• Tidak ada hasil yang ditemukan

KABUPATEN SAMOSIR

A. Perkembangan saat ini

Diskriminasi perempuan sangat gampang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kepemimpinan perempuan, contohnya, masih kerap terkungkung pola-pola patriaki. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah keluargapun, hak-hak perempuan ikut tertindas.

Desakan ekonomi seakan lebih kuat untuk menggiring perempuan atau siapapun saat ini masuk dalam sebuah lingkaran yang tidak pernah ketemu di mana ujung pangkalnya. Perjuangan Kartini untuk menyetarakan kedudukan laki-laki dengan perempuan hampir berhasil. Karena semua sektor dan lini saat ini sudah ada perempuannya. Dalam kancah politik dan bidang lainnya suara perempuan sudah mulai didengar. Dalam pandangan Islam, perempuan memiliki seperangkat potensi hidup berupa akal dan naluri yang mempunyai peran beragam, yaitu sebagai makhluk (hamba) Allah, sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Sebagai hamba, perempuanpun wajib beribadah kepada Allah, sebagaimana laki-laki.

Demikian juga dalam adat istiadat/budaya khususnya Batak Toba, perempuan pada umumnya tetap terikat pada konsep-konsep dan nilai-nilai mengenai perempuan, yang menempatkan mereka dalam arena adat. Kalaupun mereka mampu keluar dari peran tradisionalnya menjalani pendidikan tinggi, menjalani berbagai bidang

profesi-profesi terhormat dalam masyarakat, dan hidup sebagai “orang-modern”, mereka tetap tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adatnya. Misalnya mereka “harus” melahirkan anak laki-laki, menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak-anak dan suaminya, sekaligus menjadi kerabat yang baik bagi saudara-saudara suaminya maupun kelompok kekerabatan marga ayahnya (hula-hula), dan memiliki berbagai kewajiban kerja tetapi tidak memiliki hak bicara dalam berbagai pertemuan keluarga (adat). Meskipun tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adat, perempuan dari lapisan sosial bawah secara diam-diam bekerja di sektor ekonomi menjalani berbagai profesi dagang.

Pandangan mengenai perempuan yang tidak berhak atas harta bapaknya harus dilihat dari falsafah masyarakat tradisional, yang berorientasi pada kelangsungan hidup kelompok dan kaitannya dengan terbatasnya sumberaya. Dalam masyarakat tradisional, laki-laki dalam kelompok clan ayahnya dipandang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan hidup perempuan dari clan tersebut. Di samping itu perempuan dianggap akan menikmati bagian harta suaminya, yang didapat dari clan suaminya. Untuk kelestarian hidup kelompok itulah, telah diciptakan aturan-aturan adat yang bersumber pada falsafah tradisional.

Namun kehidupan orang Batak Toba yang tadinya berorientasi pada kelompok (kolektif) lambat-laun berubah menjadi kehidupan yang cenderung menagrah pada individu, terutama di kota besar. Falsafah tradisional yang berorientasi pada kelangsungan hidup kelompok tidak lagi sepenuhnya dapat dibayangkan. Aturan-aturan yang tadinya sangat baik untuk menjaga kelangsungan

hidup kelompok, khususnya yang berkaitan dengan waris, sesunguhnya dalam segi-segi tertentu sudah tidak cocok lagi. Pada masa sekarang peraturan adat yang mengatakan bahwa perempuan bukan ahli waris, akan berdampak tidak menguntungkan bagi perempuan tertentu. Misalnya, bila seorang perempuan kawin dengan seorang laki-laki yang tidak memiliki harta (tergolong miskin), dan dia dikatakan tidak boleh mendapatkan bagian dari harta ayahnya, maka ia berada pada posisi yang tidak diuntungkan.

Persoalan mengenai waris berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat menempatkan kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan dalam struktur kekerabatan, dan mensosialisasikannya melalui konsep-konsep gender tentang laki-laki dan perempuan, nilai-nilai, pranata sosial dan pranata hukum yang ditetapkan sebagai acuan berperilaku. Dalam hal ini acuan berperilaku tersebut juga menetapkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan hubungan sosial.

Bagaimana konsep jender dalam hubungan kekerabatan dan hubungan sosial berkaitan dengan pembatasan perempuan terhadap harta milik ?. Bila jenis kelamin (sex) mengacu pada kategori biologis, maka konsep gender mengacu pada konsep sosial yang menempatkan seseorang sebagai maskulin atau feminin berdasarkan karakteristik psikologis dan perilaku tertentu yang secara kompleks telah dipelajari melalui pengalaman sosialisasi. Makna kodrat yang seharusnya mengacu kepada perbedaan perempuan dan laki-laki sebatas fungsi reproduksinya, diperluas menjadi peranan dan kedudukan di berbagai bidang kehidupan. Tambahan lagi, kondisi di atas

didukung oleh penafsiran teks-teks kitab suci yang bias laki-laki. Pemaknaan terhadap hakikat perempuan dan laki-laki menjadi berbeda. Dalam hubungan pertukaran dalam perkawinan, perempuan dilihat sebagai salah satu jenis harta milik dan menerima pembagian kerja di sektor domestik. Sementara laki-laki adalah orang yang memiliki akses kepada penguasaan dan kontrol atas harta milik dan mendapatkan pembagian kerja di sektor publik. Cara pandang atau konstruksi sosial mengenai perempuan dan laki-laki yang demikian itulah yang disebut sebagai gender. Konsep jender bervariasi di setiap kebudayaan dan konteks waktu. Apa yang patut atau tidak patut dikenakan bagi laki-laki dan perempuan pada suatu masyarakat bisa berbeda pada masyarakat lain, atau pada suatu waktu yang lain.

Cara pandang yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada tempatnya masing-masing dalam hubungan kekerabatan itu merupakan cara yang ampuh bagi dipertahankannya patrilineage, sekaligus patriarkhi, dengan “mengorbankan” perempuan melalui pembatasan terhadap harta milik.

Masalah yang dihadapi oleh anak perempuan Batak Toba yang berkaitan dengan akses terhadap hak waris adalah mengenai bagaimana anak perempuan untuk mendapatkan akses kepada harta waris dan bagaimana anak perempuan dan harta orang tuanya dalam pandangan hukum adat dan hukum negara. Penyelesaian sengketa harta waris yang diskriminatif. Sebagai landasan dari penyelesaian sengketa harta waris, dibedakan antara cara penyelesaian melalui peradilan negara yang tujuan akhirnya adalah win-lose solution yang menitikberatkan pada substansi hukum dan

melalui peradilan adat dengan tujuan win-win solution yang berfokus pada prosedur untuk menghindari terjadinya ketegangan sosial.

Perkembangan hukum, kompetisi hukum atau cara penyelesaian alternatif yang menjadi bagian dari strategi bagi anak perempuan dalam penyelesaian sengketa harta waris merupakan keunikan tersendiri. Kebudayaan Batak menetapkan, bahwa hanya anak laki-laki yang mempunyai hak waris atas tanah, sementara anak perempuan hanya memiliki hak terbatas, yakni “hak meminta” berdasarkan cinta kasih. “Hak meminta” ini mengandung makna, bahwa anak perempuan yang orang tuanya tidak mampu, sebaiknya jangan meminta karena tidak ada yang bakal diberi, sementara bagi anak perempuan yang orang tuanya mampu, ia tidak akan diberi kecuali ia meminta. Artinya “hak meminta” pun masih belum pasti antara diberi dan tidak diberi. Sama dengan anak perempuan, seorang perempuan janda juga tidak memiliki hak waris.

Ketika berstatus nikah, fungsi istri sebagai pengelola dan penikmat harta suami dan harta bersama untuk selanjutnya diserahkan kepada anak laki-lakinya ketika dewasa, tapi ketika terjadi perceraian (cerai mati/cerai hidup), maka perempuan janda tidak memiliki hak waris atas harta gono-gini, apalagi harta pusaka suaminya. Namun demikian, dalam prakteknya ada peradilan adat yang di lapangan, yakni meskipun tidak memberikan hak milik waris, tapi memberikan hak pengelolaan harta bagi anak perempuan atau memberikan hak waris hanya kepada anak perempuan hanya jika ia merupakan anak satu-satunya dalam suatu keluarga. Perkembangan implementasi hukum yang terjadi tentang hak waris yang banyak

dimenangkan oleh perempuan juga dipengaruhi oleh argumentasi tentang pembedaan antara harta pusaka dan harta perkawinan.

Berbagai strategi yang dilakukan oleh perempuan ketika bersengketa, mulai dengan cara yang halus tapi cerdik, yakni diam-diam pasang strategi dan tetap menjalin hubungan baik dengan keluarganya, sampai dengan cara yang frontal untuk mempertahankan harta orangtuanya.

Akan tetapi pengharapan untuk mendapatkan perlindungan kepada negara atas harta waris tidak selamanya memberikan keuntungan bagi perempuan, meskipun hak waris telah diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang didukung dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 1984. Untuk kasus-kasus yang tidak dipengadilankan, ada kecenderungan terjadinya “pengambangan”, artinya kasus tersebut dibiarkan saja, tetapi si perempuan tetap berhubungan dengan pihak lawan atau dengan cara mengelak dan mengurangi atau memutuskan hubungan dengan pihak lawan, terutama ketika menyadari tipisnya kemungkinan untuk menang.

Strategi anak perempuan, meskipun dengan cara yang berbeda dalam menghadapi sengketa waris juga bervariasi mulai dari bersandiwara untuk mendapatkan belas kasihan sampai dengan melakukan perlawanan secara frontal kepada lawan sengketanya. Jika akses terhadap hukum negara bagi perempuan sangat terbatas dan penggunaan institusi hukum juga baru dilakukan ketika perempuan sudah dalam keadaan sangat terdesak, maka anak perempuan dalam menghadapi kasus sengketa warisan melalui pengadilan.

Anak perempuan dapat juga melayani gugatan lawan yang mengajukannya ke pengadilan atau melakukan gugatan ke pengadilan negara dan melanjutkan proses pengadilan jika mengalami kekalahan (misalnya, banding). Anak perempuan tidak segan-segan bersentuhan dengan pengadilan meskipun mereka menyadari, bahwa tindakan itu akan banyak menyebabkan social loss. Hal ini bila cara musyawarah tidak tercapai.

Keberanian ini disebabkan oleh faktor ekonomi (harta yang dipersengketakan memang besar atau tidak besar tapi vital bagi kelangsungan hidup anak perempuan). Faktor lain adalah karena lawan sengketa adalah anggota keluarga (kerabat ayah dan/atau saudara laki-lakinya) yang sudah jelas tidak memberi hak waris kepada anak perempuan sehingga mendorongnya untuk melakukan perlawanan. Namun, inipun masih ada keraguan karena ada pula kasus anak perempuan ‘kalah sebelum perang’ ketika berhadapan dengan saudara laki-lakinya dalam soal harta waris. Menurut Daniel S. Lev bahwa, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama penyelesaian sengketa yang di dalamnya dapat ditemukan budaya hukum masyarakat, yang cenderung menghindari peradilan negara, yaitu:

a. penyelesaian sengketa lebih banyak mengandalkan pada konsiliasi

(penyelesaian secara kekeluargaan), dengan mengutamakan kompromi; b. gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai dalam budaya

hukum masyarakat adalah gaya yang lebih memperhatikan prosedur daripada substansi;

c. aturan dan pertimbangan hukum tentang keadilan sudah barang tentu tidak diabaikan, tetapi yang ditekankan bukanlah penerapan aturan-aturan tertentu

melainkan berakhirnya sengketa yang ditakutkan akan menimbulkan ketegangan atau gangguan sosial.76

Peradilan negara merupakan cara terakhir yang dilakukan oleh anak perempuan yang menghadapi kasus sengketa waris juga tidak menjadikan peradilan negara sebagai cara pertama, kecuali jika terjadi kegagalan bernegosiasi dengan musyawarah di tengah-tengah keluarga dan jika ada yang memperadilankan kasus sengketa terlebih dahulu, yang akhirnya mengenalkan anak perempuan pada institusi hukum negara. “Hal ini menimbulkan terjadinya pilihan hukum di bidang waris sehingga menimbulkan pluralisme hukum dan terdapat perdebatan menyangkut sumber hukum adat dan mekanisme pembentukannya.”77

Dari Tabel-6 berikut ini dapat diketahui dari responden, apakah anak perempuan termasuk dalam ahli waris, sebagai berikut:

Tabel 6. Anak Perempuan Termasuk Sebagai Ahli Waris

n=30

No Jawaban Responden Jumlah %

1 Setuju. 16 54%

2 Tidak Setuju. 12 40%

3 Tidak Tahu. 2 6%

Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel-6 tersebut, jawaban responden yang mengatakan setuju sebanyak 16 responden (54%) sedangkan tidak setuju sebanyak 12 responden (40%). Dari tabel tersebut tergambar bahwa anak perempuan telah mendapat hak secara bersama-sama

76

Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES (terjemahan), Jakarta, hal. 161.

77

Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan

dengan saudara laki-lakinya untuk mewaris harta peninggalan orangtuanya. Kalaupun perempuan dapat bagian harta warisan dikarenakan harta peninggalan memang ada untuk dibagikan dan semua dapat bagian, umumnya di Kecamatan Pangururan anak laki-laki yang tertua mendapat rumah. Bahwa implementasi hukum adat tidak berpengaruh terhadap letak geografis, tingkat pendidikan dan status sosial lawan sengketa perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan berpengaruhnya implementasi hukum waris bagi orang Batak yang tinggal di daerah. Tingkat pendidikan perempuan berpengaruh positif pada resistensi mereka terhadap harta waris.

Berdasarkan penyebaran kuisioner di lapangan, ditemukan jawaban para responden tentang besarnya bagian warisan untuk anak perempuan, dari Tabel-7, sebagai berikut:

Tabel 7. Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan

n=30

No Jawaban Responden Jumlah %

1 Lebih Besar Untuk Anak Laki-laki. 14 46%

2 Sama Besarnya. 6 20%

3 Sesuai Kesepakatan Ahli waris. 10 34%

Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel diatas, responden masih memihak kepada anak laki-laki dengan persentase 46%, sedangkan jawaban responden yang mengatakan sama besarnya hanya 20% saja. Sedangkan sesuai kesepakatan responden hanya berjumlah 10 responden (34%). Bahkan berdasarkan penelitian di lapangan dalam keluarga besar

Simbolon ( E. Simbolon78, seorang anak laki-laki bersama 9 saudaranya yang lain, yang awal tahun 2008 melaksanakan pembagian warisan yang telah ditentukan/kesepakatan bersama sewaktu ayahnya masih hidup) bahwa “mereka yang berjumlah 10 orang bersaudara (7 laki-laki dan 3 saudara perempuan), bahwa mereka mendapat bagian tanah yang sama, sedangkan kelebihannya dibagikan kepada saudara laki-laki, tetapi pembagian itu tidaklah sama persis, yang penting para ahli waris (baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian).

Ada sebagian keluarga, untuk penentuan bagian warisan pada waktu orangtuanya sudah tua atau sakit-sakitan, mereka semua semua berkumpul dan diundang saksi-saksi. Maka setelah orangtuanya meninggal maka dilaksanakan pembagian harta warisan, sepanjang ada yang dibagikan. Adat setempat mengakui untuk rumah diberikan kepada anak laki-laki yang paling tua.

Mungkin sudah waktunya memang anak perempuan Batak harus mengambil sikap, dan juga tuntutan zaman yg harus begitu. Dalam perkembangannya saat ini, bahwa anak perempuan untuk mendapatkan harta warisan dari orangtuanya dapat dilakukan berbagai cara, seperti membuat testamen, memberikan warisan dalam bentuk lain seperti uang, pendidikan, perhiasan.

Namun pemberian warisan tersebut di atas kepada anak perempuan tetap tidak dianggap sebagai hak. Bagaimana anak perempuan batak mengembangkan

78

E. Simbolon bertempat tinggal di Jakarta, yang pada saat penelitian lapangan dilakukan sedang berada di Pangururan, dan sedang mengurus surat tanah atas tanah yang baru diperolehnya dari pembagian tanah warisan yang ada di Pangururan.

berbagai strategi untuk memperjuangkan aksesnya atas harta warisan. Sudah diketahui bahwa adat Batak yang kuat sistem patriarkinya hanya mengenal laki-laki sebagai ahli waris. Dalam adat dahulu di tanah Batak memang dikenal suatu cara untuk memberi keseimbangan hak anak perempuan dengan memberikan sebidang tanah kepada anak perempuan yang kawin, yang disebut "pauseang". Juga untuk menunjukkan kasih sayang atas kelahiran cucunya dari anak perempuan dapat juga diberi sebidang lahan disebut "indahan arian" atau "punsu tali".

Secara umum perempuan Batak tidak terlalu mempermasalahkan harta pusaka, yang adalah hak dari anak laki-laki dalam sistem patrilineal. Yang dipersoalkan adalah harta perkawinan, gono gini. Bagaimana perempuan Batak melancarkan strategi ? Strategi mulai dari cara yang halus sampai cara frontal. Cara halus maksudnya, dengan tidak kentara, misalnya tetap memelihara hubungan dengan saudara laki-laki. Bisa juga terjadi meminta dukungan tulang (saudara laki-laki) dari ibu, yang memang dimungkinkan adat. Dia juga mendata semua harta peninggalan yang lain di kampung halaman yang diperoleh dari warisan orangtuanya. Cara anak perempuan berperkara di pengadilan, karena melihat ada peluang di pengadilan. Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya cenderung menganut pandangan bahwa anak perempuan adalah juga ahliwaris harta perkawinan. Maka itu ada anak perempuan Batak pakai strategi mengajukan gugatan atau melayani gugatan kerabat suami di pengadilan. Sekarang sudah semakin meluas paham kesamaan kedudukan perempuan dan laki-laki, emansipasi. Ini tantangan bagi budaya Batak.

Dalam Tabel-8 berikut ini akan tergambar bagaimana tanggapan para responden terhadap harta pusaka, sebagai berikut:

Tabel 8. Pembagian Harta Warisan Terhadap Harta Pusaka

n=30

No Jawaban Responden Jumlah %

1 Hanya untuk anak laki-laki saja. 28 94%

2 Di bagi sama. 1 3%

3 Tidak Tahu. 1 3%

Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel-8 terjawab, bahwa para responden dengan jumlah 28 orang (persentase 94%) tidak rela harta pusaka dibagikan untuk saudara perempuan. Mungkin hal ini dapat dimaklumi bahwa harta pusaka itu merupakan pemberian kakeknya/ompung dolinya yang harus diteruskan kepada anak laki-laki kepada cucu laki-laki dan seterusnya. Bila diberikan kepada anak perempuan maka akan hilang, karena harta pusaka itu masuk kepada clan/marga dari suaminya/hela-nya.

Dokumen terkait