HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN
DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA
(STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN – KABUPATEN
SAMOSIR)
TESIS
O l e h
T I O R I S T A
067011100/M.Kn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN
DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA
(STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN - KABUPATEN
SAMOSIR)
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada
Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara
O l e h
T I O R I S T A
067011100/M.Kn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN
SAMOSIR) Nama Mahasiswa : T i o r i s t a
Nomor Pokok : 067011100
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum)
K e t u a
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN) (Syafnil Gani, SH, M.Hum) Anggota Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal, 28 Agustus 2008
____________________________________________________________________
PANITIA PENGUJI TESIS:
Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS.,C.N.
2. Syafnil Gani, S.H., M.Hum.
3. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A.
ABSTRAK
Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kematian akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal. Pewarisan terjadi, bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan mereka yang sah. Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia dibedakan tiga kelompok yaitu: Susunan kekeluargaan patrilineal, kekeluargaan matrilineal kekeluargaan parental. Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender, yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”. Pada masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Dalam hukum adat Batak Toba, anak perempuan tidak memperoleh hak untuk mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan Batak Toba ?. Permasalahan yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan ?, Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba ?, Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba ?.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Empiris dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, dilakukan guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). Kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki secara bersama-sama telah mendapat hak/bagian atas harta peninggalan dari orangtuanya. Namun terhadap harta pusaka, anak laki-laki lebih berhak atas harta pusaka karena sebagai penerus marga bapaknya. Dalam masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, sistem pembagian warisannya telah mengalami perubahan di mana sebelumnya anak perempuan tidak mewaris terhadap harta peninggalan orangtuanya, namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta warisan dari orangtuanya.
ABSTRACT
A marriage can be terminated because of death, divorce and court decision. Death will result in the transfer of right and obligation in terms of property. The right and obligation which were initially in the hands of the deceased will legally move to those the deceased has left, namely, the heirs of the deceased. Inhereting exists if one or both of the legally married couple dies. The distribution of the inheritance is very closely relaed to the exiting family kinship in traditional communities in Indonesia. Traditional communities in Indonesia are grouped into three categories such as patrilineal, matrilinela, and parental communities. In case of inheritance, patrilineal adat/customary law still distinguishes gender stating that the male group in the family is the ones who have the right to inherit the inheritance or the heirs are only men. “The struggle to create gender equalization is not an easy job to do. Women understanding and empathy in this modern era is frequently still imprisoned by the patriarchy way of thinking. In the patrilineal communities found in the areas Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, and Lombok and in other areas in Indonesia, their sons are still regarded more precious and have higher position than their daughters. The sons are regarded as the ones who bring the descendants that pass the marga (family name) og their father to the next generation. In the adat law of Batak Toba, their daughters do not have the right ti inherit their parent’s inheritance. Is this discriminative treatment still accepted by all the daughters of Batak Toba families ? The problems to be discusesd are how the structure of kinship of Batak Toba community is related to the posistion of women (their daughters), what the position of women (their daughters) in the in heritance law in the community of Batak Toba, and whether or not there is a shift in the system of inheritance distribution in the community of Batak Toba.
This descriptive study with empirical juridical method describes and explains and to find the answer concerning the questions about the stucture of kinship in the Batak Toba community in its relation to the position of women (their daughters) in the inheritance law in Batak Toba community, and the shift in the system of inheritance distribution in Batak Toba community in Pangururan Sub-district, Samosir District.
of inherited wealth, the sons as the ones who pass their father’ family name to the next generation have more right. In Batak Toba community in Pangururan Sub-district, the inheritance distribution system has changed. Before, the women (theis daughters) did not inherit their fathers’ inheritance but now they do have it.
RIWAYAT HIDUP
I.
Identitas Pribadi
Nama : T I O R I S T A
Tempat / Tanggal lahir : Rantauprapat / 24 Desember 1969
Status : Kawin
Alamat : Jl. Mistar, Gang Johar No. 14, Medan
II. Keluarga
Nama suami : Hayata Monro Munthe, ST
Nama anak : 1. Joy Ophelia Munthe
2. Rafael Bagasta Munthe
3. Davin Leonardo Munthe
Nama ayah : Jansen Sihaloho (Alm)
Nama ibu : Rosinim br. Simarmata (Alm)
III. Pendidikan
Tamat tahun 1982, SD Negeri No.112134, di Rantauprapat. Tamat tahun 1985, SMP Negeri No. 1, di Rantauprapat. Tamat tahun 1988, SMEA Negeri, di Rantauprapat.
Tamat tahun 2004, S1 Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, di Medan.
KATA PENGANTAR
Sembah sujud dan puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa
di tahta-Nya yang Maha Kudus. Penulisan ini dapat diselesaikan bukan karena
kemampuan dan kepintaran saya, tapi hanya karena kasih karunia-Nyalah yang
menolong saya, sebab Dia-lah sumber pengetahuan dari segalanya.
Penulisan tesis ini berjudul “HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN
DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi Di Kecamatan Pangururan -
Kabupaten Samosir)”, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk
memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana,
Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,
dorongan masuk, masukan dan saran. Untuk itu disampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat dan amat terpelajar kepada Bapak
Komisi Pembimbing:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, sebagai Anggota Komisi
Pembimbing.
2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., merupakan Ketua Program
Pascasarjana Magister Kenotariatan. sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
3. Syafnil Gani, SH.,M.Hum, sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Atas kesediaannya memberikan bimbingan penulisan yang baik, juga arahan
juga petunjuk demi kesempurnaan penulisan tesis ini mulai pemilihan judul hingga
hasil penelitian, di mana berkat bimbingan yang diberikan hingga dapat diperoleh
hasil yang maksimal.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen penguji
yang terhormat dan amat terpelajar yaitu:
1. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A.
Atas kesediannya untuk memberikan bimbingan arahan serta masukan
maupun saran terhadap penyempurnaan penyelesaian tesis ini, sejak tahap kolokium,
selesainya seminar hasil, sehingga penyelesaian tesis ini menjadi lebih terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku rektor
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi
penulis untuk menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan para Asisten Direktris, beserta
seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga
dapat menyelesaikan studi pada program Magister Kenotariatan (M.Kn)
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua program Magister
Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi
pada program Magister Kenotariatan (MKN).
4. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, selaku mantan Ketua Program
Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana, atas bantuan dalam
memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi
pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
5. Pada Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya
pada Magister Kenotariatan yang telah memberikan pengetahuan sehingga
dapat menyelesaikan studi ini.
6. Para Pegawai / karyawan pada program Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh hati, terutama untuk
7. Bapak Christo Efrest Sitorus, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri
Tarutung, yang telah memberikan bantuan dan data yang diperlukan dalam
penulisan tesis ini.
8. Bapak Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Kartolo
Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Djohan Naibaho
(dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), selaku penetua adat, yang telah banyak
memberikan bantuan dan informasi tentang adat Batak yang diperlukan dalam
penulisan tesis ini dan responden yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
9. Kepada Sahabatku dan rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Teristimewa ucapan terima kasih kepada suami tercinta Hayata Monro
Munthe, ST, yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta doa yang tak
henti-hentinya, serta menemani dan membantu pengetikan serta mencari bahan
literatur kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya,
dan juga kepada anak-anakku yang tersayang Joy Ophelia Munthe, Rafael Bagasta
Munthe dan Davin Leonardo Munthe. Tak lupa ucapan terima kasih dan sayang
penulis kepada orangtuaku Jansen Sihaloho (Alm) dan Rosinim br. Simarmata
(Alm), dan ibu mertuaku S.br. Siringo-ringo, juga saudara dan iparku:
R.br.Haloho/Ir.T.Sitanggang, A.Sihaloho/N.br.Simorangkir, P.Sihaloho/ SW.
br.Simarmata, AO.Sihaloho/R.br.Simarmata, PH.Sihaloho, Amd/ D.br.Saragih,
SS, FH. Sihaloho, SH, karena berkat doa dan dorongan merekalah, penulis bisa
melanjutkan studi S2 (strata dua) pada Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dan akhirnya dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.
Medan, 28 Agustus 2008
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR... vi
DAFTAR ISI... ix
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
DAFTAR ISTILAH ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Pemasalahan ... 7
C. Tujuan Penelitian... 7
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Keaslian Penelitian ... 8
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi... 9
1. Kerangka Teori... 9
2. Konsepsional ... 15
G. Metode Penelitian... 20
BAB II STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR ... 25
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 25
2. Penduduk... 39
B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba ... 40
1. Sejarah Batak ... 40
2. Sistem Kekerabatan... 41
BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR... 54
A. Kedudukannya Dalam Keluarga. ... 54
B. Hak Mewaris Anak Perempuan... 62
BAB IV PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR ... 81
A. Perkembangan Saat ini... 81
B. Penyelesaian Sengketa Warisan... 92
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 104
A. Kesimpulan ... 104
B. Saran... 105
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1 Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005 ... 31
2 Struktur Kekerabatan Batak Toba... 46
3 Kedudukan Anak Perempuan... 61
4 Alasan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris... 70
5 Warisan Yang Diberikan Kepada Anak Perempuan... 76
6 Anak Perempuan Termasuk Sebagai Ahli Waris... 88
7 Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan... 89
8 Pembagian Harta Warisan Terhadap Harta Pusaka ... 92
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
DAFTAR ISTILAH
Anak : anak laki-laki/putra.
Arta panjaean : harta yang diterima/dibawa anak sewaktu mau menikah.
Boru : anak perempuan/putri.
Boruki : putriku
Dalihan Na Tolu : tiga tungku.
Dongan tubu : kelompok saudara dalam satu marga.
Elek marboru : bersikap mengasihi atau menyayangi putri dari
semarga.
Hagabeon : punya banyak anak.
Hamoraon : punya kekayaan.
Hasangapon : punya kedudukan.
Hasomalon : kebiasaan.
Hela : menantu laki-laki.
Manat mar dongan tubu : bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga menurut garis keturunan bapak.
Maranak : mempunyai anak putra.
Marhata sinamot : membicarakan berapa nilai jual dari seorang anak perempuan yang akan dinikahkan. Martarombo/martutur : menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi. Matrilineal : garis keturunan dari pihak perempuan (ibu).
Parental : garis keturunan dari pihak kerabat bapak maupun dari
kerabat ibu.
Patrilineal : garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak); Raja parhata : juru bicara dalam adat.
Sari matua : sebutan untuk seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga.
Saur matua : sebutan untuk seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu.
Somba mar hula hula : bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang berasaskan hukum
menjunjung tinggi hukum baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam
meningkatkan taraf hidup yaitu menuju suatu masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dibutuhkan pembangunan di
berbagai bidang diantaranya di bidang ekonomi dan hukum.
Pembangunan di bidang hukum yang dirumuskan dalam Tap MPR Nomor 4
Tahun 1999 adalah:
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender1 dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi. 3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian
hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.
Pembangunan di bidang hukum, berawal dari norma-norma yang hidup di
tengah-tengah masyarakat, sehingga hukum nantinya mengabdi kepada kepentingan
1
masyarakat Indonesia. Dari hasil seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional di mana salah satu butir yang dirumuskan, menyebutkan:
”Bahwa Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Nasional yang menuju Unifikasi Hukum dan terutama yang akan dilakukan melalui perbuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuh dan berkembangnya Hukum Kebiasaan dan Pengadilan dalam Pembinaan Hukum”.2
Namun saat ini negara Indonesia belum mempunyai hukum khusus yang
mengatur tentang pewarisan secara nasional, karena negara Indonesia terdiri dari
beragam suku, adat istiadat, bahasa, agama, sehingga menyulitkan unifikasi hukum
waris secara nasional. Oleh karena itu, berlakunya hukum waris tersebut tergantung
pada golongan penduduk yang ada terhadap hukum mana penduduk tersebut
menundukkan diri. Menurut Hilman Hadikusuma bahwa:
”Pada kenyataannya sampai saat ini bagi Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan Timur Asing (Cina) masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII-Bab XVIII. Sedangkan bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat, yang bersifat patrilinial, matrilineal dan parental/bilateral. Di samping itu bagi keluarga-keluarga Indonesia yang mentaati hukumnya melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing”.3
Lebih jauh Von Savigny mengatakan bahwa ”manusia di dunia ini terdiri atas
berbagai bangsa dan tiap-tiap bangsa itu mempunyai jiwa bangsa sendiri yang disebut
2
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional, 1976, hal. 251. 3
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum
volksgeist, jiwa bangsa ini berbeda satu dengan yang lain menurut tempat dan waktu.
Semangat atau jiwa bangsa itu terjelma dalam bahasa, adat istiadat dan organisasi
sosial”.4 “Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup
menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri.
Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan
meninggal dunia di dalam masyarakat”.5
”Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi”.6
Bertambah dewasa umurnya maka semakin berkembang pula daya pikirnya,
sehingga pada suatu waktu ia akan memerlukan seseorang sebagai pasangan untuk
hidup bersama dan untuk membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan. Ikatan
perkawinan yang mengikat seorang pria dengan seorang wanita menyatukan mereka
secara lahir dan batin. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat, yang
mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita
untuk hidup bersama sebagai suami isteri. “Perkawinan adalah hubungan hukum
yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang
4
H. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 41.
5 Ibid. 6
telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama
mungkin”.7
Ikatan lahir ini disebut sebagai hubungan formal yang bersifat nyata baik bagi
kedua mempelai, orang lain, atau masyarakat umum. Menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UUP)
telah mengatur bahwa seorang pria terikat perkawinan secara sah dengan seorang
wanita apabila perkawinan mereka tersebut dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Setelah pelaksanaan perkawinan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya kemudian dalam ayat (2) nya
perkawinan tersebut dimohonkan untuk dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Tali perkawinan yang mengikat kedua mempelai secara lahir
akan memiliki kekuatan hukum yang pasti dengan terpenuhinya ketentuan dasar
perkawinan seperti yang dimaksud di atas.
Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan
Pengadilan. Kematian merupakan hal yang tak terelakkan bagi manusia. Pada saat
kematian itu datang, maka akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam
bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di
tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan
yaitu para ahli waris dari si meninggal.
7
Pewarisan bisa terjadi terjadi bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan
mereka yang sah seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUP bahwa
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu dan harus memenuhi Pasal 2 ayat (2) UUP yang
menghendaki tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan
yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indoenesia
dibedakan tiga kelompok yaitu:
1. Susunan kekeluargaan patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak);
2. Susunan kekeluargaan matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu);
3. Susunan kekeluargaan parental, yaitu dimana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu.8
Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender9,
yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum
laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang
8
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta, 1987, hal. 129-130.
9
gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern
ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”.10
Masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli,
Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap
bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada
anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun
penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Sebaliknya, anak perempuannya
nantinya akan ”dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga
suaminya.
Dalam masyarakat patrilineal khususnya di masyarakat adat Batak Toba di
Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, bahwa anak laki-laki saja yang berhak
mewaris karena anak laki-laki nantinya dianggap sebagai generasi penerus
marga/clan. Dengan sistem patrilineal ini jelas anak laki-laki sebagai generasi
penerus. Sedangkan anak perempuan nantinya akan ikut suaminya kelak, tidak
mendapat hak waris, karena dia juga akan menikmati hak dari keluarga suaminya.
Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan
Batak Toba ?.
Maka dalam perkembangan saat ini perlu dilakukan penelitian tentang hak
mewaris anak perempuan terhadap harta peninggalan orangtuanya, khususnya di
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
10
James P. Pardede, Berbagi Peran Dalam Mengurangi Angka Kekerasan Terhadap
B. Permasalahan
Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat
dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu :
1. Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya
dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten
Samosir ?
2. Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat
Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?
3. Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak
Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?
C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya
dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten
Samosir.
2. Untuk mengetahui kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada
masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
3. Untuk mengetahui pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk ilmu
pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya
tentang hukum waris adat pada masyarakat Batak Toba.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada tokoh adat,
masyarakat serta kepada dunia akademisi dan pemerintah, terkait dalam
kedudukan anak perempuan dalam memperoleh harta warisan dalam masyarakat
Batak Toba.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang Hak
Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi di Kecamatan
Pangururan-Kabupaten Samosir), belum pernah dilakukan.
Namun pada tahun 2003, Herlina Mariaty P., mahasiswa Magister
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan
penelitian mengenai “Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan dan Janda Pada
Masyarakat Batak Toba di Perkotaan (Suatu Penelitian Di Kelurahan Sudi Rejo II
1. Bagaimana prinsip dan asas hukum keluarga adat Batak Toba terhadap hak
waris anak perempuan dan janda ?
2. Bagaimana perkembangan hak waris anak perempuan dan janda dalam hukum
adat keluarga adat Batak Toba dewasa ini ?
3. Bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam menentukan hak mewaris anak
perempuan dan janda terhadap harta peninggalan ?
Dalam penelitian ini, ada persamaan pembahasan pada butir 2, namun karena
penelitian ini bersifat penelitian lapangan (field research) maka hasil penelitian ini
akan berbeda.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah “untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi”11, dan “satu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya”.12 “Kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan
teoritis”13 bagi peneliti tentang Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat
Batak Toba (Studi di Kecamatan Pangururan-Kabupaten Samosir).
11
J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203.
12
Ibid., hal. 16. 13
Penelitian ini adalah penelitian yang menyangkut masalah sosial dalam
penerapannya dapat menjadi suatu penelitian hukum, sebab penelitian ini berdasarkan
penelitian lapangan yang dilihat secara empiris dalam kerangka acuan hukum yaitu
hukum waris adat yang hidup14 dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu
sendiri.
Dalam kerangka konsepsionalnya adalah merupakan kerangka yang
menggambarkan hubungan atau konsep-konsep khusus yang akan diteliti yaitu
mengenai struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan
kedudukan anak perempuan dalam hak mewaris dan pergeseran hak mewaris dalam
masyarakat Batak Toba khususnya di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa: “Suatu kerangka konsepsional,
merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus
yang ingin atau yang akan diteliti”.15 Oleh karena itu, pewarisan berhubungan erat
dengan harta perkawinan.
Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan
peristiwa hukum dan biasa disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa
14
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988, hal. 16, menurut Soerjono Soekanto bahwa setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan lambat, ada yang berjalan dengan sangat cepat, ada pula yang direncanakan, dan seterusnya. Bagi seseorang yang sempat melakukan penelitian terhadap susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau, akan tampak perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.
15
hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu
tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang
meninggal dunia.
Dalam pewarisan masyarakat Batak Toba, anak16 sejak dalam kandungan
sudah dianggap ahli waris, hanya status si anak ditentukan pada saat lahir apakah
laki-laki atau perempuan, sebab dalam pewarisan di Batak Toba hanya dikenal ahli
waris adalah anak laki-laki, tetapi anak perempuan tidak. Anak perempuan tidak
mewaris baik terhadap harta peninggalan/pencaharian maupun harta pusaka.
Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat
waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris
harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama
sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang
rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat
Batak pada umumnya”.17 Titik tolak anggapan tersebut adalah:
a. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.
b. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara
dari suaminya yang meninggal.
c. Perempuan tidak mendapat warisan.
16
Bandingkan, HFA. Vollmar, (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum
Perdata, Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989, hal.29 mengatakan: ” ... dalam Hukum Waris;
anak yang belum lahir, tetapi diharapkan akan lahir, haruslah diperlakukan sebagai ahli waris juga (Pasal 2 KUH Perdata) .” juga lihat Pasal 836 dan Pasal 899 KUH Perdata.
17
Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka
Walaupun demikian, kenyataannya anak laki-laki merupakan ahli waris pada
masyarakat patrilineal dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut:
a. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki (anak perempuan tidak
melanjutkan silsilah).
b. Dalam keluarga, istri bukanlah kepala keluarga.
c. Anak perempuan tidak dapat mewakili orangtuanya karena ia nantinya masuk
dalam anggota keluarga suaminya.
Di dalam masyarakat patrilineal khususnya Batak Toba, apabila anak
perempuan sudah kawin, ia dianggap tergolong kelompok suaminya. Dalam
masyarakat Batak Toba, anak perempuan yang sudah kawin menjadi golongan
parboru (contohnya: bila ada acara adat, yang salah satu pihak semarga dengan anak
perempuan tersebut maka dia menjadi pihak parboru).
Namun dalam perkembangannya saat ini, peranan anak perempuan/kaum
wanita sudah terlihat di dalam masyarakat baik dalam lapangan keagamaan, lapangan
ekonomi, pertanian perdagangan, bahkan menteri dan lapangan lainnya. Akan tetapi
walau bagaimanapun masalah tinggi rendahnya kedudukan seorang wanita dapat
dilihat dalam peranannya di dalam masyarakat.
Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang telah
meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu
diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum
adat perkawinan Batak Toba yang mamakai marga itu berlaku keturunan patrilienal,
maka orangtua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak
tidak dapat membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian sebaliknya.
Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa orangtua (pewaris) bebas menentukan untuk
membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orangtua
yang tidak membedakan kasih sayang kepada anak-anaknya.
Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris pada
masyarakat Patrilineal, terdiri atas:
a. Anak laki-laki.
Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta
kekayaan, baik harta pencarian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan
pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Apabila pewaris tidak
mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan istri, maka
harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun istri
seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya.
b. Anak angkat.
Anak angkat hanya berhak atas harta pencaharian/harta bersama orangtua
angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.
c. Ayah dan ibu serta saudara-sudara sekandung si pewaris.
Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang
menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si
pewaris yang mewaris bersama-sama.
Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara
sekandung pewaris dan ayah ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai
ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.
e. Persekutuan Adat.
Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka
harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.
Berkaitan dengan hukum adat waris yang hanya mengakui anak laki-laki
sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember
1961 No.179 K/Sip/1961 telah terjadi upaya ke arah persamaan hak antara laki-laki
dengan perempuan di Tanah Karo, meskipun putusan Mahkamah Agung ini banyak
mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal
tersebut.
Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam
putusan tersebut, antara lain:
a. “Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas
anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup,
bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan
yang ditinggalkan oleh orangtuanya”.
b. “Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa
prikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara
wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan
perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama
berhak atas warisan, dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengan anak
perempuan”.
c. “Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah
Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus
dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orangtuanya”.
2. Konsepsional
Konsepsi adalah :
Salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu kebenaran”.18
Pengertian hukum waris sampai saat ini baik dalam kepustakaan ilmu hukum
Indonesia dan pendapat para ahli hukum Indonesia menggunakan istilah untuk hukum
waris masih berbeda-beda. Seperti Wirjono Prodjodikoro, menggunakan istilah
“hukum warisan”.19 Hazairin, mempergunakan istilah “hukum kewarisan”20 dan
Soepomo menyebutkannya dengan istilah “hukum waris”.21
Dari istilah yang dikemukakan ketiga para ahli hukum Indonesia, baik tentang
penyebutan istilah maupun berkenaan dengan pengertian hukum waris itu sendiri,
18Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 15.
19
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, hal. 8.
20
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur,an, Tintamas, Jakarta, hal. 1
21
maka dalam penulisan ini lebih cenderung mengikuti istilah dan pengertian dari
hukum waris sebagaimana yang digunakan oleh Soepomo.
Beberapa pengertian hukum waris sebagai berikut:
Soepomo menerangkan bahwa “hukum waris memuat peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan
barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”.
Menurut Pitlo bahwa hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun dalam hubungan mereka dengan pihak ketiga.22
Sedangkan menurut J. Satrio bahwa:
Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peratutan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaannya yang berwujud; perpindahan dari kekayaan dari si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.23
Lebih jauh lagi, B. Ter Haar Bzn memberikan rumusan hukum waris
sebagaimana yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebekti Poesponoto, sebagai berikut
“hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari
22
A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1990, hal. 1.
23
ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak
berwujud dari generasi ke generasi.24
Dari uraian di atas masalah pewarisan terjadi karena:
1) adanya orang yang meninggal,
2) adanya harta yang ditinggalkan,
3) adanya ahli waris.
Istilah “hukum waris” mengandung pengertian yang meliputi kaedah-kaedah
dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta
kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dalam rangka memahami
kaedah-kaedah serta seluk beluk hukum waris perlu diuraikan beberapa istilah yang
berkaitan dengan hukum waris, antara lain:
a. Waris, istilah ini berarti orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.
b. Warisan, berarti sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka.
c. Pewaris, berarti orang yang mewariskan.
d. Ahli waris, berarti orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka). e. Mewarisi, berarti memperoleh warisan.
f. Proses pewarisan, berarti cara atau perbuatan mewarisi atau mewariskan.25
Berdasarkan hukum adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan
sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri meskipun masih terdapat
variasi, misalnya di dalam masyarakat yang patrilineal harta kekayaan yang berasal
dari kerabat isteri dalam kawin ambil anak tidak dibenarkan hukum untuk dijadikan
24
K. Ng. Soebakti Poesponoto, Azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960, hal. 197.
25
sebagai lembaga kekayaan bersama. Misalnya kebiasaan di daerah Jawa, seorang
laki-laki yang miskin kawin dengan seorang wanita yang kaya, maka dalam hal ini
juga tidak terwujud lembaga kekayaan bersama. Sebab kekayaan yang timbul dalam
perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri.
Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada
sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Harta benda tersebut juga
diatur dalam Pasal 35 UUP sampai dengan Pasal 37 UUP. Ada 2 (dua) macam harta
benda dalam perkawinan menurut UUP, yaitu:
1) Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal
darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari
isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami-isteri.
2) Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri
kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik
sebagai hadiah atau warisan.
Berdasarkan definisi ayat (1) Pasal 35 UUP yang disebut harta bersama ialah
harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama ini
pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta
pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang
biasa disebut harta syarikat.
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil
a. Menurut Undang-Undang Perkawinan, ada 2 (dua) macam harta benda dalam
perkawinan, yaitu :
1) Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.
Asal darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu
didapat dari isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama
suami-isteri.
2) Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri
kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik
sebagai hadiah atau warisan.
b. Ahli waris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah
anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak berhak mewaris.
c. Menurut UUP Pasal 65 ayat (1) huruf b menentukan bahwa isteri yang
kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah
ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya.
d. Kedudukan anak tersebut dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UUP selanjutnya diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
e. Menurut UUP, yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42), anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43).
f. Harta warisan dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah
g. Pewaris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah
seseorang yang telah meninggal dunia.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah maka “penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu
yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan
jalan menganalisanya”.26 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan
metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah
yang dibahas. Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif 27,
deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat
Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak
perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem
pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan
Kabupaten Samosir.
Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris,28 dilakukan
guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba,
kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian
26
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984, hal. 43.
27
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 36 : Penelitian Deskripsi pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu..
28
harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten
Samosir.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan dan ditetapkan di Kecamatan Pangururan
Kabupaten Samosir, dengan alasan serta pertimbangan sebagai berikut:
a. Kecamatan Pangururan merupakan ibukota Kabupaten Samosir yang baru
dimekarkan pada tahun 2002. Kecamatan Pangururan berada di
tengah-tengah pulau Samosir (dikelilingi danau toba).
b. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan masih menjunjung
tinggi hukum adat termasuk hukum waris adat.
c. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan relatif banyak
melakukan urban29 ke Kota Medan dan kota besar lainnya.
3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah seluruh orang Batak Toba yang bertempat tinggal
di Kecamatan Pangururan dari 28 desa/kelurahan yang ada di kecamatan tersebut
diambil 5 desa/kelurahan sebagai desa sampel.
Responden penelitian adalah orang yang diharapkan dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan permasalahan di atas. Dari
jumlah populasi 28.428 jiwa yang dijadikan responden sebanyak 30 orang.
29
Responden tersebut di 5 (lima) Desa. Penetapan responden tersebut dilakukan melalui
penarikan sampel yang bersifat purposive sampling30, yaitu berdasarkan
pertimbangan peneliti antara lain data responden dianggap dapat terwakili dan lokasi
penelitian yang luas, adanya keengganan masyarakat untuk dijadikan responden.
Tehnik ini dipergunakan untuk memperoleh informasi dan data yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas, oleh karena itu dari 5 (lima) desa diambil responden
secara merata. Penetapan lokasi dilakukan berdasarkan pada pertimbangan dana,
tenaga dan waktu yang terbatas.
Dalam mendukung data primer, diperlukan informan yaitu:
a. Hakim Pengadilan Negeri 1 (satu) orang : Christo Efrest Sitorus,
b. Tokoh Adat 3 (tiga) orang: Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam
Sitanggang), Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon),
Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho).
4. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
2 (dua) cara yaitu :
30
Ronny Hamitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 51, Purposive sampling atau penarikan sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.Harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama,
b.Subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi,
a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca,
mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan
perundang-undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Penelitian lapangan (field research), yaitu dilakukan dengan menghimpun
data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada
responden maupun informan, dengan mempergunakan daftar pertanyaan
sebagai pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas terstruktur, agar
lebih mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang
diteliti.
5. Alat Pengumpulan Data
Alat untuk mengumpulkan data dilakukan dengan:
a. Studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang
berkaitan dengan objek penelitian. Studi dokumen dilakukan atas
dokumen seperti segala peraturan, buku-buku atau literatur yang berkaitan
dengan hukum waris adat Batak Toba.
b. Wawancara langsung, yaitu dengan menjumpai pihak-pihak yang terkait
yang berhubungan dengan permasalahan ini seperti hakim, dan tokoh
adat. Sebelum dilakukan wawancara maka terlebih dahulu membuat
pedoman wawancara agar pelaksanaan di lapangan menjadi lancar.
c. Kuisioner yaitu dengan mempergunakan pedoman pertanyaan yang
6. Analisis Data
Data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan tersebut dianalisis dengan
cara kualifikasi sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang dapat diamati.31
Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis
dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara
kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan dilakukan
pengolahannya, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis. Maka
diketahui struktur kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, kedudukan anak
perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem
pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan
Kabupaten Samosir. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka diperoleh suatu
kesimpulan sebagai jawaban atas segala permasalahan hukum yang diteliti.
31
BAB II
STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN
KABUPATEN SAMOSIR
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Van Vollenhoven merupakan peletak dasar ilmu Hukum Adat, menjadi
pembangun dan pembina sistem pelajaran Hukum Adat. Ada 3 (tiga) hal penting
karya van Vollenhoven di bidang Hukum Adat yaitu:
1. menghilangkan kesalahan faham yang melihat Hukum Adat identik dengan Hukum Agama (Islam).
2. membela Hukum Adat terhadap usaha pembuat undang-undang untuk
mendesak atau menghilangkan Hukum Adat, dengan menyakinkan badan tersebut bahwa Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, mempunyai jiwa dan sistem sendiri.
3. membagi wilayah Hukum Adat Indonesia dalam 19 (sembilan belas)
lingkungan Hukum Adat (adatrechtskringen).32
Adapun pembagian wilayah Lingkungan Hukum Adat dalam 19 (sembilan
belas) wilayah yang dibuat oleh van Vollenhoven tersebut adalah:
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue). 2. Tanah Gajo, Alas dan Batak:
2.a Nias (Nias-Selatan).
3. Tanah Minangkabau (Padang Agam, Tanah Dadatar, Lima piluhu Kota, Tanah Kampar, Korintji).
5. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumaterea Timur, orang Bandjar). 6. Bangka dan Belitung.
7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam Hulu, Pasir, Dayak Kenja, Dayak Klemanten, Dajak Landak dan
10. Tanah Toradja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat,
Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai). 11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
Makasar, Salaiar, Muna).
12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan Sula). 13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Aru, Kisar).
14. Irian.
15. Kepulauan Timur (Gugus Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sawu, Bima). 16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Djembrana, Lombok, Sumbawa).
17. Djawa Tengah, Djawa Timur serta Madura (Djawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Djawa Timur, Surabaya, Madura). 18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).
19. Djawa Barat (Priangan, Sunda, Djakarta, Banten).33
Pembagian tersebut bersifat sementara, karena dewasa ini telah terjadi tukar
menukar anggapan para anggota berbagai persekutuan Hukum Adat makin lama
33
makin bertambah, dan dengan sendirinya perbedaan antara hukum berbagai
persekutuan hukum adat akan hapus atau berkurang.
“Di berbagai belahan dunia, banyak komunitas-komunitas adat harus tersungkur di tanah leluhur mereka. Demikian juga dengan nasib hidup jutaan masyarakat adat di bumi Indonesia. Kita lihat masyarakat Jumma People di Chittagong Hill, Bangladesh; Chin dan Karen di perbatasan Thailand, Kamboja dan Burma; Cordilera di Philipina; Orang Asli di Malaysia; Orang Monk di Thailand; dan komunitas-komunitas masyarakat adat dari Sumatera sampai Papua, penindasan dan pelecahan atas hak-hak meerka masih terus berlangsung sampai detik ini”.34
Menurut Iman Sudiyat hal ini terjadi “karena pengaruh kota-kota besar dan
makin meresapnya keinsafan serta kesadaran nasional sebagai warga dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, di samping juga resepsi hukum eropa dan keinginan
untuk mengadakan unifikasi hukum di Indonesia”.35 Lebih jauh, Iman Sudiyat
mengatakan bahwa “perbedaan tersebut bukanlah suatu perbedaan asasi, melainkan
hanya perbedaan kedaerahan (lokal) belaka”.36
1. Sejarah Berdiri37
Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah, telah mendorong munculnya aspirasi masyarakat di daerah
untuk membentuk Kabupaten/Kota baru yang bersifat otonom. Sebab dengan status
34
The International Day of World’s Indigenous Peoples: Momentum Pemajuan Hak
Masyarakat Adat di Indonesia, 9 Agustus 2006, tanpa hal. 35
Iman Soediyat, Ibid, hal. 53.
36
Iman Soediyat, Ibid, hal. 53.
37
daerah otonom baru, diharapkan akan memperoleh peluang untuk mengurus
daerahnya sendiri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu Kabupaten yang menjadi agenda pemekaran Kabupaten Toba
Samosir adalah membentuk Kabupaten Samosir, yang berada di tengah-tengah
Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu kajian peningkatan pemekaran Kabupaten Toba
Samosir dengan melahirkan calon Kabupaten Samosir perlu segera dilakukan,
mengingat sudah waktunya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Oleh karena itu, kajian dan penelitian data perlu dilakukan untuk
mendapatkan penilaian objektif dengan berdasar pada ketentuan yang berlaku
mengingat bahwa pengelolaan potensi kekayaan yang ada di daerah memerlukan
kajian dan pengaturan yang rasional, profesional dan bertanggung jawab sesuai
dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing.
Aspirasi masyarakat untuk memekarkan Kabupaten Samosir menjadi 2 (dua)
Kabupaten, didasarkan pada desakan masyarakat wilayah Samosir dan DPRD
Kabupaten Toba Samosir, maka Kabupaten Toba Samosir diusulkan dan
direncanakan pemekarannya yaitu:
a. Kabupaten Toba Samosir (Induk) terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan
yaitu Kecamatan Balige, Laguboti, Silaen, Habinsaran, Porsea,
Lumbanjulu, Uluan, Pintu Pohan Meranti, Ajibata, dan Kecamatan
b. Kabupaten Samosir (Calon) terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan yaitu
Kecamatan Pangururan, Sianjur, Mulamula, Simanindo, Nainggolan,
Onan Runggu, Palipi, Ajibata, dan Sitio-tio.
Sesuai dengan aspirasi dan argumentasi masyarakat yang disampaikan
kepada DPRD Kabupaten Toba Samosir dan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir
serta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah ditindaklajuti aspirasi masyarakat
tersebut dengan:
Keputusan DPRD Kebupaten Toba Samosir Nomor 4 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Kabupaten Samosir tanggal 20 Juni 2002. Surat Bupati Toba Samosir
Nomor 1101/Pem/2002 tanggal 24 Juni 2002 yang ditujukan kepada Gubernur
Sumatera Utara. Surat Bupati Toba Samosir Nomor 135/1187/Pem/2002 tanggal 3
Juli 2002 perihal laporan tentang aspirasi masyarakat Samosir untuk membentuk
Kabupaten Samosir, yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara. Setiap
argumentasi dan usulan DPRD dan Bupati Toba Samosir, usulan ini diakomodir
dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai tanggal 18 Desember 2003.
Terbentuknya Samosir sebagai kabupaten baru merupakan langkah awal
untuk melalui percepatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih sejahtera.
Tujuan pembentukannya adalah untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam rangka
perwujudan sosial, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan untuk merespon
serta merestrukturisasi jajaran pemerintahan daerah dalam rangka mempercepat
proses pembangunan sehingga dalam waktu yang cukup singkat dapat sejajar dengan
masyarakat yang ada di Kabupaten Samosir pada khususnya, Provinsi Sumatera Utara
pada umumnya.
Luas wilayah Kabupaten Samosir secara keseluruhan mencapai 254.715 Ha,
terdiri dari daratan seluas 144.455 Ha dan perairan danau seluas 110.260 Ha. Luas
dan batas perairan di kawasan Danau Toba belum ada ketentuan yang pasti. Namun
mengingat Pulau Samosir tepat berada dan dikelilingi oleh Danau Toba, secara
proporsional luas perairan Danau Toba yang menjadi bahagian daerah Kabupaten
Samosir sewajarnyalah merupakan bahagian yang terluas dibandingkan dengan enam
kabupaten-kabupaten lainnya di sekeliling perairan Danau Toba.
Posisi geografis Kabupaten Samosir berada pada 2°24’ - 2°45’ Lintang Utara
dan 98°21’- 99°55’ BT. Secara administratif wilayah Kabupaten Samosir diapit oleh
tujuh kabupaten, yaitu:
Sebelah Utara : Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun,
Sebelah Timur : Kabupaten Toba Samosir,
Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbahas,
Sebelah Barat : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat.
Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan, 6 kecamatan berada di Pulau
Samosir di tengah Danau Toba dan 3 kecamatan di daerah lingkar luar Danau Toba
tepat pada punggung pegunungan Bukit Barisan.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, Kecamatan Pangururan yang
merupakan bagian dari Wilayah Kabupaten Samosir ( juga merupakan salah satu dari
Berdasarkan data statistik luas wilayah Kabupaten Samosir yang dibagi
menurut daerah masing-masing adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005
No. Kecamatan LuasWilayah
Sumber: Kantor Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005.
a. Kondisi Sosial Budaya
Kondisi kependudukan maupun keadaan sosial budaya masyarakat di
Kabupaten Samosir mempunyai karakter yang khas yang memegang teguh
kebudayaan dan agama serta adat istiadat yang ada di daerah tersebut.
Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan dengan jumlah penduduk Tahun 2004
sebanyak 130.078 jiwa (63.741 orang laki-laki dan 66.337 orang perempuan).
Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Samosir secara umum adalah
sekitar 90 jiwa/km2, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Pangururan
sebanyak 293 jiwa/km2, sedangkan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Harian
sebesar 29 jiwa/km2.
b. Pertumbuhan Penduduk.
Berdasarkan angka hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk
119.254, sedangkan jumlah penduduk tahun 2004 berjumlah 130.078, dengan
demikian laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 2003 - 2004 adalah 9
persen.
c. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin.
Berdasarkan kelompok umur, penduduk Kabupaten Samosir tergolong dalam
struktur umur muda. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk usia muda (0-14
tahun ) yang cukup besar, yaitu 36,72 persen. Besaran penduduk usia muda dan usia
lanjut (65 + tahun ) merupakan beban tanggungan bagi penduduk usia produktif
(14-64 tahun ), di mana persentase penduduk usia produktif tahun 2003 sebesar 55,46
persen. Hal ini memberikan implikasi bahwa kelompok umur muda perlu
mendapatkan perhatian dan pengembangan sehingga mampu menghasilkan
tenaga-tenaga terampil dan mandiri untuk mengisi pembangunan di masa yang akan datang.
Besarnya jumlah penduduk usia muda ini, berimplikasi pada beban
tanggungan penduduk usia produktif juga semakin besar. Secara kasar angka ini
dapat digunakan sebagai indikator pengukur kemajuan ekonomi suatu daerah. Rasio
ini menyatakan perbandingan penduduk berusia dibawah 15 tahun dan diatas 65
tahun yang dianggap tidak produktif secara ekonomi dengan jumlah penduduk
berusia 15 sampai 65 tahun yang dianggap produktif secara ekonomi. Makin tinggi
rasio beban tanggungan berarti semakin kecil jumlah penduduk produktif dan
semakin banyak sumber daya yang harus dibagikan kepada kelompok tidak produktif.
Beban tanggungan anak di Kabupaten Samosir pada tahun 2003 sebesar 75,08 dan
usia produktif menanggung sekitar 75,08 orang anak dan 5,21 orang usia lanjut.
Dengan kata lain bahwa beban tanggungan di Kabupaten Samosir masih cukup besar
yaitu mencapai 80,29. Tingginya beban tanggungan ini diduga akibat adanya
perpindahan penduduk usia produktif ke daerah lain dengan tujuan bekerja atau
melanjutkan sekolah.
d. Distribusi menurut Tingkat Pendidikan.
Rendahnya tingkat pendidikan dapat dirasakan sebagai penghambat dalam
pembangunan. Dengan demikian, tingkat pendidikan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk. Keadaan seperti ini sesuai dengan hakekat
pendidikan itu sendiri, yakni merupakan usaha sadar untuk pengembangan
kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur
hidup.
Keadaan tingkat pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Samosir
berdasarkan hasil Susenas 2003, menunjukkan persentase penduduk usia 10 tahun ke
atas yang berhasil menamatkan pendidikan SD sampai dengan perguruan Tinggi
sebesar 76,40 persen, selebihnya sekitar 23,60 persen adalah mereka yang
berpendidikan SD ke bawah (3,60 persen yang tidak/belum pernah bersekolah dan
20,00 persen yang tidak/belum tamat SD). Dari mereka yang telah menamatkan
paling tidak SD tersebut, hanya sekitar 1,50 persen yang tamat diploma/Sarjana dan
50,80 persen tamat pendidikan menengah (21,20 persen tamat SMTP dan 29,60
persen tamat SMTA). Di satu sisi, dari setiap 1.000 orang berusia 10 tahun ke atas,
Keadaan ini dapat dianggap rendah, hal ini sangat mungkin disebabkan oleh migrasi
penduduk yang telah menyandang gelar Diploma atau sarjana untuk mencari
pekerjaan atau penghidupan yang lebih layak ke daerah/kota lain.
e. Agama.
Walaupun Mayoritas jumlah penduduk di Kabupaten Samosir adalah Agama
Kristen Protestan dan Agama Katolik, namun kerukunan antara umat beragama
tumbuh dan berkembang dengan baik untuk menunjang Pembangunan Daerah
Kabupaten Samosir, serta diupayakan perbaikan prasarana dan sarana ibadah
keagamaan sesuai dengan perkembangan umat beragama di Kabupaten samosir.
f. Etnis dan Suku.
Jumlah Etnis dan Suku yang ada di Kabupaten Samosir adalah 6 etnis (Batak
Karo, Batak Simalungun, Nias, Jawa, Minang, Batak Toba).
g. Angka Kemiskinan.
Jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dalam kurun waktu
2000-2004. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan, keadaan ini mengalami kenaikan menjadi 41 % pada tahun 2004 atau
naik sekitar 18 %. Secara absolut jumlah penduduk miskin pada periode 2000-2004
mengalami kenaikan sebesar 20.070 Jiwa.
h. Angka Pengangguran.
Untuk memberikan gambaran mengenai ketenagakerjaan di Kabupaten