisih 32 orang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.4.3: Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Jenis kelamin Jumlah ( orang ) ( % )

1 Laki – laki 327 52,57

2 Perempuan 295 47,43

Total 622 100

(Sumber : Sekretaris Desa “Hutaurat” dan “Hutabalian”).

2.4.4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa.

Penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah mayoritas suku Batak Toba, maka dengan sendirinya bahasa seharí-hari masyarakat adalah bahasa Batak Toba. Ada juga masyarakat setempat menggunakan bahasa Indonesia, yang mana bahasa ini dapat mereka gunakan pada saat saudara dari keluarga bapak dan ibu datang berkunjung ke desa ini.

(52)

Penduduk yang berjumlah 148 KK, dimana mereka (suku luar yang sudah diberi marga) yang menetap atau tinggal di Hutaurat dan di Hutabalian ada 3 orang saja. Satu orang tinggal di Balian Galung (suku Jawa menjadi boru Sagala), ada juga yang tinggal di Simanampang (menurut masyarakat setempat, dia berasal dari suku Bugis menjadi boru Sihotang), dan satu lagi tinggal di Banjar (suku Madura menjadi boru Situkkir).

2.4.5. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kepercayaan atau Agama

Penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), menganut agama yang berbeda yaitu: agama Kristen Protestan dan Katolik. Penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) yang menganut agama Kristen Protestan, yaitu 147 Kepala Keluarga (KK), sedangkan selebihnya menganut agama Katolik yaitu 1 Kepala Keluarga (KK).

Penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) terdapat ± 50 KK menjadi warga jemaat Gereja HKBP dan 80 KK menjadi warga jemaat di 2 Gereja GKPI yang berbeda, 1 KK beragama Katolik, dan lainnya adalah menjadi warga jemaat Gereja Pentakosta.

Tetapi walaupun beragama Kristen tidak semuanya penganut Kristen yang setia pada ajaran agama yang dianutnya. Mereka masih mempunyai kepercayaan pada peninggalan leluhur mereka. Kepercayaan Batak Toba yang masih mereka anut adalah kepercayaan kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) yang mempunyai banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah), dan banua

(53)

Sebagai wujud pancarannya adalah Debata Natolu, Debata Batara Guru yaitu sesuatu yang ada adalah karena kebijakannya (hahomian) yang disimbolkan dengan warna hitam. Debata Sorisohaliapan yaitu kesucian (habonaran) yang disimbolkan dengan warna putih. Debata Balabulan yaitu kekuatan (hagogoon) yang disimbolkan dengan warna merah.

Menurut pandangan mereka, bahwa orang tua yang sudah meninggal dalam kesucian mempunyai roh yang disebut dengan Sahala. Manusia yang sudah meninggal dalam keadaan suci dan banyak membantu serta berjasa dalam kehidupan manusia, terutama dalam pengobatan dan kesaktian disebut Sombaon.

Sombaon dapat hadir di dunia dalam suatu simbol, di mana ada kerja sama dan

partisipasi manusia dengan illahi (sombaon) melalui upacara atau kurban. Walaupun simbol itu dianggap sebagai perwujudan yang nyata dari illahi, namun simbol itu bukanlah illahi, tetapi bekerja melalui dunia yang diciptakannya.

2.4.6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan.

(54)

Tabel 2.4.6: Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan: Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk di

Hutaurat

Jumlah Penduduk di Hutabalian

Tamat SD 12 5

Tamat SLTP 55 40

Tamat SLTA 150 100

Diploma dan Sarjana 40 25

Jumlah 257 170

(Sumber : Sekretaris Desa “Hutaurat” dan “Hutabalian”).

Berdasarkan tabel di atas, maka penduduk yang menetap di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) pada umumnya adalah tamatan SLTA. Sebenarnya, penduduk asli di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) atau penduduk Perantauan adalah mayoritas tamatan Diploma dan Sarjana. Akan tetapi, penduduk perantauan memilih untuk tidak menetap atau tinggal di desa tersebut. Bila warga perantauan juga dihitung jumlahnya, mayoritas penduduk asli Hutaurat dan Hutabalian tamatan Diploma dan Sarjana.

(55)

2.4.7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian.

Mata pencaharian adalah kegiatan pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pada umumnya mata pencaharian yang ada di desa Hutaurat dan Hutabalian adalah bertani, berladang, dan berdagang. Adapun orang-orang pendatang pada umumnya bekerja sebagai tukang bangunan, guru, bidan, dll. Menurut Kepala Desa, penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah mayoritas memiliki tanah 75% (40% mengerjai sawahnya sendiri dan 35 % menyewa petani upahan), 20% petani upahan (memiliki tanah tapi tidak punya modal dan ada juga sebagian tidak memiliki tanah), dan 5% memilih untuk membuka warung kopi dan kedai, juga pekerjaan lain seperti guru, PNS, tukang bangunan, dan lain-lain.

2.5. Sarana dan Prasarana 2.5.1. Sarana Pendidikan

Ketersediaan sarana pendidikan tidak boleh diabaikan dalam satu daerah tertentu, karena akan menjadi indikasi terhadap maju tidaknya daerah tersebut sesuai dengan koalitas sumber daya manusia yang diperoleh oleh pendidikan tadi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.5.1: Sarana Pendidikan

No Sarana Pendidikan jumlah

1. Gedung SD 1 unit

Jumlah 1 unit

(56)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sarana pendidikan yang ada di desa Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) hanya ada 1 (satu) gedung sekolah, yaitu SD Negeri 173786 Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten. Samosir. Adapun sekolah SMP Negeri dan SMA Negeri Sianjur Mula-mula, berada di atas (arah menuju ke Limbong), di dekat Batu Hobon dan Tugu si raja Batak. Menuju ke sana harus berjalan jauh dan mendaki bukit, apabila berjalan kaki. Kira-kira 40 menit, bila menggunakan sepeda motor hanya 10 menit saja, kalau angkutan umum tidak ada. Sedangkan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi, anak-anak mereka bisa melanjutkannya ke kota-kota besar, seperti: Pematangsiantar, Medan, Yogyakarta, namun secara umum adalah di kota Medan.

2.5.2. Sarana Ibadah

Setiap agama memiliki sarana ibadah masing-masing, tetapi agama yang ada di desa Hutaurat dan Hutabalian ádalah Katolik dan Kristen Protestan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.5.2: Sarana Ibadah

No Sarana ibadah Jumlah

1. Gereja GKPI 2 unit

2. Gereja HKBP 1 unit

Jumlah 3 unit

(57)

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah tempat Ibadah ada 3. yaitu

 2 Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), yaitu 1 bangunan di dekat Batu Batu (dusun1; Hutaurat), dan 1 bangunan lagi berada di pinggir jalan arah ke Bagas Limbong (dusun 3; Hutabalian).

 1 Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berada di pinggir jalan arah ke Balian galung (dusun 3; Hutabalian).

Rumah ibadah yang dimiliki desa ini sudah cukup memadai dari segi bangunan dan fasilitas yang tersedia di dalamnya, seperti: bangunan gereja yang sudah terbuat dari semen beton dan berlantai keramik dan berukuran sedang, edangkan fasilitas, seperti: kursi, organ, dan sebagainya sudah tersedia. Penduduk yang beragama Katolik harus beribadah ke desa lain yang memiliki gereja sesuai dengan apa yang dianutnya.

2.5.3. Sarana Pemerintahan

Adapun sarana pemerintahan di Hutaurat dan Hutabalian adalah : Kepala Desa : Pardingotan Sagala.

Sekretaris Desa : J. Sihotang. Perangkat Desa (kaur) ada 3, yaitu :

1. Kaur Pemerintahan : Janner Sagala. 2. Kaur Pembangunan : Sihol Sagala.

3. Kaur Kemasyarakatan : Parlindungan Sagala. Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) ada 5, yaitu

(58)

2. Oloan Sagala.

3. Manganar Sigalingging. 4. Robinson Sagala. 5. Jahunta Sagala. Kepala Dusun :

Dusun 1 : Poldiner Sagala.

Dusun 2 : Kesman Sagala.

Dusun 3 : Josmen Sagala.

2.5.4. Sarana Transportasi dan Jalan

Alat transportasi, seperti becak dan mobil angkot tidak ada di desa Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula). Masyarakat yang ada di desa ini tidak khawatir atau resah untuk keluar dari desa ini, yang mana masyarakatnya dapat menggunakan sepeda motor miliknya sendiri. Ada juga anak-anak sekolah berjalan kaki ke sekolah dengan cara mendaki gunung (bagi masyarakat yang tidak memiliki sepeda motor).

(59)

berasal dari dalam truk tersebut, biasanya mereka gunakan untuk membangun rumah ataupun untuk membangun jembatan yang berasal dari proyek pemerintah (biayanya dibayar oleh pemerintah dan yang membangun adalah penduduk setempat)

Jalan dari simpang Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) ke dalam desa belum diaspal dan sangat memprihatinkan. Bagian badan jalan terdapat lubang yang tidak terlalu dalam dan juga di pinggir jalan terdapat batu-batu besar yang tidak menentu tempatnya atau tidak beraturan tempatnya.

2.5.5. Sarana Kesehatan Masyarakat

Sarana kesehatan masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah Polindes yang dikelola oleh Bidan E. Friska Naibaho. Sebelumnya, bertempat di Siattar-attar (dusun 1; Hutaurat), dan sekarang pindah ke Banjar (dusun 3; Hutabalian). Ada juga pengobatan tradisional (dukun patah) yang berada di Simanampang (dusun 2; Hutaurat). Apabila penduduk setempat sakit parah yang tidak sanggup diobati di polindes, maka polindes langsung membawanya ke puskesmas yang berada di Pangururan, dari sana akan di rujuk ke rumah sakit Pangururan atau rumah sakit besar yang berada di kota, misalnya di rumah sakit Adam Malik Medan.

2.5.6. Sarana Informasi dan Komunikasi

(60)

rumah kepala desa, koran yang berada di warung kopi (seperti : Sinar Indonesia Baru, Analisa, dll), handphone, komputer atau leptop dan radio.

Adapun koran dapat di peroleh dari PSN atau SAMPRI (pemilik warung kopi meminta pertolongan kepada supir untuk membelikannya di tengah jalan). Terkadang pemilik kopi atau penduduk pergi ke Pangururan untuk membeli koran atau majalah tentang pertanian dengan menaiki sepeda motor. Lama perjalanan dari Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah ± 1 jam dan mereka menggunakan sepeda motor untuk menuju ke Pangururan.

Penduduk rata-rata menggunakan Handphone (HP) untuk berkomunikasi dengan keluarganya yang berada di luar kota. Penduduk juga menggunakan radio sebagai alat untuk mendengarkan musik dan berita. Biasanya siarannya berasal dari radio yang berada di Sidikalang atau Pangururan. Penduduk setempat sudah menggunakan parabola dan alat digital untuk dapat menonton siaran televisi dari luar kota maupun dalam negeri, tanpa alat ini televisi tidak dapat menerima siaran televisi dari manapun. Oleh sebab itu, penduduk setempat menjadi tidak ketinggalan berita dan informasi.

(61)

2.5.7. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi

Sarana Olahraga tidak terdapat di desa ini. Hanya kebiasaan-kebiasaan orang-orang di desa ini mendaki gunung, berenang di sungai, main sepak bola, dan lari. Adapun bidang kesenian didesa ini adalah : “Menottor”.

“Menottor” adalah menari tarian “Tor-tor” (tarian Batak Toba), dimana sekali setahun ada perlombaan “Tor-tor” yang diselenggarakan antara desa, apabila menang akan diikutsertakan di kecamatan dan seterusnya. Bupati dan bidang dinas pariwisata dan kebudayaan yang telah menyelenggarakannya. Biasanya para kepala desa sangat berambisius untuk menang, karena dapat mengangkat citra desanya di hadapan desa-desa lain. Oleh karena itu, pemuda-pemudi yang mengikuti perlombaan ini ditangani oleh kepala desanya langsung untuk dilatih. Biasanya perlombaan ini diadakan pada bulan November.

Rekreasi di desa ini adalah rumah si Raja Batak dan Aek Bintatar. Biasanya orang kota dan turis yang datang ke tempat ini. Adapun Batu Hobon dan Tugu si Raja Batak ada di perbatasan antara Sianjur Mula-Mula dan Limbong.

(62)

ada seorang dukun yang dipanggil pada saat mematikan pohon beringin tersebut melihat mata ular penjaga yang besar itu secara langsung dari lobang sumber mata air Aek Bintatar.

Gambar 1 : Aek Bintatar 2.5.8. Sarana Umum

Sarana Umum seperti listrik baru dibangun sekitar tahun 1990. Cara pembayarannya, ada seseorang yang datang untuk mengutip ke setiap rumah di desa tersebut. Pembayarannya berdasarkan pemakaian perbulan ditambah ongkos sebesar Rp 4500,00 untuk ke Pangururan pada setiap rumah. Adapun sumber mata air (yang terdapat di pancuran, kamar mandi, dan tempat permandian umum lainnya) dibangun pada tahun 2005 oleh masyarakat. Sumber airnya berasal dari Puncak Gunung Pucuk Buhit, dan tidak ada pungutan atau biaya (gratis) untuk air tersebut.

2.6. Sistem Kekerabatan

(63)

dan kelompok kekerabatan besar adalah marga. Kelompok kekerabatan yang terkecil disebut dengan ripe. Istilah ripe dapat juga dipakai untuk menyebut

keluarga luas patrilineal. Saompu dapat disebut klen, istilah ini dipakai juga

untuk menyebut kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang (Lubis, 1999:112).

Berdasarkan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba yang berarti garis keturunan etnis adalah dari keturunan laki-laki. Keturunan laki-laki yang memegang peranan penting dalam kelanjutan generasi. Berarti apabila seseorang tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka dianggap silsilah marga dari ayah tidak dapat dilanjutkan atau hilang. Silsilah yang dapat berlanjut lagi, sama halnya bahwa seseorang itu tidak akan pernah diingat atau diperhitungkan lagi dalam silsilah keluarga.

(64)

bahwa mereka adalah keturunan dari seseorang kakek menurut garis patrilineal (Bruner dalam Lubis, 1999:112).

Prinsip patrilineal, masyarakat Batak Toba mengartikannya bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menurunkan silsilah dan keturunan keluarga laki-lakilah yang dapat menurunkan marga bagi keturunannya. Setiap anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga ayahnya.

Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaannya harus selalu memelihara kepribadiaan dan rasa kekeluargaan harus terpupuk. Hal tersebut dilakukan bukan saja terhadap keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan terhadap seseorang adalah nama marganya dan bukan nama pribadinya. Apabila sesama orang Batak bertemu, maka yang pertama ditanya adalah nama marganya, dan bukan nama pribadinya atau tempat tinggalnya. Dengan mengetahui marganya, maka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka.

Proses penelusuran silsilah disebut dengan martutur atau martorombo, dengan martutur maka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal yang tabu dapat dihindarkan. Masyarakat Batak Toba mempunyai sebuah ungkapan di dalam hal martutur, yaitu: “Uji jolo tinitip sanggar, asa binalu huru-huruan, jolo

sinungkun marga asa binoto partuturan.” Artinya adalah “Untuk membuat

(65)

keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marganya.” Dengan demikian,

orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut.

Selain hubungan marga secara garis keturunan antara marga-marga juga mempunyai hubungan lain fungsional. Marga mempunyai fungsi terhadap marga lain yang terjadi akibat perkawinan. Hubungan fungsional ini mengakibatkan adanya penggolongan marga di dalam kaitannya dengan marga lain yang menimbulkan suatu sistem kekerabatan dan masyarakat Batak Toba yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Secara etimologis Dalihan Na Tolu berarti “Tiga

Tungku” (Dalihan artinya tungku, Na artinya yang, dan Tolu artinya tiga), yang

dalam arti bahasa Indonesia disebut Tungku yang Tiga. Adanya tiga kelompok kekerabatan yaitu : dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Dongan sabutuha adalah teman satu kampung, Hula-hula adalah marga pemberi gadis, dan boru adalah anak perempuan dari keluarga laki-laki.

Adapun pengertian dari Dalihan Na Tolu adalah : Masyarakat Batak Toba di pandang sebagai sebuah kuali (balanga) sedang Dalihan Na Tolu adalah tiga

batu tungku yang mendukung kuali tersebut, sehingga padanya terdapat

(66)

Dalam masyarakat Batak Toba kuali (belanga) melambangkan wadah dan tempat bagi anggota-anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama, misalnya pesta dan upacara-upacara bersama. Sedangkan masing-masing tungku melambangkan dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Oleh karena itu,

Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba dapat didefinisikan sebagai

(67)

BAB III

KONSEP MAMELE PADA BATAK TOBA

3.1. Pengertian Mamele

Mamele adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba

yang diwariskan secara turun temurun ke generasi berikutnya. Mamele artnya adalah menyembah roh leluhur yang sudah meninggal dan sekaligus meminta bantuan kepada roh leluhur untuk diberikan kesehatan, rezeki, hasil panen bagus, perlindungan, dan sebagainya.

Mamele ini juga merupakan salah satu unsur yang tidak dapat terpisahkan

dari kehidupan orang Batak. Mamele dapat diselenggarakan dengan bantuan orang yang dianggap mempunyai kuasa dan kedudukan mereka sebagai bius yang dipilih menjadi pewaris dari nenek moyangnya untuk melakukan mamele. .

Dalam suatu upacara ritual, sesajian sangat diperlukan agar roh leluhur yang sudah meninggal baik yang ada di tempat keramat maupun bukan tempat keramat dapat mengabulkan permintaan si pemohon. Salah satu informan yang mengatakan bahwa pemberian sesajian sangat diwajibkan ada dalam upacara ritual yaitu Bapak Sahe Sagala (umur 63 tahun) yang mengatakan:

"jika kami melaksanakan upacara mamele pemberian

Gambar

Tabel 2.4.2: Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur
Tabel 2.4.3: Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 2.4.6: Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan:
Tabel 2.5.1: Sarana Pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adapun alasan peneliti memilih lokasi penelitian tersebut adalah atas pertimbangan, bahwa penduduknya adalah majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan penduduknya

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara umum perilaku politik dari etnis Batak Toba dalam hubungannya dengan preferensi calon Kepala Daerahnya

Sejak dahu lu orang Batak telah mengenal nilai-nilai budaya yang tinggi, antara lain adalah tuli san Batak, bahasa Batak, Gondang Batak (uning-uningan), pakaian

Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peratutan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya

Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui asal-usul cerita kesaktian tongkat Tunggal Panaluan pada masyarakat Batak Toba, (2) untuk mengetahui fakta-fakta

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pemilihan terhadap informan yang akan memberikan data atau informasi mengenai permasalahan yang akan dibahas. Dalam hal ini peneliti

Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah warga yang beretnis Batak toba, Mandailing, Jawa dan sunda, tokoh adat dan tokoh agama yang

Informan dalam penelitian merupakan orang yang dijadikan sumber informasi untuk memberikan data seakurat mungkin kepada peneliti adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah