• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : PENUTUP

5.2. Saran

Setiap agama memiliki sarana ibadah masing-masing, tetapi agama yang ada di desa Hutaurat dan Hutabalian ádalah Katolik dan Kristen Protestan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.5.2: Sarana Ibadah

No Sarana ibadah Jumlah

1. Gereja GKPI 2 unit

2. Gereja HKBP 1 unit

Jumlah 3 unit

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah tempat Ibadah ada 3. yaitu

 2 Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), yaitu 1 bangunan di dekat Batu Batu (dusun1; Hutaurat), dan 1 bangunan lagi berada di pinggir jalan arah ke Bagas Limbong (dusun 3; Hutabalian).

 1 Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berada di pinggir jalan arah ke Balian galung (dusun 3; Hutabalian).

Rumah ibadah yang dimiliki desa ini sudah cukup memadai dari segi bangunan dan fasilitas yang tersedia di dalamnya, seperti: bangunan gereja yang sudah terbuat dari semen beton dan berlantai keramik dan berukuran sedang, edangkan fasilitas, seperti: kursi, organ, dan sebagainya sudah tersedia. Penduduk yang beragama Katolik harus beribadah ke desa lain yang memiliki gereja sesuai dengan apa yang dianutnya.

2.5.3. Sarana Pemerintahan

Adapun sarana pemerintahan di Hutaurat dan Hutabalian adalah : Kepala Desa : Pardingotan Sagala.

Sekretaris Desa : J. Sihotang. Perangkat Desa (kaur) ada 3, yaitu :

1. Kaur Pemerintahan : Janner Sagala. 2. Kaur Pembangunan : Sihol Sagala.

3. Kaur Kemasyarakatan : Parlindungan Sagala. Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) ada 5, yaitu

2. Oloan Sagala.

3. Manganar Sigalingging. 4. Robinson Sagala. 5. Jahunta Sagala. Kepala Dusun :

Dusun 1 : Poldiner Sagala.

Dusun 2 : Kesman Sagala.

Dusun 3 : Josmen Sagala.

2.5.4. Sarana Transportasi dan Jalan

Alat transportasi, seperti becak dan mobil angkot tidak ada di desa Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula). Masyarakat yang ada di desa ini tidak khawatir atau resah untuk keluar dari desa ini, yang mana masyarakatnya dapat menggunakan sepeda motor miliknya sendiri. Ada juga anak-anak sekolah berjalan kaki ke sekolah dengan cara mendaki gunung (bagi masyarakat yang tidak memiliki sepeda motor).

Adapun PSN dan SAMPRI adalah mobil angkutan umum menuju kota, misalnya: Medan, Sidikalang, Berastagi, dan lain-lain. Sedangkan ke Pangururan (Onan atau Pajak besar hanya ada sekali seminggu yaitu setiap hari Rabu). Ada juga mobil angkutan KOPJ berwarna biru yang setiap hari Rabu pagi datang ke Hutaurat dan Hutabalian. Ada juga mobil Truk yang datang ke Hutaurat dan Hutabalian, yang digunakan untuk mengangkut barang bangunan dari Pangururan atau dari kota lain. Barang bangunan (seperti; pasir, batu, dan sebagainya) yang

berasal dari dalam truk tersebut, biasanya mereka gunakan untuk membangun rumah ataupun untuk membangun jembatan yang berasal dari proyek pemerintah (biayanya dibayar oleh pemerintah dan yang membangun adalah penduduk setempat)

Jalan dari simpang Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) ke dalam desa belum diaspal dan sangat memprihatinkan. Bagian badan jalan terdapat lubang yang tidak terlalu dalam dan juga di pinggir jalan terdapat batu- batu besar yang tidak menentu tempatnya atau tidak beraturan tempatnya.

2.5.5. Sarana Kesehatan Masyarakat

Sarana kesehatan masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah Polindes yang dikelola oleh Bidan E. Friska Naibaho. Sebelumnya, bertempat di Siattar-attar (dusun 1; Hutaurat), dan sekarang pindah ke Banjar (dusun 3; Hutabalian). Ada juga pengobatan tradisional (dukun patah) yang berada di Simanampang (dusun 2; Hutaurat). Apabila penduduk setempat sakit parah yang tidak sanggup diobati di polindes, maka polindes langsung membawanya ke puskesmas yang berada di Pangururan, dari sana akan di rujuk ke rumah sakit Pangururan atau rumah sakit besar yang berada di kota, misalnya di rumah sakit Adam Malik Medan.

2.5.6. Sarana Informasi dan Komunikasi

Sarana Informasi dan Komunikasi yang berada di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah Warung Telephone (WARTEL) yang berada di

rumah kepala desa, koran yang berada di warung kopi (seperti : Sinar Indonesia Baru, Analisa, dll), handphone, komputer atau leptop dan radio.

Adapun koran dapat di peroleh dari PSN atau SAMPRI (pemilik warung kopi meminta pertolongan kepada supir untuk membelikannya di tengah jalan). Terkadang pemilik kopi atau penduduk pergi ke Pangururan untuk membeli koran atau majalah tentang pertanian dengan menaiki sepeda motor. Lama perjalanan dari Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah ± 1 jam dan mereka menggunakan sepeda motor untuk menuju ke Pangururan.

Penduduk rata-rata menggunakan Handphone (HP) untuk berkomunikasi dengan keluarganya yang berada di luar kota. Penduduk juga menggunakan radio sebagai alat untuk mendengarkan musik dan berita. Biasanya siarannya berasal dari radio yang berada di Sidikalang atau Pangururan. Penduduk setempat sudah menggunakan parabola dan alat digital untuk dapat menonton siaran televisi dari luar kota maupun dalam negeri, tanpa alat ini televisi tidak dapat menerima siaran televisi dari manapun. Oleh sebab itu, penduduk setempat menjadi tidak ketinggalan berita dan informasi.

Beberapa rumah penduduk setempat ada yang menggunakan komputer dan laptop. Jaringan Telekomunikasi yang sangat cepat di dapat di Hutaurat dan Hutabalian adalah jaringan Telkomsel seperti SIMPATI, AS, dan FLEKSI. Dibandingkan dengan jaringan INDOSAT, XL, dan lain-lain sangat susah untuk didapatkan, kecuali kita harus berada di tempat tinggi baru bisa dapat sinyalnya. Warung Internet juga tidak ada di desa ini. Adapun yang memakai Internet itu hanya pribadi saja, tetapi merek Telkomsel.

2.5.7. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi

Sarana Olahraga tidak terdapat di desa ini. Hanya kebiasaan-kebiasaan orang-orang di desa ini mendaki gunung, berenang di sungai, main sepak bola, dan lari. Adapun bidang kesenian didesa ini adalah : “Menottor”.

“Menottor” adalah menari tarian “Tor-tor” (tarian Batak Toba), dimana sekali setahun ada perlombaan “Tor-tor” yang diselenggarakan antara desa, apabila menang akan diikutsertakan di kecamatan dan seterusnya. Bupati dan bidang dinas pariwisata dan kebudayaan yang telah menyelenggarakannya. Biasanya para kepala desa sangat berambisius untuk menang, karena dapat mengangkat citra desanya di hadapan desa-desa lain. Oleh karena itu, pemuda- pemudi yang mengikuti perlombaan ini ditangani oleh kepala desanya langsung untuk dilatih. Biasanya perlombaan ini diadakan pada bulan November.

Rekreasi di desa ini adalah rumah si Raja Batak dan Aek Bintatar. Biasanya orang kota dan turis yang datang ke tempat ini. Adapun Batu Hobon dan Tugu si Raja Batak ada di perbatasan antara Sianjur Mula-Mula dan Limbong.

Rumah si Raja Batak adalah rumah pertama sekali si Raja Batak membangun rumahnya di Hutaurat (pertama sekali kampung berdiri). Adapun Aek Bintatar adalah Sumber Mata Air yang di buat dengan menggunakan ilmu- ilmu mistik, dimana terdapat pohon beringin yang kerdil setinggi tongkat dan ada ular besar penjaganya. Akan tetapi, pohon beringin sudah dimatikan dengan sengaja oleh masyarakat, karena dianggap di sana banyak sekali bersarang ular yang membuat masyarakat setempat menjadi terganggu. Penduduk tidak seorang pun yang pernah melihat langsung ular penjaga Aek Bintatar tersebut, akan tetapi

ada seorang dukun yang dipanggil pada saat mematikan pohon beringin tersebut melihat mata ular penjaga yang besar itu secara langsung dari lobang sumber mata air Aek Bintatar.

Gambar 1 : Aek Bintatar 2.5.8. Sarana Umum

Sarana Umum seperti listrik baru dibangun sekitar tahun 1990. Cara pembayarannya, ada seseorang yang datang untuk mengutip ke setiap rumah di desa tersebut. Pembayarannya berdasarkan pemakaian perbulan ditambah ongkos sebesar Rp 4500,00 untuk ke Pangururan pada setiap rumah. Adapun sumber mata air (yang terdapat di pancuran, kamar mandi, dan tempat permandian umum lainnya) dibangun pada tahun 2005 oleh masyarakat. Sumber airnya berasal dari Puncak Gunung Pucuk Buhit, dan tidak ada pungutan atau biaya (gratis) untuk air tersebut.

2.6. Sistem Kekerabatan

Masyarakat Batak Toba menarik garis keturunan dari pihak ayah atau pihak laki-laki yang dinamakan dengan prinsip patrilineal. Suatu kelompok adat

dan kelompok kekerabatan besar adalah marga. Kelompok kekerabatan yang terkecil disebut dengan ripe. Istilah ripe dapat juga dipakai untuk menyebut

keluarga luas patrilineal. Saompu dapat disebut klen, istilah ini dipakai juga

untuk menyebut kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang (Lubis, 1999:112). Berdasarkan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba yang berarti garis keturunan etnis adalah dari keturunan laki-laki. Keturunan laki-laki yang memegang peranan penting dalam kelanjutan generasi. Berarti apabila seseorang tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka dianggap silsilah marga dari ayah tidak dapat dilanjutkan atau hilang. Silsilah yang dapat berlanjut lagi, sama halnya bahwa seseorang itu tidak akan pernah diingat atau diperhitungkan lagi dalam silsilah keluarga.

Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis keturunan patrilineal mempunyai nilai yang sangat penting. Pada urutan generasi setiap ayah yang mempunyai keturunan laki-laki menjadi bukti nyata dalam silsilah kelompok patrilinealnya. Seorang ayah mempunyai dua atau lebih kelompok keturunan yang masing-masing mempunyai identitas sendiri. Apabila mereka berkumpul maka akan menyebut ayah jadi ompu parsadaan. Ompu berarti adalah kakek, moyang laki-laki; sedangkan sada adalah satu, jadi merupakan titik temu mereka. Mereka yang berasal dari nenek moyang yang satu (nasompu) dari generasi ke generasi akan menjadi satu marga. Marga merupakan suatu pertanda bahwa orang yang menggunakannya masih mempunyai kekerabatan atau percaya

bahwa mereka adalah keturunan dari seseorang kakek menurut garis patrilineal (Bruner dalam Lubis, 1999:112).

Prinsip patrilineal, masyarakat Batak Toba mengartikannya bahwa laki- laki mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menurunkan silsilah dan keturunan keluarga laki-lakilah yang dapat menurunkan marga bagi keturunannya. Setiap anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga ayahnya.

Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaannya harus selalu memelihara kepribadiaan dan rasa kekeluargaan harus terpupuk. Hal tersebut dilakukan bukan saja terhadap keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan terhadap seseorang adalah nama marganya dan bukan nama pribadinya. Apabila sesama orang Batak bertemu, maka yang pertama ditanya adalah nama marganya, dan bukan nama pribadinya atau tempat tinggalnya. Dengan mengetahui marganya, maka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka.

Proses penelusuran silsilah disebut dengan martutur atau martorombo, dengan martutur maka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal yang tabu dapat dihindarkan. Masyarakat Batak Toba mempunyai sebuah ungkapan di dalam hal martutur, yaitu: “Uji jolo tinitip sanggar, asa binalu huru-huruan, jolo

sinungkun marga asa binoto partuturan.” Artinya adalah “Untuk membuat

keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marganya.” Dengan demikian,

orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut.

Selain hubungan marga secara garis keturunan antara marga-marga juga mempunyai hubungan lain fungsional. Marga mempunyai fungsi terhadap marga lain yang terjadi akibat perkawinan. Hubungan fungsional ini mengakibatkan adanya penggolongan marga di dalam kaitannya dengan marga lain yang menimbulkan suatu sistem kekerabatan dan masyarakat Batak Toba yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Secara etimologis Dalihan Na Tolu berarti “Tiga

Tungku” (Dalihan artinya tungku, Na artinya yang, dan Tolu artinya tiga), yang

dalam arti bahasa Indonesia disebut Tungku yang Tiga. Adanya tiga kelompok kekerabatan yaitu : dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Dongan sabutuha adalah teman satu kampung, Hula-hula adalah marga pemberi gadis, dan boru adalah anak perempuan dari keluarga laki-laki.

Adapun pengertian dari Dalihan Na Tolu adalah : Masyarakat Batak Toba di pandang sebagai sebuah kuali (balanga) sedang Dalihan Na Tolu adalah tiga

batu tungku yang mendukung kuali tersebut, sehingga padanya terdapat

keseimbangan. Setiap tungku harus menjaga dan memelihara keseimbangan dari pada kuali agar tetap berdiri kokoh. Untuk dapat mencapai keseimbangan itu, ketiganya harus bekerja sama dan saling tolong-menolong.

Dalam masyarakat Batak Toba kuali (belanga) melambangkan wadah dan tempat bagi anggota-anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama, misalnya pesta dan upacara-upacara bersama. Sedangkan masing-masing tungku melambangkan dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Oleh karena itu,

Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba dapat didefinisikan sebagai

struktur kemasyarakatan atas dasar hubungan kekerabatan yang menjadi landasan dari semua kegiatan, khususnya kegiatan yang bertalian dengan adat.

BAB III

KONSEP MAMELE PADA BATAK TOBA

3.1. Pengertian Mamele

Mamele adalah suatu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Batak Toba

yang diwariskan secara turun temurun ke generasi berikutnya. Mamele artnya adalah menyembah roh leluhur yang sudah meninggal dan sekaligus meminta bantuan kepada roh leluhur untuk diberikan kesehatan, rezeki, hasil panen bagus, perlindungan, dan sebagainya.

Mamele ini juga merupakan salah satu unsur yang tidak dapat terpisahkan

dari kehidupan orang Batak. Mamele dapat diselenggarakan dengan bantuan orang yang dianggap mempunyai kuasa dan kedudukan mereka sebagai bius yang dipilih menjadi pewaris dari nenek moyangnya untuk melakukan mamele. .

Dalam suatu upacara ritual, sesajian sangat diperlukan agar roh leluhur yang sudah meninggal baik yang ada di tempat keramat maupun bukan tempat keramat dapat mengabulkan permintaan si pemohon. Salah satu informan yang mengatakan bahwa pemberian sesajian sangat diwajibkan ada dalam upacara ritual yaitu Bapak Sahe Sagala (umur 63 tahun) yang mengatakan:

"jika kami melaksanakan upacara mamele pemberian

sesajian adalah sangat penting. Mamele yaitu penyembahan terhadap roh leluhur dan memberikan sesajian supaya roh tersebut dapat mengabulkan apa yang diminta oleh pemohonnya. Oleh sebab itu, pemberian sesajian sangat penting."

Dari kutipan di atas dapat dilihat peranan dari mamele pada saat melakukan upacara ritual sangat diperlukan. Mamele dilakukan agar roh leluhur yang sudah meninggal baik berada di tempat keramat maupun bukan tempat keramat dapat mengabulkan permintaan si pemohon. Jika dilihat dari fungsi sesajian juga memiliki fungsi sebagai komunikasi terhadap roh-roh leluhur yang sudah meninggal. Salah satu informan yang mengatakan bahwa persembahan sesajian adalah sebagai alat komunikasi kepada roh leluhur yang sudah meninggal yaitu Bapak Sihol Simanjuntak (umur 46 tahun) yang mengatakan bahwa:

"persembahan sesajian adalah sesajian yang dipersiapkan

atau disajikan buat roh leluhur yang sudah meninggal. Persembahan sesajian juga berfungsi agar kita langsung berkomunikasi dengan roh leluhur yang sudah meninggal. Kalau sesajian tidak ada, maka roh leluhur tidak akan datang."

Dari penjelasan di atas, maka peneliti melihat bahwa dalam upacara ritual

mamele, pemberian sesajian adalah sangat diperlukan. Sesajian digunakan sebagai

alat komunikasi kepada roh leluhur yang sudah meninggal baik berada di tempat keramat maupun bukan tempat keramat.

3.2. Jenis-Jenis Mamele

Menurut Buhit Sagala umur 55 tahun (Raja Bius Hutaurat), mamele terdiri dari 4 (empat) jenis, antara lain:

a. Tondi

Tondi artinya dalam bahasa Indonesia adalah "roh". Roh yang menjadi

sembahan mereka adalah roh leluhur si Raja Batak. Roh yang mereka sembah ini dibuat dengan upacara ritual yang dilakukan hanya setahun sekali. Upacara ritual

yang dilakukan masyarakat setempat adalah Upacara Ritual Pomparan Guru

Tatea Bulan. Upacara ritual ini dilakukan di Batu Hobon. Pemberian persembahan

makanan kepada Guru Tatea Bulan adalah daun sirih, jeruk purut, kemenyan, telur ayam kampung, ikan jurung, nasi, kerbau, daun tujuh rupa (sipilit, ropu, sirih, silinjuang, alum-alum, dan siritak), ayam putih atau ayam merah yang telah dipersiapkan sebelumnya diletakkan diatas Batu Hobon.

b. Sumangot

Sumangot dilaksanakan oleh keturunan untuk pemujaan roh orang tuanya

yang dianggap menduduki tingkat sumangot. Roh orang tua yang meninggal tersebut telah mencapai posisi sebagai sumangot. Roh orang tua yang mencapai tingkat sumangot adalah arwah orangtua yang meninggal karena sudah tua. Ketika orang tua itu sudah meninggal, keturunannya terbukti mengalami kemakmuran, hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Keturunan orang tua yang mengalami

kemakmuran, hagabeon, hamoraon dan hasangapon membuat suatu upacara atau

ritus untuk meningkatkan roh orang tuanya dari status begu menjadi status yang lebih tinggi yakni sumangot.

Roh ini disembah dan dihormati dengan menggunakan sesajian agar tetap bisa ikut memajukan kesejahteraan keturunannya. Salah satu upacara yang termasuk dalam sumangot adalah mangongkal holi. Mangongkal holi merupakan penaikkan tulang belulang yang di gali dari bawah tugu ke atas tugu. Penaikkan tulang belulang ini merupakan lambang penghormatan yang lebih tinggi kepada roh orang tua.

Tugu ini juga merupakan simbol kehadiran sumangot di dalam kehidupan keturunannya. Tugu ini merupakan tanda ikatan persetujuan antara roh orang tua dengan keturunannya. Tugu tersebut merupakan pusat kekuatan dari roh orang yang sudah meninggal di dalam menjamin berkat dan keberhasilan kepada para keturanannya. Roh ini akan menjadi pusat pemujaan dari keturunannya. Dalam doa (tonggo-tonggo) dia akan dipanggil setelah Debata, dan kepadanya dimohonnya berkat bagi keberhasilan dan kesehatan seluruh keturunannya.

Tugu ini juga merupakan sarana untuk meneguhkan persekutuan antara seluruh keturunan marga dan menguatkan rasa solidaritas marga. Upacara ini dilakukan adalah untuk saling mengenal antara satu keturunan dengan keturunan lainnya. Ikatan dan rasa solidaritas marga pada orang Batak terkenal sangat kuat dan kekuatan itu sangat terlihat di dalam pertemuan teman semarga di daerah perantauan.

Upacara ini bukan hanya menguatkan ikatan di antara sesama marga, tetapi juga meneguhkan kembali ikatan persekutuan antara seluruh keturunan marga itu, dengan para roh leluhur marga mereka. Persekutuan masyarakat Batak Toba dengan roh-roh leluhur yang sudah meninggal, kemudian diteguhkan kembali dalam diri generasi yang hidup jauh di masa belakang. Peneguhan itu dilaksanakan dalam rangkaian acara adat yang ada di dalamnya. Pada saat seseorang terlibat dalam rangkaian acara adat itu, ikatan itu diteguhkan kembali. Maka seluruh keturunan dari marga yang mengikuti upacara ini telah diteguhkan kembali ikatan dirinya dengan seluruh roh leluhurnya.

Upacara ini juga merupakan pengangkatan status sekaligus mohon berkat yang lebih melimpah lagi. Satu keturunan (marga-marga yang sama) melakukan upacara yang disebut horja. Horja adalah pesta orang seketurunan. Horja tertuju kepada sumangot orangtua seketurunan. Horja yang dirayakan kelompok seketurunan adalah pernyataan status genealogis demi kemakmuran keturunan yang bersangkutan. Dalam upacara seketurunan tersebut roh orang tua dipanggil sumangot. Ritus kepada sumangot biasanya dibuat pada pesta horja.

Raja pesta horja (biasanya dilakoni oleh yang paling sulung siangkangan) mengundang raja-raja bius untuk menghadiri pesta horja tersabut. Pada saat pesta tersebut dilaksanakan doa dan persembahan (pelean) kepada sumangot orangtua untuk memohon berkat dari sumangot kepada semua keturunannya. Dalam ritus itu diselenggarakan mohon berkat dari. Ritus itu dibuat untuk menyampaikan pelean dan sesembah kepada sumangot sehingga diharapkan berkat melimpah bagi keturunannya. Ritus itu adalah upacara kepada sumangot, bukan ritus ke sumangot lain. Persembahan dan peralatan yang harus dibawa adalah sirih, jeruk purut, pisang, kambing putih, ikan batak, sagu-sagu nagodang, itak putih, gendang, hinoopingan nihotang niandalu, gundur palangi.

c. Peninggalan Sejarah atau Barang Sakti

Peninggalan sejarah atau barang sakti ini merupakan benda-benda yang dianggap memiiliki kekuatan gaib yang harus dihormati oleh masyarakat memiliki barang tersebut. Barang sakti tesebut dapat berupa cincin, keris, dan sebagainya. Penyembahan terhadap barang sakti ini harus tetap dilakukan, jika

tidak dilakukan akan berdampak buruk bagi si pemilik barang sakti tersebut.

Barang sakti tersebut tidak boleh dibawa ke tempat orang meninggal, pada saat

makan babi, dan saat gereja. Jika hal tersebut dilanggar, maka anggota tubuh si pemohon akan terasa panas. Persembahan dan peralatan yang harus dibawa adalah sirih, jeruk purut, pisang, kambing putih, ikan batak, sagu-sagu nagodang, itak putih, gendang, hinopingan nihotang niandalu, gundur palangi.

d. Sombaon atau Tempat Keramat

Pada umumnya, penghormatan kepada sombaon ini dilakukan di tempat

yang dianggap keramat. Tempat Keramat merupakan suatu tempat gaib yang harus dihormati. Tempat keramat tersebut telah diyakini dan memiliki kekuatan gaib yang didiami atau dihuni oleh roh-roh leluhur yang sudah meninggal. Tempat

keramat ini dapat mengabulkan segala permintaan bagi yang menyembahnya dan

bahkan bisa mendatangkan celaka bagi orang yang tidak melanggarnya, seperti: bertingkah laku yang tidak baik atau berbicara sembarangan.

Bagi masyarakat yang ingin melakukan mamele di tempat keramat tersebut, masyarakat harus memberikan sesajian yang sudah ditentukan oleh raja bius (dukun). Tempat keramat tersebut diyakini sebagai tempat yang dihuni oleh leluhur yang sudah meninggal telah bersembunyi di pohon-pohon besar, batu-batu besar, hutan rimba, mata air, dan gunung.

Sombaon atau tempat keramat ini banyak juga diminati oleh masyarakat

yang berada di luar desa ini, antara lain: calon gubernur, walikota, dan lain-lain. Masyarakat yang menginginkan upacara ini adalah untuk meminta restu supaya

terpilih nantinya sebagai calon pemimpin yang diinginkannya. Persembahan dan peralatan yang harus dibawa adalah sirih, jeruk purut, pisang, kerbau, ikan batak, sagu-sagu nagodang, itak putih, hinopingan nihotang niandalu, gundur palangi gendang.

3.3. Tempat-Tempat Mamele yang Pernah Dilakukan Masyarakat Setempat Tempat-tempat mamele di desa Hutaurat dan Hutabalian adalah batu

Dokumen terkait